Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 169422 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Florentsia Hanum Nugroho
"ABSTRAK
Latar Belakang: rasio mahkota-akar gigi adalah merupakan kondisi gigi yang penting dalam penentuan prognosis dan rencana perawatan kedokteran gigi. Belum ada data mengenai nilai ini pada populasi di Indonesia. Tujuan: mengetahui nilai rerata rasio mahkota-akar gigi insisif, premolar, dan molar permanen pada pasien laki-laki dan perempuan di RSKGM FKG UI rentang usia 15-25 tahun. Metode: panjang akar dan tinggi mahkota diukur menggunakan modifikasi metode Lind pada 196 radiograf panoramik digital. Uji realibilitas menggunakan uji technical error of measurement. Uji hipotesis menggunakan uji t tidak berpasangan dan uji Mann-Whitney U. Hasil: nilai rerata mahkota-akar gigi terbesar pada kedua jenis kelamin dijumpai pada premolar dua rahang bawah laki-laki 1:2,12, perempuan 1:2,10 dan yang terkecil pada gigi molar satu rahang atas laki-laki 1:1,50, perempuan 1:1,44 . Rasio gigi rahang bawah lebih besar dibandingkan gigi rahang atas. Tidak ditemukan perbedaan rasio bermakna antara laki-laki dan perempuan p.

ABSTRACT
Background tooth crown root ratio is one of the most important condition in determining prognosis and treatment planning in dentistry. There are no data of this value in Indonesia. Purpose to obtain the average crown root ratio value on insisive, premolar, and molar permanent teeth of male and female aged 15 25 in RSKGM FKG UI. Method root length and crown height of teeth were measured by modified Lind method on 196 digital panoramic radiographs. Reliability test was assessed by technical error of measurement test. Independent t test and Mann Whitney U test was applied to test the hipotesis. Results the highest mean crown root ratio in both arches and sex was found in mandibular second premolar male 1 2,12, female 1 2,10 and the lowest in maxillary first molar male 1 1,50, female 1 1,44 . Ratio is higher in mandibule than in maxilla. There are no significant different in ratio between male and female p"
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meliala, Cecilia Morinta
"ABSTRACT
Latar Belakang: Ukuran mahkota gigi sulung penting dalam keberhasilan perawatan restorasi dengan mahkota logam dan keberhasilan perawatan ortodonsi preventif. Perbedaan ukuran mahkota gigi sulung anak laki-laki dan perempuan ditunjukkan dalam diferensiasi seksual pada ukuran mahkota gigi dan bentuk gigi. Terdapat keterbatasan data mengenai ukuran mahkota gigi sulung anterior pada anak laki-laki dan anak perempuan dalam populasi Indonesia. Tujuan Penelitian: Mengetahui ukuran mahkota gigi sulung anterior pada kelompok anak laki- laki dan kelompok anak perempuan, dan mengetahui perbedaan diameter mesiodistal, labiopalatal/ labiolingual antara kelompok anak laki-laki dan kelompok anak perempuan di Klinik Gigi Anak RSKGM FKG UI. Metode: Penelitian studi deskriptif-analitik menggunakan model studi pasien anak pada periode gigi sulung. 34 pasang model gigi dengan rincian 17 pasang model gigi laki-laki dan 17 pasang model gigi perempuan untuk menguji perbedaan ukuran mahkota gigi sulung antara sisi kanan dan kiri pada kelompok anak laki-laki dan kelompok anak perempuan. 99 pasang model gigi dengan rincian 35 pasang model gigi laki-laki dan 64 pasang model gigi perempuan untuk menguji perbedaan ukuran mahkota gigi sulung antara laki-laki dan perempuan. Terdapat perbedaan yang tidak signifikan antara pengukuran mahkota gigi sulung dengan jangka sorong dan software ImageJ (p≥0.05). Terdapat perbedaan yang tidak signifikan pada ukuran mahkota gigi sulung antara sisi kanan dan kiri pada kelompok anak laki-laki (p≥>0.05). Terdapat perbedaan yang tidak signifikan pada ukuran mahkota gigi sulung antara sisi kanan dan kiri pada kelompok anak perempuan (p≥0.05). Terdapat perbedaan yang tidak signifikan pada diameter mesiodistal antara laki-laki dan perempuan (p≥0.05), kecuali pada gigi dc RB (p0.05). Terdapat perbedaan yang tidak signifikan pada diameter labiopalatal/ labiolingual antara laki-laki dan perempuan (p≥0.05). Data nilai persentil dari diameter mesiodistal dan diameter labiopalatal/ labiolingual gigi anak laki-laki dan perempuan di Klinik Gigi Anak RSKGM FKG UI. Tidak terdapat perbedaan antara sisi kanan dan kiri gigi sulung. Tidak terdapat perbedaan ukuran mahkota gigi sulung antara laki-laki dan perempuan, kecuali pada diameter mesiodistal gigi kaninus bawah. Data persentil 50 ukuran mahkota gigi sulung anak pada penelitian ini dapat menjadi data referensi dalam pembuatan mahkota logam bagi anak dengan kerusakan mahkota parah di Indonesia.

