Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 152606 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Satrio Wicaksono
"ABSTRAK
Indonesia tergolong dalam negara sabuk thalassemia yang memiliki prevalensi thalassemia yang tinggi. Thalassemia β mayor dan β-HbE merupakan dua jenis thalassemia yang paling banyak ditemukan di Indonesia. Studi-studi sebelumnya menemukan bahwa thalassemia menyebabkan gangguan pertumbuhan, di antaranya berupa perawakan pendek dan abnormalitas proporsi tubuh. Belum ada penelitian di Indonesia yang mencari perbedaan kejadian perawakan pendek dan proporsi tubuh antara anak thalassemia β mayor, β-HbE, dan normal usia prepubertal. Penelitian ini dilakukan dengan desain potong-lintang dengan menyertakan sampel berusia 5-12 tahun sebanyak 130 orang. Prevalensi perawakan pendek pada anak thalassemia β mayor ditemukan sebesar 34,0, pada anak thalassemia β-HbE sebesar 24,3, dan pada anak normal sebesar 9,4. Tidak terdapat perbedaan rasio segmen atas terhadap segmen bawah pada anak thalassemia β mayor, β-HbE, dan kontrol. Rerata rasio rentang lengan terhadap tinggi badan lebih pendek pada anak thalassemia β mayor dan β-HbE dibanding pada anak normal. Jenis kelasi, usia diagnosis, durasi sakit, frekuensi transfusi, rerata Hb pretransfusi dalam 6 bulan terakhir, dan rerata ferritin dalam 6 bulan terakhir tidak berbeda antara anak thalassemia yang pendek dan yang tidak pendek.

ABSTRACT
Indonesia belongs to thalassemia belt countries which has high prevalence of thalassemia. major and HbE thalassemia are the two most common types of thalassemia found in Indonesia. Previous studies have found that thalassemia causes growth disorders, including short stature and abnormalities of body proportions. There have been no studies in Indonesia that looked for differences in the incidence of short stature and body proportion between β major and β-HbE thalassemia and normal children in prepubertal age. This research was conducted as cross sectional study towards 130 children with age of 5 12. The prevalence of short stature was found to be 34.0 in major thalassemia, 24.3 in HbE thalassemia, and 9.4 in normal children. There was no difference in upper segment to lower segment ratio between major and HbE thalassemia and control. Arm range to stature ratio is shorter in β major and β-HbE thalassemia than control. Types of chelating agent, age of diagnosis, duration of sickness, frequency of transfusion, mean pretransfusion Hb in the last 6 months, and mean ferritin in the last 6 months did not differ between short and not short thalassemia children. "
Lengkap +
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatimah Sania
"Latar belakang. Perawakan pendek dapat memengaruhi kehidupan anak seperti berkaitan dengan kejadian perundungan, isolasi sosial, dan dampak lainnya terkait perawakan pendek. Selain itu, berbagai penelitian menunjukkan tinggi badan berhubungan positif dengan kualitas hidup dan status sosial yaitu dominasi sosial, pencapaian professional, pendidikan dan pendapatan. Faktor yang memengaruhi perawakan pendek adalah multifaktorial. Oleh karena itu Penelitian mengenai faktor yang memengaruhi perawakan pendek faktor yang memengaruhi perawakan pendek perlu dievaluasi.
Tujuan. Mengatahui prevalens perawakan pendek dan mengetahui faktor yang memengaruhi pertubuhan anak prepubertas
Metode. Penelitian potong lintang yang dilakukan di taman kanak-kanak dan sederajat atau sederajat. Faktor risiko yang dinilai yaitu data dasar karakteristik, faktor biogenetik (berat badan dan penjang badan lahir, jenis kelamin, tinggi ayah, tinggi ibu, dan tinggi potensi genetik), psikologis (pola asuh, jarak dekat saudara kandung, multiparitas), dan sosioekonomi (pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, dan penghasilan keluarga). Hasil. Terdapat 175 subjek yang ikut serta dalam penelitian ini, dengan prevalens perawakan pendek sebesar 14,2%. Analisis bivariat menunjukkan nilai p<0,05 terhadap perawakan pendek adalah jumlah anak lebih dari 2 orang, jarak saudara kandung kurang dari 2 tahun, dan pola asuh permisif. Serta beberapa faktor lain yang turut dimasukkan dalam analisis multivariat yaitu cara kelahiran bedah kaisar. Analisis multivariat menunjukkan faktor yang memengaruhi perawakan pendek berupa perawakan pendek ibu, jarak usia antar < 2 tahun, jumlah anak > 2, dan pola asuh permisif.
Kesimpulan. Faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap perawakan pendek adalah perawakan pendek ibu, jarak usia antar saudara kandung kurang dari dua tahun dan pola asuh permisif.

