Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 129650 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Silva Audya Perdana
"Perkembangan bahasa anak dipengaruhi oleh banyak faktor. Sekitar 5-8 anak usia prasekolah di Indonesia mengalami keterlambatan bicara. Anak pada usia yang sangat muda butuh stimulasi yang cukup agar dapat berkembang dengan optimal. Oleh sebab itu, jika anak dibiarkan lama menonton TV, kesempatan untuk mendapatkan stimulasi yang baik menjadi terhambat. Kurangnya stimulasi yang disebabkan oleh anak yang terlalu lama menonton TV, dapat berpengaruh terhadap perkembangan bahasa anak.
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan lama menonton TV dan perkembangan bahasa anak pada anak usia 18 bulan sampai 3 tahun.
Metode: Studi potong lintang digunakan pada studi ini dengan menggunakan data primer yang didapat melalui kuesoner. Adanya gangguan perkembangan bahasa anak ditentukan dengan menggunakan KPSP dan ELM Scale 2 Test.
Hasil: Durasi lama menonton TV pada anak dengan perkembangan bahasa normal dan keterlambatan perkembangan bahasa dibandingkan dan didapat p value senilai 0,002 dan OR = 4,4 95 CI . Bahasa yang digunakan pada tayangan TV Indonesia atau Indonesia dan Inggris berpengaruh secara signifikan p = 0,004 . Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada umur pertama anak menonton TV, pemakaian gadget, dan kepemilikan TV di dalam kamar.
Kesimpulan: Studi ini menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara lama menonton TV dan perkembangan bahasa. Anak yang menonton TV lebih dari 4 jam sehari memiliki risiko 4 kali lebih tinggi mengalami keterlambatan bicara.

Background: There are many factors that contribute to child language development. About 5 8 children in Indonesia experience delayed language. Children at young age are still learning to develop and need stimulation so that they can process it and learn from it. When children watch TV for a long time they get less stimulation. Less stimulation in this case may contribute to child language development.
Aim: To know if there is an association of intensity of watching TV and child language development.
Methods: This was a cross sectional study using primary data collected from questionnaires. The child language development was tested using KPSP and ELM Scale 2 Test.
Results: Duration of watching TV from both children with normal and delayed language development was measured. Result showed in p value of 0.002 and OR 4.4 95 CI . The language used in TV program Indonesian or both Indonesian and English also showed a significant data p 0.004 . Other variables such as gender, first age exposed to TV, the use of gadget and TV in bedroom had no significant association with child language development.
Conclusion: This study demonstrates that there is an association between intensity of watching TV and child language development. Children who watch TV exceeding 4 hours a day had four times higher risk to develop language delay.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Antonia C.C. Paramitha
"Latar belakang: Perkembangan anak merupakan isu besar di dunia dan jumlah kasus ketelambatan tumbuh kembang anak di Indonesia masih tinggi. Banyak faktor dapat mempengaruhi terjadinya keterlambatan tumbuh kembang anak, salah satunya adalah nutrisi anak pada awal kehidupannya yang diperoleh melalui ASI (Air Susu Ibu). WHO merekomendasikan agar semua bayi menerima ASI eksklusif dengan periode minimal 6 bulan untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Di Indonesia, terdapat peningkatan jumlah pemberian ASI tetapi jumlah tersebut masih dianggap rendah dan tidak memuaskan.
Tujuan: Penelitian bertujuan untuk mempelajari hubungan antara ASI eksklusif dengan perkembangan anak pada anak umur 9 ? 36 bulan.
Metode: Metode penelitian yang digunakan adalah potong lintang. Data mengenai perkembangan anak diperoleh dari tes dengan menggunakan Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP) sedangkan status ASI diperoleh dari kuesioner yang diisi oleh ibu dari anak yang dites. Dari 222 anak di Puskesmas Jatinegara dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), terdapat 89 anak yang memenuhi kriteria inklusi.
Hasil: Dari 89 anak yang dites, terdapat 39 anak dengan keterlambatan tumbuh kembang (43,82%) dan 29 anak dengan ASI eksklusif (32,58%). Proporsi anak dengan perkembangan normal adalah 56,18% dan persentase anak dengan ASI tidak eksklusif adalah 67,42%. Anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif memberikan kontribusi besar dalam kelompok anak dengan keterlambatan perkembangan (79,49%) dan 2,806 lebih tinggi mengalami keterlambatan perkembangan dibandingkan anak dengan ASI eksklusif.
Kesimpulan: Anak yang menerima ASI eksklusif memiliki perkembangan bahasa, motor dan sosial personal yang lebih baik dibandingkan dengan anak tanpa ASI eksklusif.

