Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 231338 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lawrence James Giovanni Limesa
"ABSTRAK
Tenggelam merupakan penyebab ketiga tersering dari seluruh kejadian kematian menurut WHO. Walau demikian, penegakkan diagnosis tenggelam merupakan suatu hal yang sulit. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mencari hubungan temuan-temuan pemeriksaan dengan penegakkan diagnosis tenggelam.Metode: Sampel penelitian diambil dari rekam medis jenazah dengan dugaan tenggelam oleh polisi yang diotopsi di Departemen Forensik dan Medikolegal RSCM pada tahun 2009-2016. Peneliti kemudian mencari tahu mengenai temuan pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam dan pemeriksaan penunjang dengan penegakkan diagnosis tenggelam oleh ahli forensik dari rekam medis.Hasil: Didapatkan 95 sampel pada penelitian ini yang di antaranya didapatkan 88 92.6 sampel tenggelam dan 7 7.4 sampel tidak tenggelam. Dari 88 sampel tenggelam didapatkan bahwa 61 69.3 memiliki kulit keriput, 66 75 bertubuh basah, 47 53.4 ditemukkan benda asing di dalam saluran cerna, 45 51.1 ditemukan benda asing di dalam saluran napas, dan 53 60.2 ditemukan diatom pada pemeriksaan getah paru.Pembahasan: Temuan pemeriksaan luar memiliki sensititas yang cukup tinggi untuk menjaring kejadian tenggelam namun tidak cukup spesifik untuk menegakkan diagnosis. Temuan pada pemeriksaan dalam cukup spesifik untuk lebih lanjut memperkuat dugaan diagnosis tenggelam disertai dengan pemeriksaan penunjang.Kesimpulan: Penegakkan diagnosis tenggelam tidak dapat dilakukan semata-mata hanya dengan mengandalkan pemeriksaan luar saja namun memerlukan hasil dari pemeriksaan dalam dan pemeriksaan penunjang untuk memeriksa lebih lanjut seperti pemeriksaan diatom pada getah paru.

ABSTRACT
Background Drowning is the third leading cause of death around the world according to WHO. Despite the fact, diagnosing a body is truly drowned to death is a challenge by itself. This research is to find any correlation among the findings with the diagnosis of drowning.Methods Medical records of body with the suspicion of drowning by police which are examined in the Forensic and Medicolegal Department of Cipto Mangunkusumo Hospital within 2009 2016. Researcher then note down the findings of external, internal and laboratory examination and the diagnosis of Forensic Specialist.Results From 95 samples in this research, 88 92.6 of which were diagnosed with drowning and 7 7.4 were not death caused by drowning. Among the 88 drowned bodies, 61 69.3 shows wrinkles, 66 75 were wet, 47 53.4 got foreign body in their digestive tract, 45 51.1 got foreign body in their respiratory tract and 53 60.2 got diatom recovered from their lung samples.Discussion The external findings of suspected drown bodies are sensitive enough to filter in drowning cases but not specific enough to diagnose the drowning itself. Further examination of autopsy of the body will provide further hints as to suggest the cause of death to be drowning with the aid of laboratory examinationConclusion The diagnosis of drowning can not rely on external examination but also require further examination including the autopsy of the body and the laboratory examination to further diagnose drowning.Keywords Diatom Drowning foreign body in digestive tract foreign body in respiratory tract wet body wrinkled skin "
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Utami Mutiara Ningrum
"Kecelakaan lalu lintas, termasuk kecelakaan kereta api merupakan salah satu penyebab umum morbiditas dan mortalitas hampir di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang. Namun sayangnya dampak cidera dan kerugian yang timbul dari permasalahan tersebut masih belum menjadi perhatian, dan diabaikan dari agenda kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola luka dan cidera yang terjadi pada korban kecelakaan lalu lintas yang meninggal akibat tertabrak kereta api yang diperiksa di Departmen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FKUI/RSCM pada periode tahun 2009 - 2014. Data diperoleh melalui rekam medik, dan kemudian jenis luka yang didapatkan disajikan dalam bentuk tabel. Hubungan antara luka eksternal dan internal dianalisis menggunakan uji Chi-Square. Dari total 106 sampel, korban didominasi oleh laki-laki dengan rasio laki-laki banding perempuan sebesar 3.61:1. Mayoritas korban berada pada rentang usia 20-50 tahun (85,86%). Luka eksternal yang paling banyak ditemukan berupa abrasi, dan bagian tubuh yang paling banyak mengalami luka eksternal adalah regio kepala, wajah, dan leher. Sebagian korban mengalami fraktur multipel dengan tulang kranial sebagai tulang yang paling banyak mengalami fraktur. Otak merupakan organ yang paling sering mengalami perlukaan. Ditemukan hubungan bermakna antara kontusio pada regio abdomen dan pelvis dengan luka limpa (p = 0,026).