Latar belakang. Perawakan pendek dapat memengaruhi kehidupan anak seperti berkaitan dengan kejadian perundungan, isolasi sosial, dan dampak lainnya terkait perawakan pendek. Selain itu, berbagai penelitian menunjukkan tinggi badan berhubungan positif dengan kualitas hidup dan status sosial yaitu dominasi sosial, pencapaian professional, pendidikan dan pendapatan. Faktor yang memengaruhi perawakan pendek adalah multifaktorial. Oleh karena itu Penelitian mengenai faktor yang memengaruhi perawakan pendek faktor yang memengaruhi perawakan pendek perlu dievaluasi.
Tujuan. Mengatahui prevalens perawakan pendek dan mengetahui faktor yang memengaruhi pertubuhan anak prepubertas
Metode. Penelitian potong lintang yang dilakukan di taman kanak-kanak dan sederajat atau sederajat. Faktor risiko yang dinilai yaitu data dasar karakteristik, faktor biogenetik (berat badan dan penjang badan lahir, jenis kelamin, tinggi ayah, tinggi ibu, dan tinggi potensi genetik), psikologis (pola asuh, jarak dekat saudara kandung, multiparitas), dan sosioekonomi (pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, dan penghasilan keluarga). Hasil. Terdapat 175 subjek yang ikut serta dalam penelitian ini, dengan prevalens perawakan pendek sebesar 14,2%. Analisis bivariat menunjukkan nilai p<0,05 terhadap perawakan pendek adalah jumlah anak lebih dari 2 orang, jarak saudara kandung kurang dari 2 tahun, dan pola asuh permisif. Serta beberapa faktor lain yang turut dimasukkan dalam analisis multivariat yaitu cara kelahiran bedah kaisar. Analisis multivariat menunjukkan faktor yang memengaruhi perawakan pendek berupa perawakan pendek ibu, jarak usia antar < 2 tahun, jumlah anak > 2, dan pola asuh permisif.
Kesimpulan. Faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap perawakan pendek adalah perawakan pendek ibu, jarak usia antar saudara kandung kurang dari dua tahun dan pola asuh permisif.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabila Yasmine Dyahputri
"Pendahuluan: Perawakan pendek merupakan masalah pertumbuhan yang banyak dijumpai di negara berkembang. Di Indonesia, prevalensi anak usia sekolah dasar dengan perawakan pendek mencapai 23,6% pada tahun 2018. Perawakan pendek pada anak dikaitkan dengan masalah psikososial yang diduga disebabkan oleh bullying, stigmatisasi, dan isolasi sosial yang dihadapi anak. Namun, penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan topik ini telah menghasilkan hasil dan angka yang bervariasi
tidak memadai. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan perawakan pendek dengan masalah psikososial pada anak usia sekolah dasar. Metode: Rancangan penelitian potong lintang digunakan pada anak usia sekolah dasar di SDN 01 Kampung Melayu. Penelitian dilakukan dengan membandingkan kelompok tinggi badan
anak dengan masalah psikososial hasil skrining menggunakan kuesioner PSC-17, yang menilai tiga subskala masalah perilaku (internalisasi, eksternalisasi, dan perhatian). Hasil: Prevalensi anak perawakan pendek di SDN 01 Kampung Melayu mencapai 15,28%. Prevalensi anak dengan masalah psikososial adalah 18,12% dan prevalensi anak perawakan pendek dengan masalah psikososial adalah 22,73%. Hasil analisis perawakan pendek pada masalah psikososial pada anak menunjukkan hubungan yang tidak signifikan secara statistik, baik secara umum (p = 0,268), subskala internalisasi (p = 0,532), eksternalisasi (p = 0,400), perhatian (p = 0,414), dan skor total PSC-17 (p = 0,614). Kesimpulan: Tidak ada hubungan yang signifikan antara perawakan pendek dengan masalah psikososial pada anak usia sekolah dasar.
Introduction: Short stature is a common growth problem in developing countries. In Indonesia, the prevalence of primary school-age children with short stature reached 23.6% in 2018. Short stature in children is associated with psychosocial problems which are thought to be caused by bullying, stigmatization, and social isolation faced by children. However, previous studies dealing with this topic have yielded varying results and figures inadequate. Therefore, this study aims to determine the relationship between short stature and psychosocial problems in elementary school-aged children. Methods: A cross-sectional study design was used on elementary school-aged children at SDN 01 Kampung Melayu. The study was conducted by comparing the height group Children with psychosocial problems were screened using the PSC-17 questionnaire, which assessed three behavioral problem subscales (internalization, externalization, and attention). Results: The prevalence of short stature children in SDN 01 Kampung Melayu reached 15.28%. The prevalence of children with psychosocial problems was 18.12% and the prevalence of short stature children with psychosocial problems was 22.73%. The results of the analysis of short stature on psychosocial problems in children showed a statistically insignificant relationship, both in general (p = 0.268), internalization subscale (p = 0.532), externalization (p = 0.400), attention (p = 0.414), and score total PSC-17 (p = 0.614). Conclusion: There is no significant relationship between short stature and psychosocial problems in elementary school-aged children."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hannisa Rizka Setiawati
"Pendahuluan: Di Indonesia, diperkirakan 23,6% anak berusia 5-12 tahun berperawakan pendek, oleh karena itu perawakan pendek dijadikan sebagia salah satu prioritas kesehatan. Anak dengan perawakan pendek berkaitan pada tingkat kognitif yang rendah, sehingga akan berdampak pada kualitas hidup.