Background: Child development is a big issue in the world and the number of children with delayed development case in Indonesia is considered high. There are many factors that influence the occurrence of developmental delay including child's early nutrition, which is obtained through breastfeeding. WHO recommends for all babies to receive exclusive breastfeeding for at least 6 months to achieve optimal growth and development. In Indonesia, there is an increase percentage of breastfeeding however it is still considered low and unsatisfactory.
Aim: This research is conducted to study about the relationship between exclusive breastfeeding and child development in children aged 9 - 36 months old.
Methods: A cross sectional study was conducted using Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP) to obtain child development status and questionnaire on breastfeeding completed by mother. From 222 children in both Puskesmas Jatinegara and Cipto Mangunkusumo Hospital, there were 89 children who met the inclusion criteria of this study.
Results: From the 89 children, there were 39 children with developmental delay (43.82%) and 29 children with exclusive breastfeeding (32.58%). Children with normal development were 56.18% and the percentage of children with nonexclusive breastfeeding was 67.42%. Children with non-exclusive breastfeeding contributed higher in the delayed development group (79.49%) and have 2.806 times higher possibility to experience delayed development. compared with those with exclusive breastfeeding.
Conclusion: Children who get exclusive breastfeeding have better outcome in language, motor and social personal development compared to those with nonexclusive breastfeeding.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sembiring, Kevin Xaverius Bastanta
"Perkembangan anak di Indonesia masih menjadi salah satu masalah kesehatan yang belum terselesaikan. Padahal, perkembangan anak yang optimal menentukan kualitas sumber daya manusia nantinya. Faktor yang memengaruhi perkembangan seorang anak dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara faktor sosiodemografi yang terdiri dari usia, jenis kelamin, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, status ekonomi, dan besar keluarga dengan perkembangan anak usia 6 sampai 36 bulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi anak dengan perkembangan meragukan adalah 40% sedangkan perkembangan menyimpang sebesar 4,8%. Karakteristik anak berdasarkan faktor sosiodemografi adalah sebagai berikut: 44,8% berusia 6-18 bulan; 48% adalah perempuan; 28,8% memiliki ayah dengan pekerjaan formal; 93,6% memiliki ibu dengan pekerjaan informal; 71,2% memiliki ayah dengan pendidikan menengah ? tinggi; 34,4% memiliki ibu dengan pendidikan rendah; 77,6% berada di atas garis kemiskinan; dan 32% tergolong keluraga extended. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa pendidikan ayah dan status ekonomi memiliki hubungan yang bermakna secara statistik (p-value < 0,05) dengan perkembangan anak. Faktor sosiodemografi lainnya tidak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna secara statistik (p-value > 0,05).

