Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 136052 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irwan
"ABSTRAK
Penelitian ini difokuskan kepada faktor-faktor apa saja yang menyebabkan dilaksanakannya kebijakan pemekaran Kabupaten Aceh Singkil, serta juga dilihat keadaan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan baik sebelum maupun setelah Kabupaten ini dimekarkan. Untuk menjawab pertanyaan tentang dilaksanakannya pemekaran Kabupaten, serta menganalisa pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan sangat erat kaitannya dengan peluang Pemerintah daerah untuk melakukan proses pemberdayaan terhadap masyarakatnya.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan jenis penelitian analisis data primer dan sekunder, data yang dikumpulkan dari beberapa kantor atau pelaku ekonomi didaerah lokasi penelitian, terutama data-data ekonomi setelah dimekarkan sebagai pembanding pada waktu belum dimekarkan. Dalam penelitian juga dilakukan metode observasi langsung dalam bentuk wawancara dengan beberapa unsur yang terkait dengan sejarah pemekaran Kabupaten, hingga Kabupaten tersebut berdiri pada Tanggal 27 April Tahun 1999.

Dari basil penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa bahwa pemekaran Kabupaten Aceh Singkil disebabkan oleh faktor-faktor seperti : pertama, faktor latar belakang sejarah, dimana Kota Singkil sejak Tahun 400 sebelum masehi telah menjadi pusat pelabuhan perdagangan didaerah pesisir pantai barat Sumatera. Pada zaman Belanda (VOC) Kota Singkil mengalami puncak kejayaan sebagai Kota perdagangan yang banyak disinggahi pihak asing, termasuk Amerika Serikat dan Inggris untuk memperoleh rempahrempah dari Kota Singkil. Perjalanan sejarah ini, menyebabkan Singkil pada awal kemerdekaan dijadikan sebagai sebuah Kewedanaan Singkil yang tunduk dibawah Resident (Bupati) Aceh Barat. Pemekaran Kabupaten Aceh Singkil, selain faktor sejarah juga erat kaitannya dengan adanya faktor etnisitas yang secara tidak Iangsung sangat berpengaruh terhadap eksistensi warga wilayah kewedaaan Singkil dengan warga dari Kabuten induk (Kabupaten Aceh Selatan). Dimana masyarakaat eks Kewedanaan Singkil (dianggap masyarakat pendatang dari Suku Batak - Fak-fak dan Minang/Barus dari Sumatera Barat), kenyataan ini membuat warga Singkil dijadikan warga kelas dua dari Kabupaten induk (Kabupaten Aceh Selatan). Luasnya wilayah Kabupaten induk (Kabupaten Aceh Selatan) juga menjadi pertimbangan tersendiri, karena lamanya jarak tempuh antara Singkil dengan Kabupaten induk menyebabkan kurang terpenuhinya pelayanan publik yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Faktor terjadinya pertumbuhan ekonomi yang sangat signifikan dengan pemekaran Kabupaten Aceh Singkil juga telah menyebabkan cepatnya terjadi proses pemerataan pendapatan secara baik. Dengan penduduk sedikit, luas wilayah dan potensi pertumbuhan ekonomi yang sangat menggembirakan, upaya untuk mensejahterakan masyarakat melalui berbagai peluang pemberdayaan juga semakin banyak bisa dilakukan oleh Pemerintah daerah dan masyarakat.

Kesimpulan, bahwa kebijakan pemekaran Kabupaten Aceh Singkil sangat disambut baik oleh Pemerintah maupun masyarakat. Faktor pemekaran tidak hanya dilihat dari tuntutan sejarah, politik etnik dan luas wilayah, akan tetapi yang lebih substansi dari itu semua adalah : Pemerintah dan masyarakat mendapat peluang dan kesempatan yang seluas-luasnya untuk membebaskan masyarakat dari lilitan kemiskinan.

Saran dalam Tesis ini bahwa, pemekaran Kabupaten tidak semata-mata melihat unsur perbedaan etnik dan budaya dalam suatu wilayah tertentu, karena justru kebijakan seperti itu akan mempersempit makna dari sebuah rasa nasionalisme dan kebangsaan kita sebagai bangsa yang bhinneka tunggal ika.