Metode: Penelitian ini dilakukan secara studi potong lintang pada SDN 01 Kampung Melayu di wilayah Jakarta, Indonesia. Subjek adalah anak dengan perawakan pendek yang berusia 6-12 tahun. Data diambil dengan cara pengukuran tinggi badan menurut umur dengan menggunakan kurva Centers for Disease Control and Prevention-National Center for Health Statistics (CDC-NCHS) dan nilai total penilaian kognitif yang menggunakan instrumen Cognitive Test Battery for Individuals with and without Intellectual Disabilities (CIID). Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk menilai kognitif pada anak Sekolah Dasar dengan perawakan pendek.
Hasil: Pada penelitian ini terdapat sekitar 14,61% anak perawakan pendek di SDN 01 Kampung Melayu. Hasil tes CIID, Skor Total di dapatkan rentang 5-26, dengan rerata dan simpang baku 13,59±4,54. Skor Non Verbal di dapatkan rentang 7-39, dengan rerata dan simpang baku 21,94±7,51. Hopkins Verbal Learning Test di dapatkan rentang 6-31, dengan rerata dan simpang baku 19,36±5,90. Verbal Fluency di dapatkan rentang 5-26, dengan rerata dan simpang baku 13,59±4,54. Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, subjek dengan perawakan pendek memiliki nilai menyerupai anak dengan perawakan normal. Tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara anak perawakan pendek dengan status gizi kurang dan anak perawakan pendek dengan status gizi normal, yaitu dengan p = 0,369.
Kesimpulan: Pada penelitian ini terdapat 14,61% anak perawakan pendek dengan skor total rentang 5-26, dengan rerata dan simpang baku 13,59±4,54.

Introduction: In Indonesia, an estimated 23.6% of children aged 5-12 years are short stature, therefore short stature is made one of the health priorities. Children with short stature are associated with low cognitive levels, so that it will have an impact on quality of life.
Method: This research was conducted in a cross-sectional study at SDN 01 Kampung Melayu in the Jakarta, Indonesia. Subjects are children with short stature aged 6-12 years. Data was taken by measuring height according to age according to the curve used by the Centers for Disease Control and Prevention-National Center for Health Statistics (CDC-NCHS) and total value from cognitive assessment using the Cognitive Test Battery for Individuals with and without Intellectual Disabilities (CIID) instrument. This research was conducted aiming to assess cognitive in elementary school children with short stature.
Results: In this study there were about 14.61% of short stature children in SDN 01 Kampung Melayu. CIID test results, Total Score obtained in the range of 5-26, with a mean and standard intersection of 13.59 ± 4.54. Non Verbal Score was obtained in the range 7-39, with mean and standard deviations of 21.94 ± 7.51. Hopkins Verbal Learning Test obtained range 6-31, with mean and standard deviations of 19.36 ± 5.90. Verbal Fluency is obtained in the range of 5-26, with mean and standard intersections 13.59 ± 4.54. When compared with previous studies, subjects with short stature have values similar to those of children with normal stature. No significant difference was found between short stature children with underweight nutritional status and short stature children with normal nutritional status, with p=0.369.
Conclusion: In this study there were 14.61% of short stature children with a total score ranging from 5-26, with a mean and standard crossing of 13.59 ± 4.54."
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asrawati
"Latar belakang: Perawakan pendek pada usia prasekolah dipengaruhi oleh faktor sosiodemografi, sanitasi dan lingkungan serta environmental enteric dysfunction (EED). Etiologi perawakan pendek sebagian besar adalah varian normal, sedangkan varian patologis hanya 1,3-13,9%.
Tujuan: Mengetahui hubungan faktor sosiodemografi dan environmental enteric dysfunction (EED) terhadap terjadinya perawakan pendek usia prasekolah.