Child development remains one of many unsolved health problems in Indonesia. Eventually, optimal child development determines the quality of human resources in one country. Factors that influence the child development can be divided into two, genetic and environment. This research aims to look for the association between sociodemographic factors such as age, gender, parents? occupation, parents? educational background, economic status, and family structures with development on children aged 6 to 36 months old.
Results show prevalence of doubted development was 40% and deviated development was 4,8%. Characteristics of subjects by sociodemographic factors were as follows: 44,8% aged 6-18 months old; 48% were female; 28,8% had father with formal job; 93,6% had mother with informal job; 71,2% had father with intermediate ? high education; 34,4% had mother with low education; 77,6% were below the poverty line; and 32% classified as extended family. Bivariate analysis test shows father?s educational background and economic status have statistically relevant relation with child development. Other sociodemographic factors show no statistically relevant relation with child development.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nugroho Danu Tri Subroto
"Latar Belakang: Angka prevalensi GSA semakin meningkat dan kekhawatiran orang tua tentang kondisi anaknya, mendorong dilakukannya skrining deteksi dini GSA. Beberapa tanda untuk deteksi dini GSA yaitu 1) respon terhadap godaan, 2) respon ketika dipanggil dan 3) respon terhadap penghambatan. Terdapat tanda lain yang dapat digunakan sebagai deteksi dini GSA, yaitu respon colek. Tujuan: Mengetahui seberapa besar nilai diagnostik respon colek dalam mendeteksi GSA pada anak usia 18 bulan - 4 tahun dengan keterlambatan bicara. Metode:Studi potong lintang dilakukan terhadap subyek berusia 18 bulan - 4 tahun dengan keterlambatan bicara. Pada subyek diberikan rangsangan colek, godaan saat bermain, dipanggil namanya saat bermain dan penghambatan saat bermain (dengan tangan) kemudian dinilai respon subyek terhadap pemberi respon. Subyek kemudian dikelompokkan menjadi 2 kelompok, GSA dan bukan GSA berdasarkan kriteria DSM-5. Hasil:Dibandingkan ketiga respon lain, respon colek memiliki spesifitas paling tinggi (93%) dengan sensitivitas 75% dalam mendeteksi GSA. Bila ke 4 pemeriksaan uji diagnostik digabungkan, dengan hasil tes negatif menandakan tidak adanya respon terhadap pemeriksaan, maka akan didapatkan nilai spesifisitas sangat tinggi (100%) dengan sensitivitas 42%. Simpulan: Dibandingkan ketiga pemeriksaan yang sudah ada, respon colek memiliki spesifisitas paling tinggi dalam menyingkirkan GSA pada anak dengan keterlambatan bicara.
Background: ASD prevalence are increasing and parents' concerns about their child's condition, encourage early detection by screening of ASD. Several signs for early detection of ASD: 1) teasing response, 2) calling response, 3) blocking response. There are other signs can be used as early detection of ASD, which is a poke response. Objective:To know the diagnostic value of poke response in detecting ASD in children aged 18 months - 4 years with speech delay. Methods:A cross-sectional study was conducted on subjects aged 18 months - 4 years with speech delay. The subjects given poke stimulation, teasing when playing, called by name and inhibition when playing then assessed the subject's responses. The subjects were grouped into 2 groups, ASD and not ASD based on DSM-5. Results:Compared to the other 3 responses, poke response had the highest specificity (93%) with 75% sensitivity in detecting ASD. If all 4 diagnostic test examinations are combined, with a negative test result indicating no response to the examination, a very high specificity (100%) with a sensitivity of 42% will be obtained. Conclusion:Compared the others, the poke response has the highest specificity to rule out ASD in children with speech delay."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ivan Riyanto Widjaja
"Latar belakang: Keterlambatan bicara merupakan gejala yang paling sering menjadi alasan orang tua membawa anak dengan gangguan spektrum autis (GSA) untuk berobat. Walaupun demikian menegakkan diagnosis GSA tidaklah mudah dan tidak banyak tenaga kesehatan yang mampu melakukannya. Indonesia merupakan suatu negara kepulauan dengan jumlah tenaga kesehatan yang terbatas sehingga kerap kali sulit melakukan diagnosis. Kuesioner Keterlambatan Bicara “Anakku” diharapkan dapat digunakan sebagai alat diagnosis yang mudah dan sahih serta dapat menjangkau seluruh pelosok Indonesia.
Metode: Studi diagnostik yang dilakukan terhadap anak usia 18 bulan – 3 tahun yang datang ke klinik dokter spesialis anak konsultan neurologi dengan keterlambatan bicara. Tahap awal dilakukan uji validasi kuesioner pada populasi yang sama. Setelah itu, dilakukan pembuatan kurva ROC terhadap kuesioner yang telah divalidasi untuk menentukan titik potong skor. Komponen yang dinilai adalah skor gangguan interaksi, skor gangguan komunikasi non-verbal, dan skor perilaku repetitif. Diagnosis GSA berdasarkan kuesioner bila terdapat gangguan interaksi dan perilaku repetitif. Sebagai baku emas adalah penegakkan diagnosis GSA oleh konsultan neurologi anak yang dilakukan berdasarkan DSM-5.
Hasil penelitian: Validasi kuesioner menunjukkan validitas (seluruh pertanyaan memiliki r > 0,251 dengan p < 0,05) dan reabilitas (Cronbach alpha 0,906 untuk skor interaksi, 0,853 untuk komunikasi non-verbal, dan 0,766 untuk skor perilaku stereotipik/repetitif) yang baik. Titik potong skor gangguan interaksi adalah nilai 6 ke atas menunjukkan gangguan dengan nilai sensitifitas 0,857 dan spesifisitas 0,762. Titik potong skor gangguan komunikasi adalah nilai 7 ke atas menunjukkan gangguan dengan nilai sensitifitas 0,833 dan spesifisitas adalah 0,944. Titik potong skor perilaku stereotipik/repetitif adalah nilai 4 ke atas menunjukkan gangguan dengan nilai sensitifitas 0,769 dan spesifisitas adalah 0,571. Selama penelitian didapatkan 134 anak dengan rerata usia 27,6±5,35 bulan dan 59 (44%) datang dengan gangguan spektrum autis. Angka kejadian GSA adalah Kuesioner keterlambatan bicara Anakku memiliki sensitifitas 0,86; spesifisitas 0,83; LR+ 5,06; LR- 0,17; nilai duga positif 0,8; nilai duga negatif 0,89 dalam mendiagnosis GSA.
Simpulan: Kuesioner keterlambatan bicara Anakku memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang cukup baik untuk menegakkan diagnosis GSA pada anak usia 18 bulan – 3 tahun yang datang dengan keterlambatan bicara.