ABSTRACT
Background: Primary crown size are important to achieve successful stainless steel crown restoration and orthodontic preventive. Teeth are part of the human body that showing the marks of sexual dimorphism. The size of primary teeth in the recent Indonesian population has not been studied: The aim of this study to measure primary anterior crown size of male and female patients and to differ mesiodistal, labiopalatal/ labiolingual diameter between male and female from Paediatric Health Care, RSKGM FKG UI. Method: Thirty four pairs model study (17 males, 17 females) used to test different size between right and left side on sexes group. Ninety nine pairs model study (35 males, 64 females) used to test different size between male and female. Result: Theres no significant difference of measurement between digital caliper and software ImageJ (p≥0.05)"
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fawnia Raissa Azzahra
"Latar belakang: Terdapat banyak tindakan Kedokteran Gigi yang dilakukan di daerah foramen mental serta adanya risiko komplikasi cedera neurovaskular. Foramen mental memiliki letak bervariasi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ras dan jenis kelamin. Mengetahui normal range letak foramen mental merupakan hal yang penting diketahui klinisi untuk mengurangi resiko cedera saat perawatan. Tujuan: Mengetahui nilai rata-rata dan membandingkan jarak foramen mental terhadap puncak tulang alveolar pada kelompok laki-laki dan perempuan berusia 20-40 tahun di RSKGM FKG UI. Metode: Dilakukan pengukuran nilai jarak dengan membuat garis tegak lurus antara garis singgung pada batas superior foramen mental dan garis singgung pada puncak tulang alveolar, di mana garis-garis singgung tersebut sejajar dengan batas bawah mandibula pada 140 radiograf panoramik digital yang dibagi menjadi kelompok laki-laki dan perempuan berusia 20-40 di RSKGM FKG UI menggunakan software viewer Microdicom. Kemudian dilakukan uji reliabilitas intraobsever dan interobserver dengan uji ICC dan uji komparatif dengan uji T-test Independen. Hasil: Berdasarkan pengukuran diperoleh rata-rata dan standar deviasi pada kelompok laki-laki berusia 20-40 tahun adalah 15.60 ± 1.73 mm dan pada kelompok perempuan berusia 20-40 tahun adalah 15.12 ± 1.97 mm. Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna antara nilai rata-rata jarak foramen mental terhadap puncak tulang alveolar pada kelompok laki-laki berusia 20-40 tahun dan kelompok perempuan berusia 20-40 tahun di RSKGM FKG UI.

