Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 130761 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indah Kusumaningrum
"Skripsi ini membahas mengenai multitafsir mengenai saat gugurnya praperadilan sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015 serta perlindungan hukum bagi Pemohon setelah adanya putusan gugur praperadilan. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, yaitu data dari penelitian ini sebagian besar didapat melalui studi kepustakaan dan wawancara kepada narasumber. Hasil penelitian ppenulis mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015 ditemukan dua multitafsir mengenai waktu gugur praperadilan yaitu saat adanya pelimpahan berkas pokok perkara ke Pengadilan Negeri yang diikuti penetapan hari sidang pertama pokok perkara dan saat dimulainya sidang pokok perkara. Setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015 tidak ditemukan lagi multitafsir tersebut dengan merujuk pada interpretasi Mahkamah Konstitusi. Perlindungan hukum bagi pemohon setelah gugurnya praperadilan dapat dilakukan dengan mengajukan kembali objek praperadilan dalam sidang pokok perkara untuk memberikan kepastian hukum atau melaporkan petugas yang dianggap melakukan tindakan sewenang-wenang dalam upaya paksa kepada atasannya.

This study discusses about multi interpretation of the pretrial rsquo s decision before Thdecision of the Constitutional Court Number 102 PUU XIII 2015 and legal protection of the applicant after the pretrial rsquo s abort decision. This study using Juridical Normative method where most of data gain from books, literatures, and interview. The result of this research are there rsquo s some multi interpretation regarding abort decision of Pretrial before The Jurisprudence of Constitutional Court Number 102 PUU XIII 2015 which is adduction document of the case to the Court and the first day of Court rsquo s examination regarding the case. Moreover, after The Jurisprudence of Constitutional Court Number 102 PUU XIII 2015 there are nomore multi interpretation about multi interpretation of the pretial rsquo s decision. Law protection of the Applicant after the Pretrial rsquo s abort decision could be performed by filed back the object of Pretrial rsquo s to the Court as part of the main case to get law certainty or report the officer whose considered do the arbitrary action to his superiors."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Disa Victoria Deran
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai perbandingan pengaturan mengenai postnuptial agreement sebelum dan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XIII/2015, akibat adanya postnuptial agreement terhadap pihak ketiga yang telah membuat perjanjian sebelum pasangan suami isteri membuat postnuptial agreement berdasarkan hukum Indonesia dan Belanda serta peranan Notaris dalam pembuatan dan pengesahan postnuptial agreement di Indonesia dan Belanda. Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah yuridis normatif. Sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XIII/2015, pasangan harus mengajukan tuntutan ke pengadilan berupa pemisahan harta kekayaan sepanjang perkawinan dengan alasan yang limitatif sebagaimana diatur pada Pasal 186 KUHPerdata, sedangkan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, pasangan suami isteri tidak memerlukan suatu alasan tertentu untuk membuat postnuptial agreement. Pada pemisahan harta kekayaan sepanjang perkawinan, setelah pasangan mendapatkan putusan pengadilan yang mengabulkan pemisahan harta kekayaan, maka dalam jangka waktu 1 satu bulan harus membuat postnuptial agreement atau mengajukan tuntutan ke pengadilan mengenai pembagian harta kekayaan. Disisi lain, output pada postnuptial agreement berupa perjanjian perkawinan itu sendiri yang kemudian harus didaftarkan pada pegawai pencatat perkawinan. Indonesia dan Belanda sama-sama mengatur bahwa postnuptial agreement tidak berakibat hukum terhadap pihak ketiga yang sebelumnya telah membuat perjanjian dengan pasangan suami isteri tersebut. Notaris berperan sebagai satu-satunya pihak yang berwenang membuat perjanjian perkawinan baik itu di Indonesia maupun di Belanda, namun tidak memiliki peranan pada pengesahan perjanjian perkawinan.

