Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 194185 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Kamal Shidiq
"ABSTRAK
Penulisan hukum ini pada dasarnya melakukan analisa terhadap pengaturan dan penerapan asas itikad baik dan doktrin mitigasi di Indonesia beserta perkembangannya dalam lingkup hukum perjanjian, pengaturan mengenai asas itikad baik dan doktrin mitigasi di Jepang, Prancis, dan Inggris, dan juga analisis mengenai perspektif baru terhadap penerapan doktrin mitigasi dan asas itikad baik di Indonesia melalui perbandingan dengan pengaturan terkait doktrin mitigasi dan asas itikad baik di Jepang, Prancis, dan Inggris. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk Yuridis-Normatif dengan tipe deskriptif. Hasil dari penelitian ini menggambarkan bahwa asas itikad baik dalam hukum perjanjian Indonesia bersumber ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia. Selanjutnya terkait doktrin mitigasi di Indonesia telah diatur dalam ketentuan berbagai peraturan perundang-undangan Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga menggambarkan secara komprehensif mengenai pengaturan terkait asas itikad baik dan doktrin mitigasi dalam hukum Jepang, Prancis dan Inggris yang masing-masing memiliki penerapan dan penasfiran yang berbeda dengan Indonesia. Dengan memperbandingkan ketentuan tersebut ditemukan berbagai perbedaan dan persamaan terkait pengaturan dan penerapan asas itikad baik dan doktrin mitigasi di Indonesia, Jepang, Prancis dan Inggris yang dapat memberikan pemahaman dan penerapan baru terhadap itikad baik dan doktrin mitigasi yang pengertian dan penerapannya masih belum diatur secara definitif sehingga menyebabkan interpretasi yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil perbandingan tersebut, Pemerintah Indonesia khususnya bagi perancang dan pembuat Undang-Undang dirasa perlu untuk melakukan perincian terhadap pengaturan-pengaturan asas itikad baik dan doktrin mitigasi di Indonesia agar terdapat suatu pemahaman dan penerapan yang sama.
"
"
"ABSTRACT
"
This legal writing analyzes the regulation and application of good faith principle and duty to mitigate doctrine in Indonesia along with its development within the scope of the law of agreement, the regulation of good faith principles and the duty to mitigate doctrine in Japan, France and England, with analysis of new perspectives on it application in Indonesia by comparison with the regulation related to the duty to mitigate doctrine and the principle of good faith in Japan, France and England. The research method used in this research is Juridical Normative with descriptive type. This study illustrate that the principle of good faith in Indonesia 39 s treaty law stems from the Indonesian Civil Code. Furthermore, the duty to mitigate doctrine in Indonesia has been regulated in the provisions of various laws and regulations. This study also describes comprehensively the regulations related to good faith principles and the duty to mitigate doctrine in Japanese, French and English law which each have different application and interpretation with Indonesia. This study found differences and similarities concerning the regulation and application of good faith principles and the doctrine of mitigation in Indonesia, Japan, France and England that can provide new insights and applications in Indonesia whose definition and application is not yet definitively regulated causing different interpretations. Based on the results, the drafters and legislators of Indonesian Law, are deemed necessary to detail the regulations of good faith principles and the doctrine of mitigation in Indonesia in order to have a common understanding and application."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Octavinanda Zais
"Di Indonesia asas iktikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Iktikad baik yang diatur dalam ketentuan tersebut terbatas hanya meliputi tahap pelaksanaan perjanjian saja. Berbeda dengan Indonesia, beberapa negara penganut sistem civil law telah mengakui iktikad baik pada tahap negosiasi atau pra-kontrak, sehingga janji-janji pra-kontrak diakui dan jika dilanggar menimbulkan akibat hukum. Karena belum ada perjanjian yang mengikat maka gugatan yang diajukan untuk memperoleh ganti rugi dianggap sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Dengan konsep yang sama, di dalam sistem common law khususnya di Amerika Serikat, muncul doktrin promissory estoppel yang berakibat bahwa meskipun belum ada consideration namun janji-janji dapat mengikat. Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penerapan asas iktikad baik pada tahap pra-kontrak di Indonesia melalui putusan pengadilan. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statue approach), perbandingan (comparative approach) dan pendekatan kasus (case approach). Dalam penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa sampai saat ini belum ada pengaturan yang khusus mengatur penerapan asas iktikad baik pada tahap pra-kontrak. Namun demikian, berdasarkan putusan-putusan di pengadilan negeri yang dianalisis pada penelitian ini diketahui bahwa Hakim telah mengakui adanya keharusan beriktikad baik pada tahap pra-kontrak oleh para pihak.

