Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 101697 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Iris Rengganis
Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2016
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ivan Damara
"ABSTRACT
Background. Indonesia has the second highest tuberculosis (TB) prevalance in the world. In this TB endemic country, immunocompromised patients, in particular SLE patients are at increased risk of gaining infection. Therefore, it is crucial to identify the risk factors of TB in SLE patients to help clinicians and patients to prevent occurence of TB. Methods. We conduct a case control study of 24 SLE patients with active TB infection and compare it with 24 age and sex matched SLE controls. Data were collected from Cipto Mangukusumo National Hospital from 2012-2016. SLE diagnosis is based on ACR 2012 criteria and all site of TB were included. Patients with comorbidites (diabetes, HIV, CKD) are excluded. Results. Cumulative steroid dose of 2,115±1,368 mg for the last three months significantly correlate with the occurence of TB (p<0.048). Lupus nephritis and administration of pulse steroid in three months elevate the risk of TB (OR=13, OR=9). High level of ESR (81±39 mm/h) compared to control (42+26 mm/h) is associated with the developement of TB. The proportion of extrapulmonary tuberculosis is 33%. Conclusion. Increasing the awareness and cautiousness of SLE patients with these risk factors, especially in TB endemic countries are important to prevent TB.

ABSTRACT
Latar Belakang. Indonesia merupakan negara dengan prevalensi tuberkulosis tertinggi kedua di dunia. Dalam negara endemik tuberkulosis ini, pasien dengan imunokompromi secara kususnya pasien SLE mempunyai resiko lebih tinggi untuk terkena infeksi TB. Maka itu, adalah penting untuk mengidentifikasi faktor resiko TB pada pasien SLE untuk membantu klinisi dan pasien guna mencegah Tuberkulosis. Metode. Kami melakukan sebuah studi kasus-kontrol dengan 24 pasien SLE yang mempunyai infeksi TB aktif dan membandingkannya dengan 24 kontrol matching umur dan usia. Data didapatkan dari rumah sakit nasional Cipto Mangukusumo dari 2012-2016. Diagnosis SLE berdasarkan kriteria ACR tahun 2012 dan semua situs infeksi TB diinklusikan. Pasien dengan komorbiditas (diabetes, HIV, CKD) dieksklusi. Hasil. Dosis kumulatif kortikosteroid 2,115±1,368 mg selama tiga bulan terakhir berkorelasi secara signifikan dengan kejadian infeksi TB (p<0.048). Keberadaan lupus nefritis dan administrasi pulse kortikosteroid dalam kurun waktu tiga bulan meningkatkan risiko infeksi TB (OR=14, OR=9). Tingginya kadar LED (81±39 mm/h) dibandingkan dengan kontrol (42+26 mm/h) juga berkontribusi secara positif dalam kejadian infeksi TB. Proposi TB ekstrapulmoner adalah 33%. Kesimpulan. Penting untuk meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan terutama pada daerah endemik TB, terhadap pasien SLE dagan faktor risiko diatas upaya mecegah terjadinya TB. "
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deshinta Putri Mulya
"[ABSTRAK
Latar Belakang : Pada penderita Systemic Lupus Erythematosus (SLE) terdapat defek pada sel T regulator baik dalam hal jumlah maupun fungsi sel T regulator. Pemberian probiotik dalam hal ini pemberian Lactabacillus reuteri diharapkan mampu menstimulasi timbulnya respon imun yang bersifat imunoregulator dengan cara meningkatkan jumlah sel T regulator dan menurunkan produksi IL6. Tujuan : Mengetahui pengaruh pemberian probiotik terhadap toleransi sistem imun penderita SLE melalui perubahan kadar T regulator (CD4+CD25+Foxp3+) dan IL 6. Metode :30 subjek pasien SLE dengan manifestasi ringan yang datang ke poliklinik Alergi Imunologi