Background: There are a lot of dental treatments involving mental foramen and a risk of neurovascular injuries as the complication from the treatments. Mental foramen varies in position based on several factors including race and gender. Knowing the position range of mental foramen is essential to prevent injuries during dental treatment. Objective: To elicit and compare the mean distance of mental foramen to alveolar crest in male and female aged 20-40 years old at RSKGM FKG UI. Method: This study is utilizing 140 digital panoramic radiographs divided into male group and female group aged 20-40 years old in RSKGM FKG UI. Samples were measured by making a perpendicular line to tangent line of mental foramen’s superior border and tangent line of alveolar crest which both tangent lines are parallel to inferior border of the mandible. Samples were measured directly on the digital panoramic viewer software (Microdicom). Then, carry on with the reliability test for both intraobserver and interobserver with ICC test and comparative test with Independent T-test. Results: Average and standard deviation for mean distance of mental foramen to alveolar crest in male group aged 20-40 years is 15.60 ± 1.73 mm and in female group aged 20-40 years is 15.12 ± 1.97 mm. Conclusion: There is no significant difference between the mean distance of mental foramen to alveolar crest in male aged 20-40 years and in female aged 20-40 years at RSKGM FKG UI"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Qurrotul Aini
"ABSTRACT
Latar Belakang: Penyakit periodontitis yang sering dijumpai adalah periodontitis kronis. Periodontitis kronis tidak menimbulkan rasa sakit, sehingga tidak jarang penyakit ini terdiagnosa ketika telah mencapai tingkat keparahan moderate atau severe. Pada pemeriksaan radiografis periodontitis kronis, akan terlihat penurunan tulang alveolar. Penurunan tulang alveolar  akibat proses destruksi meluas akan menyebabkan terjadinya perubahan rasio akar-mahkota gigi. Nilai rasio akar-mahkota gigi dapat berpengaruh pada rencana perawatan dan prognosis dari gigi. Tujuan: Memperoleh nilai rata-rata rasio akar-mahkota pada gigi 36 atau 46 pasien usia 40-59 tahun yang mengalami periodontitis kronis di RSKGMP FKG UI dari radiograf. Metode: Pengukuran rasio akar-mahkota dengan menggunakan metode Lind (1972) dan modifikasi metode Lind pada 69 sampel radiograf periapikal digital yang diambil dari rekam medik pasien periodontitis kronis pada gigi 36 dan/atau 46 usia 40-59 tahun di RSKGMP FKG UI. Hasil: Pada gigi molar pertama mandibula, nilai rata-rata rasio akar-mahkota anatomis sebesar 1,99 ± 0,26, nilai rata-rata rasio akar-mahkota radiografis sebesar 1,32 ± 0,18, dan nilai rata-rata rasio akar-mahkota kasus periodontitis kronis sebesar 0,78 ± 0,29. Berdasarkan tingkat keparahan, nilai rata-rata penurunan tulang pada tingkat keparahan moderate sebesar 2,66 ± 1,43 dan menghasilkan nilai rata-rata rasio akar-mahkota sebesar  0,82 ± 0,24, sedangkan nilai rata-rata penurunan tulang pada tingkat keparahan severe sebesar 8,25 ± 1,41 dan menghasilkan nilai rata-rata rasio akar-mahkota sebesar 0,20 ±0,13. Kesimpulan: Nilai rata-rata rasio akar mahkota anatomis gigi molar pertama mandibula lebih besar dari rasio akar-mahkota radiografis. Dari penelitian ini terlihat kecenderungan bahwa semakin besar tingkat keparahan periodontitis kronis maka semakin kecil nilai rata-rata rasio akar-mahkota radiografis gigi.

