Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 150736 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rossy Sylvia Basman
"Latar Belakang: Rugae palatal bersifat tahan akan perubahan, stabil dan unik berbeda antar individu. Analisis rugae palatal dapat dijadikan metode identifikasi sekunder untuk membantu mengidentifikasikan individu seperti jenis kelamin.
Tujuan: Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan bentuk rugae palatal laki-laki dan perempuan pada subpopulasi Indonesia.
Metode: Melakukan pengamatan terhadap 100 model cetakan rahang atas yang terdiri dari 50 laki-laki dan 50 perempuan berdasarkan klasifikasi Basauri.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bentuk rugae palatal antara laki-laki dan perempuan pada palatum kanan dan kiri namun secara distribusi bentuk rugae palatal terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan pada palatum kiri dan kanan.
Kesimpulan: Rugae palatal pada setiap individu berbeda namun belum dapat meggambarkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan pada subpopulasi Indonesia.

Background: Palatal rugae are known for their resistance to environmental challange, stability, and uniqueness different for each other. Palatal rugae analysis can be one of secondary identification methods to help identifying individuals such as gender.
Objective: To know whether there are differences in palatal rugae shape between female and male of Indonesian subpopulation.
Methods: Observing 100 maxillary dental study of 50 male and 50 female based on Basuri classification.
Result: No significant difference in palatal rugae shape between male and female either on left or right side but distributively the shape of palatal rugae between male and female were different.
Conclusion: Palatal rugae on each individuals are different but this still can 39 t show differences between both female and male in Indonesian subpopulation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Yuli Andari
"Latar Belakang: Penentuan jenis kelamin merupakan hal yang penting dalam identifikasi forensik dan salah satu metodenya adalah melalui pengukuran gigi geligi. Tujuan: Mengetahui perbedaan ukuran gigi kaninus rahang bawah pada laki-laki dan perempuan serta mendapatkan nilai indeks standar untuk menentukan jenis kelamin. Metode: Dilakukan pengukuran mesiodistal kaninus rahang bawah dan jarak interkaninus, dihitung nilai indeks standar dengan rumus indeks standar kaninus rahang bawah. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna (p<0.05) ukuran gigi kaninus rahang bawah antara laki-laki dan perempuan. Nilai indeks standar kaninus kanan 0.2546 mm, kaninus kiri 0.2456 mm. Kesimpulan: Gigi kaninus rahang bawah dapat digunakan untuk menentukan jenis kelamin individu.

Background: Sex determination is important in forensic identification and one of the methods is teeth measurement. Objectives: To obtain the differences of mandibular canine size between males and females and to get mandibular canine index standard (MCIs) for sex determination. Methods: Measured mesiodistal width and intercanine distance of mandibular canine, index standard value is calculated with MCIs formula. Results: There was a highly significant differences is mandibular canine size between males and females (p value<0.05). MCIs value for right canine is 0.2546 mm, for left canine is 0.2456 mm. Conclusion: Mandibular canine can be used for sex determination."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2012
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Putu Pande Ariyani
"Latar belakang: Odontologi forensik telah banyak dikembangkan untuk mengidentifikasi korban bencana maupun korban kekerasan. Dengan odontologi forensik, tim Investigasi Korban Bencana (DVI) dapat menentukan jenis kelamin manusia. Terdapat beberapa metode untuk mengidentifikasi jenis kelamin, salah satunya dengan metode palatoscopy dan metode cheiloscopy yang sering digunakan. Namun, perbandingan akurasi kedua metode ini pada populasi Asia masih kontroversial.
Tujuan: mengetahui perbedaan akurasi antara metode palatoscopy dan cheiloscopy untuk identifikasi jenis kelamin pada populasi Asia.
Metode: Penelusuran literatur menggunakan pedoman alur Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses (PRISMA) pada lima electronic database yaitu PubMed, Scopus, EBSCO, ScienceDirect, dan Wiley Online Library. Literatur harus memenuhi syarat kriteria inklusi berupa artikel harus berbahasa Inggris, diterbitkan dalam 5 tahun terakhir, tersedia dalam full-text, merupakan research article, serta menggunakan klasifikasi Thomas dan Kotze untuk penelitian palatoscopy dan klasifikasi Tsuchihashi dan Suzuki untuk penelitian cheiloscopy.
Hasil: Didapatkan 33 studi memenuhi kriteria inklusi pada tahapan sintesis kualitatif. Dari hasil analisis menggunakan random effects model, diperoleh metode cheiloscopy lebih dapat mengidentifikasi jenis kelamin pada populasi Asia.
Kesimpulan: Metode cheiloscopy dapat mengidentifikasi jenis kelamin secara lebih akurat daripada metode palatoscopy.