Metode: Penelitian ini berbasis komunitas dengan disain potong lintang pada 70 balita riwayat perawakan pendek studi retrospective cohort yang saat ini usia 4 tahun 10 bulan - 5 tahun 9 bulan di 5 kelurahan wilayah DKI Jakarta. Subjek didapat secara total sampling. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, antropometrik subjek dan orang tua, usia tulang, dan pemeriksaan tinja (parasit, calprotectin dan alfa1 antitripsin) sebagai biomarker EED, sebagai penanda adanya gut integrity. Etiologi perawakan pendek diperoleh dengan pendekatan algoritma diagnosis perawakan pendek.
Hasil: Proporsi perawakan pendek pada anak usia prasekolah dengan riwayat perawakan pendek sebesar 44,3%, (pendek 40,0% dan sangat pendek 4,3%) dan didapatkan lelaki lebih banyak. Faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap terjadinya perawakan pendek adalah pendidikan ibu yang rendah. EED positif pada 41,9% dan parasit positif pada 57,1% subjek perawakan pendek serta jenis parasit yang ditemukan adalah Blastocystis hominis. Berdasarkan algoritma diagnosis perawakan pendek didapatkan perawakan pendek terbanyak adalah varian normal 93,6% (perawakan pendek konstitusional 83,9% dan familial 9,7%) dan patologis (malnutrisi dan /infeksi kronis, atau stunting) hanya 6,4%.
Simpulan: Faktor sosiodemografi yang paling berhubungan adalah pendidikan ibu sedangkan EED tidak memengaruhi terjadinya perawakan pendek. Proporsi perawakan pendek usia prasekolah sebesar 44,3% dan terbanyak adalah varian normal
Background: Short stature at preschool age is influenced by sociodemographic factors, sanitation, the surrounding environment and environmental enteric dysfunction (EED). Etiology of short stature is mostly a normal variant, while pathological variants are only 1.3 to 13.9%.
Objective: To determine the influence of sociodemographic factors and environmental enteric dysfunction (EED) on short stature in preschool children and etiological factors of short stature in children.
Methods: A cross-sectional study base on community at 5 urban areas in DKI Jakarta Indonesia, from January 2018 to June 2019. Seventy preschool children of short stature retrospective cohort studies, ranging 4 years 10 months to 5 years 9 months presenting with short stature were studied. Subjects were obtained by total sampling. Data collected from anthropometric measurements of subject and parents, bone age and stool examination are performed; parasites, calprotectin and alpha1 antitrypsin as biomarkers of EED or gut integrity. The etiology of short stature is obtained by the algorithm approach to short stature diagnosis.
Results: The proportion of short stature in preschool children with a history of short stature was 44.3%, (short stature at 40.0% and very short stature at 4.3%) and were found in more boys. The most influential risk factor for the occurrence of short stature is due to low education mother. EED positive was 41.9%, positive parasites was 57.1%, and the type of parasite found was Blastocystis hominis, respectively. Based on the algorithm of short stature diagnosis, the most short stature found in normal variants was 93.6% which is constitutional delay of growth (83.9%), familial (9.7%) and pathological (stunting) 6.4%, respectively.
Conclusion: The most influential sociodemographic factor is low education of mother, while EED does not significant to occurrence of short stature. The proportion of short stature preschool children were 44.3% and most in the normal variant."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58540
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmi Lestari
"Thalassemia merupakan salah satu kelainan genetik paling umum di seluruh dunia. Tanpa managemen yang adekuat, komplikasi akan terjadi pada berbagai organ, termasuk sistem saraf. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan proporsi abnormalitas Brain Auditory Evoked Potentials (BAEP), elektroensefalografi (EEG), dan elektroneurografi (ENG) pada anak thalassemia mayor dan hubungannya dengan faktor risiko terkait. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang deskriptif analitik yang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta dan Rumah Sakit M Djamil (RSMDJ) Padang. Kriteria inklusi adalah anak thalassemia mayor berusia 12-18 tahun yang kontrol teratur minimal dalam 1 tahun terakhir. Pasien dengan epilepsi, palsi serebral, gangguan pendengaran, dan gangguan neurodevelopmental dikeluarkan dari penelitian. Pemeriksaan BAEP, EEG, dan ENG dilakukan pada semua subyek dan diinterpretasikan oleh konsultan neuropediatri. Dilakukan pencatatan usia onset, durasi transfusi, rerata hemoglobin (Hb) pra-transfusi, kadar feritin serum, saturasi feritin, dan kepatuhan konsumsi obat kelasi besi. Hubungan antar variabel dinilai menggunakan analisis bivariat dengan nilai p < 0,05 dikatakan bermakna. Hasil: Sebanyak 64 anak dengan rerata usia 15,1 tahun memenuhi kriteria penelitian, terdiri atas 29 anak laki-laki dan 35 anak perempuan. Rerata Hb pra transfusi, kadar feritin serum, dan saturasi transferin berturut-turut adalah 8,36 g/dL, 4495,3 ng/mL, dan 87,3%. Abnormalitas EEG ditemukan pada 28 (43,8%) subyek dan berhubungan bermakna dengan rerata Hb pra-transfusi < 9 g/dL (p=0,011, rasio prevalensi 3,014, interval kepercayaan 1,04-8,71). Abnormalitas BAEP ditemukan pada 4 (4,6%) subyek dan berhubungan bermakna dengan kadar feritin serum yang lebih tinggi (p=0,007). Hasil ENG abnormal hanya ditemukan pada 1 orang subyek. Tidak terdapat hubungan antara faktor risisko lainnya dengan masing-masing pemeriksaan neurofisiologi. Kesimpulan: Abnormalitas EEG ditemukan pada 43,8% anak thalassemia mayor dan berhubungan dengan rerata Hb pra-transfusi <9 g/dL, sedangkan abnormalitas BAEP ditemukan pada 4% subyek dan berhubungan dengan kadar feritin serum yang lebih tinggi.

