Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 93128 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Octarica Sexio Aulya Ulfa
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai Andal Ampatuan sebagai bos lokal di Provinsi Maguindanao yang mampu bertahan sebagai Gubernur Provinsi Maguindanao tahun 2001-2010 di era demokrasi Filipina. Teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori mengenai bossisme lokal, konsep kekuasaan dan teori pork barrel. Penelitian menggunakan metode penelitian kualitatif. Bos lokal merupakan broker kekuasaan melalui kepemilikan monopoli atas sumber daya kekerasan dan ekonomi dalam satu wilayah yang berada di bawah kekuasaannya. Kemunculan bos lokal di Filipina berkaitan erat dengan budaya bossisme yang telah terbentuk sejak era kolonial Spanyol dan Amerika Serikat serta terus bertahan hingga sekarang, di mana para keluarga kaya yang sebelumnya menjadi tuan tanah dan elit lokal tersebut kemudian terlibat dalam konteks politik. Dalam praktiknya, para bos lokal tersebut berupaya untuk menguasai politik di tingkat lokal dengan terlibat dalam pemilihan umum dan menjabat sebagai kepala pemerintahan di tingkat lokal seperti menjadi walikota atau gubernur. Andal Ampatuan merupakan bos lokal di Maguindanao. Andal Ampatuan menjadi Gubernur Provinsi Maguindanao tahun 2001-2010. Faktor-faktor bertahannya kekuasaan Andal Ampatuan sebagai Gubernur Provinsi Maguindanao adalah politik uang, kekerasan politik dan membangun dinasti politik. Keberadaan bos lokal menjadi tantangan bagi berlangsungnya demokrasi di Filipina.

ABSTRACT
This thesis aim to explore about Andal Ampatuan rsquo s role as a local boss in Maguindanao Province in the era of Philippines democracy. The theory used in this thesis are the theory of local bossism, the concept of power and theory of pork barrel. Furthermore, this thesis also use qualitative research method. The local boss is a power broker through the possession of a monopoly over the resources of violence and the economy in a territory under his control. The appearance of local bosses in Philippines is closely related to the culture of bossism that has been formed since the colonial era of Spain and the United States that continuesly survive until now, where the rich families who previously occupied the land and local elites are then involved in the political context. In practice, the local bosses seek to dominate politics at the local level by engaging in elections and serving as heads of government at the local level such as the mayor or governor. Andal Ampatuan is a local boss in Maguindanao. Andal Ampatuan became Governor of Maguindanao Province in 2001 2010. Thus, the survival factors of Andal Ampatuan as a Governor of Maguindanao for nine years are money politics, political violence and political dynasties. In another words, The presence of local bosses poses a challenge to democracy in Philippines.
"
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muryanto Amin
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh munculnya para ”preman” sebagai aktor lokal di Sumatera Utara yang berperan penting dalam sistem demokrasi yang relatif baru diterapkan sejak tahun 1997. Sebagian aktor lokal tersebut berasal dari kader Pemuda Pancasila. Mereka tidak hanya mengandalkan intimidasi dan uang yang dimiliki, tetapi mereka juga menjadi pengurus partai politik, anggota legislatif, pejabat birokrasi, pebisnis, dan pemilik media cetak lokal. Dalam kapasitas menggunakan jaringan tersebut, tentunya mereka sangat kuat untuk memperoleh akses terhadap sumber daya (resources) dari pemerintah daerah dan akan memaksimalkan sumber kekuasaan yang dimiliki. Sementara dalam kapasitasnya sebagai ’preman’, mereka dapat juga menggunakan sumber daya kekerasan. Untuk membuktikan adanya peran tersebut, penelitian ini akan menjawab pertama bentuk intimidasi yang dilakukan oleh Pemuda Pancasila Sumatera Utara dalam pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008. Kedua, pola mobilisasi yang dilakukan untuk menggerakkan potensi organisasi yang dimiliki Pemuda Pancasila di Sumatera Utara. Ketiga, model relasi jaringan yang dilakukan di antara Pemuda Pancasila dengan pemerintah daerah, pengusaha lokal dan media massa dalam memenangkan calon gubernur yang didukung. Teori utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Bosissm dari John T. Sidel dan Kelompok Kekerasan yang ditulis oleh Masaaki dan Rozaki. Sedangkan teori pendukung adalah Teori Kekuasaan dari Miriam Budiardjo dan Charles F. Andrain, Konsensus dan Konflik dari Maswadi Rauf, Teori Demokrasi dan Otonomi Daerah dari Brian C. Smith, dan Teori Kepentingan Terselebung (Hidden Autonomy) yang ditulis Syarif Hidayat. Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dan studi kasus sebagai strategi penelitian. Analisis kualitatif teknik tipologi dipilih sebagai sebagai cara untuk menyusun interpretasi atas kajian literatur, wawancara mendalam dengan narasumber yang terlibat dan observasi. Temuan penelitian menunjukkan bahwa bentuk intimidasi yang dilakukan anggota Pemuda Pancasila adalah mengancam dan menakut-nakuti akan melakukan pemukulan fisik dan membuat ketidaknyamanan pemilih yang tidak memilih calon gubernur yang ingin dimenangkan. Pola mobilisasi dilakukan atas dasar patron-klien piramida yaitu seorang tokoh Pemuda Pancasila memiliki kekuatannya sendiri untuk mengerakkan anggota Pemuda Pancasila. Model relasi yang terjalin antara Pemuda Pancasila dengan birokrasi, pengusaha, dan media cetak lokal dilakukan atas dasar hubungan yang saling menguntungkan atau simbiosis mutualisme. Disertasi ini mengajukan perspektif teoritis baru bahwa fenomena munculnya bos lokal dan kelompok kekerasan mengindentifikasikan adanya perbedaan yang khas di Sumatera Utara. Kontribusi terhadap perspektif teori Ilmu Politik yang ditemukan dalam penelitian ini disebut Teori Jaringan Patronase Baru Bos Lokal.

The background of this study is the emergence of “gangsters”—some of whom were cadres of Pemuda Pancasila—as local actors who played an important role in the democratic system applied in North Sumatera since 1997. Not only that they intimidated with violence and money; they became political party officials, legislative members, bureaucrats, business people, and owners of local print media. In their formal capacity, they had power to gain access to resources from the local government and maximize them. While as ‘gangsters’, they practiced violence. This study would discuss three points to prove that such things really occurred: first, the forms of intimidation done by Pemuda Pancasila North Sumatera in the North Sumatera governor election in 2008; second, the pattern of mobilization performed to generate the potential of the organization; third, the network relation model among Pemuda Pancasila, the local government, the local business people, and the mass media in making the supported candidate win. The main theories applied here are the Bosissm Theory by John T. Sidel and the Violence Group Theory by Masaaki and Rozaki. The supporting theories are the Theory of Power by Miriam Budiarjo and Charles F. Andrain, Consensus and Conflict by Maswadi Rauf, Democracy and Decentralization by Brian C. Smith, and Hidden Autonomy by Syarif Hidayat. This study uses a qualitative approach with case studies. The qualitative analysis with typology technique is chosen as a way to arrange interpretations on data—written materials, in depth interviews, and observations. The findings showed that the forms of intimidation done by Pemuda Pancasila members were threaten to beat physically and create inconvenience if the voters did not vote governor candidates who want to win. The mobilization pattern was executed using patron-client pyramid: each figure of Pemuda Pancasila had his own power to mobilize members. The relation model among Pemuda Pancasila, bureaucracy, business people, and local print media was performed based on mutualistic symbiosis. The phenomenon of emerging local bosses and violent groups theoretically implied spesific differences in North Sumatera. The contribution to Political Science theories, which will be found in this study, is called the Theory of New Patronage Network of Local Bosses."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iksan R.A. Arsad
"Disertasi ini menjelaskan tentang konflik elit lokal formal Gubernur Maluku Utara versus elit lokal tradisional Sultan Tidore dan Walikota Tidore Kepulauan pasca penetapan wilayah Sofifi sebagai ibukota Provinsi Maluku Utara dengan mengambil periode studi 2010-2016. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana faktor wilayah, politik/kekuasaan, ekonomi, pembangunan kota dan wilayah politik baru sebagai sumber konflik elit lokal itu dan relasi kekuasaan tradisional kesultanan dan kekuasaan formal dalam sistem desentralisasi di Indonesia.
