Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 28593 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016
303.459 8 KRI
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"On crises of culture and national identity in Indonesia; collection of articles written by lecturers of Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
"
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016
303.459 8 KRI
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
London: Routledge, 1997
939 INT
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jalaluddin Rakhmat
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999
303.4 JAL r
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"Dibandingkan dengan masyarakat-masyarakat lain di Indonesia, pemahaman mengenai aspek sosial dan budaya masyarakat Timor-Timur dapat dikatakan masih belum memadai karena keterbatasan data etnografis yang tersedia hingga sekarang. Ditinjau dari perspektif disiplin ilmu antropologi, masyarakat Timor Timur terdiri dari sejumlah kelompok etnik yang berarti pula memiliki keragaman kebudayaan. Penelitian-penelitian antropologis maupun kajian-kajian mendalam mengenai keanekaragaman kebudayaan masyarakat Timor Timur, dalam kenyataannya belum banyak dilakukan oleh para ahli ilmu sosial khususnya ahli antropologi Indonesia sejak proses integrasi tahun 1976. Masyarakat dan kebudayaan orang Dawan adalah salah satu diantaranya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami secara mendalam kebudayaan orang Kemak yang menjadi salah satu segmen masyarakat Timor Timur. Pemahaman tersebut dilakukan melalui proses identifikasi aspek sosial dan budaya kelompok etnik tersebut, dalam bentuk sejumlah data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian antropologis. Deskripsi etnografis ini mencakup sistem mata pencaharian/kehidupan ekonomi, organisasi sosial, sistem kekerabatan, kependudukan dan sistem sosial serta sistem religi. Data etnografis akan dijadikan data dasar untuk merumuskan strategi intervensi bagi program-program pembangunan, dalam hasil penelitian Tahap II.
Data kualitatif yang diperoleh dari kegiatan penelitian ini bersumber dari sejumlah informan dan informan kunci (key informant), yang terdiri dari tokoh masyarakat/ tokoh adat / tokoh keagamaan, para warga masyarakat, maupun mereka yang dikategorikan sebagai pemimpin formal yaitu aparat Pemda setempat serta aparat Pemerintah lainnya yang berdinas dalam Kabupaten Ambeno. Selain itu data etnografis juga diperoleh berdasarkan hasil observasi selama kegiatan penelitian berlangsung, balk yang terlibat (participation observation) maupun tak terlibat atau pengamatan sambil lalu dalam berbagai aspek kehidupan.
Timor-Timur merupakan suatu wilayah dengan luas kurang lebih 14.609 KM2 yang terdiri atas berbagai macam kelompok etnis, dengan berbagai budaya dan bahasa yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, sehingga kadang kadang mereka tidak saling memahami antara satu suku dengan suku lainnya. Oleh karena itu Timor-Timur terdapat 16 bahasa bagi penutur monolingual dan masing-masing bahasa merupakan jenis bahasa yang saling tidak terpahami (mutually unintelligible). Karena keenambelas bahasa itu merupakan rumpun bahasa daerah yang masih memiliki dialek dan subdialek, Dialek yang keseluruhannya berjumlah 36 bahasa. Jumlah bahasa dalam, hal ini kurang lebih sama banyaknya dengan jumlah kelompok etnis. Keanekaragaman tersebut merupakan ciri sosial dan budaya serta heterogenitas etnis di Timor-Timur.
Dalam kenyataannya, perbedaan sejarah bahasa, kelompok etnis dan budaya seperti di atas, menunjukkan bahwa terdapat kelompok etnis, bahasa dan budaya suku bangsa tertentu di Timor-Timur hampir punah. Sedangkan suku bangsa lainnya terus berkembang dengan pesat. Hal ini antara lain, ditentukan oleh perkembangan masyarakat pemakai dan/ pemilik bahasa, etnis dan budaya. Adanya migrasi masuk maupun migrasi keluar sangat besar pengaruhnya, maupun kurang adanya perhatian terhadap kelompok etnis.
Setiap golongan sosial di Timor-Timur yang menggunakan bahasa yang sama dapat dikatakan sebagai satu suku bangsa. Penggunaan bahasa yang sama ini merupakan salah satu aspek pembeda budaya di Timor-Timur. Kesamaan ini terwujud berdasarkan kesamaan simbol-simbol, kosakata, aturan-aturan, cara melakukan suatu serimoni ritual dan sebagainya yang digunakan bersama-sama oleh anggota masyarakat. Suku bangsa Kemak tersebar di wilayah Kabupaten Ermera, Kabupaten Ainaro, Kabupaten Bobonaro dan Kabupaten Suai itu sendiri. Selain itu suku bangsa Kemak terdapat pula di Kabupaten Belu NTT (Atambua).