Train accident has been one of the most frequent cause of morbidity and mortality worldwide, especially in areas where railway traffic is higher. The injuries and deaths caused by railway fatalities, although devastating, still has not been considered as an important issue. This research aim to observe the pattern of injuries in victims of railway fatalities that was otopsied in The Department of Forensic, Cipto Mangunkusumo Hospital within the period of 2009 - 2014. Secondary data in the form of meidcal record was collected and the pattern of injuries was presented in table form. The association between external and internal injury was analyzed using Chi-Square test. Out of 106 samples that match the inclusion and exclusion criteria, the fatalities were predominantly seen in the males with a male to female ratio 3.61:1. Most of the external injuries were found on the head, face, and neck region. The commonest external injuries sustained was abrasion. Some of the victims sustained multiple fractures and the majority of fractures were observed in the skull. Multiplicity in visceral injuries were found and the majority of victims had brain injuries. A significant association was found between contusion in abdominal-pelvic region and hepatic injury (p = 0,026).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elena Maliani
"Tujuan: Menentukan hubungan antara volume lemak perikardial dengan derajat stenosis aterosklerosis arteri koronaria pada pasien yang menjalani pemeriksaan dual-source CT jantung di RSCM, sehingga dapat dilakukan penentuan titik potong volume lemak perikardial yang dapat digunakan untuk mendeteksi derajat stenosis aterosklerosis arteri koronaria hanya dengan menghitung volume lemak perikardial saja.
Metode: Analisa retrospektif hasil CT jantung dari 53 pasien yang diambil secara consecutive, meliputi penilaian derajat stenosis aterosklerosis arteri koronaria dan penghitungan volume lemak perikardial. Derajat stenosis aterosklerosis arteri koronaria dikelompokkan menjadi tidak ada stenosis, ringan, sedang dan berat, berdasarkan metode indeks prognosis Duke. Volume lemak perikardial dihitung dalam satuan cm3 dengan menggunakan perangkat lunak analisa volume pada cardiac workstation (Siemens, Leonardo), lemak perikardial adalah gabungan antara lemak epikardial dengan lemak parakardial. Analisa statistik penelitian ini menggunakan uji Anova.
Hasil: Terdapat hubungan positif antara volume lemak perikardial dengan stenosis arteri koronaria derajat sedang pada pasien di RSCM yang menjalani pemeriksaan DSCT jantung. Titik potong volume lemak perikardial untuk mendeteksi stenosis arteri koronaria derajat sedang adalah 185 cm3 (≥ 185 cm3 dan < 185 cm3), dengan nilai sensitifitas 81,8 %, spesifisitas 63,15 %, akurasi 70 % dan OR 7,71 pada 95 % interval kepercayaan 1,03 - 72,06.
Kesimpulan: Volume lemak perikardial dapat digunakan untuk menentukan stenosis arteri koronaria derajat sedang, sehingga dapat dipakai sebagai suatu acuan deteksi dini stenosis arteri koronaria bagi pasien yang beresiko terhadap kejadian PJK.

Purpose: to determine the correlation between pericardial fat volume and stenosis grade of atherosclerotic coronary artery in patients who underwent dual-source cardiac CT in Cipto Mangunkusumo hospital and cut off point of pericardial fat volume that can be used to determine stenosis grade of atherosclerotic coronary artery.