RSCM, diberikan probiotik Lactobacillus reuteri (15 orang) dan placebo (15 orang) selama 8 minggu. CD4+CD25+FoxP3+ dan IL 6 diperiksa sebelum dan sesudah perlakuan menggunakan flowcytometri dan pemeriksaan ELISA. Hasil : Pemberian Lactobacillus reuteri selama 8 minggu meningkatkan kadarCD4+CD25+FoxP3+secara bermakna (1,38+ 8,36% VS 3,71+3,17% ; P=0,007 ; CI =-3,91 ? -0,74) . Terdapat penurunan kadar IL 6 setelah perlakuan, baik pada kelompok yang diberikan Lactobacillus reuteri (4,76+5,75 pg/ml VS 3,7 +3,36 pg/ml ; P=0,25 ; CI -0,83- 2,9) maupun pada kelompok placebo ( 2,6+2,02 pg/ml VS 2,07+2,39 ; P= 0,35 ; CI = -0,57 ? 1,52). Namun begitu, pada akhir penelitian perubahan tersebut tidak menimbulkan perbedaan bermakna kadar CD4+CD25+FoxP3+dan IL 6antara kedua kelompok. Kesimpulan :Terjadi peningkatan bermakna kadar CD4+CD25+FoxP3+ pada kelompok yang diberikan probiotik Lactobacillus reuteri selama 8 minggu.

ABSTRACT
Backgroud : In patients with Systemic Lupus Erythematosus (SLE) there are
abnormality on T lymphocytes, including the existence of a defect in the regulatory T
cells both in terms of number and function. Giving probiotic, in this case
Lactabacillus reuteri administration, is expected to stimulate the immune response to
be more tolerance by increasing the number of regulatory T cells and decreasing the
IL6 production.
Aim : To know the effect of probiotic (Lactobacillus reuteri ) on the immune system
of patients with SLE through changes in the levels of regulatory T cells (CD4+CD25+
Foxp3+) and IL 6
Method :Thirty ofSLE patients with mild manifestations, who came to Allergy and
Immunology Clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital, were given the probiotic
Lactobacillus reuteri (15 people) and placebo (15 people) for 8 weeks. CD4+ CD25 +
FoxP3+ and IL 6 were examined before and after exposure using flowcytometri and
ELISA. We then analyzed the levels of CD4 + CD25 + FoxP3 + and IL6 before and
after exposure.
Result : Administration of Lactobacillus reuteri for 8 weeks brought statistically
significant improvement on CD4+ CD25 + FoxP3 +level (1,38+ 8.36% + 3.17% vs.
3.71; P = 0.007; CI = -3.91 - -0.74). There were decreased level of IL 6 in
Lactobacillus reuteri group (4.76 + 5.75 pg / ml VS3,71 + 3.36 pg / ml; P = 0.25; CI -
0,83- 2, 9) and the placebo group (2.6 + 2.02 pg / ml vs. 2.07 + 2.39; P = 0.35; CI = -
0.57 - 1.5). However,at the end of study, those changes didn?t make statistically
significant difference of CD4+CD25+FoxP3+ and IL 6 level between two group.
Conclusion : A significant increase of the levels of CD4 + CD25 + FoxP3 + were found
after 8 weeks Lactobacillus reuteri administration, Backgroud : In patients with Systemic Lupus Erythematosus (SLE) there are
abnormality on T lymphocytes, including the existence of a defect in the regulatory T
cells both in terms of number and function. Giving probiotic, in this case
Lactabacillus reuteri administration, is expected to stimulate the immune response to
be more tolerance by increasing the number of regulatory T cells and decreasing the
IL6 production.
Aim : To know the effect of probiotic (Lactobacillus reuteri ) on the immune system
of patients with SLE through changes in the levels of regulatory T cells (CD4+CD25+
Foxp3+) and IL 6
Method :Thirty ofSLE patients with mild manifestations, who came to Allergy and
Immunology Clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital, were given the probiotic
Lactobacillus reuteri (15 people) and placebo (15 people) for 8 weeks. CD4+ CD25 +
FoxP3+ and IL 6 were examined before and after exposure using flowcytometri and
ELISA. We then analyzed the levels of CD4 + CD25 + FoxP3 + and IL6 before and
after exposure.