Teori yang digunakan dalam menganalisis permasalahan ini adalah (1) teori konflik Ted Robert Gurr dan konsensus Maswadi Rauf; (2) teori desentralisasi B.C Smith dan pemerintahan lokal John Stewart; (3) teori kekuasaan Robert Dahl, Charles F. Andrain dan Max Weber; dan (4) teori negara lama dan negara baru Richard Dagger dan Walter Scheidel serta teori negara modern Christopher W. Morris. Penelitian ini menggunakan metode berupa pendekatan kualitatif dengan mengambil desain studi kasus. Data primer yang digunakan diperoleh dari wawancara mendalam (indepth interview) kepada narasumber dan informan kunci, data sekunder dari kajian pustaka dan dokumen.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa konflik elit lokal pada proses desentralisasi di Sofifi didorong oleh beberapa faktor sebagai sumber konflik, yaitu ; faktor wilayah, faktor kepentingan ekonomi, faktor pembangunan, faktor wilayah politik baru, dan faktor kekuasaan tradisional Sultan dalam negara. Adapun relasi kuasa pada negara lama dan negara baru, negara baru telah memarjinalkan penguasa tradisional negara lama yang merupakan simbol budaya dan penjaga eksistensi kebudayaan lokal. Sedangkan pada implementasi desentralisasi di Sofifi, proses itu masih mendapat tantangan dari kekuasaan tradisional kesultanan
Implikasi teoritis dalam studi ini adalah ; (1) teori konflik dari Ted Robert Gurr dan konsensus dari Maswadi Rauf terbukti; (2) teori desentralisasi dari B.C. Smith dan pemerintahan lokal dari John Stewart terbukti, (3) teori negara lama (monarki) dan negara baru (republik) dari Richard Dagger dan Walter Scheidel serta teori negara modern dari Christopher W. Morris terbukti; dan (4) Konsep pemekaran daerah dari Minako Sakai dan Adi Suryanto didorong oleh faktor-faktor sejarah, ekonomi, etnik dan politik mendapat tambahan faktor elit lokal (tradisional). Adapun kontribusi studi ini terhadap ilmu politik adalah untuk memperkuat negara yang dibangun berdasarkan pluralisme diperlukan eksistensi negara lama di bidang kebudayaan.

This dissertation describes the conflict of the formal local elite of North Maluku Governor versus the traditional local elites of Sultan Tidore and the Major of Tidore Kepulauan after the assignment of Sofifi as the capital of North Maluku Province during the period of study of 2010-2016. This study answers the questions of how territorial, political, and economic factors as well as the town development and new political domain have resulted in the conflict of traditional local and formal local elites in Indonesia’s decentralized system.
This study employs such theories as (1) Ted Robert Gurr’s conflict theory and Maswadi Rauf’s consensus; (2) B.C Smith’s decentralization theory and John Stewart’s local government; (3) Robert Dahl, Charles F. Andrain and Max Weber’s theory of power; and (4) Richard Dagger and Walter Scheidel’s theory of old state and new state and Christopher W. Morris’s modern state theory. The study uses qualitative approach with case-study design. The primary data was collected from in-depth interview to a number of resource persons and key informants while the secondary data was collected from literature and document review.
