Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 194748 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yusrina Iman
"Dermatitis Seboroik DS merupakan kelainan inflamatorik kronik pada kulit dengan karakteristik plak eritematosa dan skuama kekuningan berminyak pada area tubuh yang banyak mengandung kelenjar sebasea, termasuk kulit kepala. DS umum terjadi pada 1-5 populasi dan menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas hidup. Sekresi sebum, yang merupakan salah satu faktor DS, memiliki laju yang bervariasi sesuai dengan usia seseorang di mana mencapai puncak pada tiga bulan pertama kehidupan, masa pubertas, dan usia dewasa 30-60 tahun.
Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui korelasi usia dan skor keparahan DS. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dan mendapatkan sampel dengan metode consecutive sampling sebanyak 87 pasien Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM. Usia diukur berdasarkan tanggal lahir pada kartu identitas dan skor keparahan DS diukur menggunakan seborrheic dermatitis area severity index SDASI.
Berdasarkan uji normalitas data dan uji korelasi Spearmann yang dilakukan, didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa korelasi usia dan skor keparahan DS tidak signifikan p=0,495 ; r=0,074. Rerata usia dalam median yaitu 29,25 12,67-69,75 tahun, sedangkan rerata skor keparahan DS dalam median yaitu 2,25 0,25-21.

Seborrhoeic Dermatitis DS is a chronic inflammatory disorder on skin characterized by erythematous plaque and oily yellowish scales in areas of body with high sebaceous glands, including the scalp. DS occurs in 1-5 of the population and causes negative impact to quality of life. Sebum secretion, one of DS factors, has varrying rates according to age of a person, where the peak incidence is in first three months of life, puberty, and adult age 30 60 years.
Purpose of this study was to know the correlation between age and DS severity score. In this cross sectional study, consecutive sampling method was used and total subjects were 87 patients of Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM. Age was obtained based on date of birth on identity card and DS severity score was measured by seborrheic dermatitis area severity index SDASI.
Based on normality test and Spearmann test which had been done, the result showed that there was no significant correlation between age and DS severity score p=0.495 ; r=0.074. Age in median was 29.25 12.67-69.75 years, while the mean DS severity score in the median was 2.25 0.25-21.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Belinda Thania Deslanthy
"Dermatitis seboroik adalah inflamasi kronik dan superfisial yang bertempatpredileksi di area kulit dengan kandungan sebum yang banyak. Sampai saat ini,berbagai penelitian telah dikembangkan untuk mengetahui etiologi dan faktor yangmempengaruhi terjadinya dermatitis seboroik. Salah satu etiologi yang sering dikaitkan dengan kejadian dermatitis seboroik adalah kelenjar sebum. Produksi kelenjar sebum yang berlebih mempunyai kaitan dengan dermatitis seboroik. Pada penderita obesitas, aktivasi kelenjar sebasea akan mengalami peningkatan sehinggaterjadi produksi sebum yang berlebih. Sebum yang berlebihan tersebut dapat dicerna oleh jamur Malassezia spp pada kulit kepala sehingga menghasilkan asam lemak tidak jenuh yang dapat merusak lapisan kulit, terjadi hiperproliferasi, dan kembali meningkatkan sekresi sebum.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara indeks massa tubuh dengan skor keparahan dermatitis seboroik dikepala pada pasien Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode potong lintang. Sejumlah 87 orang pasien DS yang memenuhi kriteria inklusi dantelah diseleksi dengan kriteria eksklusi dimasukan menjadi sampel penelitian dengan metode consecutive sampling. Pada pasien tersebut dilakukan pengukuran IMT dan pengukuran derajat keparahan dermatitis seboroik menggunakan Seborrheic Dermatitis Area and Severity Index SDASI.
Dari hasil penelitian tersebut didapatkan nilai median IMT pada pasien DS sebesar 24,24 16,65 ndash; 41,09 dan nilai median skor keparahan dermatitis sebesar 2,25 0,25-21. Melalui uji korelasi Spearmann, tidak didapatkan korelasi antara IMT dengan keparahandermatitis seboroik p = 0,545, r= -0.066.