In Indonesia, good faith principle set in article 1338 subsection (3) on the Indonesian Civil Code. The implementation of good faith principle set out from this article is limited only to the contractual phase. In contrast to Indonesia, some civil law countries have recognized the principle of good faith on the phase of negotiations or pre-contractual phase, so the promises of the pre-contract is recognized and lead to legal consequences if its broken. Since there is no binding agreement on the pre-contractual phase, therefore to the injured party in this phase can sue for reliance damages based on tort. Based on the same concept, in the common law system, particularly in US the promissory estoppel doctrine has the effect of making some kinds of promise binding even where they are not supported by consideration. This research aims to determine how the implementation of good faith principle on the pre-contractual phase in Indonesia through court orders. It is a judicial-normative research, with statute, case and comparative approach. In this research, author concluded that til nowadays there is no regulation that specifically regulates the application of good faith principle on the pre-contractual phase. Moreover, based on court orders which analyzed in this research, note that the Judge has recognizes the necessity of good faith at the pre-contractual phase by the parties.
;In Indonesia, good faith principle set in article 1338 subsection (3) on the Indonesian Civil Code. The implementation of good faith principle set out from this article is limited only to the contractual phase. In contrast to Indonesia, some civil law countries have recognized the principle of good faith on the phase of negotiations or pre-contractual phase, so the promises of the pre-contract is recognized and lead to legal consequences if its broken. Since there is no binding agreement on the pre-contractual phase, therefore to the injured party in this phase can sue for reliance damages based on tort. Based on the same concept, in the common law system, particularly in US the promissory estoppel doctrine has the effect of making some kinds of promise binding even where they are not supported by consideration. This research aims to determine how the implementation of good faith principle on the pre-contractual phase in Indonesia through court orders. It is a judicial-normative research, with statute, case and comparative approach. In this research, author concluded that til nowadays there is no regulation that specifically regulates the application of good faith principle on the pre-contractual phase. Moreover, based on court orders which analyzed in this research, note that the Judge has recognizes the necessity of good faith at the pre-contractual phase by the parties.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S62384
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lauditta Indahdewi
"Asas itikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Asas itikad baik dalam suatu perjanjian dikenal sejak masa hukum Romawi, dan terus berkembang hingga masa modern dan telah dicantumkan ke dalam berbagai unifikasi hukum perjanjian. Asas itikad baik berperan sebagai pemberi batasan dalam asas kebebasan berkontrak dan menjaga terlaksananya norma-norma keadilan dan kepatutan. Itikad baik harus tercermin dalam setiap tahapan perjanjian, mulai dari pembentukan, pelaksanaan, hingga pengakhiran perjanjian. Asas itikad baik berperan penting untuk menjaga perjanjian agar tetap berlangsung sesuai ketentuan yang telah disepakati dan sebagai jembatan atas permasalahan-permasalahan dalam perjanjian yang semakin berkembang. Dalam perkembangannya, asas itikad baik menjadikan asas kebebasan berkontrak saat ini bukanlah lagi kebebasan tanpa batas, melainkan menjadi paradigma kebebasan berkepatutan. Asas itikad baik memiliki kekuatan hukum dengan memberikan Hakim kekuatan untuk melakukan campur tangan ke dalam suatu perjanjian, bilamana perjanjian tersebut telah melanggar itikad baik. Dalam hal ini diperlukan pula tinjauan terhadap unsur-unsur yang menentukan bagaimana suatu asas itikad baik telah dilanggar. Di Indonesia, pengaturan itikad baik terdapat pada pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, namun, pengaturannya dalam KUH Perdata Indonesia masih sangat terbatas sehingga menimbulkan ketidakpastian. Selain di Indonesia, Itikad baik pun telah diakui sebagai hukum kebiasaan internasional yang terbukti dengan diakuinya asas itikad baik dalam Prinsip Hukum Kontrak Eropa dan Prinsip-Prinsip Kontrak Komersial Internasional UNIDROIT. Sehingga dalam hal ini, diperlukan suatu tinjauan perbandingan hukum terhadap asas itikad baik menurut Prinsip Hukum Kontrak Eropa dan Prinsip Kontrak Komersial Internasional UNIDROIT.