Thalassemia is among the most common genetic disorders worldwide. Without adequate management, complications occur in various organs as well as neurology system. The aim of the study was to determine the proportion of abnormal electroencephalography, brain auditory evoked potentials (BAEP), and nerve conduction study (NCS) in children with thalassemia major and its association with related risk factors. Methods: This was a descriptive-analytic cross sectional study conducted in Cipto Mangunkusumo Hospital and M Djamil Hospital in January to March 2019 All children with thalassemia major aged 12 to 18 years were eligible for the study. Children with epilepsy, palsy cerebral, hearing disorder, or neurodevelopmental problems were excluded. Electroencephalography, BAEP, and NCS were performed in all subjects. Age of onset, transfusion duration, mean pre-transfusion hemoglobin, serum ferritin, transferrin saturation, and compliance to chelating agents therapy were recorded. Bivariate analysis was performed to determine the relationsip between variables with p < 0,05 was considered significant. Results: As many as 64 children with mean age 15,1 years fulfilled the study criteria during the study period, consisting of 29 boys and 35 girls. Mean pre-transfusion hemoglobin, serum ferritin, and transferrin saturation was 8,36 g/dL, 4495,3 ng/mL, and 87,3% respectively. Abnormal EEG was found in 28 (43,8%) subjects and significantly associated with mean Hb below 9 g/dL (p = 0,011; prevalence ratio 3,014; confidence interval 1,04 - 8,71). Abnormal BAEP was found in 4 (4,6%) subjects and significantly associated with higher serum ferritin (p=0,007). Only 1 subject showed abnormal NCS. No association was found between other risk factors with each neurophysiology study. Conclusion: Abnormal EEG was found in 43,8% thalassemia major children and significantly associated with lower pre-transfusion hemoglobin level. Abnormal BAEP was found in 4% subjects and significantly associated with higher serum ferritin."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57621
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simorangkir, Dewi Sharon
"Latar belakang: Transfusi rutin merupakan terapi utama bagi pasien thalassemia mayor, namun transfusi berulang diikuti masalah baru yaitu beban kelebihan besi yang terakumulasi dalam jaringan. Pemberian terapi kelasi besi adalah satu-satunya cara untuk mempertahankan keseimbangan besi dalam tubuh.
Tujuan: Studi ini bertujuan untuka mengetahui hubungan efektivitas terapi, efek samping obat dan biaya antara kelasi besi regimen kombinasi (DFO+DFP dan DFP+DFX) dengan monoterapi DFP dosis ≥ 90 mg/kgbb/hari. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif observasional dengan desain potong lintang, untuk menganalisis hubungan efektivitas terapi, efek samping obat dan biaya antara kelasi besi regimen kombinasi (DFO+DFP dan DFP+DFX) dengan monoterapi DFP dosis ≥ 90 mg/kgbb/hari. Luaran efektivitas dinilai dengan penurunan serum feritin ≥ 500 ng/mL.
Hasil: Setelah 6 atau 12 bulan terjadi penurunan serum feritin pada 16 (34,7%) subyek kelompok kombinasi, dan 22 (27,5%) subyek kelompok monoterapi (p = 0,391). Sembilan (19,5%) subyek kombinasi mengalami efek samping obat, dan 17 (21,2%) subjek pada kelompok monoterapi (p = 0,822). Analisis minimalisisasi biaya menunjukkan bahwa rerata biaya per pasien thalassemia-β mayor anak yang menggunakan rejimen monoterapi selama 6 dan 12 bulan lebih murah Rp 13.556.592,64 (30,46%) dan Rp 20.162.836,10 (25,56%) dari rejimen kombinasi.
Kesimpulan: Rejimen kombinasi sama efektifnya dengan rejimen monoterapi dalam menurunkan serum feritin. Tidak ada perbedaan efek samping obat yang bermakna diantara keduanya.