"
2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulkifli
"Tesis ini merupakan hasil penelitian yang menggambarkan kemauan politik masyarakat dalam proses pembentukar. Kota Subulussalam. Pentingnya penelitian ini didasarkan kasus pemekaran Kabupaten Mamasa dimana pada pasca pemekaran Kabupaten Mamasa terjadi pertikaian berdarah antar kelompok masyarakat yang pro dan kontra terhadap pemekaran. Dan Kasus pemekaran Kabupaten Mamasa menunjukkan bahwa tahap kemauan politik masyarakat dalam pemekaran daerah berpotensi menimbulkan permasalahan sehingga perlu diperhitungkan secara hati-hati terutama di daerah-daerah yang memiliki masyarakat yang heterogenitasnya tinggi dari sisi SARA. Disamping itu dari kasus Mamasa juga menunjukkan bahwa kemauan politik masyarakat yang didasarkan pernyataan-pernyyataan tertulis belum dapat menentukan kemauan politik masyarakat yang sesungguhnya. Begitupun dalam pemekaran Kota Subulussalam yang penduduknya heterogen secara kesukuan dimana terdapat suku yang mayoritas dan suku minoritas, disamping itu kemauan politik masyarakat dalam pemekaran Kota Subulussalam hanya didasarkan oleh pemyataan-pemyataan tertulis dari berbagai komponen masyarakat. Merujuk kenyataan empiris seperti yang terjadi di Kabupaten Mamasa maka dalam pembentukkan Kota Subulussalam pertu untuk dikaji dan diteliti Iebih mendalam dengan melihat alasan-alasan masyarakat untuk memekarkan daerah dan partisipasi masyarakat dalam proses pemekaran.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif. Data diperoleh melalui studi kepustakaan, observasi dan wawancara dengan para informan penelitian. Pemilihan informan dilakukan dengan menggunakan teknik "Purposive Sampling' (penarikan sampel secara sengaja), dimana informan dipilih berdasarkan informasi yang dibutuhkan dari orang-orang yang menjadi pelaku pemekaran Kota subulussalam. Jumlah Informan sebanyak 23 Orang yang terdiri dari Bupati Aceh Singkil, Ketua DPRD, Anggota DPRD Kabupaten Aceh Singkil dan pimpinan partai politik yang berasal dari wilayah Kota Subulussalam, Camat Simpang Kin, Panitia Persiapan Pembentukan Pemerintah Kota Subulussalam serta masyarakat di wilayah Kota Subulussalam. Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan faktor-faktor yang mendorong masyarakat dalam pembentukan Kota Subulussalam dan mendeskripsikan proses dan bentuk partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan Kota Subulussalam.
Dari hasil penelitian ditemukan tiga alasan yang menjadi pendorong masyarakat untuk memekarkan Kota Subutussalam yaitu Pertama, dimensi politik dalam pemekaran Kota Subulussalam didasarkan adanya latar belakang berupa kekecewaan masyarakat yang mengalami kekalahan dalam perebutan ibukota pada awal pembentukan Kabupaten Aceh Singkil dan adanya ketentuan peraturan perundangan yang membuka peluang untuk memekarkan daerah. Selanjutnya karena terdapat kesamaan secara sosial budaya di masyarakat dalam wilayah Kota Subulussalam dan adanya sejarah kejayaan masa lalu yang pemah dialami oleh masyarakat Kota Subulussalam. Kedua, dimensi administrasilteknis dalam pemekaran Kota Subulussalam yaitu karena luas wilayah Kabupaten Aceh Singkil yang sangat luas menyebabkan panjangnya rentang kendati pemerintahan dari Kecamatan-Kecamatan yang berada dalam wilayah Kota Subulussalam ke pusat Kabupaten sehingga menyulitkan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan, disamping itu dengan wilayah yang Iuas menyebabkan pembangunan wilayah Kota Subulussalam belum optimal. Ketiga, dimensi kesenjangan wilayah dalam pemekaran Kota Subulussalam yaitu adanya potensi wilayah yang berupa letak yang sangat strategis dimana Kota Subulussalam merupakan pintu masuk yang menghubungkan Sumatera Utara dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dengan Ietaknya yang strategis ini diharapkan dengan adanya status daerah yang Iebih tinggi akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dibandingkan masih bergabung dengan Kabupaten Aceh Singkil.