Introduction: Children with autism spectrum disorder (ASD) frequently come with speech delay. Diagnosing ASD is tricky since it is based on examiner observational skill while no laboratory or radiology result can lead to ASD diagnosis. ASDQ is a self-administered rating scale questionnaire with 3 scoring domain (interaction deficit score, communication deficit score, and stereotypic/repetitive behaviour score). This study meant to evaluate the diagnostic performance of ASDQ for speech delay related ASD.
Method: Parents who brought their child age 18 months to 3 years to the assigned neuropediatric clinics with speech delay were asked to fill the self-administered ASDQ. Questionnaire was validated, ROC curves were made, and cut off points were calculated. ASD based on ASDQ is diagnosed if there is interaction deficit with stereotypic/repetitive patterns. Final diagnosis is based on child neurology expertise with DSM-5 criteria as the gold standard.
Result: Validation of ASDQ showed that it was valid (all question had r > 0.251 with p < 0.05) and reliable (Cronbach alpha 0.906 for interaction deficit score, 0,853 for non-verbal communication deficit score, and 0.766 for stereotypic/repetitive behaviour score). Cut off point for interaction deficit score was ³6 with 0.857 sensitivity and 0.762 specificity. Cut off point for communication deficit score was ³7 with 0.833 sensitivity and 0.944 specificity. Cut off point for stereotypic/repetitive behaviour score was ³4 with 0.833 sensitivity and 0.944 specificity. Prevalence of ASD was 59 (44.6%) out of 134 children aged 18 months – 3 years old come with speech delay with mean age 27,6±5,35 months. Diagnostic specification for ASDQ in diagnosing ASD was 0.86 sensitivity, 0.83 specificity, 5.06 positive likelihood ratio, 0.17 negative likelihood ratio, 0.8 positive predictive value, 0.89 negative predictive value.
Conclusion: ASDQ has good sensitivity and specificity for diagnosing ASD in children age 18 months – 3 years old with speech delay.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Saffanah Elvireina
"Latar Belakang: Asupan susu telah direkomendasikan untuk berkontribusi pada pertumbuhan anak di banyak negara, namun hubungan antara asupan susu dan hasil antropometri pada anak di Jakarta belum dipahami secara jelas. Tujuannya untuk mendeskripsikan anak usia 12-36 bulan yang mengkonsumsi produk susu di Jakarta dan mengetahui apakah konsumsi produk susu berhubungan dengan skor WAZ. Metode: Penelitian cross sectional ini berdasarkan data sekunder yang diambil dari anak usia 6-36 bulan September-Oktober 2020. Partisipan penelitian ini adalah anak usia 12- 36 bulan (n=145). Paparan berupa frekuensi konsumsi produk susu dalam hari/minggu dan jenis asupan susu yang dikonsumsi dengan SQ-FFQ. Hasil utamanya adalah skor WAZ. Karakteristik responden adalah jenis kelamin, berat lahir, riwayat ASI eksklusif, pendidikan orang tua, dan pendapatan keluarga. Uji T-Independent digunakan untuk mengetahui hubungan antara asupan susu dan skor WAZ. Hasil: Terdapat perbedaan yang bermakna pada skor WAZ anak usia 1 sampai 3 tahun dengan asupan susu lebih dari 7 hari/minggu dibandingkan dengan anak dengan asupan susu kurang dari 7 hari/minggu (p=0,029). Selain itu, anak dengan jenis kelamin Wanita (p=0,007), memiliki riwayat ASI eksklusif (p=0,006), dan yang mengonsumsi mentega (p=0,013) memiliki skor WAZ yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang tidak mengonsumsi. Kesimpulan: Frekuensi konsumsi susu berhubungan dengan skor WAZ pada anak usia 1-3 tahun.