ABSTRACT
Background: The most common type of periodontitis is chronic periodontitis. Chronic periodontitis is painless, consequently the disease may not be diagnosed until the severity is moderate or severe.  In radiograph examination of chronic periodontitis, a decreased alveolar bone height will be seen. Decreasing alveolar bone height due to the extensive destruction process will cause changes in the root-crown ratio. The value of root-crown ratio can affect the treatment planning and prognosis of the tooth. Objective: To obtain the average value of root-crown ratio on mandibular first molar in 40-59 years old patient with chronic periodontitis at RSKGMP FKG UI radiographically. Method: Measurement of root-crown ratio using Lind Method (1972) and modification of Lind Method in 69 digital periapical radiograph samples obtained from medical records of patient with chronic periodontitis on mandibular first molar aged 40-59 years old at RSKGMP FKG UI. Result: On mandibular first molar, the average value of anatomic root-crown ratio was 1,99 ± 0,26, the average value of radiographic root-crown ratio was 1,32 ± 0,18 and the average value of root-crown ratio was 0,78 ± 0,29. Based on the severity, the average value of decreased alveolar bone height at moderate severity was  2,66 ± 1,43 and  the average value of root-crown ratio was 0,82 ± 0,24, whereas the average value of root-crown ratio at severe severity was 8,25 ± 1,41 dan the average value of root-crown ratio was 0,20 ±0,13. Conclusion: The average value of anatomic root-crown ratio is greater than radiographic root-crown ratio. From this study, there is a tendency that the greater severity of chronic periodontitis, the smaller average value of radiographic root-crown ratio."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Karina Fitriananda
"Latar Belakang:  Penyakit periodontal merupakan penyakit gigi dan mulut kedua terbanyak diderita masyarakat Indonesia. Penyakit periodontal terdiri dari gingivitis dan periodontitis. Periodontitis adalah inflamasi pada jaringan pendukung gigi yang disebabkan oleh mikroorganisme spesifik atau kelompok mikroorganisme. Dalam mendiagnosis penyakit periodontitis pada umumnya diperlukan pemeriksaan radiografis untuk melakukan evaluasi perubahan tulang alveolar, terutama perubahan tinggi tulang alveolar yang merupakan salah satu tanda adanya penyakit periodontal. Data ini diperlukan bagi tatalaksana pasien yang meliputi diagnosis, rencana perawatan, prakiraan prognosis dan observasi. Radiograf periapikal adalah “gold standard” pada pemeriksaan radiografis konvensional kasus periodontitis. Tujuan: Memperoleh nilai rata-rata penurunan tinggi tulang alveolar pada pasien penderita periodontitis kronis rentang usia 25-40 tahun secara radiografis di RSKGM FKG UI. Metode: Pengukuran penurunan tinggi tulang alveolar pada 192 sampel radiograf periapikal digital usia 25-40 tahun di RSKGM FKG UI. Hasil: Nilai rata-rata penurunan tinggi tulang alveolar pada gigi insisif sentral rahang atas permukaan mesial sebesar 5.13 ± 0.58 dan pada permukaan distal sebesar 3.82 ± 0.4. Pada gigi insisif sentral rahang bawah, nilai rata-rata penurunan tinggi tulang alveolar permukaan mesial sebesar 7.98 ± 0.6 dan pada permukaan distal 6.85 ± 0.48. Pada gigi molar 1 rahang atas, diperoleh nilai rata-rata permukaan mesial sebesar 3.73 ± 0.37 dan pada permukaan distal 4.66 ± 0.55, sedangkan pada gigi molar 1 rahang bawah permukaan mesial diperoleh nilai rata-rata 3.74 ± 0.43 dan permukaan distal sebesar 3.08 ± 0.17. Kesimpulan: Nilai rata-rata penurunan tinggi tulang alveolar pada permukaan mesial gigi insisif sentral rahang bawah kasus penyakit periodontal adalah yang tertinggi dibanding kelompok lainnya.