Methods : Retrospective analysis of 53 consecutive patients who underwent dualsource cardiac CT in Cipto Mangunkusumo hospital, the assessment was include stenosis grade of atherosclerotic coronary artery and pericardial fat volume. Stenosis grade were classified as no stenosis, mild, moderate and severe based on prognostic index Duke. Pericardial fat volume was measured in cm3 using the Volume Analysis software tool of our cardiac workstation (Siemens, Leonardo), pericardial fat defined as epicardial fat plus paracardial fat. Statisticall analysis were performed with Anova test.
Results : There was positive correlation between pericardial fat volume and moderate stenosis of atherosclerotic coronary artery in patients who underwent dual-source cardiac CT in Cipto Mangunkusumo hospital. A cut-off value of 185 cm3 (≥ 185 cm3 and <185 cm3) determined a sensitivity and specivicity to detect moderate stenosis of 81,8% and 63,15%, with accuracy of 70% and OR 7,71 in 95% confident interval 1,03 - 72,06.
Conclusions : Pericardial fat volume can be use to determine moderate stenosis of atherosclerotic coronary artery in patients who underwent dual-source cardiac CT in Cipto Mangunkusumo hospital due to early detection for coronary stenotic condition in patient who have higher risk for CAD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rakean Ahmad Kiansantang
"Latar Belakang
Cedera otak traumatis atau traumatic brain injury (TBI) merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan yang umum terjadi pada anak-anak, orang dewasa hingga umur 24 tahun, dan lansia dengan umur >75 tahun.1–3 Di Amerika Serikat terdapat sekitar 2,87 juta kasus pasien cedera otak traumatis, dimana 2,5 juta pasien masuk ke Instalasi Gawat Darurat, termasuk lebih dari 812.000 pasien anak-anak. Di Indonesia sendiri, menurut Riskesdas 2018, prevalensi kejadian cedera kepala di Indonesia berada pada angka 11,9%.2 Pada penelitian ini, akan dilakukan pengumpulan serta pengolahan data terkait profil diagnosis cedera kepala yang dioperasi. Data yang terkumpul dapat digunakan oleh pihak terkait untuk menilai resiko, prevalensi, diagnosis, dan tatalaksana operatif cedera kepala.
Metode
Metode penelitian melibatkan data retrospektif terhadap pasien yang menjalani tatalaksana operatif akibat cedera kepala di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada tahun 2016 hingga 2020. Desain penelitian ini menggunakan desain deskriptif observasional dengan metode consecutive sampling.
Hasil
Populasi yang masuk dalam kriteri studi berjumlah 219 pasien. Terdiri dari, 176 pria (80,37%) dan 43 wanita (19,63%) dengan rata-rata umur 28,66. Kelompok umur terbanyak adalah kelompok umur remaja akhir (17-25 tahun) (Tabel 1 & 2). Diagnosis tersering yang ditemukan adalah epidural hematoma sebesar 54,34% (n = 119). Jenis tatalaksana tersering adalah kraniotomi (54,74%; n = 120). Dari 219 mengenai GCS dan penyebab trauma tersedia untuk 80 pasien. GCS 14-15 atau mild TBI adalah pasien terbanyak (43,59%; n = 34), dengan penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas (63,75%; n = 51)
Kesimpulan
Pasien cedera kepala yang dioperasi di RSCM pada tahun 2016-2020, umumnya mengalami mild TBI (GCS 14-15). Peneybab tersering adalah akibat kecelakaan lalu lintas. Jumlah pasien laki-laki dibandingkan perempuan adalah 4 : 1. Rata-rata umur pasien adalah 28,66. Kelompok umur terbanyak adalah kelompok umur 17-25 tahun. Epidural hematoma adalah diagnosis yang tersering yang ditemukan pada populasi studi. Kemudian jenis tatalaksana yang tersering adalah kraniotomi.