Result : Administration of Lactobacillus reuteri for 8 weeks brought statistically
significant improvement on CD4+ CD25 + FoxP3 +level (1,38+ 8.36% + 3.17% vs.
3.71; P = 0.007; CI = -3.91 - -0.74). There were decreased level of IL 6 in
Lactobacillus reuteri group (4.76 + 5.75 pg / ml VS3,71 + 3.36 pg / ml; P = 0.25; CI -
0,83- 2, 9) and the placebo group (2.6 + 2.02 pg / ml vs. 2.07 + 2.39; P = 0.35; CI = -
0.57 - 1.5). However,at the end of study, those changes didn’t make statistically
significant difference of CD4+CD25+FoxP3+ and IL 6 level between two group.
Conclusion : A significant increase of the levels of CD4 + CD25 + FoxP3 + were found
after 8 weeks Lactobacillus reuteri administration]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurlaksmi Handayani
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran konsep diri penderita SLE (Systemic Lupus Erythematosus) sebelum dan setelah didiagnosis menderita SLE. SLE adalah suatu penyakit yang menyebabkan peradangan yang kronis dengan penyebab yang tidak diketahui dan mempengaruhi kulit, sendi, ginjal, paru-paru, sistem syaraf, membran serous, dan organ tubuh lainnya (Schur dalam Kelley, Harris, Jr., Ruddy, & Sledge, 1981).
Sebagai suatu penyakit kronis, SLE memiliki dampak terhadap berbagai aspekaspek kehidupan penderitanya dan dapat mempengaruhi konsep diri penderitanya. Berbagai gejala fisik yang harus dialami oleh penderita, keterbatasan-keterbatasan daiam melakukan aktivitas sehari-hari, stigma negatif seperti rasa iba dan penolakan dari keluarga dan lingkungan dapat membuat penderita merasa frustrasi dan stres.
Wanita dari tahapan usia subur (18-40 tahun) merupakan golongan terbanyak menderita SLE. Seringkali mereka merasa takut tidak dapat memiliki keturunan disebabkan oleh penyakit ini. Padahal tahapan usia tersebut merupakan tahapan usia dewasa muda dimana salah satu tugas perkembangannya adalah berkeluarga dan membesarkan anak (Havighurst dalam Hurlock, 1980). Sementara itu di masyarakat telah berkembang suatu harapan yang kuat bahwa wanita sewajarnya menjadi seorang ibu (Russo dalam Hyde, 1985).
Berbagai permasalahan di atas dapat mempengaruhi cara pandang penderita terhadap dirinya sendiri. Taylor (1999) menyebutkan bahwa suatu penyakit kronis dapat menghasilkan perubahan drastis dalam konsep diri seseorang. Sedangkan konsep diri dalam Hurlock (1979) diartikan sebagai elemen yang dominan dalam pola kepribadian seseorang, dan merupakan kekuatan yang memotivasi perilaku seseorang. Konsep diri menyangkut persepsi seseorang terhadap dirinya, kemampuannya, dan bagaimana ia berpikir tentang dirinya. Di samping itu juga menyangkut bagaimana seseorang mempersepsikan hubungannya dengan orang lain dan berbagai macam aspek dalam kehidupan serta nilai-nilai yang menyertai persepsi itu (Rogers dalam Hall & Lindzey, 1978).
Konsep diri dapat mempengaruhi perilaku dan reaksi seseorang terhadap situasi yang sedang dihadapinya, termasuk penyesuaian dirinya atau coping terhadap stres yang diakibatkan oleh penyakit yang sedang dihadapinya (Hurlock, 1979). Oleh karena itu konsep diri penderita SLE memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kehidupannya di masa sekarang maupun di masa mendatang.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan teknik wawancara dan observasi. Subyek dalam penelitian ini adalah 3 orang wanita penderita SLE pada tahapan usia dewasa muda (18-40 tahun) yang diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling secara insidental agar memudahkan peneliti.
Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan dalam keempat kategori konsep diri penderita. Keempat kategori konsep diri tersebut adalah konsep diri dasar, konsep diri sementara, konsep diri sosial dan konsep diri ideal, yang masing-masing berkaitan dengan komponen fisik dan psikologis (Hurlock, 1979). Pada konsep diri dasar, umumnya penderita merasa bahwa fisik mereka tidak sekuat dahulu sehingga hal ini menjadi penghambat bagi mereka dalam beraktivitas. Kegiatan-kegiatan mereka mulai dibatasi untuk menjaga kondisi diri dan mencegah kambuhnya penyakit.
Penderita juga menjadi lebih perhatian terhadap kondisi kesehatannya. Perubahan penampilan yang merugikan dan menetap membuat penderita menjadi minder dan tidak percaya diri. Penderita juga menjadi lebih rentan terhadap stres dan tidak dapat menerima berita-berita yang tidak menyenangkan baginya. Selain itu penderita juga menjadi lebih giat dalam kegiatan keagamaannya. Sebagian penderita merasa pesimis dalam memandang hidupnya karena merasa tidak dapat hidup normal seperti orang sehat pada umumnya. Namun ada pula penderita yang tidak merasa terlalu terganggu oleh hal tersebut karena sudah lebih dapat menerima keadaan dirinya. Dalam hal ini, penderita tetap optimis dalam memandang kehidupannya.
Dalam konsep diri sementara, kondisi fisik yang memprihatinkan terutama pada masa-masa awal dideritanya SLE membuat penderita menilai dirinya lebih negatif untuk sementara. Di lain pihak kejadian-kejadian yang menghasilkan emosi-emosi positif seperti keberhasilan dalam meraih hal tertentu membuat penderita menilai dirinya secara lebih positif untuk sementara.
Pada konsep diri sosial, penderita merasakan pandangan iba dan kasihan dari keluarga dan lingkungan. Keluarga pada umumnya memberikan perhatian lebih dan dukungan pada penderita. Hal ini dapat diekspresikan secara berlebihan sehingga memicu kecemburuan pada anggota keluarga yang lainnya. Namun dapat pula terjadi pengabaian dan penolakan oleh keluarga serta lingkungan penderita. Penolakan ini disebabkan karena penderita dianggap sebagai beban keluarga dan dipandang aneh oleh lingkungan sehingga memancing ejekan, cemoohan serta gunjingan. Pada penderita yang belum berkeluarga terdapat kekhawatiran bahwa lawan jenis akan memandang mereka dengan sebelah mata disebabkan oleh penyakitnya tersebut.
Pada konsep diri ideal, penderita berharap agar dapat menjalani kehidupan yang layak dan baik seperti orang lain, yaitu ingin agar dapat bekerja, berumah tangga, memiliki keturunan, diterima oleh keluarga dan lingkungan, serta ingin agar SLE-nya tidak kambuh lagi sehingga mereka dapat hidup seperti orang sehat pada umumnya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S2866
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rike Triana
"Kerusakan intrarenal pada pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dengan komplikasi Acute Kidney Injury (AKI) menyebabkan zat sisa metabolisme tidak dapat terbuang melalui urin serta terjadi kelebihan cairan. Terapi farmakologi seperti kortikosteroid dan imunosupresan turut memperparah overload cairan. Studi ini bertujuan untuk menganalisis intervensi manajemen cairan pada pasien SLE dengan komplikasi AKI terhadap masalah overload cairan. Manajemen cairan yang dilakukan pada pasien meliputi restriksi cairan; pemantauan asupan dan keluaran cairan; tekanan darah, edema dan asites, nilai laboratorium: ureum, kreatinin dan albumin; edukasi manajemen cairan serta kolaborasi pemberian diuretic dan albumin. Hasil intervensi menunjukkan balans cairan mencapai target (-) 1000 cc, asites berkurang dengan penurunan lingkar abdomen dari 105 menjadi 84 cm, adanya perbaikan fungsi ginjal dengan penurunan ureum kreatinin, pengetahuan pasien terkait pentingnya restriksi cairan meningkat dan pasien menunjukkan penerimaan terhadap perawatan. Hasil ini menunjukkan bahwa terapi kortikosteroid dan imunosupresan pada pasien SLE harus disertai dengan intervensi manajemen cairan. Oleh karena itu, penulis merekomendasikan intervensi manajemen cairan untuk dilakukan pada pasien SLE dengan komplikasi acute kidney injury.