Background: Periodontal disease is the second most common tooth and mouth disease suffered by Indonesian society. Periodontal disease consists of gingivitis and periodontitis. Periodontitis is defined as an inflammatory disease of supporting bone tissues of teeth caused by specific microorganisms or groups of specific microorganisms. In diagnosing periodontitis, in general we need radiograph examination to evaluate changes in alveolar bone, especially changes in alveolar height which indicates the periodontal disease. This data is necessary for the management of the patient including diagnosis, treatment plan, prognosis, and observation.  Periapical is a “gold standard” on conventional radiographic examination on periodontitis cases. Objective: To obtain the average value of decreased alveolar bone height in 25-40 years old patients with chronic periodontitis at RSKGM FKG UI radiographically. Method: Measurement of decreased alveolar bone height in 192 digital periapical radiograph samples aged 25-40 years in RSKGM FKG UI. Result: The mean value of decreased alveolar bone height of maxillary central incisors on the mesial surface was 5.13 ± 0.58 and on the distal surface was 3.82 ± 0.4. On mandibular central incisors, the mean value of decreased alveolar bone height on the mesial surface was 7.98 ± 0.6 and on the distal surface was 6.85 ± 0.48. On maxillary first molars, the mean value of decreased alveolar bone height on the mesial surface was 3.73 ± 0.37 and on the distal surface was 4.66 ± 0.55. Whereas, on mandibular first molar, the mean value of decreased alveolar bone height on mesial surface was 3.74 ± 0.43 and on the distal surface was 3.08 ± 0.17. Conclusion: The average decreased in alveolar bone height on mesial surface of mandibular central incisors is the highest among other groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salzabilla Wahyu Putri
"Latar Belakang: Periodontitis adalah penyakit yang memengaruhi jaringan pendukung gigi seperti kerusakan tulang alveolar, dan diderita oleh sebagian besar populasi manusia di dunia. Periodontitis terbagi menjadi periodontitis terlokalisasi dan periodontitis menyeluruh. Dalam menentukan diagnosis penyakit periodontitis diperlukan pemeriksaan radiografis untuk mengevaluasi perubahan tinggi tulang, terutama pada tulang alveolar. Radiograf panoramik dapat digunakan dalam pemeriksaan full-mouth dengan paparan radiasi yang lebih sedikit.
Tujuan: Memperoleh nilai rata-rata persentase sisa tinggi tulang alveolar gigi molar mandibular pasien periodontitis menyeluruh usia 26-50 tahun pada radiograf panoramik.
Metode: Pengukuran persentase sisa tinggi tulang alveolar pada 45 sampel radiograf panoramik konvensional dan digital usia 26-50 tahun di RSKGM FKG UI.
Hasil: Persentase sisa tinggi tulang alveolar pada pasien penyakit periodontitis menyeluruh dengan rentang usia 26-50 tahun sebesar 75,2% ± 10,2%. Persentase sisa tinggi tulang alveolar pada gigi molar 1 rahang bawah sebesar 72,2% ± 8,4% di permukaan mesial dan 76,4% ± 8,0% di permukaan distal, serta pada gigi molar 2 rahang bawah sebesar 76,8% ± 8,5% di permukaan mesial dan 76,5% ± 12% di permukaan distal. Rata-rata persentase permukaan mesial sebesar 73,9% dan persentase sisa tulang distal sebesar 76,5%.
Kesimpulan: Persentase kehilangan tulang pada permukaan mesial gigi molar 1 dan 2 penderita periodontitis sedang/parah pada usia 26-50 tahun lebih tinggi daripada permukaan distal.

Background: Periodontitis is a disease that affects the supporting tissue of the teeth such as alveolar bone decay and affects most of human population in the world. Periodontitis is classified into localized periodontitis and generalized periodontitis. In diagnosing periodontitis disease, radiographic examination is needed to evaluate the changes in bone height, especially in alveolar bone. Panoramic radiograph can be used in full-mouth examination with less radiation exposure.
Objective: To obtain average percentage of remaining alveolar bone of mandibular molars in generalized periodontitis patients aged 26-50 years on panoramic radiograph.
Methods: Measuring the percentage of remaining alveolar bone in 45 conventional and digital panoramic radiograph samples aged 26-50 years at RSKGM FKG UI.
Result: The percentage of remaining alveolar bone in patients with generalized periodontitis aged 26-50 years was 75.2% ± 10.2%. The percentage of remaining alveolar present in mandibular 1st molar was 72.2% ± 8.4% on the mesial surface and 76.4% ± 8.0% on distal surface, and in mandibular 2nd molar it was 76.4% ± 8.0% on mesial surface and 76.5 ± 12% on distal surface. The average percentage on mesial surface was 73.9% and the percentage of the remaining distal bone was 76.5%.