Background
Traumatic brain injury (TBI) is a common cause of death and disability in children, adults up to 24 years of age, and elderly people aged >75 years. 1–3 In the United States there are approximately 2, 87 million cases of traumatic brain injury patients, of which 2.5 million patients were admitted to the Emergency Department, including more than 812,000 pediatric patients. In Indonesia itself, according to Riskesdas 2018, the prevalence of head injuries in Indonesia is 11.9%.2 In this research, data will be collected and processed regarding the diagnosis profile of head injuries that are operated on. The collected data can be used by related parties to assess the risk, prevalence, diagnosis and operative management of head injuries.
Methods
The research method involved retrospective data on patients who underwent operative treatment for head injuries at Cipto Mangunkusumo Hospital from 2016 to 2020. This research design used an observational descriptive design with a consecutive sampling method.
Results
The population included in the study criteria was 219 patients. Consisting of 176 men (80.37%) and 43 women (19.63%) with an average age of 28.66. The largest age group is the late teenage age group (17-25 years) (Table 1 & 2). The most common diagnosis found was epidural hematoma at 54.34% (n = 119). The most common type of treatment was craniotomy (54.74%; n = 120). Of the 219 questions regarding GCS and causes of trauma were available for 80 patients. GCS 14-15 or mild TBI was the most common patient (43.59%; n = 34), with the most common cause being traffic accidents (63.75%; n = 51).
Conclusion
Head injury patients operated on at RSCM in 2016-2020 generally experienced mild TBI (GCS 14-15). The most common cause is a traffic accident. The number of male patients compared to female is 4: 1. The average age of patients is 28.66. The largest age group is the 17-25 year age group. Epidural hematoma was the most common diagnosis encountered in the study population. Then the most common type of treatment is craniotomy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pulungan, Ica Yulianti
"Tujuan:
Memperoleh masukan untuk meningkatkan pelayanan pemeriksaan mamografi dan atau USG payudara di Departemen Radiologi FKUI/RSUPN- Cipto Mangunkusumo
Metode:
Penelitian ini studi deskriptif analitik, menggunakan data sekunder untuk menilai akurasi hasil pemeriksaan mamografi dan atau USG payudara terhadap hasil pemeriksaan histopatologis dalam mendiagnosis kelainan payudara.
Hasil dan diskusi :
Hasil uji diagnostik perbandingan hasil pemeriksaan USG payudara dengan hasil pemeriksaan histopatologis akurasi diagnostik tinggi. Hasil pemeriksaan mamografi dan pemeriksaan kombinasi dibandingkan dengan hasil pemeriksaan histopatologis didapatkan asumsi akurasi rendah. Hasil pemeriksaan klinis dibanding dengan hasil pemeriksaan histopatologis didapatkan akurasi diagnostik yang tinggi.
Kesimpulan:
Pemeriksaan USG payudara dengan hasil pemeriksaan histopatologis didapatkan akurasi diagnostik yang tinggi.

Objective:
To get The evaluated hope can be increase examination mammography and ultrasound in departemenof radiology RSUPN-Cipto Mangunkusumo.
Methods :
This study is a descriptive analytic study assessment process using secondary data to assess the accuracy of the results of the examination / expertise mammography or breast ultrasound and the results of histopathologic examination in the diagnosis of breast abnormalities.
Results :
Diagnostic test results comparing breast ultrasound examination results with the results of histopathologic examination found a high diagnostic accuracy. The results of examination of the combination of mammography and compared with histopathologic examination results obtained assuming a low accuracy. The results of the clinical examination compared with the results of histopathologic examination found a high diagnostic accuracy.
Conclusion :
Ultrasound examination of the breast with histopathologic examination found a high diagnostic accuracy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Taufiq. author
"Latar Belakang : Bioelectric Impedance Analysis (BIA) mulai banyak digunakan dalam mengevaluasi status nutrisi. Belum ada data penelitian nutrisi di Indonesia yang menggunakan BIA.
Tujuan : Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan rerata hasil pemeriksaan BIA antara status nutrisi baik dan malnutrisi pada penderita penyakit gastrointestinal dan liver yang dirawat inap.