Dari hasil penelitian juga ditemukan partisipasi masyarakat dalam proses pemekaran Kota Subulussalam melalui kegiatan masyarakat dalam melakukan komunikasi politik yang menyebarluaskan berita-berita mengenai peluang untuk memekarkan Kota Subulussalam. Kemudian partisipasi masyarakat selanjutnya adalah dengan melakukan kegiatan membentuk kesepakatan bersama untuk membentuk pemekaran Kota Subutussalam melalui musyawarah yang diikuti oleh berbagai komponen masyarakat. Berikutnya masyarakat berpartisipasi melalui kegiatan membentuk panitia persiapan pembentukan Kota Subulussalam dimana elemen masyarakat yang terlibat sebagai anggota dalam kepanitiaan ini melakukan kegiatan pendekatan-pendekatan terhadap para pejabat politik dan pemerintahan. Bentuk masyarakat berpartisipasi dalam pembentukan Kota Subulussalam dengan memberikan sumbangan baik berupa uang, tanah, tenaga, jasa dan pemikiran serta dengan melakukan kegiatan memperindah wajah Kota Subulussalam dengan melakukan pengecatan dan pemasangan lampu hias di sepanjang jalan menuju Kota Subulussalam.
Dari hasil penelitian ini menunjukkan terdapat kemauan politik yang lahir dari masyarakat dalam proses pembentukan Kota Subulussalam baik dalam bentuk pemikiran, keinginan dan harapan maupun dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang dilakukan masyarakat."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T22130
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Junaidi
"Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang pemberdayaan masyarakat melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK) Fase II termasuk hambatan-hambatan dan upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasinya. Program Pengembangan Kecamatan Fase II merupakan kelanjutan dari Program Pengembangan Kecamatan sebelumnya. Program Pengembangan Kecamatan Fase II bertujuan untuk menanggulangi kemiskinan dengan memberdayakan masyarakat miskin dan perempuan sebagai pendekatan operasionalnya. Dilanjutkannya Program Pengembangan Kecamatan Fase II merupakan tanggung jawab antara Pemerintah Pusat dan daerah melalui mekanisme pembiayaan bersama yang di landasi dengan semangat Otonomi Daerah yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang pemerintahan di daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif melalui studi kepustakaan, wawancara dengan informan, dan pengamatan di lapangan. Pemilihan informan dilakukan secara purposive sampling dan snowball sampling terhadap aparat pemerintah, fasilitator kecamatan dan desa, tokoh masyarakat dan warga masyarakat desa Gosong Telaga Selatan sebagai kelompok sasaran, dengan jumlah responden 12 orang. Hasil penelitian dianalisis dengan mengaitkan kebijakan sosial dan kerangka pemikiran tentang kemiskinan, pengembangan masyarakat, dan pemberdayaan masyarakat.
Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa pelaksanaan Program Pengembangan Kecamatan Fase II telah berjalan dari tahap sosialisasi sampai pelaksanaan kegiatan, belum mencakup tahap pengendalian dan pelestarian kegiatan. Pelaksanaan program dari tahap sosialisasi hingga ke tahap pelaksanaan kegiatan partisipasi masyarakat terutama masyarakat miskin dan perempuan terlihat dalam tahapan-tahapan kegiatan program pengembangan kecamatan. Peran petugas aparat pemerintah kecamatan yang terlibat langsung dilapangan yaitu PJOK dan pendamping yaitu Fasilitator Kecamatan (FK) bertugas memfasilitasi setiap kegiatan yang dilakukan masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan, memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk merencanakan dan menentukan kegiatan yang akan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimiliki desa.
Pelaksanaan program PPK Fase II mencakup kegiatan pembangunan sarana dan prasarana pendukung yaitu pembuatan Sumur Bor Dua Unit, pembangunan Polindes dan posyandu, Usaha Ekonomi Produktif (UEP) peningkatan usaha pembuatan Ikan Asin, dan Simpan Pinjam Perempuan (SPP) untuk penambahan modal usaha bagi perempuan. Pelaksanaan proses pemberdayaan masyarakat terlihat sejak dilakukannya sosialisasi program yang melibatkan masyarakat sebagai kelompok sasaran dengan melakukan pembentukan kelompok campuran berdasarkan kelompok dusun dan kelompok perempuan. Pembentukan kelompok dilakukan untuk mempermudah proses penggalian gagasan agar gagasan atau ide yang muncui betul-betul kebutuhan yang mereka inginkan. Begitu pula pada tahap pelaksanaan kegiatan, partisipasi dan peran aktif masyarakat sebagai penentu kegiatan terlibat langsung mensukseskan program. Pelaksanaan program yang diawali dengan tahap persiapan hingga ke tahap pelaksanaan program sudah terlihat, terjadinya perencanaan dan pelaksanaan keempat kegiatan oleh warga masyarakat menggambarkan telah berhasilnya pemberdayaan kelompok sasaran akan pengetahuan, keterampilan dan modal.