Background: Dairy intake has been recommended to contribute to child growth in many countries, but the relationship between dairy intake and anthropometric results among children in Jakarta is not clearly understood. The aim is to describe children aged 12-36 months who consume dairy products in Jakarta and determine whether consumption of dairy products is associated with the WAZ score. Method: This cross-sectional research is based on secondary data which taken from children aged 6-36 in September-October 2020. Participants of this study were children aged 12-36 months or 1 to 3 years old (n=145). The exposure was frequency consumption of dairy products in days/week and types of dairy intake taken with SQ-FFQ. The main outcome was the WAZ score. The respondents’ characteristics were gender, birth weight, history of exclusive breastfeeding, parents' education, and family income. T-Independent test is used to determine the relationship between dairy intake and WAZ score. Results: There was a significant difference in WAZ score of children aged 1 to 3 years with dairy intake more than 7 days/week compared with those with dairy intake less than 7 days/week (p=0.029). On top of that, children with female gender (p=0.007), have a history of exclusive breastfeeding (p=0.006), and who consumed butter (p=0.013) have higher WAZ score compared with children who did not consume. Conclusion: Frequency of dairy intake consumption is related to WAZ scores in children aged 1-3 years."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Agung Ngurah Sugitha Adnyana
"Latar Belakang: Bayi berat lahir rendah(<2500 gram) atau prematur merupakan salah satu kondisi bayi risiko tinggi. Keterlambatan perkembangan bahasa dan kognitif merupakan salah satu gangguan yang sering dijumpai pada anak dengan riwayat berat lahir rendah/prematur. Bayi berat lahir rendah lebih sering disertai dengan kondisi medis yang memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan.
Tujuan: Mendapatkan prevalens dan faktor risiko keterlambatan perkembangan bahasa dan kognitif pada anak usia 12-18 bulan dengan riwayat berat lahir rendah.
Metode: Rancangan penelitian adalah potong lintang untuk menilai perkembangan bahasa dan kognitif dengan menggunakan alat skrining Capute scales pada anak usia 12-18 bulan yang mempunyai riwayat berat lahir rendah. Sampel diambil secara konsekutif di poliklinik anak RSUP Sanglah Denpasar, Agustus 2015-April 2016.
Hasil Penelitian: Subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini sebanyak 160 orang. Usia rerata subyek adalah 15,69 (SB 2,19) bulan. Prevalens keterlambatan perkembangan bahasa dan kognitif pada anak dengan riwayat berat lahir rendah sebesar 28,1%. Analisis multivariat didapatkan berat lahir <1500 gram merupakan faktor risiko terjadinya keterlambatan perkembangan bahasa dan kognitif (visio-motor) sebesar 10,2 kali lebih banyak dibandingkan berat lahir 1500-<2500 gram (RP 10,260; IK95% 2,265-46,478; P 0,003).
Simpulan: Prevalens keterlambatan perkembangan bahasa dan kognitif pada anak usia 12-18 bulan dengan riwayat berat lahir rendah sebesar 28,1%. Bayi berat lahir <1500 gram sebagai faktor risiko keterlambatan perkembangan bahasa dan kognitif.