Metode : Penelitian potong lintang retrospektif terhadap penderita yang dirawat inap di ruang perawatan interna RSCM periode 1 Juni-31 Desember 2013, untuk mengetahui perbedaan rerata hasil pemeriksaan BIA penderita status nutrisi baik dan malnutrisi pada penyakit gastrointestinal dan liver yang dirawat inap.
Hasil : Dari 28 penderita dengan status nutrisi baik, 71,57% laki-laki, dan 21,47% wanita. Dari 28 penderita malnutrisi, 53,60% laki-laki, dan 46,40% wanita. Perbedaan rerata hasil pemeriksaan BIA antara penderita nutrisi baik dan malnutrisi adalah : lean body mass, 49,5±8,59 vs 39,68±6,28kg, p<0,001; body cell mass, 32,19(20,49-40,95) vs 25,23(17,83-31,64) kg, p=0,003; total body water, 35,69±1,17 vs 28,58±0,85kg, p<0,001; dan phase angle 6,18◦(3,73-10,11)◦ vs 3,46◦(0,40-6,51)◦; , p<0,001.
Kesimpulan : Pada penderita penyakit gastrointestinal dan liver yang dirawat inap dengan status nutrisi baik, memiliki nilai body mass, body cell mass,total body water dan phase angle hasil pemeriksaan BIA yang lebih tinggi dibandingkan dengan penderita malnutrisi.

Background : Recently, Bioelectric Impedance Analysis (BIA) has been used to evaluate nutritional status. There has not been any nutrition study using BIA in Indonesia.
Objective : The objective of this study was to identify the differences of BIA examination between well nourished and malnourished gastrointestinal and liver diseases hospital inpatients.
Methods : A retrospective cross-sectional study of Cipto Mangunkusumo hospital inpatients during the period of 1 June to 31 December 2013 was conducted to identify differences of BIA examination means between well nourished and malnourished gastrointestinal and liver diseases inpatients.
Results : Of the 28 well nourished patients, 71.57% were male, 21.47% were female. Of the 28 malnourished patients 53.60% were male, 46.40% were female. The differences of BIA examination results in well nourished and malnourished were: lean body mass, 49.5±8.59 vs 39.68±6.28 kg, p<0.001; body cell mass, 32.19 (20.49-40.95) vs 25.23(17.83-31.64) kg, p=0.003; total body water, 35.69±1.17 vs 28.58±0.85 kg, p<0.001;and phase angle, 6.18◦(3.73-10.11)◦ vs 3.46◦(0.40-6.51), p<0,001.
Conclusion : BIA examinations revealed well nourished gastrointestinal and liver diseases inpatients had higher results of lean body mass, body cell mass, total body water and phase angle than malnutrition inpatients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfred Julius Petrarizky
"Pendahuluan : Radioterapi stereotaktik adalah suatu bentuk terapi radiasi yang membutuhkan akurasi tinggi. Selain imobilisasi yang baik, dibutuhkan verifikasi untuk memastikan akurasi dan untuk mengetahui kesalahan sistematik dan acak dalam pemberian radiasi. Margin Planning Target Volume (PTV) dibuat untuk memastikan target radiasi mendapatkan cakupan dosis radiasi yang diinginkan.
Metode penelitian : Penelitian ini merupakan studi retrospektif yang menggunakan data verifikasi dengan X-ray Volumetric Imaging (XVI) dari 10 pasien yang menjalani radioterapi stereotaktik di Departemen Radioterapi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dengan fiksasi bite-block antara bulan Januari 2013 sampai dengan Oktober 2013. Penyimpangan yang didapat digunakan untuk menghitung kesalahan sistematik dan kesalahan acak. Margin PTV didapat dengan memasukkan kesalahan sistematik dan kesalahan acak yang didapat ke dalam formulasi Stroom.