Results of the study concludes that the local elite conflict in the process of decentralization in Sofifi originated from a number of such conflict sources as territory, economic interest, development, new political domain, and traditional power of Sultan in the state. With regard to the power relation, the new state has marginalized the ruler of the old state being the cultural symbol that reserve local culture. In the implementation of decentralization in Sofifi, the process has been challenged by the Sultanate traditional power.
The study reveals a number of theoretical implications. First, Ted Robert Gurr’s theory of conflict and Maswadi Rauf’s consensus were supported. Second, B.C. Smith’s theory of decentralization and John Stewart’s local government theory were equally supported. Third, Richard Dagger and Walter Scheidel’s theory of old state (monarch) and new state (republic) as well as Christopher W. Morris’ modern state were accordingly supported. Fourth, Minako Sakai and Adi Suryanto’s concept of local split is driven by such historical, economic, ethnic, political, and traditional local elite factors. In the sphere of political science, this study contributes to the strengthening of the heterogeneous and pluralistic state through the existence of cultural existence of the old state.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Nur Sahid
"Umumnya pengukuran demokrasi bersifat global dan lintas negara, padahal demokrasi lokal tak kalah menarik diamati. Indonesia mengembangkan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) mengukur dinamika demokrasi lokal berbasis provinsi. Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah provinsi dengan capaian demokrasi terburuk (2009-2014), ditandai oleh banyaknya kejadian yang melanggar kebebasan sipil, aksi kekerasan massa, tidak maksimalnya peran DPRD, serta macetnya kaderisasi partai politik. Penelitian ini mengajukan pertanyaan pokok: Mengapa kondisi demokrasi  Provinsi NTB pada tahun 2009-2014 relatif buruk? Studi ini merupakan pendalaman IDI melalui pengumpulan dan analisis data sekunder serta wawancara mendalam, difokuskan di tiga kabupaten/kota dengan tingkat kasus kekerasan tertinggi: Kabupaten Bima, Kabupaten Dompu, dan Kota Mataram. Temuan penting studi ini, era otonomisasi memberi keleluasaan yang sangat luas kepada pemerintah daerah mewakili aktor negara dalam memunculkan berbagai pengaturan ekstensif yang mengatur kehidupan beragama sehingga mengancam kebebasan sipil. Banyaknya kasus kekerasan dan tindakan main hakim sendiri menunjukkan keadaban sipil dan budaya politik belum tumbuh baik di masyarakat. Padahal, keadaban sipil dan budaya politik adalah fondasi penting yang diperlukan dalam membangun demokrasi. DPRD sebagai lembaga demokrasi lokal tidak berperan maksimal dalam menjalankan peran dan fungsi pokoknya dalam hal legislasi, penganggaran, dan pengawasan, selain keterwakilan perempuan di DPRD yang rendah. Partai politik lokal tidak berhasil menjalankan kaderisasi sebagai fungsi tradisionalnya yang penting.