Dalam pelaksanaan Program Pengembangan Kecamatan masih terdapat kendala-kedala, baik dan masyarakat, pelaku PPK di desa maupun dan pelaku PPK di kecamatan. Kendala dari masyarakat yaitu: Pertama, sumber daya manusia yang masih rendah yang di dominasi tamatan SD dan SLIP. Kedua, pelaku PPK di desa yaitu terjadinya penyimpangan pada saat pembentukan kelompok sasaran yang dilakukan Kepala Dusun selaku ketua Kelompok dengan merekrut anggota berdasarkan hubungan kekeluargaan dan kekerabatan. Ketiga, kurangnya koordinasi pelaku PPK di Kecamatan dengan ketua Tim Koordinasi di Kabupaten yang mengakibatkan kendala proses administrasi. Keempat, lambatnya proses administrasi di bendahara proyek, mengakibatkan tertambatnya proses pencairan dana. Merujuk pada kendala-kendala tersebut, dikemukakan rekomendasi untuk penerapan program setanjutnya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13358
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Yani
"Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang pelaksanaan tugas tenaga penggerak lapangan dan faktor penghambat dalam pelaksanaan tugas tenaga penggerak lapangan dalam program Pembangunan Masyarakat Mulia Sejahtera (PMMS) di Desa Ujung Bawang dan Desa Rantau Gedang Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil. Pelaksanaan program Pembangunan Masyarakat Mulia Sejahtera merupakan tanggung jawab pemerintah daerah provinsi dan kabupaten melalui mekanisme pembiayaan bersama, dimana program ini merupakan upaya dalam mengatasi dampak dari konflik bersenjata yang menyebabkan masyarakat Aceh terpuruk dalam kehancuran dan kemiskinan dengan memberdayakan masyarakat agar hidup mulia dan sejahtera melalui pendekatan agama islam dan adat istiadat Aceh. Sesuai dengan tujuan program masyarakat yang diberdayakan adalah masyarakat miskin yang terkena dampak konflik seperti kaum duafa, anak-anak yatim dan para janda.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif yang diperoleh melalui wawancara mendalam dengan para informan, observasi dan studi kepustakaan. Pemilihan informan dilakukan secara snowball sampling terhadap aparat pemerintah daerah, camat, tenaga penggerak lapangan, kepala desa, tokoh masyarakat dan kelompok sasaran dengan jumlah 16 orang. Hasil penelitian dianalisa dengan mengkaitkan kebijakan program dan kerangka pemikiran tentang kemiskinan, pembangunan daerah, pemberdayaan masyarakat, partisipasi, pengembangan masyarakat dan community worker serta faktor penghambat pelaksanaan tugas community worker.
Dalam pelaksanaan program PMMS di Desa Ujung Bawang dan Desa Rantau Gedang Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil, tenaga penggerak lapangan terlibat membantu masyarakat mulai dan tahap sosialisasi, pembentukan kelompok, pembinaan kelompok sasaran, pemanfaatan dana bantuan dan penyusunan pelaporan kegiatan.
Tahap sosialisasi, panitia program memberikan penjelasan program kepada peserta dengan jelas dan peserta diberi kesempatan untuk bertanya apabila ada hal yang kurang dimengerti. Di awal sosialisasi tenaga penggerak lapangan dalam hal ini menggunakan pendekatan direktif serta mendampingi Kepala Desa dan tokoh masyarakat masing-masing desa dan membantu memberi pemahaman tentang program PMMS. terutama hal-hal yang kurang dimengerti, dafam hal ini TPL berperan sebagai pendidik educator. Selain sosialisasi secara formal, peserta sosialisasi dari Desa Rantau Gedang ikut berparlisipasi untuk mensosialisasikan program pada saat di kedai kopi dan pasta di desa mereka. Sosialisasi program PMMS di Desa Ujung Bawang ditakukan hanya secara formal.