The principle of good faith is a well known principle in contract law. The principle of good faith in an agreement has been acknowledge since the era of Roman law and continue to evolve into modern law to be included in a variety of contractual clause. The principle of good faith take the role to constraints the principle of “freedom of contract” to be shifted towards the “appropriate freedom”. Good faith principle should be reflected in every stage of the agreement, ranging from the establishment, implementation, until the termination of the agreement. The principle of good faith plays an important role to keep the agreement in order, and nowadays has given the judge a power to intervene into a contract. In Indonesia, good faith principle set in article 1338 subsection (3) of the Indonesian Civil Code, however, the regulation of this principle in the Indonesia is still very limited which lead to uncertainty. Good faith principle has also been recognized as customary international law, which proven by its recognition in the Principles of European Contract Law and the UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts. Thus, in this case, there need an analysis of comparative law on the good faith principle in the Indonesian Civil Code, Principles of European Contract Law and the UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S55257
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Nurfaizi Penanggungan
"Dengan berkembangnya praktik berkontrak seringkali timbul kerugian pada tahap pra kontrak. Namun, dalam hukum Indonesia belum diterapkan asas iktikad baik dalam tahap pra kontrak tersebut, sehingga menyulitkan para pihak untuk mendapat pertanggungjawaban. Hal tersebut berbeda dengan Hukum Perdata Jerman yang sudah mengatur mengenai iktikad baik pada tahap pra kontrak. Untuk menjawab permasalahan tersebut skripsi ini akan membandingkan pengaturan yang ada dalam KUH Perdata Indonesia dan BGB Jerman terkait iktikad baik pada tahap pra kontrak. Perbandingan pun juga akan dilakukan dengan melihat perkembangan iktikad baik pada tahap pra kontrak dalam Hukum Perdata Indonesia dan Hukum Perdata Jerman. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, studi kasus, dan perbandingan. Dari penelitian ini ditemukan bahwa Hukum Indonesia dan Jerman sama sama tidak mengenal secara spesifik iktikad baik pra kontrak. Namun, Hukum Perdata Jerman telah mengakui kekuatan mengikat pra kontrak yang kemudian didasarkan kepada iktikad baik, sedangkan Hukum Indonesia hanya mengenal iktikad baik yang hanya diterapkan pada pelaksanaan kontrak dan belum mengakui daya mengikat pra kontrak. Selain itu, ditemukan pula perbedaan mengenai perkembangan asas iktikad baik pra kontrak dilihat dari yurisprudensi kedua negara tersebut. Dalam hal ini Lembaga Peradilan Jerman lebih konsisten dalam menerapkan iktikad baik pra kontrak dibandingkan dengan lembaga peradilan Indonesia. Hasil penelitian ini menyarankan adanya pembaharuan Hukum Kontrak Indonesia dengan menempatkan iktikad baik tidak hanya pada saat pelaksanaan kontrak namun juga saat pembentukan kontrak. Selain itu, lembaga peradilan di Indonesia juga dapat mencontoh perkembangan-perkembangan yang dilakukan oleh lembaga peradilan Jerman terkait dengan asas iktikad baik pra kontrak tersebut.