Hasil : Sebanyak 42 hasil XVI dianalisa. Pada penelitian ini didapatkan besar kesalahan sistematik dan kesalahan acak pada pasien yang menjalani radioterapi stereotaktik di RSCM adalah sebesar 0.61 mm dan 1.27 mm untuk sumbu laterolateral, 1.13 mm dan 2.41 mm untuk sumbu kraniokaudal, serta 0.71 mm dan 0.15 mm untuk sumbu anteroposterior. Margin PTV yang diperoleh sebesar 2.11 mm, 3.95 mm dan 2.22 mm untuk masing-masing sumbu laterolateral, kraniokaudal dan anteroposterior.
Kesimpulan : Hasil penelitian memberikan rekomendasi margin PTV yang dapat digunakan di Departemen Radioterapi RSCM. Terdapat margin PTV yang cukup besar untuk sumbu kraniokaudal. Diperlukan upaya tambahan untuk meningkatkan akurasi radiasi sehingga margin yang diberikan tidak terlalu besar.

Introduction : Stereotactic radiotherapy is a technique to administer precisely directed irradiation that tightly conforms to a target volume. Beside immobilisation, verfication is needed to ensure the accuracy and to calculate the systematic and random error. Planning Target Volume (PTV) margin is delineated to ensure adequate target volume coverage.
Methods : This is a retrospective study using X-ray Volumetric Imaging (XVI) data of 10 patients who have had stereotactic radiotherapy with bite-block fixation between January 2013 and October 2013 in the Department of Radiotherapy in Cipto Mangunkusumo Hospital. The translation errors were used to calculate the systematic and random error. PTV margin was acquired by using these errors in Stroom formula.
Results : A total of 42 XVI were analyzed. Systematic and random errors were respectively 0.61 mm and 1.27 mm in laterolateral direction, 1.13 mm and 2.41 mm in craniocaudal direction, and 0.71 mm and 0.15 mm in anteroposterior direction. PTV margin were 2.11 mm, 3.95 mm and 2.22 mm in laterolateral, craniocaudal and anteroposterior direction respectively.
Conclusions : The result gave PTV margin recommendation that can be used in Department of Radiotherapy in Cipto Mangunkusumo Hospital. There was a quite large PTV margin in craniocaudal direction. Some efforts and evaluations are needed to improve the accuracy of stereotactic radiotherapy to reduce the PTV margin.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Diashati Ramadhani Mardiasmo
"ABSTRAK
Pleural effusion occurs when abnormal pleural fluid accumulate within pleural cavity. The first step in pleural effusion evaluation is categorising pleural fluids into transudates and exudates using Light rsquo s Criteria, to determine differential diagnoses. Transudative pleural effusions occur when systemic factors influencing hydrostatic and oncotic pressures are imbalanced. Exudative pleural effusions occur due to local factors influencing increased vascular permeability. This research aims to describe profiles of pleural fluid analysed by Department of Clinical Pathology, Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital RSCM and investigate their diagnostic value.Data were collected between January August 2016 consecutively. In total, 199 pleural fluids were assessed 123 exudative, 72 transudative and 4 transudative exudative transitional pleural fluids. The samples comprised of 56.3 females and 43.2 males. The age ranged from 1 month to 83 years old, averaging at 45.3 years old. Malignancy was the most frequent etiology found 35.7 , followed by Infection 22.1 . Pleural fluids were predominantly yellow 51.7 . Compared to transudates, exudates were more likely to clot, mostly tested positive for Rivalta and appeared more turbid. WBC count, protein fluid, protein ratio, LDH fluid and LDH ratio of exudates were significantly higher than transudates. Exudates exhibited significantly lower glucose fluid levels. Bacteriologically, 13 samples yielded a positive culture.Profiles of transudative and exudative pleural fluids correlated with their respective clinical conditions, reflecting different underlying mechanisms, thus verifying Light rsquo s criteria. Diagnostic values of pleural fluid analyses towards its clinical diagnosis yielded Sensitivity of 66.7 , Specificity of 67.9 , Positive Predictive Value of 90.6 and Negative Predictive Value of 27.1.