Seborrheic dermatitis SD is a chronic and superficial inflammation that havepredilection area in high sebum containing skin. Nowadays, several studies hadbeen conducted to ascertain etiology and factors associatied with seborrheicdermatitis. One of the etiology is activity of sebum gland. The excessice sebumproduction may impact occurency of SD. In obesity patients, excessive sebumproduction occur due to increasing activities of sebaceous glands. In scalp,Malassezia spp will digest sebum, thereby producing unsaturated fatty acid. Thisunsaturated fatty acid can impair skin barrier, trigger hyperproliferation, and evenincrease sebum production.
This study was aimed to determine the correlation between Body Mass Index and Seborrheic Dermatitis Severity Scoring Index in Seborrheic Dermatitis Patient's Scalp at Dermato Venereology Outpatient Policlinic dr Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta.
This was cross sectional study. A total of 87 SD patients who met the inclusion criteria and selection using exclution criteria were recruited by consecutive sampling. Body mass index was measured in all patient. Severity of SD was measured using Seborrheic Dermatitis Area and Severity Index SDASI. From 87 patients, the median of IMT was 24.24 16.65 41.09 and median of severity SD was 2.25 0.25 21.
The result from Spearmann correlation test showed that IMT has no correlation with scoring of SDseverity in scalp at Dermato Venereology outpatient policlinic dr Cipto Mangunkusumo Hospital p 0.545, r 0.066.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Renisa Aru Ariadno
"Dermatitis seboroik merupakan masalah kulit kronis yang ditandai gejala berupa eritema, skuama, dan papul pada kulit yang memiliki banyak kelenjar sebasea. Dermatitis seboroik ringan sering disebut ketombe. Sampai saat ini, belum ada penelitian yang menjelaskan faktor pencetus keparahan dermatitis seboroik, salah satunya depresi. Depresi adalah gangguan mood kronis yang ditandai dengan menurunnya pola hidup dan ritme biologis seseorang yang muncul akibat stress psikologis kronis. Keduanya diperkirakan memiliki korelasi meski sampai saat ini belum ada penelitian yang menunjukkan hasil bermakna. Tujuan dari penelitian ini adalah mencari korelasi antara depresi dengan keparahan dermatitis seboroik. Penelitian ini dilakukan secara cross sectional di Departemen Ilmu Kulit dan Kelamin Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada 2017. Keparahan dermatitis seboroik diukur dengan Seborrheic Dermatitis Area and Severity Index SDASI , sementara depresi diukur dengan kuesioner Beck Depression Inventory II BDI-II. Subjek penelitian sebanyak 82 pasien dermatitis seboroik. Uji normalitas data ditemukan tidak normal. Nilai median depresi sebesar 5 0-38 dan nilai median keparahan dermatitis seboroik sebesar 2,25 0,25-21. Hasil uji korelasi dengan Spearman menunjukkan hasil tidak signifikan dan tidak ada korelasi antara depresi dengan keparahan dermatitis seboroik P=0,249 dan r=-0,129. Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak ditemukan adanya korelasi antara depresi dengan keparahan dermatitis seboroik.