Conclusion: The percentage of bone loss on mesial surface of 1st and 2nd molars in patients with moderate/severe periodontitis aged 26-50 years was higher than on the distal surface.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amaliyatus Silmi
"ABSTRAK
Latar Belakang: Konstriksi apikal adalah bagian sistem saluran akar dengan diameter terkecil dan merupakan titik acuan yang paling sering digunakan dokter gigi sebagai penghentian apikal untuk pembersihan, pembentukan, dan pengisian saluran akar untuk perawatan endodontik. Tujuan: Mengetahui variasi ukuran, lokasi, dan bentuk konstriksi apikal pada gigi premolar 1 mandibula dan gigi premolar 2 maksila. Metode: Penelitian ini menggunakan 66 sampel gigi yang telah diekstraksi dengan akar telah terbentuk sempurna tanpa tanda-tanda resorpsi eksternal. Sampel dipindai menggunakan micro-CT Bruker SkyScan 1173 dengan resolusi 50 m. Gigi dibuat menjadi transparan untuk menampilkan morfologi sistem saluran akar secara tiga dimensi. Analisis ukuran, lokasi, dan bentuk konstriksi apikal dilakukan menggunakan perangkat lunak Fiji ImageJ, CT Vox, CT An, dan CT Vol. Data dianalisis menggunakan uji T satu sampel. Hasil: Rerata jarak antara konstriksi apikal dan foramen apikal pada gigi premolar 1 mandibula adalah 0,619 mm dan pada gigi premolar 2 maksila adalah 0,647 mm dengan lokasi konstriksi apikal terbanyak yaitu lebih ke apikal. Bentuk konstriksi apikal terbanyak pada gigi premolar 1 mandibula dan gigi premolar 2 maksila adalah konstriksi apikal konvergen dan konstriksi apikal bercabang dua. Kesimpulan: Variasi ukuran, lokasi, dan bentuk konstriksi apikal harus menjadi pertimbangan dokter gigi dalam melakukan perawatan endodontik.

ABSTRACT
Background Apical constriction is the smallest diameter of root canal system and also the most commonly used reference point by clinicians as the apical termination for cleaning, shaping, and obturation for root canal treatment. Objective This study aim to know the variation of size, location, and shape of apical constriction in mandibular first premolar and maxillary second premolar. Methods Total 66 samples of extracted premolar teeth with perfectly formed root and without sign of external resorption were collected. Each tooth was scanned using a Bruker Skyscan 1173 micro CT at a resolution of 50 m. The teeth were made transparent in order to reveal the root canal system morphology in three dimensions. The size, location, and shape of apical constriction was analyzed using Fiji ImageJ, CT Vox, CT An, and CT Vol software. Data were analyzed statistically by One sample T test. Result The average distance between apical constriction and apical foramen in mandibular first premolar is 0,619 mm and in maxillary second premolar is 0,647 mm with the most location of apical constriction inclining to apically. Most of apical constrictions shape in mandibular first premolar and maxillary second premolar is convergent apical constriction and branched apical constriction. Conclusion The variation of size, location, and shape of apical constriction should be considered by dentist in performing endodontic treatment."
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Merry Natalia Martina Duwiri
"Latar Belakang: Hal dasar dalam penentuan rencana perawatan ortodonti ialah melihat posisi dan inklinasi dari gigi insisif rahang atas dan rahang bawah, akan tetapi penempatan posisi dan inklinasi gigi insisif yang sesuai dengan kriteria parameter sefalometri normal tidak menjamin bahwa jaringan lunak di atasnya akan menghasilkan tampilan wajah yang harmonis. Hal ini disebabkan karena adanya variasi jaringan lunak antar etnis atau ras.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara inklinasi gigi insisif dan posisi bibir berdasarkan analisis sefalometri pada pasien ras Deutro-Melayu di klinik ortodonti RSKGM FKG.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode penelitian analitik restropektif cross sectional pada 64 radiograf sefalometri pasien di klinik ortodonti RSKGM FKG UI. Uji korelasi Spearman dilakukan antara nilai parameter inklinasi gigi insisif (UI-Mx, IMPA, Interincisal Angle) dengan nilai parameter posisi bibir berdasarkan E-line.