Background: Forensic odontology have been developed for victim identification. With forensic odontology, Disaster Victim Identification (DVI) team may determine human’s sex. There are a few methods for sex determination including human soft tissue methods. Human soft tissues such as palatoscopy method and cheiloscopy method can be utilized for sex determination. Nevertheless, the accuracy comparation of these methods in Asian population is still controversial. Aim: To compare the accuracy between palatoscopy method and cheiloscopy method for sex identification in Asian population.
Methods: The literature is searched using Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses (PRISMA) guideline on five electronic databases, such as PubMed, Scopus, EBSCO, ScienceDirect, and Wiley Online Library. The literature should have to require the inclusion criteria such as an English article, published in the last 5 years, available in full-text, a research article, using Thomas and Kotze’s classification for palatoscopy studies and using Tsuchihashi and Suzuki’s classification for cheiloscopy studies.
Results: 33 studies which qualify the inclusion criteria on qualitative synthesis phase. From the analyzes with random effects model, cheiloscopy method is significantly reliable for sex identification in Asia population.
Conclusion: Cheiloscopy method is more accurate for sex determination as compared to palatoscopy method.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairani
"ABSTRAK
Latar Belakang: Analisis arah dan unifikasi rugae palatal primer merupakan
salah satu metode identifikasi sekunder yang dapat digunakan untuk menentukan
jenis kelamin. Tujuan: Mengetahui perbedaan arah dan unifikasi rugae palatal
primer untuk menentukan jenis kelamin. Metode: Analisis arah dan unifikasi
rugae palatal primer berdasarkan klasifikasi Lysell dengan metode pencetakan
100 model rahang atas. Hasil: Rugae palatal dengan pola diverging lebih banyak
pada perempuan dibandingkan laki-laki dan tidak terdapat perbedaan signifikan
arah rugae palatal primer pada laki-laki dan perempuan (p>0.05). Kesimpulan:
Arah dan unifikasi rugae palatal primer tidak dapat dijadikan parameter untuk
membedakan jenis kelamin.

ABSTRACT
Background: Analysis of primary palatal rugae direction and unification is one of
the secondary identification methods that can be used for sex determination.
Objective: To determine any sex differences of primary palatal rugae direction
and unification. Methods: Analysis of the primary palatal rugae direction and
unification based on Lysell’s classification with 100 models maxilla. Results:
Diverging pattern is more common in females than males and there are no
significant differences (p>0.05) in the direction of the primary palatal rugae in
males and females. Conclusions: The direction and unification of primary palatal
rugae can not be used for sex determination."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuri Lathifah
"Latar Belakang: Penentuan jenis kelamin penting untuk identifikasi forensik. Salah satu metodenya berdasarkan ukuran gigi.
Tujuan: Mengetahui perbedaan ukuran gigi laki-laki dan perempuan serta menentukan nilai referensi gigi molar satu rahang atas untuk penentuan jenis kelamin.
Metode: 30 gigi molar satu rahang atas laki-laki dan 30 perempuan diukur lebar mesiodistal dan bukolingual dengan kaliper digital.
Hasil: Perbedaan signifikan (p<0,05) ukuran gigi molar satu rahang atas laki-laki dan perempuan. Nilai referensi ukuran bukolingual 11.34 mm (kanan), 11.22 mm (kiri); ukuran mesiodistal 10.61 mm (kanan) 10.51 mm (kiri).
Kesimpulan: Ukuran mahkota gigi molar satu rahang atas dapat digunakan untuk penentuan jenis kelamin.