Seborrheic dermatitis is a chronic skin disease with specific manifestation such as erythematous, squamous, and papules on sebaceous glands rich skin. Mild seborrheic dermatitis usually recognized as dandruff. There were no previous studies that explained causal factors that affect seborrheic dermatitis severity, including depression. Depression is one of psychiatry disorders that affects mood chronically, changed lifestyle, and disturbed biological rythme which caused by chronic psychology stress. There were no studies that explained their correlation, despise the fact that there is relationship between emotional stress and dermatology disorders especially in neuroendocrine system that affects skin tissue homeostatic. This was a cross sectional research that applied in dermatology and venereology clinic dr. Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta in 2017 to find correlation between depression and seborrheic dermatitis severity. Seborrheic dermatitis severity measured by Seborrheic Dermatitis Area and Severity Index SDASI , and depression measured by Beck Depression Inventory II BDI II. The subjects were 82 seborrheic dermatitis patients. Median number for depression was 5 0 38 and median number for seborrheic dermatitis was 2.25 0.25 21. Correlation trials with spearman showed no statistically significant between depression and seborrheic dermatitis severity P 0.249 and r 0.129. Conclusion, this research showed there was no correlation between depression and seborrheic dermatitis severity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khaula Latifah Ramadhani Sahidah
"Dermatitis seboroik merupakan kondisi pengelupasan kulit yang disertai inflamasi dan pruritus di area-area seboroik tubuh dengan diiringi rasa gatal. Salah satu faktor yang diyakini dapat mempengaruhi keparahan dermatitis seboroik ialah paparan sinar matahari. Akan tetapi, peranan sinar matahari dalam patogenesis dermatitis seboroik sendiri masih kontroversial. Beberapa penelitian sinar matahari dikatakan dapat membantu perbaikan kondisi dermatitis seboroik, Sedangkan penelitian lain menyebutkan bahwa sinar matahari justru menimbulkan eksaserbasi gejala.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui korelasi antara durasi paparan sinar matahari dengan skor keparahan dermatitis seboroik di kepala. Pada penelitian ini, didapatkan 87 pasien dermatitis seboroik di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM. Skor keparahan dermatitis seboroik di kepala dinilai dengan menggunakan Seborrheic Dermatitis Area Severity Index SDASI, sedangkan data durasi paparan sinar matahari didapatkan melalui kuisioner. Rerata durasi paparan sinar matahari dalam medium ialah 120 0-660 menit, sedangkan rerata skor SDASI dalam medium ialah 2,25 0,25-21,00. Hasil uji korelasi Spearman menunjukan hasil yang bermakna p=0,002 berupa korelasi negatif antara durasi paparan sinar matahari dan skor keparahan dermatitis seboroik di kepala dengan kekuatan korelasi yang lemah r=-0,322.
Dermatitis seboroik merupakan kondisi pengelupasan kulit yang disertai inflamasi dan pruritus di area-area seboroik tubuh dengan diiringi rasa gatal. Salah satu faktor yang diyakini dapat mempengaruhi keparahan dermatitis seboroik ialah paparan sinar matahari. Akan tetapi, peranan sinar matahari dalam patogenesis dermatitis seboroik sendiri masih kontroversial. Beberapa penelitian sinar matahari dikatakan dapat membantu perbaikan kondisi dermatitis seboroik, Sedangkan penelitian lain menyebutkan bahwa sinar matahari justru menimbulkan eksaserbasi gejala. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui korelasi antara durasi paparan sinar matahari dengan skor keparahan dermatitis seboroik di kepala.
Pada penelitian ini, didapatkan 87 pasien dermatitis seboroik di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM. Skor keparahan dermatitis seboroik di kepala dinilai dengan menggunakan Seborrheic Dermatitis Area Severity Index SDASI, sedangkan data durasi paparan sinar matahari didapatkan melalui kuisioner. Rerata durasi paparan sinar matahari dalam medium ialah 120 0-660 menit, sedangkan rerata skor SDASI dalam medium ialah 2,25 0,25-21,00 . Hasil uji korelasi Spearman menunjukan hasil yang bermakna p=0,002 berupa korelasi negatif antara durasi paparan sinar matahari dan skor keparahan dermatitis seboroik di kepala dengan kekuatan korelasi yang lemah r=-0,322."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erika Nurhandayani Zoulba
"ABSTRAK
Latar belakang: Malassezia sp. berperan penting dalam patogenesis dermatitis seboroik DS . Pada penelitian di negara lain didapatkan M.globosa dan M.restricta sebagai spesies predominan pada lesi kulit kepala DS. Belum diketahui pola sebaran Malassezia pada kulit kepala pasien DS di Indonesia dan hubungannya dengan derajat keparahan DS. Tujuan: Mengetahui distribusi spesies Malassezia pada kulit kepala pasien DS serta hubungan antara derajat keparahan DS dengan spesies Malassezia yang ditemukan. Metode: Studi potong lintang dilakukan di Jakarta dengan cara consecutive sampling. Pada subjek dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pengambilan sisik dari kulit kepala, kemudian ditumbuhkan pada CHROMagar Malassezia, sub kultur pada agar SDA, Tween-60-esculin, dan reaksi katalase. Hasil : Dari 59 spesimen dengan kultur positif, terdapat 72,1 SP dengan DS ringan dan 27,7 dengan DS sedang-berat. Distribusi M.globosa sebesar 52,1 , M.dermatis 23,2 , M.japonica 7,2 , M.pachydermatis 7,2 , M.sympodialis 2,8 , serta M.obtusa dan M.furfur masing-masing 1,4 dari total 69 isolat. Terdapat 4,3 isolat yang tidak teridentifikasi. Tidak didapatkan hubungan antara derajat keparahan DS dengan spesies Malassezia. Simpulan: M.globosa merupakan spesies Malassezia terbanyak yang diidentifikasi pada pasien DS di Indonesia. Perbedaan hasil dengan negara lain diduga terjadi akibat perbedaan cara identifikasi dan lokasi geografis. Spesies Malassezia tidak mempengaruhi tingkat keparahan DS.