Hasil: Terdapat korelasi signifikan positif yang lemah antara UI-Mx dan posisi biibr bawah (r=0,294*). Terdapat korelasi signifikan negatif yang lemah antara Interincisal Angle dan posisi bibir bawah (r=-0,323*). Namun tidak terdapat korelasi antara UI-Mx, IMPA dan Interincisal Angle dengan bibir atas, serta IMPA dengan bibir bawah.
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara inklinasi gigi insisif (UI-Mx, IMPA, Interincisal Angle) dan posisi bibir berdasarkan E-line.

Background: The basic thing in an orthodontic treatment plan is to look at the position and inclination of the maxillary and mandibular incisors, but the placement and inclination of the incisors according to the criteria for normal cephalometric parameters does not guarantee that the overlying soft tissues will produce a harmonious facial appearance. This is due to soft tissue variations between ethnicities.
Objective: To determine the relationship between incisor teeth and lip position based on cephalometric analysis in Deutro-Malay patients at the orthodontic clinic of RSKGM FKG.
Method: This study is a quantitative study using a cross-sectional retrospective analytic research method on 64 patients with cephalometric radiographs at the orthodontic clinic of RSKGM FKG UI. Spearman correlation test was performed between the incisor inclination parameter values ​​(UI-Mx, IMPA, Interincisal Angle) and the lip position parameter values ​​based on the E-line.
Results: The correlation test showed that there was weak positive significant between UI-Mx and lower lip position (r=0.294*). There was a weak negative significant correlation between Interincisal Angle and lower lip position (r=-0.323*). However, there was no correlation between UI-Mx, IMPA and Interincisal Angle with the upper lip, and IMPA with the lower lip.
Conclusion: There is no relationship between incisor inclination (UI-Mx, IMPA, Interincisal Angle) and lip position based on E-line.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alya Fatikha Sari
"Latar Belakang: Inferior Alveolar Nerve Block (IANB) merupakan prosedur paling umum dalam praktik kedokteran gigi, dan menjadi salah satu insiden kegagalan tertinggi dibanding teknik anestesi lain hingga 15-20%. Salah satu penyebab umum terjadinya kegagalan blok IANB karena tidak tepatnya dalam menentukan letak foramen mandibula. Letak foramen mandibula memiliki tiga kategori, yaitu di atas garis oklusal, segaris oklusal, dan di bawah garis oklusal. Variasi letak foramen mandibula tersebut dipengaruhi oleh faktor ras dan jenis kelamin. Mengetahui letak dan rerata jarak foramen mandibula yang tepat diperlukan untuk menghindari terjadinya kegagalan anestesi sebelum tindaklanjut tindakan medis.
Tujuan: mengetahui kategori letak dan membandingkan rerata jarak foramen mandibula pada kelompok pria dan wanita usia 18-35 tahun di RSKGM FKG UI.
Metode: Studi dilakukan pada 200 radiograf panoramik digital yang dibagi menjadi kelompok pria dan wanita berusia 18-35 tahun di RSKGM FKG UI. Dilakukan dengan membuat garis bidang oklusal sejajar horizontal pada distolingual cusp molar 1 atau molar 2 di kedua sisi rahang, lalu tarik garis pada bagian superior anterior kanal mandibula tegak lurus ke garis oklusal dan anterior ramus. Kemudian dilakukan uji reliabilitas intraobserver dan interobserver dengan uji ICC dan uji komparatif independent t-test.