With the development of contracting practices, losses often arise at the pre-contract stage. However, in Indonesian law the principle of good faith has not been applied in the pre-contract stage, making it difficult for the parties to be held accountable. This is different from the German Civil Code which already regulates good faith at the pre-contract stage. To answer these problems, this thesis will compare the existing arrangements in the Indonesian Civil Code and the German BGB regarding good faith at the pre-contract stage. Comparisons will also be made by looking at the development of good faith at the pre-contract stage in Indonesian Civil Law and German Civil Law. This research is a normative juridical research with statutory regulations, case studies, and comparison approaches. From this research it was found that both Indonesian and German laws do not specifically recognize pre-contract good faith. However, German Civil Law has recognized pre-contract binding power which is then based on good faith, while Indonesian law only recognizes good faith which only applies to contract execution and has not recognized pre-contract binding power. In addition, differences were also found regarding the development of the principle of good faith before the contract seen from the jurisprudence of the two countries. In this case the German judiciary is more consistent in implementing pre-contract good faith than the Indonesian judiciary. The results of this study suggest that there should be a renewal of Indonesian Contract Law by placing good faith not only at the time of contract execution but also at the time of contract formation. In addition, the judiciary in Indonesia can also follow the developments made by the German judiciary regarding the pre-contract good faith principle."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ulys Respati Lestari
"Di Indonesia asas itikad baik hanya diatur dalam tahap pelaksanaan perjanjian. Namun, permasalahan yang timbul akibat salah satu pihak tidak beritikad baik kerap kali muncul pada tahap prakontrak. Tulisan ini bertujuan untuk membandingkan penerapan asas itikad baik pada tahap prakontrak di Indonesia dan Prancis dengan doktrin promissory estoppel di Malaysia. Penelitian ini adalah penelitian yuridis-normatif dengan metode perbandingan hukum. Penelitian ini menggunakan jenis data sekunder yang dikumpulkan dengan teknik studi kepustakaan dan dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa di Indonesia asas itikad baik masih didasarkan pada teori klasik hukum kontrak yang membatasi ruang lingkup itikad baik hanya sebatas pada saat pelaksanaan perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Sedangkan di Prancis sudah mengikuti teori hukum kontrak modern yang mengatur penerapan asas itikad baik sejak tahap prakontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1112 Civil Code Prancis 2016. Sedangkan di Malaysia, sebagai negara yang menganut sistem hukum common law, perjanjian prakontrak dilindungi oleh doktrin promissory estoppel melalui resepsi hukum Inggris yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Civil Law Act 1956.

In Indonesia the principle of good faith is only regulated in the implementation stage of the agreement. However, problems arising from one of the parties having bad intentions often arise at the pre-contract stage. This paper aims to compare the application of the principle of good faith at the pre-contract stage in Indonesia and France with the promissory estoppel doctrine in Malaysia. This research is a juridical-normative research using comparative law method. This research uses secondary data types that were collected using literature study techniques and analyzed qualitatively. Based on the research conducted, it is known that in Indonesia the principle of good faith is still based on the classical theory of contract law which limits the scope of good faith only at the time of execution of the agreement as stipulated in Article 1338 paragraph (3) of the Civil Code. Whereas in France it has followed modern contract law theory which regulates the application of the principle of good faith since the pre-contract stage as stipulated in Article 1112 of the 2016 French Civil Code. Meanwhile in Malaysia, as a country that adheres to the common law legal system, pre-contract agreements are protected by the promissory estoppel doctrine through receptions of English law regulated in Article 3 paragraph (1) of the Civil Law Act 1956."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adityawardhana Putra
"Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia tidak mengenal secara eksplisit mengenai Kuasi Kontrak. Namun, Kuasi Kontrak dapat dipersamakan dengan ketentuan yang mengatur mengenai Negotiorum Gestio (Perwakilan Sukarela) dan Solutio Indebiti (Pembayaran yang tidak wajib) pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Skripsi ini akan membandingkan hukum kontrak di Indonesia dengan sistem hukum Common law yakni mengenai ketentuan mengenai Negotiorum Gestio dan Solutio Indebiti dengan Kuasi Kontrak sebagai Equitable Remedies di Inggris dan Amerika Serikat. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan kuasi kontrak dalam hal pengertian, syarat, dan bentuk pemulihannya. Adanya perbedaan dan persamaan yang ditermukan dalam penelitian ini adalah akibat dari adanya perbedaan tradisi hukum yang dianut oleh ketiga negara.