Background: Sex determination is an important aspect in the human identification. One of the methods is using tooth dimensions.
Objective: To obtain the differences of male and female tooth size using maxillary first molar crown dimensions and to determine reference point for sex determination.
Methods: 30 males and 30 females, on maxillary first molar study cast. Mesiodistal and buccolingual width were measured using digital calipers.
Results: The differences between males and females in all dimensions measured were statistically significant (p<0,05). The reference point for buccolingual width was 11.34 mm (right), 11.22 mm (left); for mesiodistal width was 10.61 mm (right) and 10.51 mm (left).
Conclusion: Maxillary first molar crown dimension may be used as an aid in sex determination.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S43922
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Nur Sakina Tri Meilana
"Latar Belakang: Pada banyak kasus forensik, seringkali tubuh ditemukan dalam kondisi fragmen, hangus terbakar, atau telah mengalami dekomposisi. Gigi merupakan bukti kuat dalam kasus forensik seperti ini karena strukturnya kuat, tahan terhadap berbagai kondisi dan perubahan post-mortem. Jumlahnya yang mencapai 32, setidaknya akan ada beberapa gigi yang dapat dianalisis.
Tujuan: Menganalisis potensi dental morfometrik dalam penentuan usia dan jenis kelamin individu
Metode: 230 data panoramik digital rentang usia 15-35 tahun dipilih untuk dianalisis. Dental morfometrik total panjang gigi (TTL), panjang akar (RL), panjang mahkota (CL), serta ratio area pulpa dan gigi (PTR) diukur dengan software open source Image J.
Hasil: Uji Korelasi Pearson menunjukkan ada korelasi bermakna antara variabel TTL, RL, dan CL dengan jenis kelamin namun tidak pada usia. Ditemukan pula korelasi kuat negatif antara variabel PTR dengan usia, namun tidak pada jenis kelamin. Berbagai model regresi untuk estimasi usia dan jenis kelamin populasi Indonesia telah dikembangkan. Model regresi TTL, RL, dan CL dari kombinasi gigi 11,13, dan 33 menunjukkan akurasi yang paling baik dengan prediksi kesalahan terkecil dalam memperkirakan jenis kelamin, (r = 0,681) (r2 =0,464) (SE=0,374). Sebuah model regresi estimasi usia berdasarkan PTR dikembangkan. Ketika model regresi digunakan sesuai jenis kelamin, maka akurasi akan meningkat, dengan pada wanita sedikit lebih akurat dibanding laki-laki (r=0,692) (r2=0,479) (SE=4,349).
Kesimpulan: Dental morfometrik berpotensi dalam estimasi usia ataupun jenis kelamin pada populasi Indonesia. Variabel TTL, RL, dan CL terbukti berbeda antara gender, dan variabel PTR merupakan metode dental morfometrik yang terbukti dapat digunakan dalam estimasi usia.

Background: In many forensic cases, bodies are often found in fragments, charred, or decomposed. Teeth are strong evidence in forensic cases like these because they are structurally sound, resistant to a variety of conditions and post-mortem changes. Moreover, the total number of teeth reaches 32, at least there will be several teeth that can be analyzed
Objective: To analyze the potential of dental morphometrics in determining the age and sex of an individual Method: 230 digital panoramic data aged 15-35 years were selected for analysis. Dental morphometric total tooth length (TTL), root length (RL), crown length (CL), and pulp-to-tooth area ratio (PTR) were measured using open source software Image J.
Results: Pearson Correlation Test showed that there was a significant correlation between TTL, RL, and CL variables with sex but not with age. There was also a strong negative correlation between the PTR variable and age, but not gender. Various regression models for estimating the age and sex of the Indonesian population have been developed. The TTL, RL, and CL regression model of the combination of teeth 11,13, and 33 showed the best accuracy with the smallest prediction error in estimating sex, (r = 0.681) (r2 = 0.464) (SE = 0.374). An age estimation regression model based on PTR was developed. When the regression model is used according to gender, the accuracy will increase, with women being slightly more accurate than men (r=0.692) (r2=0.479) (SE=4.349).
Conclusion: Dental morphometrics has the potential to estimate age or sex in the Indonesian population. The TTL, RL, and CL variables are proven to differ between genders, and the PTR variable is a dental morphometric method that is proven to be used in age estimation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maharani Fajria
"ABSTRAK
Latar Belakang: Analisis rugae palatal merupakan salah satu metode identifikasi
sekunder yang dapat menentukan jenis kelamin. Tujuan: Mengetahui perbedaan
jenis kelamin dengan menganalisis bentuk dan jumlah rugae palatal primer pada
laki-laki dan perempuan. Metode: Analisis rugae palatal primer 100 model cetak
rahang atas menurut klasifikasi Lysell. Hasil: Rugae palatal primer berbentuk
sudut pada laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan (p<0,05); rugae palatal
primer berbentuk kurva pada perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki
(p<0,05); tidak ada perbedaan bermakna rugae palatal primer berbentuk lurus
antara laki-laki dan perempuan (p>0,05); tidak ada perbedaan bermakna jumlah
seluruh rugae palatal primer antara laki-laki dan perempuan (p>0,05).
Kesimpulan: rugae palatal primer berbentuk sudut dan kurva berbeda antara lakilaki
dan perempuan sehingga dapat digunakan untuk identifikasi jenis kelamin