ABSTRACT
Background Malassezia sp. plays an important role in the pathogenesis of seborrheic dermatitis SD . In some countries, M. restricta and M. globosa are considered the predominant organisms on SD scalp. There is no data about Malassezia sp. in Indonesian SD scalp and its relationship with severity of illness. Objective To identify the distribution of Malassezia sp. of SD scalp and correlation between severity of SD with the Malassezia sp. Methods This cross sectional study conducted in Jakarta, using consecutive sampling. Anamnesis, clinical examination, and scrapping from the scalp were done to subject. Scales inoculated on CHROMagar Malassezia, Saboraud Dextrose Agar SDA , Tween 60 esculin agar, and catalase reaction.Results There were 72,1 mild SD and 27,7 moderate to severe SD. M.globosa was identified in 52,1 , M.dermatis in 23,2 , M.japonica in 8,7 M.pachydermatis in 7,2 , M.sympodialis 2,8 , while M.obtusa and M.furfur contributes 1,4 out of 69 isolates from 59 specimens with positive cultures. There is 4,3 unidentified isolates. Malassezia species was not related to severity of SD. Conclusion M.globosa is the predominant Malassezia species in Indonesian SD patients. This difference may be attributable to the identification techniques and geographical differences. Malassezia species not related to severity of SD."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ulfah Nur Lathiifah
"Latar belakang: Dermatitis seboroik adalah penyakit inflamasi kronik pada kulit yang bermanifestasi sebagai bercak kemerahan yang gatal dan bersisik di daerah kaya akan kelenjar sebasea. Sebum yang berada di kulit kepala merupakan nutrisi bagi Malassezia sp dan menjadi salah satu faktor risiko dari dermatitis seboroik. Keramas dapat membersihkan sebum dan kotoran dari kulit kepala. Setiap individu memiliki preferensi tersendiri mengenai frekuensi keramas.
Tujuan: Studi ini dilakukan untuk melihat korelasi skor keparahan dermatitis seboroik dengan frekuensi keramas.
Metode: Sejumlah 87 pasien dermatitis seboroik dengan metode consecutive sampling. Pasien dilakukan pemeriksaan untuk mengukur keparahan dermatitis seboroik yang diderita menggunakan diberikan kuesioner Seborrheic Dermatitis Area and Severity Index SDASI. Studi ini merupakan penelitian dengan metode potong lintang.
Hasil: Median frekuensi keramas pada pasien DS adalah 3 kali seminggu 1,00-7,00 dan nilai median Skor Keparahan DS sebesar 2,25 0,25-21,00. Uji korelasi Spearman dilakukan dan didapatkan hasil tidak bermakna korelasi antara frekuensi keramas dengan skor keparahan DS P= 0,155, r= -0,154.
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara frekuensi keramas dengan Skor Keparahan DS.