ABSTRACT
This thesis explains the comparative of postnuptial agreement before and after the Constitutional Court Decision Number 96/PUU-XIII/2015 implication to the third party who has entered into an agreement before the married couple make a postnuptial agreement under Indonesian and Dutch law and notary's role in making and endorsing postnuptial agreement in Indonesia and Netherlands.The research method in this thesis is normative juridical. Before the Constitutional Court Decision Number 96/PUU-XIII/2015, the couple must file a lawsuit in the form of separation of property throughout the marriage with the limitative reason as stipulated in Article 186 Indonesian Civil Code, whereas after the Constitutional Court ruling, married couples do not require a specific reason to make postnuptial agreement. In the separation of property throughout the marriage, the couples should make postnuptial agreement in one month after the court decision, or file a lawsuit in the form of separation to their property. In comparison, the output of postnuptial agreement is the marriage agreement itself which must be registered by the marriage registry officer. Both Indonesia and Netherlands are stipulate that the postnuptial agreement has no legal consequences to a third party who has previously entered into an agreement with the spouses. Notary acts as the sole authorized party to make the marriage agreement either in Indonesia or in Netherlands, but has no authority to legitimize the marriage agreement."
2017
T48187
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meyrin
"Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU/VII/2010 tentang anak yang lahir di luar perkawinan merupakan putusan yang bersejarah bagi hukum perkawinan Indonesia. Putusan ini membuka peluang kepada anak yang lahir di luar perkawinan untuk mempunyai hubungan keperdataan dengan ayahnya dan keluarga ayahnya. Tesis ini membahas mengenai apakah latar belakang terbitnya putusan tersebut juga bagaimanakah dampak berlakunya putusan terhadap akta pengakuan anak dan surat keterangan hak waris. Sebagai perbandingan, tesis ini juga memaparkan gambaran umum mengenai anak luar kawin di negeri Belanda. Penyusunan tesis ini dilakukan dengan metode penelitian normatif. "
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2012
T30371
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Fadlil Sumadi, 1952-
malang: Setara Press, 2013
342 AHM p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hana Pertiwi
"Banyak sekali kasus mengenai tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan pengambilan keputusan direksi dalam persero. Perbuatan direksi dalam pengelolaan persero seringkali yang dianggap menimbulkan kerugian tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Padahal jika dilihat dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, pengelolaan persero harus berdasarkan prinsip-prinsip perusahaan yang terdapat pada Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Penelitian ini membahas bagaimana pengaturan dalam penentuan kerugian Negara dalam tindak pidana korupsi serta bagaimana pengambilan keputusan dalam perjanjian perdata yang dilakukan oleh direksi persero dilindungi oleh prinsip Business Judgment Rules. Di akhir penelitian, peneliti berkesimpulan bahwa pengaturan kerugian Negara telah diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi namun belum jelas mengatur mengenai kerugian Negara sehingga harus merujuk pada pengertian kerugian Negara pada Undang-Undang tentang Perbendaharaan Negara. Pada setiap pengambilan keputusan direksi persero yang telah berdasarkan prinsip kehati-hatian tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan tindak pidana korupsi karena sudah dilindungi oleh prinsip Business Judgment Rules.

There are so many cases of corruption related to the decision-making board of directors in state owned. Any losses incurred in the management of state-owned is often considered as a disadvantage State, and the acts of directors are considered to cause harm is categorized as a crime of corruption. In fact, when viewed in Law No.19 of 2003 on state-owned enterprises, state-owned management must be based on firm principles contained in Law No. 40 of 2007 on Limited Liability Companies. So that the decision-making board of directors who have been in accordance with the procedures and the precautionary principle, the principle can be protected by The Business Judgment Rule, adopted in Article 97 paragraph (5) of Law No. 40 of 2007.
This study discusses how regulation in the State in determining the loss of corruption and how decision-making in a civil agreement made by the directors of state-owned protected by the Business Judgment Rules principle. At the end of the study, the researchers concluded that the loss of state regulation in the Law on Corruption Eradication has not been clearly set the losses that the State should refer to the sense of loss the State in the Law on the State Treasury. At each decision-making limited company directors who have been based on the principle of prudence can not be categorized as a criminal act of corruption because it is protected by the Business Judgment Rules principle.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46761
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rita Leowan
"Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 yang memaknai Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 memperbolehkan pembuatan perjanjian perkawinan selama dalam ikatan perkawinan postnuptial agreement serta pencabutan perjanjian perkawinan. Ketentuan tersebut menimbulkan permasalahan yaitu keberlakuan perjanjian perkawinan yang dibuat selama dalam ikatan perkawinan serta akibat hukum pencabutan perjanjian perkawinan. Metode penelitian yang digunakan bersifat yuridis normatif dengan menelaah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 dan menganalisanya dengan teori untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menyatakan bahwa perjanjian perkawinan berlaku sejak perkawinan dilangsungkan kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Dapat disimpulkan, berlaku surutnya postnuptial agreement sejak perkawinan dilangsungkan akan mengakibatkan perubahan kedudukan harta perkawinan yang berpotensi merugikan pihak ketiga. Selain itu, perubahan kedudukan harta perkawinan dari harta bersama menjadi harta pribadi menyebabkan harta bersama yang telah ada harus dilakukan pemisahan dan pembagian padahal harta bersama merupakan pemilikan bersama yang terikat yang hanya dapat diakhiri karena berakhirnya perkawinan. Pencabutan perjanjian perkawinan berpotensi merugikan pihak ketiga karena itu akta pencabutan perjanjian perkawinan sebaiknya diberitahukan dan diumumkan serta dicatatkan agar dapat diketahui pihak ketiga. Akibat hukum pencabutan perjanjian perkawinan terhadap harta perkawinan adalah kedudukan harta perkawinan kembali pada kedudukan semula sehingga berlaku ketentuan Pasal 35 dan 36 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, sedangkan akibat hukum terhadap pihak ketiga tidak berlaku mutlak, tetap berlaku kedudukan harta perkawinan sebelum pencabutan perjanjian perkawinan.