Intrarenal damage in patients with Systemic Lupus Erythematosus (SLE) with complicated Kidney Injury (AKI) causes metabolic waste substances to not be wasted through urine and excess fluid occurs. Pharmacological therapies such as corticosteroids and immunosuppressants also contribute to fluid overload. This study aims to analyze fluid management in SLE patients with complications of AKI to overcome fluid overload. Fluid management performed on patients includes fluid restriction; monitoring fluid intake and output; blood pressure, edema and ascites, laboratory values: urea, creatinine and albumin; fluid management education and collaboration in the administration of diuretics and albumin. The results of the intervention showed that the fluid balance reached the target (-) 1000 cc, ascites decreased with a decrease in the abdominal circumference of 105 to 84 cm, an improvement in kidney function with a decrease in creatinine ureum, the patient's knowledge regarding the importance of fluid restriction increased and the patient showed acceptance of treatment. These results indicate that corticosteroid therapy and immunosuppressants in SLE patients must be accompanied by fluid management interventions. Therefore, the authors recommend fluid management interventions to be performed in SLE patients with complications of acute kidney injury."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Frisky Maulida
"Background: Infection has been identified as a major cause of death and also morbidity in SLE patients. Studies in SLE patients have shown several risk factors that contribute to fungal infections or infections in general, including the risk of certain pharmacological treatments such as corticosteroids and cytotoxic agents, as well as the effects of intrinsic factors such as CD4 + counts.
Methods: A total of 20 medical records of SLE patients with fungal infections were obtained, and a case control study was carried out with age and gender suitable for a control group of 20 patients. Data obtained from the Cipto Mangunkusumo National Hospital. The confirmation diagnosis of SLE was based on the 2012 ACR criteria. Patients with comorbidities of various chronic diseases (diabetes, HIV, CKD) were excluded. In identifying risk factors, Chi-square and Mann-Whitney U-tests were used.
Results: The maximum corticosteroid dose of 24 (4-250) mg over the past 1 year was statistically significant with the development of fungal infections (P = 0.047). Lower ALC (748 (99-3312)) compared to the control group (1635 (259-2743)) was also significantly correlated with the occurrence of fungal infections in patients diagnosed with SLE.
Conclusion: Identifying predisposing factors in SLE patients is important to prevent the occurrence of serious fungal infections which are one of the main causes of death in SLE patients.

Latar Belakang: Infeksi telah diketahui sebagai penyebab utama kematian dan juga morbiditas pada pasien SLE. Studi pada pasien SLE telah menunjukkan beberapa faktor risiko yang berkontribusi terhadap infeksi jamur atau infeksi secara umum, termasuk risiko pengobatan farmakologis tertentu seperti kortikosteroid dan agen sitotoksik, serta efek faktor intrinsik seperti jumlah CD4 +.
Metode: Total 20 catatan medis pasien SLE dengan infeksi jamur diperoleh, dan studi kasus kontrol dilakukan dengan usia dan jenis kelamin yang cocok untuk kelompok kontrol yang terdiri dari 20 pasien. Data diperoleh dari Rumah Sakit Nasional Cipto Mangunkusumo. Diagnosis konfirmasi SLE didasarkan pada kriteria ACR 2012. Pasien dengan komorbiditas berbagai penyakit kronis (diabetes, HIV, CKD) dikeluarkan. Dalam mengidentifikasi faktor-faktor risiko, Chi-square dan Mann-Whitney U-test digunakan.