ABSTRACT
Background: Palatal rugae analysis is one of secondary identification methods
for sex determination. Objectives: To identify the differences of shape and total
number of primary palatal rugae in sexes. Methods: Analysis of 100 maxilla casts
by Lysell’s Classification. Results: The present study showed that males have
more angular primary palatal rugae shape than females (p<0,05); females have
more curved primary palatal rugae shape than males (p<0,05); there’s no
significant difference for straight primary palatal rugae shape between males and
females (p>0,05); there’s no significant difference for primary palatal rugae’s
number between males and females (p>0,05). Conclusions: Angular and curved
primary palatal rugae shapes are different between males and females, so we can
use it for secondary sex identification in forensic."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Beatrice Intan Kasih
"Latar Belakang: Analisis rugae palatal merupakan salah satu metode identifikasi sekunder untuk penentuan jenis kelamin. Tujuan: Mengetahui perbedaan jenis dan asal rugae laki-laki dan perempuan. Metode: Analisis rugae palatal 100 cetakan maksila menurut klasifikasi Lysell. Hasil: Rugae sekunder dan total semua rugae palatum kiri laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan (p<0.05); rugae fragmenter palatum kanan laki-laki lebih sedikit dibandingkan perempuan (p<0.05). Rugae asal raphae pada laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan (p<0.05) sedangkan rugae asal medial pada laki-laki lebih sedikit dibandingkan perempuan (p<0.05). Kesimpulan: rugae sekunder, fragmenter, total semua rugae, rugae primer asal raphae dan medial berbeda antara laki-laki dan perempuan.

Background: Palatal rugae analysis is a secondary identification for sex determination. Objectives: To identify differences of types and origins palatal rugae in sexes. Methods: Analysis of 100 maxilla casts by Lysell’s classification. Results: Secondary and total rugae males’ left palate has more number than females (p<0.05); fragmentary rugae males’ right palate has less number than females (p<0.05). Raphae origin males’ rugae has more number than females (p<0.05) while medial origin rugae in males has less number than females (p<0.05). Conclusions: Secondary, fragmentary, total rugae as well as raphae and medial origins palatal rugae is different between males and females."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuwono Sri Negoro Setia Budi
"Latar Belakang: Sindrom Ovarium Polikistik (SOPK) menjadi penyebab 60-85% infertilitas pada wanita. Gangguan ovulasi pada SOPK diperbaiki dengan obatobatan yang menstimulasi ovarium seperti klomifen sitrat. Klomifen menstimulasi ovarium untuk memulai folikulogenesis hingga terjadi ovulasi. Pada 20-60% wanita SOPK tidak mengalami ovulasi setelah pemberian klomifen. Hal ini diduga karena tidak terjadi perkembangan folikel dominan akibat tingginya kadar AMH. AMH yang tinggi menyebabkan sensitivitas reseptor FSH terhadap stimulasi FSH berkurang. AMH memiliki peran negatif terhadap perkembangan folikel pada SOPK. Kadar AMH tertentu diduga dapat meramal keberhasilan stimulasi ovarium yang bermanfaat untuk menentukan terapi yang tepat.
Tujuan: Mendapatkan titik potong kadar AMH sebagai peramal keberhasilan stimulasi ovarium dengan klomifen sitrat.
Metode: Studi analitik dengan desain potong lintang selama periode Juni 2013 hingga April 2014 di Poliklinik Endokrinologi Ginekologi, RSCM, Jakarta.
Hasil: Didapatkan 50 subjek SOPK yang diberikan klomifen sitrat 100 mg pada hari ke-2 hingga ke-5 haid kemudian dievaluasi folikel dominan > 16 mm pada hari ke-12 haid. Kemudian Subjek dibagi dua; kelompok responder (n=23) dan kelompok non-responder (n=27). Kadar AMH serum kedua kelompok dibandingkan. Terdapat perbedaan bermakna kadar AMH serum antara kedua kelompok (p 0,001). Pada kurva ROC didapatkan AUC Kadar AMH sebesar 0,75 (IK 95% 0,62 – 0,88). Titik potong AMH dalam menentukan keberhasilan stimulasi ovarium adalah 4,4 ng/ml dengan sensitifitas 35%, spesifisitas 86%. Pada analisa multivariat probabilitas keberhasilan stimulasi ovarium pada kadar AMH 4,4 ng/ml adalah 71%.
Kesimpulan: Kadar AMH serum dapat digunakan sebagai parameter untuk meramal keberhasilan stimulasi ovarium dengan klomifen sitrat pada populasi SOPK.