Usually, the measurement of democracy is conducted in a global context and involves cross-country comparisons. In fact, local democracy can also become an interesting object of study. This research examines the Indonesia Democracy Index (IDI) as a province-based local democracy measurement. West Nusa Tenggara (NTB) has been chosen a focus of this research because in the period of 2009-2014, it is the country’s province with poorest democratic achievements, which were marked by a high number of challenges to civil liberties, incidents of mass violence, weak of DPRD’s role, and the stalled regeneration of local political parties. This is an advance of the study of IDI through the collection and analysis of secondary data and in-depth interviews, focused on the three districts/cities with the highest levels case of violence, namely: Bima District, Dompu District, and Mataram City. The key finding of this study is: The regional autonomy era in Indonesia has pushed forward an extensive religious life control, which tends to be discriminatory and contradicts the principles of democracy. The number of cases of violence and vigilantism shows that civil virtues and political culture have not grown well in the society. In fact, these are important foundations needed in building democracy. DPRD does not play a maximum role in carrying out its main roles and functions in terms of legislation, budgeting, and supervision. In addition to the low representation of women in DPRD. Local political parties have not succeeded in carrying out regeneration as their important traditional function."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susi Dian Rahayu
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas konflik internal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berdampak pada proses pemilihan gubernur dan wakil gubernur Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2015. Penelitian ini menjawab penyebab terjadinya konflik internal PPP dalam pencalonan gubernur dan wakil gubernur Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2015, serta proses terjadinya dualisme dukungan dan dampaknya bagi penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil gubernur Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2015. Penelitian ini menggunakan teori konflik yang dikemukakan oleh Rauf, Coser, Conn dan Dahrendorf. Serta teori Faksionalisasi yang dikemukakan oleh Belloni dan Paul G. Lewis. Hasil penelitian menujukkan bahwa faktor penyebab terjadinya konflik internal PPP dalam proses pencalonan pemilihan gubernur dan wakil gubernur Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2015 adalah karena adanya faksionalisasi di tingkat pusat serta adanya pertarungan elit baik di tingkat pusat maupun di tingkat lokal. Sedangkan terjadinya dualisme dukungan yang diberikan oleh PPP terjadi karena adanya pengalihan dukungan yang dilakukan oleh DPP PPP kepengurusan Djan Faridz yang semula mendukung Ujang Iskandar menjadi Sugianto-Habib Said Ismail. Dualisme dukungan tersebut berdampak pada aspek politik dan aspek sosial yang berakibat pada dianulirnya pasangan Ujang-Jawawi dan ditundanya Pilkada Kalimantan Tengah hingga Januari 2016. Implikasi teoritis dari penelitian ini adalah mengkonfirmasi teori konflik yang dikemukakan oleh Rauf, Conn, Coser, dan Dahrendorf yang menyatakan konflik yang terjadi karena adanya perebutan kekuasaan. Sementara itu, faksionalisasi yang terjadi bersifat sementara memperkuat teori faksionalisasi Paul G. Lewis. Penelitian ini juga memperkuat teori faksionalisasi yang diungkapkan oleh Belloni yang menyebutkan bahwa Faksionalisasi didasarkan pada adanya persamaan isu, adanya ikatan patron klien dan bersifat formal.

ABSTRACT
This research discusses about the internal conflicts of PPP that have an impact on local elections process of Central Kalimantan in 2015. Research questions in this research are why there is internal conflict of PPP in the process of nomination of governor and vice governor of Central Kalimantan Province in 2015, and how the process of dualism support of PPP in the nomination and what is the impact of dualism support of governor and vice governor of Central Kalimantan Province in 2015. This research use conflict theory by Rauf, Conn, Coser, and Dahrendorf. And factionalization theory by Belloni and Lewis. The results of the research show that the background of internal conflicts of PPP in the nomination process in the governor and vice governor election of Central Kalimantan Province in 2015 is due to the factionalization and the elite battle at the central and local level. While the dualism of support provided by the PPP began when PPP Djan Faridz's Faction initially support Ujang Iskandar, but on the last day of the registration process of the pair of candidates, PPP Faction of Djan Faridz divert their support to the Sugianto-Habib Said Ismail. Dualism support has an impact on the political aspect which resulted in the annulment of the Ujang-Jawawi and postponement of the Central Kalimantan local election in January 2016. The theoretical implication of this research aims to supports Rauf, Coser, Conn and Dahrendorf's conflict theory. That PPP internal conflict in the process of nomination governor and vice governor of Central Kalimantan Province 2015 tend to compete for the sake of power. Other theoretical implication of this study aims to support of Belloni and Lewis Factionalization theory, that factionalization at internal conflict of PPP at local election of Central Kalimantan is temporarily and based on the existence of equality of issues, the existence of patron-client and formal bonds."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
T51412
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suryadi
"Kebijakan otonomi daerah mengakibatkan menguatnya peran lembaga legislatif daerah dan kewenangan untuk memilih Kepala Daerah secara otonom. Salah satu yang menarik untuk diteliti adalah fenomena pemilihan Kepala Daerah di Provinsi Maluku Utara, dimana konflik politik terjadi dan mengakibatkan pemilihan selalu dibatalkan dan diulang hingga tiga kali dan terjadi lebih dari 1 (satu) tahun.