Indonesian Civil Code did not openly recognize the term of Quasi Contract. However, the concept of Quasi Contract are identical with the provisions regarding Negotiorum Gestio (Managements of another's affais) and Solutio Indebiti in the Indonesian Civil Code. This Paper compares the law of contracts in Indonesia with Common Law, regarding the provisions of Negotiorum Gestio and Solutio Indebiti (Payment of Something not Owed) with Quasi Contract as an Equitable Remedies in England and United States. This study is a normative juridical research. Results of this study shows that there are similarity and differences concerning Quasi Contract in sense of Definition, Terms, and Remedies. Similaritis and differences found, are the results of the difference law tradition that the three countries abide to."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farhan Nurrahman Kharismatyaka Putra
"Dalam tatanan hukum perdata Indonesia mengatur bahwa suatu perjanjian dibuat harus didasarkan oleh itikad baik. Permasalahannya adalah bagaimana pengaturan dalam tahap sebelum perjanjian mengikat yang menimbulkan hubungan hukum bagi para pihaknya, atau disebut juga dengan tahap pra kontrak. Hukum positif Indonesia dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya mengatur ruang lingkup itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian saja, tidak meliputi pra kontrak. Terdapat ketidakjelasan atau kekosongan hukum dalam pelaksanaan itikad baik dalam pra kontrak. Sementara itu, dalam sistem hukum di Amerika Serikat dikenal dengan doktrin Promissory Estoppel. Doktrin ini mengatur bahwa suatu kerugian yang timbul akibat dari ditariknya janji yang disampaikan sebelum adanya suatu kontrak yang mengikat, dapat dimintakan penggantian kerugian karenanya. Oleh karena itu, Penulis dalam tulisan ini akan membandingkan penerapan doktrin Promissory Estoppel di Amerika Serikat dan asas Itikad Baik pra kontrak di Indonesia dari segi teori dan penerapannya. Kata kunci: promissory estoppel, itikad baik, janji, pra kontrak.

An agreement made must be based on the good faith of the parties. In the Indonesian civil law system, this is also regulated. The problem is how the arrangements in the pre-contract stage are binding and create a legal relationship for the parties or also known as the pre-contract stage. Indonesia's positive law in Article 1338 paragraph (3) of the Civil Code only regulates the scope of good faith in agreements, not including pre-contracts. There is ambiguity or legal vacuum in the implementation of good faith in the pre-contract. Meanwhile, in the legal system in the United States, it is known as the Promissory Estoppel doctrine. This doctrine stipulates that a loss that arises as a result of a promise made prior to the existence of a binding contract can be requested for compensation for it. Therefore, the author in this paper will compare the application of the Promissory Estoppel doctrine in the United States and the pre-contract Good Faith principle in Indonesia in terms of theory and application."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ersee Libert Yehezkiel
"Skripsi ini membahas mengenai pengaturan pencantuman klausula baku dalam kontrak elektronik yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen serta Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dikaitkan dengan Consumer Rights Act 2015 dan UK eIDAS sebagai peraturan di negara Inggris. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis-normatif dengan pendekatan perbandingan hukum dengan penulisan deskriptif analitis. Assessment of fairness dapat diberlakukan sebagai bentuk mitigasi dan perlindungan hukum terhadap pihak yang berpotensi mengalami kerugian terhadap adanya klausula baku dalam suatu kontrak elektronik. Namun, perlu adanya tinjauan kembali terhadap negara yang menerapkan prosedur tersebut, yaitu Inggris.