Constitutional Court Decision Number 69 PUU XII 2015 which interprets article 29 of The 1974 Marriage Law Law No. 1 of 1974 allows execution of postnuptial agreement, an agreement entered into after a marriage has taken place, as well as to repeal marriage agreement prenuptial, postnuptial. The Decision raised the question on the validity of an existing postnuptial agreement and what would be the impact of the repeal of marriage agreement. The method used in this research is normative juridical by reviewing and analyzing theorically The Decision of The Constitutional Court Number 69 PUU XIII 2015 to answer the question. The Decision of The Constitutional Court stipulates that ldquo The agreement valid since the wedding took place, unless otherwise specified in marriage agreement. rdquo The conclusion from this study is that the retroactive validity of postnuptial agreement caused changes in the status of marital property which may cause disadvantage to any third party. In addition, the change in the status of marital property from joint property to private property causes existing joint property to be split and division whereas joint property is a bonded joint ownership that can only be terminated due to the end of marriage. The repeal of marriage agreement potentially has a negative impact to third parties, hence should be notified, announced and registered. The law impact of marital property due to the repeal of marriage agreement is the fact that joint property will be reinstated, matters relating thereto shall be afforded the same status as that applicable prior to repealed, therefore article 35 and 36 of The 1974 Marriage Law applied, whereas impact on third parties shall not apply absolute, retain the status of the marital property prior to repealed."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48402
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Margarito Kamis
"ABSTRAK
Gagasan negara hukum yang demokratis, demikian juga perdebatannya di
Indonesia mempakan dua hal menarik untuk dikaji. Sungguhpun harus diakui UUD
1945 (sebelum diubah) hanya menegaskan terminologi negara hukum dalam
penjelasannya. Tetapi dalam perjaianan sejarah ketata-negaraan dan hukum positif
teminologi tersebut kemudian muncul sebagai terminologi hukum dalam hukum positif
Indonesia. Diawali pada tahun 1949, tepatnya pada tanggal 28 Desember 1949, yakni
tanggal pemoerlakuan UUD RIS. Terminologi negara hukum yang demokratis secara
tegas dirumuskan dalam pasal 1 ayat (1). Ketika terjadi pergantian UUD dari UUD RIS
ke UUD Sementara Tahun 1950, tepatnya pada tanggal 15 Agustus 1950, terminologi
tersebut tetap dicantumkan pada pasal 1 ayat (1).
Konstitusi RIS dirancang bersama-
sama antara delegasi RI dengan delegasi BFO. Dilihat dari segi tanggal
pemberlakuannya, 28 Desember 1949, maka konstitusi ini tidak dapat dilepaskan dari
proses pemulihan kedaulatan yang naskahnya ditanda-tangani di BeIanda. Pencantuman
hak dasar manusia itulah yang menjadi syarat mutlak persetujuan Indonesia-Belanda.
Kekhasannya sebagai konstitusi Eropa Barat juga ditandai penekanan terhadap ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengm susunan politik. Maknanya adalah isi
konstitusi tidak dapat dilihat sebagai dokumen hukum yang bebas dari bekerjanya
kepentingan-kepentingan politik.