Background: Seborrheic dermatitis SD is chronic inflammation disease in scalp which manifested as itchy scale erythema found on area rich of sebaceous gland. Sebum produced by sebaceous gland is nutrition for Malassezia sp and one of main risk factor of sebhorreic dermatitis. Hair washing may clean sebum and dirt on scalp. Each individual has their own preference on how often one should wash their hair.
Aim: This study was conducted to see the correlation of severity of seborrheic dermatitis with frequency of shampoo.
Methods: A total of 87 sebhorrheic dermatitis patients had been selected using exclusion criteria and recruited by consecutive sampling. Those SD patients were examined to measure the degree of seborrheic dermatitis severity using Seborrheic Dermatitis Area and Severity Index SDASI questionnaire. This study was cross sectional study.
Results: Median hair washing frequency on SD patients were three times a week 1.00 7.00 and Seborrheic Dermatitis Severity Score median value at 2.25 0.25 21.00. Spearman correlation test was conducted and from the test result there were no significant correlation between hair washing frequency and SD severity score by statistic P= 0.155, r 0.154.
Conclusion: There was no correlation between frequency of hair washing with DS Severity Score.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sammy Yahya
"Latar belakang dan tujuan: Akne vulgaris AV merupakan inflamasi kronik pada unit pilosebasea. Beberapa penelitian telah meneliti kadar 25-hydroxyvitamin D [25 OH D] serum pada pasien AV dengan hasil bervariasi, namun umumnya rendah. Kadar vitamin D diduga terpengaruh oleh pajanan sinar matahari, letak geografis, ras/tipe kulit, dan asupan makanan, sehingga mungkin temuan di Indonesia akan berbeda daripada penelitian terdahulu di luar negeri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar 25 OH D serum dan hubungan dengan derajat keparahan, lesi inflamasi, noninflamasi, dan total lesi AV.
Metode: Penelitian potong lintang ini melibatkan 30 subjek penelitian SP, direkrut secara consecutive sampling, terbagi rata ke dalam kelompok AV ringan AVR, AV sedang AVS, dan AV berat AVB berdasarkan klasifikasi Lehmann. Faktor risiko AV yang berkaitan dengan vitamin D pajanan sinar matahari, penggunaan tabir surya, suplementasi, jumlah lesi, dan kadar 25 OH D serum dinilai pada seluruh SP.
Hasil : Median kadar 25 OH D serum pada kelompok AVR, AVS, dan AVB yaitu 16,3 9,1- 17,8 ng/mL, 12,7 9,6-15,6 ng/mL, dan 9,35 4,9-10,9 ng/mL Median pada kelompok AVR dan AVS lebih tinggi dibandingkan AVB.

Background and objective: Acne vulgaris AV is chronic inflammation of pilosebaceous units. Several studies have investigated the levels of serum 25 hydroxyvitamin D 25 OH D in AV patients with varying outcomes, but mostly decreased. Vitamin D levels are thought to be affected by sun exposure, geographical location, race skin type, and food intake, that research in Indonesia may yield different results. This study aimed to determine the level of serum 25 OH D and its association with the severity and the number of inflammatory, noninflammatory, and total AV lesions.
Methods: This cross sectional study included 30 patients. Subjects were recruited by consecutive sampling, grouped equally into mild, moderate, and severe AV based on Lehmann's classification. The risk factors for inadequate vitamin D such as sun exposures, sunscreen, and suplements, the number of lesions, and serum 25 OH D levels were assessed on all subjects.
Results: The median concentrations of serum 25 OH D in the three groups were respectively 16.3 9.1 17.8 ng mL, 12.7 9.6 15.6 ng mL, and 9.35 4.9 10.9 ng mL p.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arinia Kholis Putri
"Latar belakang: Keratosis seboroik (KS) merupakan salah satu tumor jinak epidermis yang paling sering ditemukan. Pada penelitian baru mengenai KS, vitamin D berperan melalui banyak mekanisme nongenomik, termasuk ekspresi protein dan mutasi gen FGFR3. Defisiensi vitamin D mengakibatkan gangguan proliferasi dan diferensiasi, sehingga mempengaruhi jumlah dan ukuran lesi KS. Di sisi lain pajanan matahari juga merupakan faktor yang mempengaruhi baik kadar serum 25-hydroxyvitamin D (25(OH)D) maupun terhadap munculnya lesi KS. Pengukuran pajanan sinar matahari dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan menggunakan sun index. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai hubungan antara kadar serum 25(OH)D dan sun index dengan jumlah dan ukuran lesi KS.