This thesis discusses the regulation of the inclusion of standard clauses in electronic contracts which are regulated in Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection and Law Number 19 of 2016 concerning Amendments to Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions, associated with Consumer Rights Act 2015 and UK eIDAS as regulations in the UK. The research method used is the juridical-normative method with a comparative law approach with analytical descriptive writing. Assessment of fairness can be applied as a form of mitigation and legal protection for parties who have the potential to suffer losses due to the existence of standard clauses in an electronic contract. However, there needs to be a review of the country that implements the procedure, Which is United Kingdom."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joseph Noviandri
"Skripsi ini membahas mengenai ruang lingkup rechtsverwerking sebagai doktrin yang dikenal dengan doktrin “pelepasan hak” dimana pelepasan hak yang dimaksud dalam rechtsverwerking adalah ketika seseorang memiliki suatu hak namun hak tersebut tidak digunakan dalam jangka waktu tertentu, maka seseorang dapat kehilangan haknya, selama ini konsep pembiaran hak ini dikenal luas pada pelepasan hak atas tanah. sebagaimana telah adanya Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 yang mengatur mengenai pelepasan hak atas tanah, maka keberlakuan doktrin rechtsverwerking seharusnya tidak lagi digunakan sebagai dasar dari adanya pelepasan hak atas tanah, dimana kedudukan peraturan perundang-undangan lebih tinggi daripada doktrin dalam sistem hukum Indonesia. maka penulis secara khusus meneliti konsep rechtsverwerking dalam artian doktrin “pelepasan hak” yang dapat digunakan pada konsep hak-hak lainnya salah satunya yaitu pada konteks hukum kontrak, dimana ketika seseorang telah melepaskan haknya dan menuntut kembali pemenuhan haknya maka pihak lainnya yang telah bertindak atas dasar pelepasan hak tersebut menerima kerugian dari persepsi pembiaran hak yang telah dilakukan pihak yang melepaskan haknya. kemudian pengenalan rechtsverwerking lebih dalam akan dilakukan perbandingan penerapannya yang memiliki padanan dengan doktrin estoppel pada sistem hukum common law Amerika Serikat, dimana apabila seseorang tidak menggunakan haknya, dalam hal ini memiliki sikap diam terhadap hak yang dimilikinya, maka ketika timbul permasalahan akibat dari sikap diamnya tersebut terhadap persepsi pihak lain yang kemudian menimbulkan kerugian terhadap pihak lainnya, estoppel sebagai doktrin berperan untuk mencegah penyalahgunaan sikap diam yang seolah-olah melepaskan haknya untuk menimbulkan persepsi pihak lain bahwa ia telah melepaskan haknya. 