Tahap pembentukan kelompok, Dalam pembentukan kelompok mengalami hambatan dikarenakan jumlah anggota kelompok hanya 15 orang sementara keinginan warga masyarakat sangat besar untuk tergabung ke dalam kelompok sasaran. Namun keadaan tersebut dapat diatasi oleh masing-masing tenaga penggerak lapangan yaitu sebagai educator dan enabler sehingga pembentukan kelompok dapat berjalan dengan baik. Penentuan ketua dan bendahara sepenuhnya diserahkan kepada masing-masing kelompok. Tahap pembinaan, dalam kegiatan pembinaan kelompok, anggota kelompok mendapat pengetahuan tentang pemanfaatan dana bantuan, pemilihan kegiatan dan administrasi dari tenaga penggerak lapangan dalam tahap ini berperan sebagai expert, dan enabler.
Pada tahap penyusunan laporan kegiatan kelompok masing-masing tenaga penggerak lapangan berperan sebagai edocafar yaitu mengajak anggota kelompok secara bersama-sama untuk membuat laporan. Tahap pelaksanaan program, Pembangunan Masyarakat Mulia Sejahtera terdapat faktor penghambat dari luar dan dalam diri tenaga penggerak lapangan. Faktor penghambat dan luar diri tenaga penggerak lapangan adalah rendahnya tingkat pendidikan serta tidak terbiasa dengan urusan surat-menyurat dari masingmasing kelompok, rasa tidak percaya diri, keamanan dan ketergantungan. Faktor penghambat dan dalam diri tenaga penggerak lapangan adalah tidak dapat mengawasi kelompok setiap dua minggu sekali seperti yang terdapat dalam kebijakan program PMMS. Berdasarkan berbagai temuan lapangan dapat disimpulkan secara umum pelaksanaan tugas dan tenaga penggerak lapangan dapat berjalan dengan baik. Dan merujuk kepada faktor penghambat diatas disarankan agar pemerintah daerah sebaiknya memilih tenaga penggerak lapangan yang dapat meluangkan waktu sepenuhnya untuk membina kelompok. Dan kepada tenaga penggerak lapangan agar memberikan masukan kepada pemerintah daerah tentang tugas-tugas di tempat tugasnya."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T22331
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohd. Ichsan
"Penanggulangan kemiskinan dengan menitikberatkan pada masyarakat sebagai pendekatan operasional, merupakan wujud komitmen pemerintah dalam merealisasikan kesejahteraan sosial bagi masyarakat. Pemerintah mempunyai kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui program-program penanggulangan dan pengentasan kemiskinan.
Untuk tujuan ini dipertukan program-program pembangunan gampong melalui upaya-upaya terobosan dalam bentuk gerakan pembangunan yaitu GEMA ASSALAM' (Gerakan Masyarakat Aceh Darussalam). Program pembangunan Gema Assalam merupakan pengembangan lebih lanjut dari program pembangunan gampong masa sebelumnya dalam penanggulangan kemiskinan, dengan menitikberatkan pada pemberdayaan masyarakat sebagai pendekatan operasionalnya. Masyarakat gampong dengan difasilitasi oleh aparat pemerintah merupakan subyek utama sekaligus pemanfaatan potensi yang ada di gampong sehingga mampu memutuskan sendiri kegiatan pembangunan secara musyawarah sesuai dengan kebutuhan masyarakat gampong setempat.
Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang pemberdayaan masyarakat melalui Program Gema Assalam terutama untuk mengetahui apakah telah terjadi proses pemberdayaan didalam usaha ekonomi produktif, serta untuk mengetahui faktor pendukung dan faktor penghambat pelaksanaan pemberdayaan tersebut.
Penelitian ini menggunakan tipe pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif untuk mendeskripsikan proses pelaksanaan Program Gema Assalam. Data diperoleh melalui studi pustaka, observasi dan wawancara mendalam (indepth interview) dengan para informan. Sedangkan pemilihan para informan pertama-lama dilakukan melalui teknik purposive sampling, yaitu dengan memilih secara mendalam dan bisa dipercaya untuk dijadikan sumber data, dan selanjutnya dipadukan dengan teknik snowball sampling, dan informan pertama tersebut diminta memberikan petunjuk tentang informan berikutnya yang dapat memberikan informasi yang tepat dan mendalam.
Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa pemberdayaan (empowerment) yang dilakukan oleh Program Gema Assalam mulai terlihat dari tahap persiapan, tahap pelaksanaan kegiatan sampai tahap pengawasan hal ini dapat dilihat dari adanya partisipasi dari masyarakat pada tahapan-tahapan tersebut (bottom-up planning) terutama pada pembentukan kelompok usaha ekonomi produktif. Sudah mulai nampak terjadinya transfer daya (power) kepada masyarakat baik itu berbentuk kesempatan atau peluang. Transfer pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), modal (capital) sehingga diharapkan lerjadi peningkatan kapasitas masyarakat. Akan tetapi pelaksanaan kegiatan Program Gema Assalam di Mukim Biskang ini masih belum dapat memberikan kontribusi yang nyata bagi masyarakat miskin yang merupakan sasaran dari program ini, hal ini dapat terlihat dari penggunaan dana yang sangat besar untuk kegiatan fisik yang tidak langsung menyentuh masyarakat miskin. Hal ini juga diakibatkan oleh pengawasan yang dilakukan belum optimal dan juga rendahnya peran lembaga swadaya masyarakat.
Pada saat pelaksanaan Program Gema Assalam ini terdapat beberapa faktor pendukung dan faktor penghambat. Faktor pendukung terlihat dari adanya partisipasi masyarakat. Sedangkan faktor penghambat adalah sumber daya manusia yang masih rendah, kondisi geografis lokasi kegiatan yang kurang mendukung, dominasi yang besar dari Imum Mukim dan lemahnya penegakan aturan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12212
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raja Yendri Saputra
"Sejak bergulirnya reformasi, masalah otonomi sering menjadi bahan pembicaraan banyak kalangan, baik kalangan politisi, birokrasi, akademisi dan bahkan masyarakat awam, terlebih kaitannya dengan kepentingan daerah. Begitu juga dengan daerah Indragiri hilir yang ingin dimekarkan dengan Indragiri Selatan untuk lebih meningkatkan kesejahteraan masyrakat lokal. Permasalahannya adalah, mengapa kabupaten Indragiri Hilir harus melakukan pemekaran dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, dan bagaimana pengaturannya dan kelayakan daerah otonom baru bagi Indragiri Hilir, serta apa kemungkinan lain bila tidak dimungkinkan pemekaran. Untuk menjawab penelitian ini penulis menggunakan penelitian hukum normatif dengan sifat penelitian deskriftif serta menggunakan bahan hukum primer, sekunder, tertier, data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa, pertama Kabupaten Indragiri Hilir memang sangat perlu melakukan pemekaran untuk memdapatkan pemerataan di sektor infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan yang selama ini dinilai belum merata, kedua Kabupaten Indragiri Hilir memang sudah sangat layak untuk dimekarkan karena sudah memenuhi segalah pesyaratan yang datur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 serta serta sudah memenuhi seluruh nilai indikator yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007, ketiga apabila tidak dimungkinkan pemekaran maka ada empat aspek yang harus diperhatikan, yaitu infrastruktur, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, dan pemanfaatan sumber daya yang harus di prioritaskan pemerintah kabupaten Indragiri Hilir. Kedepannya pemerintah harus benar-benar menseleksi lebih baik dan lebih rinci lagi setiap daerah yang ingin melakukan pemekaran, apabila daerah tersebut memang layak menjadi daerah otonom baru maka pemerintah harus mendukungnya, namun bila belum layak maka pemerintah wajib mencegahnya, hal ini untuk menciptakan penyamarataan pembangunan di seluruh Indonesia.

Since the ongoing reforms, the issue of autonomy has often been the subject of much discussion among politicians, bureaucracies, academics and even ordinary people, especially in relation to regional interests. So also with Indragiri downstream area who want to expand with Indragiri Selatan to further improve the welfare of local society. The problem is, why Indragiri Hilir regency should do expansion in an effort to improve the welfare of local people, and how the regulation and feasibility of new autonomous regions for Indragiri Hilir, and what other possibilities if not possible division. To answer this research the author uses normative legal research with the nature of descriptive research and using primary law materials, secondary, tertiary, the data obtained were analyzed by using qualitative approach. The result of this research shows that firstly Indragiri Hilir regency really need to do expansion to get equity in infrastructure sector, education, and health which have been considered unevenly, both of Indragiri Hilir Regency have been very feasible to be expanded because they have fulfilled every requirement that datur in Law Number 23 Year 2014 and also has fulfilled all the values of the indicators set out in Government Regulation Number 78 Year 2007, the third if not possible the division there are four aspects that must be considered, namely infrastructure, educational facilities, health facilities, and resource utilization which should be prioritized by Indragiri Hilir district government. In the future, the government should really select better and more detailed every regions that want to expand, if the region is indeed worthy of being a new autonomous region then the government should support it, but if not feasible then the government must prevent it, this is to create generalization of development in throughout Indonesia.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T50156
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parsudi Suparlan, 1938-2007
"Model megapolitan dari Gubernur Sutiyoso ini mirip dengan model megalopolis klasik atau kuno yang berbeda dari model megalopolis modern seperti yang sekarang ada di Amerika Serikat. Tulisan ini, akan menunjukkan apa itu megalopolis klasik dan modern, hakekat hubungan kota dan daerah penyangga, dan diakhiri dengan pembahasan mengenai peluang dan ancaman yang muncul dari adanya megapolitan model Gubernur Sutiyoso."