Tujuan: Mengetahui hubungan kadar serum 25-Hydroxyvitamin D dan sun index (indeks pajanan matahari) dengan jumlah dan ukuran lesi keratosis seboroik pada wajah di Poliklinik Kulit dan Kelamin, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Metode: Penelitian potong lintang ini melibatkan 50 pasien KS yang direkrut secara consecutive sampling pada bulan Desember 2018 hingga Mei 2019. Pasien yang memenuhi kriteria akan dilakukan anamnesis dan pengisian kuesioner sun index, pemeriksaan fisis, penilaian jumlah dan ukuran terbesar lesi KS di wajah dengan FotoFinder® dan dermoskopi, serta pemeriksaan laboratorium kadar serum 25(OH)D. Dilakukan analisis data untuk mengetahui korelasi kadar serum 25(OH)D dan sun index dengan jumlah dan ukuran terbesar lesi KS pada wajah dengan uji Pearson jika sebaran data normal atau uji Spearman jika sebaran data tidak normal.
Hasil: Median kadar serum 25(OH)D SP sebesar 10,3 (3,9-24,2) ng/mL. Median nilai sun index adalah 1,3 (0,3-16,2). 94% SP mengalami defisiensi kadar serum 25(OH)D dan 6% mengalami insufisiensi kadar serum 25(OH)D. Terdapat korelasi bermakna dengan kekuatan sedang antara kadar serum 25(OH)D dengan sun index (p=0,009, r=0,367). Median jumlah lesi KS pada wajah sebesar 28 (8-87) lesi dan meningkat sesuai dengan peningkatan kelompok usia. Median ukuran terbesar lesi KS sebesar 3,5(1-9,5) mm dan meningkat sesuai dengan peningkatan kelompok usia. Tidak terdapat korelasi antara kadar serum 25(OH)D dengan jumlah dan ukuran terbesar lesi KS pada wajah (p=0,178, r=0,194 dan p=0,164, r=0,2). Terdapat korelasi bermakna antara sun index dengan jumlah dan ukuran terbesar lesi KS pada wajah (p<0,001, r=0,517 dan p<0,001, r=0,451)
Kesimpulan: Kadar serum 25(OH)D ditemukan di bawah nilai normal (defisiensi dan insufisiensi) pada seluruh SP. Hasil penelitian membuktikan bahwa semakin tinggi kadar serum 25(OH)D, tidak menyebabkan semakin sedikit jumlah dan semakin kecil ukuran lesi KS di wajah. Namun semakin tinggi nilai sun index, maka akan menyebabkan semakin banyak jumlah dan semakin besar ukuran lesi KS di wajah

Background: Seborrheic keratoses (SK) is one of the most common benign epidermal tumors. Recent study on SK, vitamin D is involved through many nongenomic interactions, including changes in protein and mutations in the FGFR3 gene. Decreased on vitamin D causes disorder of proliferation and differentiation, thus affecting the number and size of SK lesions. On the other hand, sun exposure is also a factor that affects the levels of 25-hydroxyvitamin D (25(OH)D) as well as the SK lesions. Measurement of sunlight exposure can be done in various ways, one of them is by using the sun index. Until now there has been no research on the relationship between 25(OH)D serum and sun index with the number and size of SK lesions.
Objective: To assess the relationship of 25-hydroxyvitamin D levels and sun index (sun exposure index) with number and size of seborrheic keratoses lesions on the face in Dermatovenereology Clinic , Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital.