Background: Low birth weight (LBW) (<2500 g) or premature baby is one of thehigh-risk conditions. Language and cognitive developmental delay is one of the disorders are often found in children with low birth weight/preterm. Infant with low birth weight more frequently accompanied by a medical condition that affects growth and development.
Objective: To find the prevalence and risk factors of language and cognitive developmental delay in children aged 12-18 months with low birth weight.
Methods: A cross-sectional study design was to assess language and cognitive development by using Capute scales screening tool in children aged 12-18 months who have low birth weight. Samples are taken consecutively in a child outpatient clinic Sanglah Hospital Denpasar, August 2015-April 2016.
Results: Subjects who meet the inclusion and exclusion criteria in the study of 160 people. The average age of the subjects was 15.69 (SD 2.19) months. Prevalence of language and cognitive developmental delay in children with low birth weight was 28.1%. On multivariate analysis, obtained birth weight <1500 g is a risk factor for language and cognitive (visio-motor) developmental delay of 10.2 times more often than the birth weight 1500 to <2500 g (PR 10.260; 95%CI from 2.265 to 46.478; P 0.003).
Conclusions: The prevalence of language and cognitive developmental delay in children aged 12-18 months with low birth weight is 28.1%. Birth weight <1500 g is risk factor of language and cognitive developmental delay.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rosita Magdalena Halim
"Masa pre-sekolah merupakan usia golden era pada anak. Usia 4-6 tahun adalah kelompok usia anak yang sudah mendapatkan pendidikan semi formal seperti TPA. Pada usia tersebut adalah sangat penting untuk mengetahui perkembangan anak. TPA RSPAD Gatot Soebroto adalah TPA yang berada di bawah asuhan Departemen Anak dan Departemen Psikiatri RSPAD Gatot Soebroto, namun belum pernah dilakukan pemeriksaan perkembangan anak di tempat tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perkembangan personal sosial, adaptif-motorik halus, bahasa dan motor kasar pada anak usia 3-6 tahun di TPA RSPAD Gatot Soebroto. Penelitian dilakukan dengan kuesioner pada orang tua anak dan pemeriksaan Denver II pada seluruh anak yang ada di TPA. Studi ini dilakukan pada 17 anak yang terdaftar di TPA. Sebanyak 3 anak ditemukan dengan suspek keterlambatan perkembangan. Seorang anak dengan suspek keterlambatan pada aspek personal-sosial, adapatif-motorik halus, motorik kasar dan berbahasa. Satu orang anak dengan suspek keterlambatan pada semua aspek kecuali bahasa dan satu orang lainnya dengan suspek keterlambatan pada semua aspek kecuali motorik kasar. Studi ini menyimpulkan bahwa sebanyak 17,6% anak usia 3-6 tahun di TPA RSPAD Gatot Soebroto adalah anak dengan suspek keterlambatan perkembangan pada pemeriksaan Denver II. Oleh karena itu, disarankan agar dilakukan deteksi dini secara berkala pada anak yang ada di TPA RSPAD Gatot Soebroto sehingga keterlambatan perkembangan tersebut dalam diatasi sedini mungkin.

The pre-school period is the golden age of a child. Age of 4-6 years is when children began to receive semi-formal education such as TPA. TPA RSPAD Gatot Soebroto is a daycare under the Department of Pediatrics and the Department of Psychiatry, RSPAD Gatot Soebroto. It is important to be able to detect the child’s development at this golden stage. However, there has never been a child development screening conducted in this TPA. This research was conducted to determine the personal social, adaptive-fine motor skills, language and gross motor skills development in children aged 3-6 years at TPA RSPAD Gatot Soebroto. The study was conducted with a questionnaire on the child's parents and a Denver II examination for all children in the TPA. This study was conducted on 17 children who are registered in the TPA. A total of 3 children were suspected to have a delayed development; one with suspicion of delay in all aspects (personal-social, adaptive-fine motor, language, and gross motor); one other is suspected with delay in all aspects except language and another is suspected with delay in all aspects except gross motor skills. This study concluded that 17.6% of children aged 3-6 years at TPA RSPAD Gatot Soebroto were in suspicion of having developmental delays during the Denver II examination. Therefore, this research recommends to do regular developmental early detection for at TPA RSPAD so developmental delayed can be detected and treated as early as possible."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Ismatullah
"Latar belakang: Penggunaan media digital, termasuk gawai, telah menjadi bagian penting dalam kehidupan anak. Paparan media digital pada anak dikaitkan dengan risiko keterlambatan perkembangan. Tujuan penelitian ini adalah mengeksplorasi hubungan antara penggunaan gawai dan keterlambatan perkembangan bahasa pada anak usia 2-3 tahun.