Hasil: Diperoleh rerata jarak foramen mandibula terhadap garis bidang oklusal pada kelompok pria (15,49  3,29) dan pada wanita (14,68  3,07). Rerata jarak foramen mandibula terhadap anterior ramus pada kelompok pria (14,61  3,29) dan pada wanita (13,63  3,07).
Kesimpulan: Terdapat perbedaan signifikan rerata jarak foramen mandibula terhadap anterior ramus, tetapi tidak terdapat perbedaan rerata jarak foramen mandibula terhadap garis bidang oklusal pada pria usia 18-25 tahun dan wanita usia 18-35 tahun di RSKGM FKG UI.
Background: Inferior Alveolar Nerve Block (IANB) is the most common procedure in dental practice, and has become one of the highest failures compared to other anesthetic techniques up to 15-20%. One of the the common causes of the failure in IANB Block is due to the inaccuracy in determining the location of mandible foramen. There are 3 categories of the location of mandible foramen - above the oclusal line, in line with the oclusal, below the oclusal line. The variety of the mandible foramen location is affected by races and gender. To acknowledge the accurate location and the average distance of mandible foramen is necessary in order to avoid the failure of anesthesia before undergoing the later medical treatment.
Aim: To acknowledge the category of the location and to compare the average of the distance of mandible foramen on male and female patients aged 18-35 in RSKGM FKG UI.
Methode: The study or research is carried out on 200 Digital Panoramic Radiography divided into male group of aged 18-35 and female group of aged 18-35. The measurement is conducted by drawing the lines of oclusal horizontally in line on distolingual cusp first molar or second molar in both sides of jaw, then drawing the line on anterior superior of mandible canal perpendicular line to oclusal line and ramus anterior. Finally, intraobserver and interobserver reliability tests by ICC test and t-test independent comparative are applied.
Result: The average distance of mandible to the occlusal plane on male group is (15,49  3,29), on female group is (14,68  3,07). The average distance of mandibule to the ramus anterior on male group is (14,61  3,29), on female group is (13,63  3,07).
Conclusion : There is significant distinction on the distance of mandible foramen to the ramus anterior, but there is no difference on the distance of mandibular foramen to the occlusal plane between male aged 18-35 and on female aged 18-35 in RSKGM FKG UI."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dominikus Fernandy Sartono Prasetyo
"Ekstraksi premolar dalam perawatan ortodonti membantu proses uprighting gigi molar 3 impaksi sehingga dapat erupsi dengan baik.
Tujuan: mengukur perubahan angulasi gigi molar 3 rahang bawah yang impaksi mesioangular sebelum dan sesudah perawatan ortodonti.
Metode: penelitian ini menggunakan 25 radiograf panoramik berusia 10-21 tahun sebelum dan sesudah perawatan ortodonti.
Hasil: uji Wilcoxon dan uji T berpasangan (p<0,05) menunjukkan tidak ada perubahan angulasi molar 3 yang bermakna pada kedua sisi (p>0,05) dan cenderung mengalami peningkatan angulasi dengan meskipun secara statistik perbandingan perubahan keduanya tidak berbeda bermakna (p>0,05). Peningkatan angulasi paling banyak terjadi pada kelompok usia dewasa (17-21 tahun).
Kesimpulan: ekstraksi premolar dalam perawatan ortodonti tidak memengaruhi angulasi gigi molar 3 impaksi secara bermakna.

Premolar extraction in orthodontic treatment helps uprighting process of impacted third molars so that they could erupt well.
Aim: to measure mesioangular impacted lower third molars angulation change during orthodontic treatment.
Methods: this study used 25 panoramic radiograph aged 10-21 years old before and after orthodontic treatment.
Result: Wilcoxon test and paired Ttest (p<0,05) showed there were no significant change in lower third molars angulation on both sides (p>0,05) and tended to experience the increase in angulation though statistically comparison between them were not significant (p>0,05). These increase happen the most in the adult group (17-21 years old).
Conclusion: premolars extraction in orthodontic treatment does not affect impacted third molars angulation significantly.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>