Hasil: Dosis kortikosteroid maksimum 24 (4 - 250) mg selama 1 tahun terakhir bermakna secara statistik dengan perkembangan infeksi jamur (P = 0,047). ALC yang lebih rendah (748 (99-3312)) dibandingkan dengan kelompok kontrol (1635 (259-2743)) juga secara signifikan berkorelasi dengan terjadinya infeksi jamur pada pasien yang didiagnosis dengan SLE.
Kesimpulan: Mengidentifikasi faktor predisposisi pada pasien SLE penting untuk mencegah terjadinya infeksi jamur serius yang merupakan salah satu penyebab utama kematian pada pasien SLE.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Femmi Dwinda Agustini
"Latar belakang. Doksorubisin dikenal sebagai antikanker yang sangat poten, namun penggunaanya dibatasi oleh toksisitas terhadap berbagai organ vital, salah satunya jantung. Mekanisme molekuler kardiotoksisitas doksorubisin berhubungan dengan produksi radikal bebas berlebih yang menyebabkan penurunan ekspresi gen-gen yang mengkode protein regulator kalsium intrasel sehingga terjadi gangguan homeostasis kalsium intrasel yang menyebabkan aktivasi jalur apoptosis intrinsik yang dimediasi caspase, terutama caspase-9 dan caspase-12. Stres oksidatif akibat DOX juga menyebabkan peningkatan produksi sitokin proinflamasi yang berperan dalam terjadinya apoptosis. Mangiferin merupakan salah satu kandidat potensial senyawa kardioprotektor untuk terapi doksorubisin, akan tetapi mekanisme molekulernya belum diketahui dengan pasti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah mekanisme molekuler mangiferin berhubungan dengan regulasi kalsium intraseluler.
Metode. Penelitian dilakukan terhadap tikus Sprague Dawley jantan yang diinduksi doksorubisin dengan dosis total 15 mg/kg BB. Pemberian mangiferin dilakukan dengan dosis 30 dan 60 mg/kg BB secara oral selama tujuh minggu. Parameter yang diamati adalah ekspresi protein regulator Ca2+ intrasel yaitu SERCA2a, parameter apoptosis (caspase-12 dan caspase-9), kadar kalsium sitosol dan mitokondria, serta parameter inflamasi (TNF-α).
Hasil. Induksi doksorubisin menyebabkan penurunan ekspresi SERCA2a, disertai peningkatan ekspresi gen pro-apoptosis yakni caspase-12 dan caspase-9 serta peningkatan derjat inflamasi dan kerusakan jantung. Pemberian mangiferin menyebabkan peningkatan ekspresi SERCA2a, penurunan ekspresi caspase-12 dan caspase-9 serta penurunan derajat inflamasi.
Kesimpulan. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa normalisasi homeostasis kadar kalsium intrasel merupakan bagian dari mekanisme kardioproteksi mangiferin.

Background. Doxorubicin is well known as a potent anticancer agent despite its toxicity on various vital organs, especially the heart. The molecular mechanism of doxorubicin cardiotoxicity revolves around the overproduction of free radicals which cause downregulation of genes encoding calcium regulatory proteins, leading to disturbance of calcium homeostasis and activation of intrinsic apoptotic pathway mediated by caspases, particularly caspase-12 and caspase-9. Doxorubicin cardiotoxicity is also accompanied by inflammation that is crucial for apoptosis. Mangiferin is currently studied as cardioprotective agents for doxorubicin therapy. However, its molecular mechanism has yet been revealed. This study was aimed to determine whether cardioprotective effect of mangiferin is caused by its effect on intracellular calcium regulation.
Method. Male Sprague Dawley rats were induced by doxorubicin with a total dose of 15 mg/kg BW. Mangiferin was given orally at the dose of 30 and 60mg/kg BW for seven weeks. The parameters examined were mRNA expressions levels of calcium regulatory gene (SERCA2a), proapoptotic genes (caspase-9 and caspase-12) and proinflammatory cytokine gene (TNF-α), as well as mitochondrial and cytosolic calcium levels.