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses pemilihan Gubernur dan Wakil Gubemur Propvinsi Maluku Utara yang terjadi pada tahun 2001 sampai dengan 2002 dan menganalisis faktor-faktor penyebab konflik politik. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Teori dan konsep yang relevan dengan permasalahan studi ini yaitu; konflik politik, suksesi politik, elite, politik lokal yang didalamnya dibahas teori dan konsep desentralisasi, hubungan kekuasaan pusat dan daerah, ethnic identity, primordialisme dan demokrasi.
Sumber utama terjadinya konflik politik adalah perebutan kekuasaan politik yakni posisi strategis dari Gubernur dan Wakil Gubemur Provinsi Maluku Utara. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konflik politik adalah; Pertama, pemberlakuan status pemerintahan darurat sipil, yang mempengaruhi kondisi politik lokal, mengakibatkan proses suksesi politik akhirnya dimasuki oleh kepentingankepentingan kelompok/golongan dan intervensi pemerintah untuk tujuan politisnya. Kedua, perebutan kekuasaan politik terjadi antara elite politik baik di tingkat lokal maupun pusat dengan dukungan kelompok-kelompok yang berbasiskan kekuatan politik, maupun kelompok tradisional dan etnis. Hal ini didukung oleh kondisi budaya politik masyarakat Maluku Utara yang masih bersifat primordial, kuat hubungan patron-klien serta mengedepankan budaya kekerasan. Ketiga, friksi di tubuh partai politik di tingkat lokal dan fraksi di DPRD Provinsi Maluku Utara yang disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat dalam proses pencalonan figur dari masing-masing partai maupun fraksi. Kekuatan partai politik di tingkat Pusat (DPP) masih sangat kuat dalam menginstruksikan kebijakan partai dan cenderung berbeda dengan aspirasi di tingkat lokal. Sedangkan dalam fraksi sendiri terjadi pengingkaran komitmen dimana anggota fraksi tidak loyal terhadap kesepatakan partai maupun fraksinya.
Pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat selain mengembalikan kedaulatan ketangan rakyat juga akan sedikit mengurangi konflik politik sebagaimana temuan penelitian ini, Namun konflik bukannya tidak ada, sehingga pendidikan politik kepada rakyat menjadi prasyarat mutlak bagi berlangsungnya demokrasi.

The policy on local autonomy built up stronger role of local legislative body and the autonomy rights to elect the Head of Province. One of interesting parts to research upon is the phenomena of Head of Province election in North Maluku Province, where political conflict occurred and resulted in the election's cancellation and re-election took place until three times in one year.
The aim of this research is to further know the process of election of Governor and Deputy Governor of North Maluku Province in 2001 until 2002 and analyze factors which contribute to the emergence of the political conflict. Method used in this research is qualitative approach with case study method. Relevant theories and concepts with this research problem; political conflict, political succession, elite, local politics which discussed decentralization theory and concept, power relation between central and local government, ethnic identity, primordial and democracy.
The main source of political conflict was the struggle of political power which inherent in the form of strategic positions of Governor and Deputy Governor of North Maluku Province. Factors which influenced the emergence of political conflict are: Firstly, the implementation of civilian emergency governance state, which influences the local political condition, causing the political succession process finally penetrated by groups' interests and government intervention for its political purposes. Secondly, struggle of political power between political elites in both local and central level with groups supports based on political power and also traditional and ethnical groups. This is supported by the political culture condition of North Maluku society which still heavily primordial, strong in patron-client relationship and culture of violence. Thirdly, the friction inside the local level political party and faction inside the Provincial Parliament (DPRD) of North Maluku which was caused by difference of opinions during the candidacy process from each of the political party and internal faction. The political party's power in the central level (DPP) was still very strong in giving out instruction of party's policy and tends to be different with local level participation. Meanwhile in the internal faction itself, commitment denial became a concern where faction's members no longer loyal to the party and even faction's agreement and decision.