This thesis discusses the scope of rechtsverwerking as a doctrine known as the ‘waiver of rights’ doctrine. rechtsverwerking refers to a situation where someone possesses a certain right but does not exercise it within a specific period, which may result in the loss of that right. This concept of waiving rights is widely recognized, particularly in relation to the release of land rights. As exemplified by Article 32 paragraph (2) of Government Regulation No. 24 of 1997 concerning the release of land rights, the application of the rechtsverwerking doctrine should no longer be used as the basis for releasing land rights, as legislation takes precedence over doctrines in the Indonesian legal system.  In this regard, the author specifically examines the concept of rechtsverwerking in the context of the 'waiver of rights' doctrine, which can be applied to other rights, including in the realm of contract law. In such cases, when someone has waived their rights and subsequently demands the fulfillment of those rights, the other party who has acted based on the waiver may incur damages due to the perception that the right has been relinquished. Therefore, the study delves into the deeper understanding of rechtsverwerking through a comparison with the estoppel doctrine in the common law system of the United States.  In the common law context of the United States, the estoppel doctrine prevents the misuse of silence or inaction that appears to constitute the waiver of rights. It comes into play when someone does not assert their rights or remains silent about their rights, and this silence subsequently leads to problems and damages another party. The estoppel doctrine prevents the other party's misperception that the right has been waived when, in fact, it has not."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angelica Febee Sri Widyanti Wahono
"Seiring dengan perkembangan hukum di Indonesia, pembagian dasar gugatan dalam bentuk gugatan wanprestasi dan gugatan PMH tidak cukup memadai untuk menyelesaikan berbagai permasalahan hukum di masyarakat. Dalam hal tidak terdapat hubungan kontraktual antara para pihak dan tidak terdapat pula unsur kesalahan dari salah satu pihak, maka gugatan atas dasar wanprestasi maupun PMH tidak dapat diajukan. Dalam upaya menanggulangi permasalahan tersebut, dikenal doktrin unjust enrichment. Menurut doktrin tersebut, dalam hal seseorang diperkaya secara tanpa dasar sehingga merugikan pihak lain, maka pihak yang diperkaya berkewajiban untuk mengembalikan apa yang ia terima. Namun dokrtin ini tidak begitu dikenal dalam lalu lintas hukum Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis membandingkan doktrin unjust enrichment yang berlaku di Indonesia dengan doktrin unjust enrichment di Jerman yang jauh lebih lengkap untuk dapat mengisi kekosongan hukum tersebut. Penelitian ini menggunakan metodologi yuridis-normatif dengan pendekatan perbandingan hukum. Doktrin ini sebetulnya dapat ditemukan dalam Pasal 1354-1364 Burgerlijk Wetboek, sumber hukum perdata di Indonesia. Namun seiring dengan diterjemahkannya Burgerlijk Wetboek ke Bahasa Indonesia, maksud dari para perumus tersebut dilupakan. Dalam hal pasal-pasal tersebut dikenal sebagai unjust enrichment pun, pengaturan di dalamnya masih tergolong sempit dan tidak komprehensif. Hukum Jerman mengatur mengenai unjust enrichment secara menyeluruh dalam §§ 812-822 Bürgerliches Gesetzbuch. Rumusan §§ 812-822 mengakomodasi dan membuka peluang restitusi bagi berbagai jenis kasus. Terlebih lagi, pembagian dasar gugatan pada jenis hak menghasilkan hukum unjust enrichment yang dinamis dan saling mempengaruhi hukum perjanjian dan PMH. 

With the development of law in Indonesia, the division of lawsuits based on breach of contract and tort claims are not sufficient in resolving the various legal problems in our society. In the event that there is no contractual relationship between the parties as well as no element of error from either party, the lawsuit based on breach of contract or tort cannot be filed. In an effort to overcome these problems, enters the doctrine of unjust enrichment. According to said doctrine, in the event that a person is enriched without basis to the detriment of another party, the enriched party is obliged to return what he received. However, this doctrine is not well-known in the practice of Indonesian law. In accordance to that, the author compares the law of unjust enrichment that applies in Indonesia with the law of unjust enrichment in Germany which is much more complete in an effort to fill said legal vacuum. This study uses a juridical-normative methodology with a comparative approach to law. In actuality, this doctrine can be found in Articles 1354-1364 of the Burgerlijk Wetboek, the source of civil law in Indonesia. But the intention to frame said articles as unjust enrichment seemed to have been lost in translation. Even if the articles came to be known as provisions of unjust enrichment, they are far too narrow and incomprehensive. German law regulates unjust enrichment effectively in §§ 812-822 Bürgerliches Gesetzbuch. §§ 812-822 accommodates restitution for varying types of cases. Moreover, the division of lawsuits based on the type of rights results in a dynamic law that could influence both the law of agreement and the law of tort, and vice versa. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>