Methods: This cross-sectional study involved 50 SK patients that recruited by consecutive sampling in December 2018 to May 2019. Patients who met the criteria will be analyzed and filled in with the sun index questionnaire, physical examination, assessment of the number and size of SK lesions on the face with FotoFinder® and dermoscopy, and laboratory tests for 25(OH)D serum levels. Data analysis was performed to determine the correlation of serum 25 (OH) D and sun index levels with the number and size of SK lesions on the face with Pearson test if the data distribution is normal or Spearman test if the data distribution is not normal.
Result: The median 25(OH)D serum level is 10.3 (3.9-24.2) ng/mL. The median sun index value is 1.3 (0.3-16.2). 94% of SP had deficiencies and 6% experienced insufficiency of serum 25(OH)D levels. There was a significant correlation with moderate strength between 25(OH)D serum levels and sun index (p = 0.009, r = 0.367). The median number of SK lesions on the face was 28 (8-87) lesions and increased according to the increase in age groups. The median largest size of SK lesions was 3.5 (1-9.5) mm and increased according to the increase in age groups. There is no correlation between 25(OH)D serum levels and the largest number and size of SK lesions on the face (p = 0.178, r = 0.194 and p = 0.164, r = 0.2). There is a significant correlation between the sun index and the largest number and size of SK lesions on the face (p <0.001, r = 0.517 and p <0.001, r = 0.451)
Conclusion: 25(OH)D serum levels were found below normal (deficiency and insufficiency) in all subject. The results showed that the higher 25(OH)D serum levels did not cause the smaller the number and the smaller the size of KS lesions on the face. But higher sun index value correlate on the number and size of SK lesions on the face.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58691
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Widyasari
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: Pioderma superfisialis (PS) masih menjadi masalah
kesehatan di Indonesia dengan jumlah kunjungan yang masih tinggi di Poliklinik
Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (PKK-RSCM). Saat ini
pengobatan topikal lini pertama adalah asam fusidat 2% sedangkan penggunaan
mupirosin 2% dibatasi. Beberapa penelitian terdahulu memperlihatkan resistensi
terhadap asam fusidat 2% dan mupirosin 2%. Penelitian ini bertujuan untuk
membandingkan efektivitas mupirosin 2% dengan asam fusidat 2% terhadap
kesembuhan klinis PS di PKK-RSCM.
Metode: Uji klinis acak buta ganda dilakukan terhadap 42 pasien PS usia 12-59
tahun di PKK-RSCM. Setelah pemeriksaan bakteriologis, setiap subjek
mendapatkan satu jenis krim antibiotik untuk dioleskan selama tujuh hari. Evaluasi
klinis didasarkan pada pengurangan luas lesi dan skala nyeri. Pemeriksaan biakan
dan resistensi dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Klinik Universitas
Indonesia.
Hasil: Efektivitas krim mupirosin (kelompok M) adalah 83,3% dan krim asam
fusidat (kelompok AF) 40% (p=0,048), sedangkan persentase penurunan luas lesi
kelompok M sebesar 83,5% dan kelompok AF 60,7% (p=0,041). Tidak ditemukan
efek samping subjektif maupun objektif pada kedua kelompok. Pada biakan kuman,
54,8% sampel ditemukan 2 jenis kuman, jenis terbanyak adalah S.aureus dan
S.pyogenes. Sebagian besar S.aureus (78,8%, 75,8%) dan S.pyogenes (50%,94,4%)
memiliki kepekaan intermediet terhadap mupirosin 2% dan asam fusidat 2%.
Kesimpulan: Krim mupirosin 2% lebih efektif daripada krim asam fusidat 2%
terhadap PS.
Kata kunci: mupirosin 2%, asam fusidat 2%, kesembuhan klinis, luas lesi, skala
nyeri

ABSTRACT
Background and objectives: Superficial pyodermas (SP) are common health
problem in Indonesia with high incidence in the Dermatovenereology Outpatient
Clinic Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital (DV-CMH). Current guidelines endorses
2% fusidic acid as the first line topical therapy, while 2% mupirocin is reserved for
certain condition. Past studies demonstrated increasing resistance to 2% fusidic acid
and 2% mupirocin. This study aims to compare the effectiveness of 2% mupirocin
and 2% fusidic acid in SP treatment in our institution.