Background: Blood transfusion is the main therapy for thalassemia major patients, but repeated transfusions are followed by new problems namely the excess iron load accumulated in the body tissue. Iron chelation therapy is the only way to maintain iron balance in the body.
Aim: This study aimed to determine the efficacy, safety , and cost analysis of of combination iron chelation regimen with mono-therapy.
Method:This study was designed as a retrospective observational study with a cross-sectional design, to analyze the relationship between therapeutic effectiveness, drug side effects and the cost of combination iron chelation regimen (DFO+DFP and DFP+DFX) and DFP mono-therapy dose ≥ 90 mg/kg/day. Outcome effectiveness was assessed by decreasing serum ferritin ≥ 500 ng/mL.
Result: After 6 or 12 months there was serum ferritin decreased in 16 (34,7%) subjects in combination group and 22 (27,5%) subjects in mono-therapy group (p = 0,391). Nine (19,5%) subjects in combination group experienced adverse effect, and 17 (21,2%) subjects in the mono-therapy group (p = 0,822). Analysis cost of minimization shows that the average cost per major thalassemia-β patient for children using a mono-therapy regimen for 6 and 12 months is cheaper Rp 13.556.592,64 (30,46%) and Rp 20.162.836,10 (25,56%) compared to combination regimen.
Conclusion: Combination regimens are as effective as a mono therapy regimens in decreasing serum ferritin. There were no significant differences in adverse effect between the two.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kanovnegara
"ABSTRACT
Latar belakang: Kardiomiopati merupakan penyebab kematian tertinggi pada pasien thalassemia mayor, dengan mayoritas kasus merupakan gagal jantung kiri. Nilai referensi ventrikel kiri yang spesifik untuk pasien thalassemia mayor anak belum tersedia. Tujuan penelitian: Menentukan normogram rentang volume dan fungsi ventrikel kiri jantung sesuai BSA pada pasien thalassemia mayor anak dengan cardiac iron load normal. Metode: Sampel studi ini mencakup 60 pasien thalassemia mayor 30 lelaki, 30 perempuan berusia < 18 tahun yang memiliki cardiac iron load normal berdasarkan waktu T2 jantung > 20 ms pada 1.5T , tidak memiliki keluhan kardiovaskular secara klinis, maupun ko-morbiditas yang signifikan. Volume dan fungsi ventrikel kiri diukur dari gambar MRI sekuens cine-SSFP potongan short axis, pada fase end-diastolic dan end-systolic. Hasil: Analisis regresi menunjukkan korelasi signifikan antara BSA dengan hasil pengukuran ventrikel kiri dengan model non-linear vol = a BSAb , kecuali untuk LVEF. Tidak terdapat perbedaan LVEF yang signifikan antara subjek thalassemia mayor anak lelaki mean 62,5 , SD 3,8 dan perempuan mean 61,7 , SD 4,3 . Cardiac output lebih tinggi pada subjek lelaki dibandingkan perempuan pada rentang BSA 0,6 hingga 1,7 m2. Kesimpulan: Penelitian ini menghasilkan nilai referensi dalam bentuk normogram untuk parameter volume dan fungsi ventrikel kiri yang dapat dipergunakan secara spesifik untuk pasien thalassemia mayor anak.

ABSTRACT
"Background Cardiomyopathy represents the leading cause of mortality in thalassemia major patients, with left sided heart failure predominating. Normalized LV parameters for adult thalassemia major population has been established, yet specific reference values for pediatric thalassemia major population are still lacking. Objective To determine gender specific reference values of LV measurements for pediatric thalasemia major patients based on BSA. Methods The study included 60 pediatric thalassemia major patients 30 males, 30 females who had normal cardiac iron load based on T2 MRI time above 20 ms at 1.5T , without cardiovascular symptoms or significant co morbidities. Left ventricular volumes and function were measured on SSFP cine CMR end diastolic and end systolic images, acquired in short axis plane. Results Regression analyses demonstrated good, significant correlations p 0.05 between BSA and cardiac measurements with non linear growth model vol a BSAb , except for LVEF which remained constant throughout the BSA range. LVEF in males mean 62.5 , SD 3.8 did not differ significantly to females mean 61.7 , SD 4.3 . Cardiac output was projected to be constantly higher in males from BSA 0.6 to 1.7 m2. Conclusion This study has established normograms of left ventricular volumes and function parameters to be used specifically for pediatric thalassemia major patients. "
Lengkap +
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jeshika Febi Kusumawati