The direct election of head of province can bring back the sovereignty to the hands of citizens as well as decreasing the political conflict as found in this research. However, the conflict is not nonexistent and hence mass political education is an absolute necessity to the continuance of democracy.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14348
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rekho Adriadi
"ABSTRAK
Penelitian ini ingin mengetahui hubungan pemekaran daerah dengan munculnya Murman Effendi sebagai “bos lokal” di kabupaten Seluma, serta dampaknya terhadap praktek pemerintahan di kabupaten Seluma. Peneliti menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan wawancara mendalam dan studi dokumen. Teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori “bossisme lokal”.
Pemekaran daerah merupakan bentuk dari keganjilan struktur lembaga negara. Di Indonesia pemekaran daerah merupakan suatu fenomena yang muncul pasca runtuhnya pemerintahan Orde Baru, melalui desentralisasi dan otonomi daerah terbuka peluang bagi daerah untuk membentuk daerah otonomi baru. Terbukanya peluang bagi daerah untuk membentuk daerah otonomi baru dimanfaatkan oleh elite-elite politik lokal untuk mendapatkan kekuasaan di tingkat lokal. Elite lokal inilah yang kemudian menjadi bos-bos lokal di daerah pemekaran. Melalui desentralisasi dan otonomi daerah para bos lokal mempunyai kekuasaan untuk mendominasi seluruh sektor politik, sosial, ekonomi dan budaya di daerah. Kabupaten Seluma yang merupakan sebuah kabupaten baru masih dalam tahap perkembangan baik fisik maupun sumber daya manusia, peranan Murman Effendi sebagai bos lokal sangat sentral.
Dampak dari bossisme lokal di Seluma yaitu tidak terwujudnya pemerintahan yang baik, ketiadaan lembaga yang kuat seperti legislatif dan civil society sebagai penyeimbang dari kekuasaan eksekutif membuat Murman Effendi menjadi bos lokal di kabupaten Seluma. Murman Effendi sebagai bos lokal mendominasi kekuasaan di kabupaten Seluma. Implikasi teori menunjukkan bahwa Murman Effendi merupakan “bos lokal” yang muncul pasca runtuhnya Orde Baru, namun Murman Effendi tidak menggunakan intimidasi dan kekerasan dalam menjadi ”bos lokal”.

ABSTRACT
This research aims to know the relation between regional expansions with the emergence of Murman Effendi as “local boss” in Seluma regency and also to know the impact to the governance practices in Seluma regency. Researcher used qualitative method with an interview approach deeply and document study. The theory which was used in this research was local bossism theory.
Regional expansion is a manifestation of national institution structure peculiarity. In Indonesia regional expansion is a phenomenon which is arise after the collapse of new order governance, through decentralization and regional autonomy. The opportunity for a regional to form a new regional autonomy has been used by local political elites in order to gain power in local level. These local elitesare the ones which become local bosses in regional expansion. Through decentralization and regional autonomy, local bosses have power to dominate every sector such as politics, social, economy and culture in regional. Seluma regency is new regency which is still in development stage both physics and human resources, the role of Murman Effendi as local boss is important.
The impact of local bossism in Seluma was that there was no realization of good governance, there were no strong institutions such as legislative and civil society as the balancer from executive power which causes Murman Effendi became local boss in Seluma regency. Murman Effendi as a local bos dominated power in Seluma regency. The theory implication shows that Murman Effendi was a local boss which arised after the collapse of new order but Murman Effendi did not use intimidation and violence."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laarhove, Ruurdje
Quezon City: New Day Publisher, 1989
959.970 2 LAA t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>