Methods: A double-blind randomized controlled trial was conducted on 42 SP
patients aged 12-59 years old in DV-CMH. Following bacteriologic examination,
each subject received a random antibiotic cream for seven days. Clinical evaluation
was determined by reduction of lesion size and pain scale. Bacteriologic culture and
susceptibility test were performed in Clinical Microbiology Laboratory University
of Indonesia.
Results: The effectiveness in 2% mupirocin group (M) was 83,3% and in 2%
fusidic acid group (FA) 40% (p=0,048). Lesion size decrease was 83.5% in M group
and 60.7% in FA group (p=0,041). No side effects were observed in both treatment
groups. At the bacteria culture , 54.8 % of the samples found two types of bacteria,
most types are S.aureus and S.pyogenes. Most of S.aureus (78,8%, 75,8%) and
S.pyogenes (50%,94,4%) have an intermediate susceptibility to 2 % mupirocin and
2% fusidic acid.
Conclusion: The 2% mupirocin cream was more effective than 2% fusidic acid
cream in SP treatment.
Keywords: 2% mupirocin, 2% fusidic acid, clinical cure, lesion size, pain scale
"
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Riesta Hanjani
"Latar belakang: Adenokarsinoma prostat merupakan salah satu jenis kanker yang paling banyak didiagnosis pada laki-laki di seluruh dunia, dengan mayoritas pasien berusia di antara 60 ndash; 80 tahun. Usia adalah salah satu faktor risiko yang paling berperan, dan diperkirakan mempunyai andil dalam perkembangan penyakit ini.
Tujuan: Untuk menentukan korelasi antara usia dengan skor Gleason pada pasien dengan adenokarinoma prostat.
Metode Data mengenai usia dan skor Gleason diperoleh dari 101 sampel yang diambil dari lembar permintaan pemeriksaan pasien dari tahun 2011 sampai 2014, di Departemen Patologi Anatomik, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Analisis statistik Kendall's tau-b digunakan untuk menentukan korelasi.
Hasil: Usia rata-rata pasien adenokarsinoma prostat pada penelitian ini adalah 67,87 tahun dan kebanyakan pasien memiliki skor Gleason 9 48 pasien . Pada uji korelasi antara usia dan skor Gleason pasien didapat nilai p = 0,012 dan r = -0,193. Pasien di bawah 65 tahun memiliki rata-rata skor Gleason 8,588, pasien di atas 65 tahun tahun memiliki rata-rata skor Gleason 8,239. Pada uji non parametrik Mann ndash; Whitney didapat nilai p = 0,009.
Kesimpulan: Terdapat korelasi sangat lemah antara usia dengan skor Gleason pada pasien dengan adenokarsinoma prostat. dengan pasien muda cenderung memiliki skor Gleason yang lebih tinggi.

Background: Prostatic adenocarcinoma is one of the most common cancers diagnosed in men worldwide, with most patients being 60 ndash 80 years old. Age is one of the significant risk factors of the disease's development and progression.
Aim: To determine the correlation between age and Gleason score in patients with prostatic adenocarcinoma.
Methods: Data in regard to age and Gleason score of patients with prostatic adenocarcinoma were obtained from 101 samples from patients'request forms in 2011 to 2014, in Department of Anatomical Pathology, Cipto Mangunkusumo Hospital. Kendall's tau b statistical analysis was used to determine the correlation.
Results Mean age of patients in prostatic adenocarcinoma in this study is 67.87 years old, and most patients have Gleason score of 9 48 patients. On statistical analysis to determine correlation between age and Gleason score, we acquire p value of 0.012 and r value of 0.193. Patients below 65 years old have average Gleason score of 8.588, patients above 65 years old have average Gleason score of 8.239. On Mann ndash Whitney non parametric test, we acquire p value of 0.009.
Conclusion There was a very weak correlation between age and Gleason score in patients with prostatic adenocarcinoma with younger patients tend to have higher Gleason score.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>