Metode: Penelitian kasus kontrol ini mengikutsertakan anak usia 2-3 tahun di Jakarta dan Bekasi yang diambil secara consecutive sampling. Kelompok kasus terdiri dari pasien rawat jalan dari klinik tumbuh kembang dengan diagnosis keterlambatan bahasa; tanpa adanya kelainan bawaan, keterlambatan global, gangguan neurologis, dan gangguan perilaku. Diagnosis ditegakkan oleh dokter anak konsultan tumbuh kembang yang dituliskan pada rekam medis. Kelompok kontrol adalah anak tanpa keterlambatan bahasa yang diambil di klinik vaksinasi. Berdasarkan wawancara orangtua, setiap kelompok diidentifikasi riwayat penggunaan gawai (onset penggunaan, durasi harian, dan pendampingan) dan dianalisis hubungannya dengan perkembangan bahasa anak dengan mempertimbangkan faktor perancu lainnya.

Hasil: Sebanyak 43 subjek kelompok kasus dan 104 subjek kelompok kontrol diikutsertakan dalam penelitian ini. Durasi penggunaan gawai lebih dari 4 jam per hari disertai faktor pengasuhan utama meningkatkan risiko terjadinya keterlambatan bahasa anak usia 2-3 tahun (adjusted OR 6,899; IK 95% 1,655 – 28,757; p 0,008). Onset penggunaan gawai tidak meningkatkan risiko keterlambatan bahasa anak, dengan atau tanpa mempertimbangkan pendidikan ibu dan pengasuh utama anak (OR 2,162; IK 95% 0,961 – 4,867; p 0,063). Pendampingan penggunaan gawai tidak meningkatkan risiko keterlambatan bahasa anak secara signifikan, dan terdapat peranan pengasuh utama dalam hubungan tersebut (adjusted OR 1,972; IK 95% 0,631 – 6,162; p 0,243). Pada variabel perancu, pengasuh utama anak memiliki peranan penting dalam hubungan antara durasi harian dan pendampingan penggunaan gawai terhadap keterlambatan bahasa anak, sedangkan pendidikan ibu tidak berperan dalam hubungan tersebut.

Kesimpulan: Durasi penggunaan gawai lebih dari 4 jam per hari disertai faktor pengasuhan utama meningkatkan risiko terjadinya keterlambatan bahasa anak usia 2-3 tahun.


Background: The use of digital media, including gadgets, has become an important part of children's daily lives. Exposure to digital media in children is associated with the risk of developmental delays. The aim of this research is to explore the relationship between gadget use and delayed language development in children aged 2-3 years.

Methods: This case control study included children aged 2-3 years in Jakarta and Bekasi using consecutive sampling. The case group consists of outpatients from growth and developmental clinic with diagnosis of language delay; in the absence of congenital abnormalities, global delays, neurological disorders, and behavioral disorders. The diagnosis was made by a growth and development consultant pediatrician and written in the medical record. The control group was children without language delays taken at vaccination clinic. Through parent interviews, each group's history of device use has been identified (onset of use, daily duration, and parental supervision) and its relationship with children's language development has been analyzed by considering other confounding factors.

Results: A total of 43 case group subjects and 104 control group subjects were included in this study. The duration of daily gadget use exceeds 4 hours, combined with primary caregiver factors, increases the risk of language delay in children aged 2-3 years (adjusted OR 6.899; 95% CI 1.655 – 28.757; p 0.008). The onset of gadget use does not increase the risk of child language delay, regardless of whether maternal education and primary caregiver are considered (OR 2.162; 95% CI 0.961 – 4.867; p 0.063). Parental supervision of gadget use does not significantly increase the risk of language delay in children, and the primary caregiver plays a role in this relationship (adjusted OR 1.972; 95% CI 0.631 – 6.162; p 0.243). In terms of confounding variables, the primary caregiver plays an important role in the relationship between duration of daily gadget use and parental supervision regarding child language delay, while maternal education does not influence this association.