Background: About 60-85% women with infertility have PCOS. It is characterized by anovulation which is corrected by giving ovulatory medication. Clomiphene has become first line drug of ovarian stimulation. Since only 40-80 % women respond to clomiphene, many remains anovulatory. The cessation of follicle development may be influenced by high level of Anti Mullerian Hormone (AMH). It decreases sensitivity of FSH receptor within granulose cells. Studies reveal AMH has regulatory effect of follicle development. It is possible that certain level of AMH might predict the success of ovarian stimulation and therefore benefit women’s choice of treatment.
Objective: To obtain AMH cutoff level that can predict success of ovarian stimulation in PCOS receiving clomiphene.
Method: This is a cross sectional study conducted in Endocrinology Gynecology Clinic in RSCM during a period of June 2013 till April 2014.
Result: Fifty women were enrolled in this study. All subject received 100 mg of clomiphene and followed to acquire domminat follicle and then divided into two groups; responder (n=23) and non-responder (n=27). AMH serum level was obtained. We found statistical difference of AMH serum level between two groups (p 0,001). On ROC curve, the AUC of AMH was 0,75 (CI 95% 0,62-0,88). Cut off level of AMH used in this study was 4,4 ng/ml with sensitivity 35% and specificity 86%. This cut off level has 71% of ovulatory success prediction after entering it to the multivariate analysis.
Conclusion: The AMH serum level may be used as predictor of ovarian stimulation success in selected PCOS women receiving clomiphene.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Buku ini berisi tentang gambaran uji coba PCR multipleks yang dikembangkan oleh peneliti di Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan untuk identifikasi penyebab difteri secara cepat dan akurat. Hal ini penting disampaikan karena sampai dengan saat ini pemeriksaan laboratorium masih menjadi salah satu kendala dalam penatalaksanaan kasus dan pengendalian KLB difteri, khususnya di Indonesia. Jarangnya kasus difteri berimplikasi pada terbatasnya laboratorium klinik yang siap melakukan pemeriksaan sampel secara rutin. Selain itu, lamanya mendapatkan hasil pemeriksaan menggunakan metode konvensional sebagai gold standard seringkali menjadi kendala di lapangan. Oleh karena itu, buku ini mencoba menyajikan beberapa keunggulan dari pemeriksaan laboratorium difteri menggunakan teknik PCR multipleks dibandingkan dengan metode lain. Inti dari buku ini disajikan pada Bab IV dan V tentang hasil penelitian dan pembahasan. Sebagai tambahan, konsep umum atau tinjauan pustaka disajikan pada Bab II untuk memudahkan para pembaca memahami apa yang disampaikan pada Bab IV dan V."
Jakarta: yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015
615.5 PEN
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>