ABSTRAK
Pada Pleura Effusi terdapat akumulasi cairan pleura abnormal pada rongga pleura. Langkah pertama pada algoritme pleura effusi adalah kategorisasi cairan pleura menjadi transudat dan eksudat untuk menentukan diagnosis differensial. Cairan pleura transudat ditemukan pada etiologi sistemik dimana terdapat ketidakseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik. Cairan pleura eksudat ditemukan pada etiologi lokal dimana terdapat peningkatan permeabilitas. Cairan transudat dan eksudat dapat dibedakan menggunakan kriteria Light rsquo;s. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan profil analisis cairan pleura di Departemen Patologi Klinik, Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo RSCM dan untuk menginvestigasi nilai diagnostik analisis cairan pleura.Penelitian ini menggunakan sampel cairan pleura dari Departemen Patologi Klinik yang dipilih antara bulan Januari-Agustus 2016 secara konsekutif. Sampel berjumlah 199; 72 transudat, 127 eksudat dan 4 peralihan transudate ke eksudat. Demografik sampel adalah 56.3 perempuan dan 43.2 laki-laki. Umur berkisar antara 1 bulan-83 tahun dan rerata 45.3 tahun. Etiologi paling sering adalah keganasan 35.7 , diikuti dengan infeksi 22.1 . Dibandingkan dengan transudat, eksudat lebih banyak terdapat bekuan, hasil Rivalta positif dan lebih keruh. Leukosit, protein cairan, protein rasio, LDH cairan dan LDH rasio lebih tinggi pada eksudat. Glukosa cairan lebih rendah pada eksudat. 13 sampel menunjukkan kultur positif.Terdapat korelasi antara profil cairan pleura transudat dan eksudat dengan diagnosis klinis, menunjukkan adanya perbedaan mekanisme dan menggambarkan efektifitas kriteria Light rsquo;s. Nilai diagnostik analisis cairan pleura berupa sensitivitas 66.7 , spesifisitas 67.9 , nilai prediksi positif 90.6 dan nilai prediksi negatif 27.1"
2016
S70381
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nieza Femini Rissa
"Latar Belakang: Pada lansia, gangguan fungsi pendengaran ditandai dengan berkurangnya sensitivitas pendengaran dan pemahaman tutur pada suasana bising. Hal tersebut akibat gangguan pada penerimaan informasi akustik dan kemampuan melokalisir sumber suara pada proses pendengaran sentral.
Tujuan: Mengetahui nilai rerata ambang dengar, Speech Reception Threshold(SRT), Speech Discrimination Score(SDS), signal-to-noise ratio(SNR) dari audiometri nada murni, audiometri tutur, tutur dalam bising dan korelasinya, serta pengaruh faktor usia, jenis kelamin dan sisi telinga.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang, melibatkan 40 percontoh lansia di RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo. Percontoh yang memenuhi kriteria inklusi dilanjutkan dengan pemeriksaan audiometri tutur dan tutur dalam bising.
Hasil: Didapatkan nilai rerata ambang dengar sebesar 30,7±9,4dB, SRT50%33,2±12,0dB, SDS100%62,1±13,8dB pada audiometri tutur, SRT50%68,6±2,9dB, dan SDS100%83,7±6,6dB pada tutur dalam bising. Median SNRSRT50% -2,0dBSL(-7–14dBSL) dan SNRSDS100% 15,0(0–30dBSL). Terdapat korelasi sedang dan bermakna antara SRT50%(r=0,67) dan SDS100%(r=0,59) dengan audiometri nada murni(p<0,05). Selain itu, korelasi lemah(r=0,3) namun bermakna pada SRT50% dalam bising dengan audiometri nada murni (p<0,05). Didapatkan perbedaan bermakna pada SDS100% dan SNRSDS100% antar kelompok usia 60-69 dan 70-80 tahun(p<0,05).
Kesimpulan: Pemeriksaan audiometri nada murni, tutur dan tutur dalam bising sebaiknya menjadi pemeriksaan rutin pada lanjut usia, terutama yang mengalami gangguan pendengaran.

Background: In elderly, hearing impairment is characterized by reduced hearing sensitivity and speech recognition in noisy situations. 