2006
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ezra Brillyantama Putra
"Penelitian dilakukan untuk memetakan persebaran keberadaan zona mineralisasi endapan bijih besi di Kecamatan Penanggalan, Kabupaten Aceh Singkil, Nanggroe Aceh Darussalam menggunakan metode resistivitas dan induced polarization. Terdapat sembilan lintasan pengukuran geolistrik menggunakan konfigurasi Wenner dan Panjang lintasan adalah 235 m. Metode resistivitas digunakan untuk identifikasi zona lemah dan jenis litologi, sementara metode IP yang mengukur parameter chargeability dan metal factor digunakan untuk mengidentifikasi zona mineralisasi bijih besi. Identifikasi zona lemah yang berupa struktur dilakukan karena merupakan faktor terbentuknya endapan bijih besi melalui proses hidrotermal. Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan dengan metode inversi dua dimensi dan pemodelan visual tiga dimensi dengan data hasil gridding. Berdasarkan hasil pengolahan, zona mineralisasi endapan bijih besi pada lokasi penelitian ini memiliki korelasi nilai resistivitas rendah, chargeability tinggi, dan metal factor tinggi. Secara keseluruhan, pola persebaran endapan bijih besi pada lokasi penelitian dapat dibedakan menjadi blok A (TM03, TM05, TM06, TM08, TM10) dan blok B (TM04, TM07, TM09, TM11). Potensi endapan bijih besi pada blok A ditemukan menerus dari TM05 hingga TM10 dan lebih terpusat pada area sekitar TM08 dan TM10. Sementara pada blok B ditemukan spoted pada beberapa zona di sepanjang blok.

The study was conducted to map the distribution of the mineralized zone of iron ore deposits in Penanggalan District, Aceh Singkil Regency, Nanggroe Aceh Darussalam using resistivity and induced polarization methods. There are nine geoelectrical measurement paths using the Wenner configuration and the length of the track is 235 m. The resistivity method is used to identify weak zones and lithological types, while the IP method which measures chargeability and metal factor parameters is used to identify iron ore mineralization zones. Identification of the weak zone in the form of a structure is carried out because it is a factor in the mineralization of iron ore deposits through the hydrothermal process. The data processing in this study was carried out using a two-dimensional inversion method and three-dimensional visual modeling with gridding data. Based on the processing results, the mineralized zone of iron ore deposits at the research location has a correlation of low resistivity values, high chargeability, and high metal factor. Overall, the distribution pattern of iron ore deposits at the study site can be divided into block A (TM03, TM05, TM06, TM08, TM10) and block B (TM04, TM07, TM09, TM11). The potential for iron ore deposits in block A is found continuously from TM05 to TM10 and is more concentrated in the area around TM08 and TM10. Meanwhile in block B, it was found spoted in several zones along the block.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Trisnayuana
"Tujuan dari intervensi ini adalah untuk menurunkan prasangka remaja Aceh Singkil pasca konflik antar agama. Masalah konflik sosial merupakan isu yang masih menjadi keprihatinan nasional. Kejadian yang terjadi di Aceh Singkil menimbulkan kesan negatif dari kelompok remaja Muslim dan Non-Muslim. Intervensi dilakukan peneliti melalui program ECEP Extended Class Exchange Programme dan PRPIA Prejudice Reduction and Positive Intergroup Attitudes Promotion yang mengarahkan dan mendorong remaja untuk melakukan kontak yang positif. Partisipan dalam intervensi ini sejumlah 35 partisipan dari dua kelompok remaja muslim dan non muslim yang berdomisili di Desa Suka Makmur Aceh Singkil. Pengukuran dampak intervensi hasil pre-test dan post-test skala linkert stereotip dengan uji paired sample test terdapat perubahan penurunan prasangka t hitung = 4,797 dan tingkat Sig 2-tailed = 0,00 < 0,05 . Program intervensi ini berpengaruh positif, dengan tersusunnya rancangan kegiatan bersama atas prakarsa remaja yang melibatkan seluruh stake holder Aceh Singkil dalam rangka menjaga perdamaian, kebhinekaan, dan membangun Aceh Singkil.