"Pada anak usia sekolah, pertumbuhan linier ditentukan berdasarkan kriteria kurva pertumbuhan WHO/2007 dan CDC/2000 serta persentase tinggi badan menurut Waterlow/1977. Perbedaan kriteria yang digunakan akan menimbulkan perbedaan prevalens perawakan pendek. Penentuan kejar tumbuh anak juga masih mengalami perdebatan karena parameter kejar tumbuh dapat dinilai secara relatif (height-age z-score) dan absolut (height-age-differences). Kejar tumbuh linier yang terutama terjadi dalam 1000 hari pertama kehidupan dinilai dapat terus terjadi hingga usia sekolah. Studi potong lintang dilakukan pada 302 anak usia sekolah di Jakarta Barat. Semua anak diukur tinggi badan sewaktu penelitian dan saat subyek berusia 7 tahun. Perawakan pendek ditentukan dengan menggunakan kriteria WHO/2007, CDC/2000, dan persentase Waterlow/1977. Setiap kelompok usia diukur perbedaan nilai height-age z-score (HAZ) dan height-age-differences (HAD) dalam dua waktu pengukuran yang berbeda untuk melihat kejar tumbuh. Prevalens perawakan pendek pada anak usia sekolah berdasarkan kriteria WHO/2007 adalah 8,55%, berdasarkan CDC/2000 sebesar 13,75%, dan berdasarkan Waterlow/1977 sebesar 7,80%. Nilai Kappa WHO/2007 dan CDC/2000 adalah 0,5, WHO/2007 dan Waterlow/1977 adalah 0,8, sedangkan CDC/2000 dan Waterlow/1977 adalah 0,7. Nilai HAZ anak perempuan adalah -1,78 SD dan anak lelaki -1,44 SD. Nilai HAD anak perempuan adalah -10,83 cm untuk anak lelaki adalah -8,83 cm. Kesesuaian perawakan pendek anak WHO/2007 dan CDC/2000 memberikan hasil yang sama sebanyak 50%, WHO/2007 dan Waterlow/1977 memberikan hasil yang sama sebanyak 80%, sedangkan CDC/2000 dan Waterlow/1977 memberikan hasil yang sama sebanyak 70%. Kesan terdapat kejar tumbuh pada anak usia sekolah di Jakarta Barat berdasarkan adanya perbaikan nilai HAZ dan HAD pada pengukuran kedua dibandingkan dengan pengukuran pertama.

Linear growth in school children is determined by using WHO/2007 and CDC/2000 growth chart, also height-age persentage as Waterlow/1977 criteria. Those classification resulted in different prevalence of short stature. Linear catch-up growth is considered to continue beyond the first thousand days of life, at least until school age. It could be relatively (height-age z score) or absolutely (height-age difference) assessed. A cross-sectional study was conducted in 302 school age children in West Jakarta. Body height was measured at 7 years old and at the time of study. Short stature was defined by using WHO/2007, CDC/2000, and height-age persentage as Waterlow/1977 criteria. Height-age z score (HAZ) and height age differences (HAD) was measured in each group to assess catch-up growth. The prevalence of short stature in school children was 8.55%, 13.75%, and 7.80%, according to WHO/2007, CDC/2000, and height-age persentage as Waterlow/1977 criteria, respectively. Kappa values were 0.5, 0.8, and 0.7, between WHO/2007-CDC/2000, WHO/2007-Waterlow/1977, and CDC/2000-Waterlow/1977, respectively. HAZ was -1.78 and -1.44 SD in female and male subjects, respectively. HAD was -10.83 and -8.83 cm in female and male subjects, respectively. WHO/2007 and Waterlow/1977 has the highest agreement, while WHO/2007 and CDC/2007 has the lowest agreement. Linear catch-up growth was observed among our subjects as determined by HAZ and HAD improvement compared to the first measurement."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Duma Octavia Fransisca
"Pendahuluan. Anak perawakan pendek mempengaruhi sekitar sepertiga dari anak-anak balita di negara berkembang dan berhubungan dengan kesehatan dan pembangunan yang buruk. Golden 2009 mengusulkan bahwa anak perawakan pendek mungkin perlu MP-ASI densitas gizi lebih tinggi dibandingkan dengan anak normal untuk mengejar pertumbuhan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh MP-ASI densitas standard SND-CF dan lebih tinggi HND-CF yang dikembangkan dari Rekomendasi MP-ASI dioptimalkan dan makanan fortifikasi pada pertumbuhan anak perawakan pendek berusia 12-23 bulan dibandingkan dengan kontrol.
Metodologi. Sebuah percobaan terkontrol berbasis masyarakat, acak-ganda-buta, dilakukan di antara anak perawakan pendek berusia 12-23 mo. Penelitian ini terdiri dari dua tahap: Tahap I untuk mengembangkan Rekomedasi MPASI dioptimalisasi menggunakan pendekatan program linear LP dan merumuskan tingkat densitas gizi yang berbeda dari MP-ASI. Tahap II, intervensi 6 bulan dengan 3 kelompok intervensi a HND-CF menerima Rekomendasi MP-ASI dioptimalisasi dan biskuit fortifikasi lebih tinggi, b SND-CF menerima Rekomendasi MP-ASI dioptimalisasi dan biskuit fortifikasi standar dan c ND-CF menerima Rekomendasi MP-ASI dioptimalisasi dan biskuit tidak difortifikasi/kontrol. Panjang badan dan berat badan diukur setiap bulan. Konsumsi biskuit dicatat pada kunjungan mingguan.