Sambil berpijak pada permasalahan, tujuan penelitian ini dikaitkan dengan tesis
gagasan negara hukum tidak dapat dilepaskan dari konteks waktu dan ruang. Ruang dan
waktu juga turut menentukan pergeserannya. Berikut ini akan dikemukakan tujuan
penelitian ini.
1. Mengenali asal usul pertumbuhan dan pergeseran ide pembatasan kekuasaan Serta
mengenali hakikatnya serta mengenali pemikiran dasar para perumus UUD 1945
tentang kekuasaan Presiden.
2. Mengungkap argumen-argumen dan asumsi dasar yang melandasi perubahan
kekuasaan presiden, khususnya pembatasan atas kekuasaan presiden.
3. Mengungkap akibat-akibat yang ditimbulkan dari pembatasan kekuasaan presiden terhadap kedudukan presiden dalam sistem hukum Indonesia dan makna yang terkandung di dalamnya.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, sebagai bahan
utama penelitian. Data ini diklasifikasi ke dalam dua kategori: bahan hukum primer, dan
bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yaitul undang-undang, sedangkan bahan
hukum sekunder, yaitu buku-buku, makalah yang ditulis oleh para ahli. Bahan hukum
primer yang digunakan adalah risalah sidang MPR sejak tahun 1999-2002. Bahan-bahan
ini merupakan sumber tertulis dari penelitian ini."
2004
D1094
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Margarito Kamis
"ABSTRAK
Gagasan negara hukum yang demokratis, demikian juga perdebatannya di
Indonesia mempakan dua hal menarik untuk dikaji. Sungguhpun harus diakui UUD
1945 (sebelum diubah) hanya menegaskan terminologi negara hukum dalam
penjelasannya. Tetapi dalam perjaianan sejarah ketata-negaraan dan hukum positif
teminologi tersebut kemudian muncul sebagai terminologi hukum dalam hukum positif
Indonesia. Diawali pada tahun 1949, tepatnya pada tanggal 28 Desember 1949, yakni
tanggal pemoerlakuan UUD RIS. Terminologi negara hukum yang demokratis secara
tegas dirumuskan dalam pasal 1 ayat (1). Ketika terjadi pergantian UUD dari UUD RIS
ke UUD Sementara Tahun 1950, tepatnya pada tanggal 15 Agustus 1950, terminologi
tersebut tetap dicantumkan pada pasal 1 ayat (1). Konstitusi RIS dirancang bersama-
sama antara delegasi RI dengan delegasi BFO. Dilihat dari segi tanggal
pemberlakuannya, 28 Desember 1949, maka konstitusi ini tidak dapat dilepaskan dari
proses pemulihan kedaulatan yang naskahnya ditanda-tangani di BeIanda. Pencantuman
hak dasar manusia itulah yang menjadi syarat mutlak persetujuan Indonesia-Belanda.
Kekhasannya sebagai konstitusi Eropa Barat juga ditandai penekanan terhadap ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengm susunan politik. Maknanya adalah isi
konstitusi tidak dapat dilihat sebagai dokumen hukum yang bebas dari bekerjanya
kepentingan-kepentingan politik.
Sambil berpijak pada permasalahan, tujuan penelitian ini dikaitkan dengan tesis
gagasan negara hukum tidak dapat dilepaskan dari konteks waktu dan ruang. Ruang dan
waktu juga turut menentukan pergeserannya. Berikut ini akan dikemukakan tujuan
penelitian ini.
1. Mengenali asal usul pertumbuhan dan pergeseran ide pembatasan kekuasaan Serta
mengenali hakikatnya serta mengenali pemikiran dasar para perumus UUD 1945
tentang kekuasaan Presiden.
2. Mengungkap argumen-argumen dan asumsi dasar yang melandasi perubahan
kekuasaan presiden, khususnya pembatasan atas kekuasaan presiden.
3. Mengungkap akibat-akibat yang ditimbulkan dari pembatasan kekuasaan presiden terhadap kedudukan presiden dalam sistem hukum Indonesia dan makna yang terkandung di dalamnya.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, sebagai bahan
utama penelitian. Data ini diklasifikasi ke dalam dua kategori: bahan hukum primer, dan
bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yaitul undang-undang, sedangkan bahan
hukum sekunder, yaitu buku-buku, makalah yang ditulis oleh para ahli. Bahan hukum
primer yang digunakan adalah risalah sidang MPR sejak tahun 1999-2002. Bahan-bahan
ini merupakan sumber tertulis dari penelitian ini."
2004
D697
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>