The purpose of this intervention is to reduce the prejudice of adolescent Aceh Singkil post conflict between religions. The problem of social conflict is an issue that is still a national concern. Events that occurred in Aceh Singkil elicited a negative impression of a group of teenage Muslims and non Muslims. Interventions by researchers through the ECEP program Extended Class Exchange Program and PRPIA Prejudice Reduction and Positive Intergroup Attitudes Promotion that lead and encourage teens to make positive contact. Participants in this intervention were 35 participants from two groups of Muslim and non Muslim teenagers who resides in Suka Makmur Aceh Singkil. Measurement of the impact of the pre test intervention and post test of the stereotyped linkert scale by paired sample test, there were changes in prejudice t 4.797 and Sig 2 tailed 0.00."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
T48127
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Andy Permana
"Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang pelakmnaan Program Aksi Pemberdayaan Petani (Proksidatani) dan Pembinaan Masyaraloat Desa Hutan (PMDI-I) melalui Tumpangsari lnsus (lntensifikasi Khusus) dalam rangka peningkatan kesejahteraan petani di tepi kawasan hutan jati. Penelitian ini penting mengingat tepuruknya perekonomian nasional sejak pertengahan 1997 yang dampaknya berkepanjangan hingga saat ini ,memberikan bukti empiris bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang paling tangguh dibandingkan sektor non pertanian seperti industri. Disamping itu kaxena fokus penelitian pada petani ditepi kawasan hutan jati maka secara implist berhuhungan dengan pengeiolaan hutan jati, oleh karena timbul penjarahan besar-besaran kumn waktu dipenghujung tahun 1997 sampai sekarang maka perlu adanya perubahan paradigma pembangunan kehutan yang lebih mengedepankzm aspek sosial ekonomi masyarakat :ani disekitar kawasan hutan jati.
Penelitian ini mengunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif yang diperoleh melalui studi pustaka, observasi dan wawancara mendalam (indepth interview) dengan para informan. Sementara itu pemilihan informan dilakukan secara snowball sampling, informan pertama memberikan pelunjuk tentang informan berikutnya yang dapat memberikan informasi yang tepat dan mendalam.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa Proksidatani maupun Program PMDH melalui Tumpangsari Insus tidak mampu meningkatkan kesejahteraan petani disebabkan pemberdayaan sebagai tema pokok peiaksanaan program beium mampu mengedepankan aspek pembagunan manusia (people centered development), pembangunan berbasis sumberdaya lokal (resource based development) dan pembagunan kelembagaan (institutional development). Bahkan rekayasa sosial selalu dimunculkan oleh pelaksana program melalui berbagai intervensinya Sedangkan peran LSM temyata masih dipertanyakan.
Namun diversifikasi peketjaan di sektor non permnian (of krm) dan optimalisasi peran istri dan anak-anak dipicu sebagai stmtegi mempertahankan hidup, temyata merupakan lahan barn yang menjanjikan. Bahkan di dalam masyarakat tani terjadi polarisasi sosial, dimana petani yang dulunya termasuk kurang atau pas-pasan temyata dalam petjalanannya marnpu meraih kesuksesan dan terlihat lebih mapan daripada petani yang mempunyai lahan pertanian luas (petani kaya). Sehingga sektor pertanian hanya sekedar memenuhi kebutuhan pangan dan untuk kebutuhan lain terpenuhi melalui pekerjaan diluar sektor perranian dan kondisi geografis mendukung ketersedianya lapangan kelja.
Oleh karena itu, apabila peran di sektor pertanian Iebih dioptimalkan lagi maka peningkatan kesejahteraan petani akan semakin meningkax. Prioritas yang harus dilakukan oleh pemerintah atau Perum Perhutani yaitu keperpihakan kepada petani dengan menempatkannya sebagai subyek program. Disamping ilu peran LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) llllfllk lebih diopiimalkan kinetjanya dan perlu adanya pengakuan keberadaan LSM yang independent."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T5617
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>