Hasil. Survei pola makan menunjukkan bahwa niasin diidentifikasi sebagai zat gizi masalah sebagian dan tujuh nutrisi tidak bisa mencapai 65 kebutuhan diet. Ada peningkatan proporsi anak yang memenuhi frekuensi konsumsi makanan padat gizi mingguan yang direkomendasi oleh Rekomendasi MP-ASI, seperti makanan fortifikasi, buah semua kelompok, hati ayam SND-CF dan HND-CF dan ikan teri ND-CF. Energi, protein, vit B1, intake B6 meningkat pada semua kelompok. Kelompok HND-CF cenderung memiliki episode yang lebih tinggi dan durasi diare dan demam. Studi ini menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan pada pertambahan panjang dan LAZ antara kelompok intervensi setelah disesuaikan untuk faktor perancu. Dibandingkan dengan ND-CF, ukuran efek pada pertambahan panjang -0,39 dan -0,39 untuk HND-CF dan SND-CF, masing-masing. Tidak ada pertambahan yang nyata pada berat badan, WAZ dan WHZ antara kelompok intervensi antara HND-CF dibandingkan dengan SND-CF dan kontrol. Tapi ada tren bahwa SND-CF memiliki pertambahan WAZ lebih besar. Dalam semua kelompok ada 8,5 ND-CF, 8,7 SND-CF dan 11,1 HND-CF anak perawakan pendek menjadi normal setelah intervensi 6-mo.
Kesimpulan dan Rekomendasi. Data kami menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata dari MP-ASI densitas lebih tinggi pada pertumbuhan anak perawakan pendek dibandingkan dengan SND-CF dan ND-CF. Studi lebih lanjut harus menyelidiki efek MP-ASI dioptimalisasi dengan kecukupan gizi dirancang pada Estimated Average Requiement EAR dibandingkan dengan Rekomendasi MP-ASI dioptimalisasi dengan makanan fortifikasi. Program fortifikasi harus dirancang setelah mengidentifikasi kesenjangan zat gizi antara kebutuhan dan asupan gizi dioptimalkan.

Introduction. Stunting affects about one third of children underfive in developing countries and is associated with poor health and development. Golden 2009 proposed that stunted children may need higher nutrient density diets as compared to normal children to catch up their growth. The purpose of this study is to investigate the effect of Standard SND CF and higher HND CF nutrient density complementary food diets developed from optimized complementary feeding recommendation CFR and fortified foods. on growth of stunted children aged 12 23 month compare to control.
Methodology. A community based, double blind randomized, controlled trial was conducted among stunted children aged 12 23 mo. This study consisted of two phases Phase I to develop optimized CFR using linear programming LP approach and to formulate different nutrient density level of CF. Phase II, 6 month intervention with 3 intervention groups a HND CF received optimized CFR and higher fortified biscuit, b SND CF received optimized CFR and standard fortified biscuit and c ND CF received optimized CFR and unfortified biscuit control. Body length and weight were measured every month. Biscuit consumption was recorded on weekly visit.
Results. Dietary survey shows that niacin was identified as partial problem nutrient and seven nutrients could not achieve 65 dietary requirements. There were improvement on proportion of children meeting the recommended weekly frequency of promoted nutrient dense foods such as fortified foods, fruits all groups, chicken liver SND CF and HND CF groups and anchovy ND CF group. Energy, protein, vit B1, B6 intakes increased in all groups. HND CF group tend to have higher episode and duration of diarrhea and fever. Findings show there were no significant differences on length gain and LAZ gain between intervention groups after adjusting for covariates. Compared to ND CF, effect size on length gain were 0.39 and 0.39 for HND CF and SND CF, respectively. There was no significant weight gain, WAZ gain and WHZ between intervention groups between the HND CF as compared to SND CF and control. But there is a trend that SND CF has better WAZ gain. In all groups there were 8.5 ND CF, 8.7 SND CF and 11.1 HND stunted children became non stunted normal after 6 mo intervention.
Conclusion and Recommendation. Our data shows that there is no significant difference of higher nutrient density CF on the growth of stunted children as compared to SND CF and ND CF. Further study should investigate the effect of optimized CFR with nutrient adequacies designed at Estimated Average Requirement level in comparison to optimized CFR with fortified food. Fortification program should be designed after identifying nutrient gaps between the requirements and optimized intakes.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>