Result. It was found that doxorubicin caused downregulation of SERCA2a expression and increased the expression of both proapoptotic genes. Interestingly, we found that mangiferin could attenuate those things above by increasing SERCA2a expression as well as decreasing caspase-9 and caspase-12 expressions, while ameliorating inflammation.
Conclusion. Based on this finding, we suggest that the cardioprotective effect of mangiferin is at least in part due to the regulation of intracellular calcium homeostasis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irwin Tedja
"Latar Belakang: Hipersensitivitas obat anti tuberkulosis (OAT) dapat mempengaruhi pilihan pengobatan pasien selanjutnya dan mempengaruhi keberhasilan pengobatan tuberkulosis (TB). Uji provokasi obat diharapkan dapat memandu pengobatan TB pada pasien dengan riwayat hipersensitivitas OAT.
Tujuan: Penelitian dilakukan untuk mengetahui proporsi hipersensitivitas masing-masing OAT lini pertama melalui uji provokasi obat, mengetahui karakteristik pasien yang mengalami hipersensitivitas OAT lini pertama, dan mengetahui keberhasilan pengobatan TB terpandu uji provokasi obat pada pasien dengan riwayat hipersensitivitas OAT
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif melibatkan 92 pasien TB dengan riwayat hipersensitivitas OAT yang menjalani uji provokasi obat dan 1.998 pasien TB tanpa riwayat hipersensitivitas OAT. Cara pengambilan sampel dilakukan secara total sampling untuk kedua kelompok. Pasien yang menjalani uji provokasi dicatat untuk jenis OAT lini pertama yang menunjukkan hasil positif hipersensitivitas. Pasien dengan riwayat hipersensitivitas OAT dicatat karakteristik usia, jenis kelamin, jenis TB paru/ekstra paru, status HIV, status nutrisi, riwayat alergi obat lainnya, komorbid autoimun dan komorbid diabetes berdasarkan data rekam medis. Seluruh pasien dilakukan pengamatan sampai selesai pengobatan TB kemudian dikelompokkan menjadi keberhasilan atau kegagalan pengobatan berdasarkan data rekam medis.
Hasil: Proporsi hipersensitivitas OAT lini pertama melalui uji provokasi obat sebagai berikut rifampisin 39,6%, INH 24,7%, pirazinamid 40,8%, etambutol 30,4%. Pada kelompok hipersensitivitas ditemukan proporsi subjek yang lebih tinggi dibanding kelompok tanpa hipersensitivitas untuk jenis TB ekstra paru, overweight (IMT 23,0), dan status HIV positif. Pada kelompok hipersensitivitas ditemukan 10,9% subjek dengan komorbid penyakit autoimun dan 9,8% subjek memiliki riwayat hipersensitivitas terhadap obat selain OAT. Didapatkan penurunan keberhasilan pengobatan TB terpandu uji provokasi obat pada pasien dengan riwayat hipersensitivitas OAT dibandingkan pasien tanpa riwayat hipersensitivitas OAT, namun tidak bermakna secara statistik (p=0,840).
Simpulan: Tidak terdapat penurunan yang bermakna dari keberhasilan pengobatan TB terpandu uji provokasi obat pada pasien dengan riwayat hipersensitivitas OAT dibandingkan pasien tanpa riwayat hipersensitivitas OAT.

Background: Hypersensitivity to anti-tuberculosis drugs (ATD) can affect the patient's subsequent treatment options and affecting the success of tuberculosis (TB) treatment. Drug provocation test is expected to guide TB treatment in patients with a history of ATD hypersensitivity.
Objective: This study was conducted to determine the proportion of hypersensitivity of each first-line ATD through drug provocation test, to determine the characteristics of patients who experience hypersensitivity to first-line ATD, and to determine the success of TB treatment guided by drug provocation test in patients with a history of ATD hypersensitivity.