Objectives: To determine the hearing threshold, SRT, SDS, and SNR from pure tone, speech and speech-in-noise audiometry and their respective correlation, also the influences of age, gender and ear side factors. 
Methods: A cross-sectional study involving 40 elderly samples in RSCM. Forty samples to meet the inclusion criteria were examined with speech audiometry and speech-in-noise audiometry. 
Results:  The mean hearing threshold is 30.7±9.4dB, SRT50% 33.2±12.0dB, SDS100% 62.1±13.8dB in speech audiometry and the SRT50% 68.6±2.9dB, and SDS100% 83.7±6.6dB in speech-in noise audiometry examination,. The median SNRSRT 50% in noise -2.0dBSL (-7 - 14dBSL) and SNRSDS100% in noise 15.0 (0-30 dB SL). There was moderate correlation between SRT50% (r=0.67) and SDS100% (r=0.59) with pure tone audiometry (p<0.05). In addition, a weak (r=0.3) but significant correlation was found at SRT50% in noise with pure tone audiometry (p<0.05). There were significant differences in SDS and SNRSDS in noise based on the age group (p<0.05). 
Conclusion: Examination of pure tone, speech and speech-in-noise audiometry should be a routine examination for the elderly, especially those with hearing loss.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riesta Hanjani
"Latar belakang: Adenokarsinoma prostat merupakan salah satu jenis kanker yang paling banyak didiagnosis pada laki-laki di seluruh dunia, dengan mayoritas pasien berusia di antara 60 ndash; 80 tahun. Usia adalah salah satu faktor risiko yang paling berperan, dan diperkirakan mempunyai andil dalam perkembangan penyakit ini.
Tujuan: Untuk menentukan korelasi antara usia dengan skor Gleason pada pasien dengan adenokarinoma prostat.
Metode Data mengenai usia dan skor Gleason diperoleh dari 101 sampel yang diambil dari lembar permintaan pemeriksaan pasien dari tahun 2011 sampai 2014, di Departemen Patologi Anatomik, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Analisis statistik Kendall's tau-b digunakan untuk menentukan korelasi.
Hasil: Usia rata-rata pasien adenokarsinoma prostat pada penelitian ini adalah 67,87 tahun dan kebanyakan pasien memiliki skor Gleason 9 48 pasien . Pada uji korelasi antara usia dan skor Gleason pasien didapat nilai p = 0,012 dan r = -0,193. Pasien di bawah 65 tahun memiliki rata-rata skor Gleason 8,588, pasien di atas 65 tahun tahun memiliki rata-rata skor Gleason 8,239. Pada uji non parametrik Mann ndash; Whitney didapat nilai p = 0,009.
Kesimpulan: Terdapat korelasi sangat lemah antara usia dengan skor Gleason pada pasien dengan adenokarsinoma prostat. dengan pasien muda cenderung memiliki skor Gleason yang lebih tinggi.

Background: Prostatic adenocarcinoma is one of the most common cancers diagnosed in men worldwide, with most patients being 60 ndash 80 years old. Age is one of the significant risk factors of the disease's development and progression.
Aim: To determine the correlation between age and Gleason score in patients with prostatic adenocarcinoma.
Methods: Data in regard to age and Gleason score of patients with prostatic adenocarcinoma were obtained from 101 samples from patients'request forms in 2011 to 2014, in Department of Anatomical Pathology, Cipto Mangunkusumo Hospital. Kendall's tau b statistical analysis was used to determine the correlation.
Results Mean age of patients in prostatic adenocarcinoma in this study is 67.87 years old, and most patients have Gleason score of 9 48 patients. On statistical analysis to determine correlation between age and Gleason score, we acquire p value of 0.012 and r value of 0.193. Patients below 65 years old have average Gleason score of 8.588, patients above 65 years old have average Gleason score of 8.239. On Mann ndash Whitney non parametric test, we acquire p value of 0.009.
Conclusion There was a very weak correlation between age and Gleason score in patients with prostatic adenocarcinoma with younger patients tend to have higher Gleason score.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>