Conclusion: The duration of daily gadget use exceeds 4 hours, combined with primary caregiver factors, increases the risk of language delay in children aged 2-3 years."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melita Adiwidjaja
"Defisiensi besi adalah defisiensi mikronutrien yang paling sering ditemui. Jika tidak diobati, dapat menyebabkan anemia defisiensi besi dan gangguan kognitif, terutama pada anak usia sekolah, yang ireversibel. Diagnosis defisiensi besi rumit, tidak praktis, dan mahal. Organisasi AAP merekomendasikan RET-He sebagai pemeriksaan laboratorium untuk skrining defisiensi besi. Tujuan penelitian adalah untuk mencari nilai batasan RET-He untuk skrining status besi pada anak usia 6 – 18 tahun. Studi ini merupakan studi potong lintang terhadap 207 anak sehat usia 6 - 18 tahun di Indonesia. Penelitian ini mencari nilai batasan RET-He untuk skrining status besi, kemudian dibandingkan dengan hemoglobin, mean corpuscular volume, feritin, dan saturasi transferin. Kurva ROC dikerjakan untuk menentukan nilai batasan RET-He untuk skrining status besi dengan menggunakan IBM SPSS versi 22. Pemeriksaan RET-He mendapatkan nilai batasan ≤ 30,3 pg (sensitivitas 100%, spesifisitas 19,7%, NDN 100%, NDP 5,4%) untuk skrining deplesi besi; nilai batasan RET-He ≤ 28,9 pg (sensitivitas 78,9%, spesifisitas 56,2%, NDN 92,2%, dan NDP 28,9%) untuk defisiensi besi; dan nilai batasan RET-He ≤ 27 pg (sensitivitas 75%, spesifisitas 80%, NDN 98,1%, dan NDP 18,7%) untuk anemia defisiensi besi. Peneliti menarik kesimpulan bahwa RET-He dapat digunakan sebagai parameter skrining defisiensi besi dengan nilai batasan ≤ 28,9 pg. Skrining untuk anemia defisiensi besi dapat menggunakan RET-He dengan nilai batasan ≤ 27 pg, namun harus dilakukan dengan parameter lain, seperti Hb. Pemeriksaan RET-He dengan nilai batasan ≤ 30,3 pg tidak dapat digunakan untuk skrining deplesi besi.

Iron deficiency (ID) is the most common micronutrient deficiency in the world. Left untreated, ID will lead to iron deficiency anemia (IDA) and other irreversible consequences. Screening iron deficiency is complex, impractical, and expensive. The AAP recommended RET-He as an alternative laboratory examination to screen ID. The objective is to find RET-He cut-off value to screen for iron status in healthy children, aged 6 – 18 years old. This study is a cross-sectional study of 207 children aged 6 – 18 years old in Indonesia. RET-He was compared with hemoglobin, mean corpuscular volume, ferritin to assess iron status in children. Receiver operating curve was performed to determine the optimal cut-off value for RET-He using IBM SPSS 22. Reticulocyte hemoglobin equivalent with cut-off value ≤ 30.3 pg was established to screen iron depletion (100% sensitivity, 19.7% specificity, 100% NPV, 5.4% PPV); meanwhile RET-He ≤ 28.9 pg to screen iron deficiency (78.9% sensitivity, 56.2% specificity, 92.2% NPV, 28.9% PPV); and RET-He ≤ 27 pg to screen IDA (75% sensitivity, 80% specificity, 98.1% NPV, 18.7% PPV). The researcher concluded that RET-He can be used as an iron deficiency screening parameter with a cut-off value ≤ 28.9 pg. Screening for IDA with RET-He ≤ 27 pg need to be done with other parameters, such as Hb. RET-He ≤ 30.3 pg cannot be used for iron depletion."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59203
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>