Methods: This study is a retrospective cohort study involving 92 TB patients with a history of ATD hypersensitivity who underwent drug provocation testing and 1,998 TB patients without a history of ATD hypersensitivity. The sampling method was carried out by total sampling for both groups. Patients who underwent provocation testing were noted for the first-line type of ATD that showed a positive result of hypersensitivity. Patients with a history of ATD hypersensitivity were recorded for age, gender, type of pulmonary/extrapulmonary TB, HIV status, nutritional status, history of other drug allergies, autoimmune comorbidities and diabetes comorbidities based on medical record data. All patients were observed until completion of TB treatment and then grouped into treatment success or failure based on medical record data.
Results: The proportion of hypersensitivity to first-line ATD through drug provocation tests as follows: rifampin 39.6%, INH 24.7%, pyrazinamide 40.8%, ethambutol 30.4%. In the hypersensitivity group, a higher proportion of subjects was found than the group without hypersensitivity for the type of extrapulmonary TB, overweight (BMI 23.0), and HIV positive status. In the hypersensitivity group, 10.9% of subjects had comorbid autoimmune diseases and 9.8% of subjects had a history of hypersensitivity to drugs other than ATD. There was a decrease in the success of drug provocation-guided TB treatment in patients with a history of ATD hypersensitivity compared to patients without a history of ATD hypersensitivity, but not statistically significant (p=0.840).
Conclusions: There was no significant decrease in the success of drug provocation-guided TB treatment in patients with a history of ATD hypersensitivity compared to patients without a history of ATD hypersensitivity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mei Puspita Sari
"Banyak penyakit kronis yang menjadi masalah bagi aktivitas pekerjaan dan status bekerja (Taylor, 2003). Dengan bekerja, laki-laki memenuhi tugasnya dalam tahap dewasa awal dan peran gender sebagai penjaga dan pemberi nafkah (Papalia et al., 2007). Untuk memenuhi hal tersebut, pada penderita SLE diperlukan pengambilan keputusan dengan mempertimbangkan berbagai alternatif berdasarkan pada teori Janis (dalam Janis & Mann, 1977), yang terdiri dari lima tahap proses pengambilan keputusan dan lima faktor yang berperan dalam proses pengambilan keputusan (Kemdal & Montgomery, dalam Reynard, Crozier, & Svenson, 1997).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran proses pengambilan keputusan untuk bekerja pada penderita SLE laki-laki dan faktor-faktor yang berperan dalam proses pengambilan keputusan. Partisipan penelitian ini adalah tiga penderita SLE laki-laki usia dewasa muda dan bekerja.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua partisipan melewati kelima tahap dalam proses pengambilan keputusan. Kedua partisipan melewati tahap satu sampai empat dan hanya satu partisipan yang melewati tahap satu sampai tahap kelima. Selain itu, faktor preference, belief, circumstances dan action merupakan faktor yang berperan dalam proses pengambilan keputusan pada ketiga partisipan. Diantara keempat faktor tersebut, faktor preference dan circumstances merupakan faktor yang paling berpengaruh dibandingkan faktor lainnya.

There are so many chronic diseases which become a problem in working activity and working status (Taylor, 2003). By working, men could fulfill his duty on young adulthood and gender role as a care taker and live provider (Papalia et al., 2007). In order to fulfill that situation, the SLE patient needs a decision making by considering various alternatives based on Janis theory (in Janis & Mann, 1977), which consist of five level the decision making process and five factors which have a role in decision making (Kemdal & Montgomery, in Reynard, Crozier, & Svenson, 1997).
This research intend to acknowledge the description of the decision making process to work on the men SLE patient and factors which have a role in decision making process. This research participant are three men SLE patient young adulthood and work.
The research result showed that not all participants pass through all the fifth level in decision making process. Two participants pass through first level up to fourth level and only one participant who pass through first level up to fifth level. Beside that, the preference, belief, circumstances and action factors are factors which have a role in decision making process on three participants. Among the fourth factor, preference and circumstances factors are the most influential factor than others.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
153.83 SAR g
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>