Walaupun wilayah persebaran kelompok etnis budaya dan bahasa Kemak tersebar di lima kabupaten (NTT dan Timor-Timur seperti di atas, tetapi terdapat keunikan antara sub-sub kelompok etnisnya, seperti Kemak Leosibe (Maliana), Kemak Cailaco (di Kec. Cailaco secara keseluruhan), Kemak Balobo (di Balibo), Kemak Atabai (di Atabai), Kemak Atsabe, Obulo (di Atsabe - Ermera), Kemak Marobo (di Bobonaro), Kemak Hauba (di Bobonaro), Kemak Uskai, Daru (di Ainaro) dan Kemak Mape Zumalain (di Zumalain - Suai Kovalima). Walaupun secara umum, kebudayaan Kemak adalah sama, tetapi masing-masing sub kelompok etnik ini mempunyai keunikan tersendiri. Kenyataan sosial dan budaya seperti tersebut di atas dapat dijadikan acuan untuk menyusun rencana maupun tahapan-tahapan pelaksanaan program pembangunan, khususnya yang berkaitan dengan strategi intervensi program-program pembangunan itu sendiri."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Inggrid Primadevi
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat dampak tinggal di lingkungan budaya
lain terhadap identitas budaya siswa AFS Indonesia. Siswa program AFS yang
tinggal di luar negeri selama satu tahun akan mengalami akulturasi psikologis.
Akulturasi psikologis adalah perubahan budaya yang terjadi pada diri individu akibat
kontak budaya yang berlangsung secara terus menerus antara dua budaya yang
berbeda (Graves dalam Berry & Kim, 1988). Akulturasi dapat membawa berbagai
perubahan yang salah satunya adalah perubahan identitas budaya (Liebkind,
1996b). Seorang remaja yang tinggal di lingkungan budaya asalnya saja dapat
mengalami kebingungan identitas budaya (Phinney dalam Rice, 1996). Maka siswa
AFS yang tinggal di lingkungan budaya lain diasumsikan akan mengalami dinamika
identitas budaya yang lebih besar dan lebih kompleks karena semakin banyaknya
pilihan perilaku budaya dan keinginan untuk conform dengan perilaku tersebut.
Identitas budaya sendiri adalah imej individu terhadap nilai dan perilaku yang
menjadi karakteristik budayanya, perasaannya mengenai karakteristik budaya dan
pemahaman mengenai sejauh mana karakteristik budaya tersebut terefleksikan oleh
dirinya (Ferdman, 1995). Identitas budaya juga bisa dikaitkan dengan evaluasi
terhadap keanggotaannya dalam kelompok budaya tertentu. Karakterisitik budaya
disini akan dilihat pada empat kategori besar yakni keluarga, sekolah, pergaulan
sosial remaja dan kehidupan beragama.
Metode penelitian adalah metode kualitatif dengan menggunakan
wawancara dan observasi. Subyek adalah 4 orang siswa AFS yang sudah kembali
(retumee) dari Jepang dan Belgia dalam jangka waktu satu tahun, perempuan,
berada dalam tahap remaja akhir (18-22 tahun) dan tinggal di Jakarta.
Hasil analisis dan interpretasi menunjukkan bahwa berdasar bentuk budaya
Fiske (dalam Triandis, 1994), semua subyek mempersepsi budaya asalnya sebagai
budaya kolektivis. Sedangkan subyek yang ke Jepang mempersepsi budaya
Jepang di tempat tinggalnya sebagai budaya kolektivis cenderung individualis dan
subyek yang ke Belgia mempersepsi budaya Belgia ditempat tinggalnya sebagai
budaya individualis.
Perbedaan budaya tersebut membuat subyek semakin menyadari aspekaspek
budaya asal dan budaya baru selama di luar negeri. Perbedaan tersebut
membuat siswa mengevaluasi dan mengubah perilaku budayanya. Dalam hal ini,
terdapat tiga pola perubahan identitas budaya siswa selama di luar negeri, yakni
mempertahankan dan tidak mempertahankan identitas budaya asalnya serta
mempertahankan identitas budaya asalnya dengan mengadopsi perilaku budaya
barunya. Terjadinya pola perubahan ini bervariasi dari satu siswa ke siswa lain, tergantung dari latar belakang budaya siswa dan budaya baru yang ditemui siswa.
Namun terdapat kecenderungan bahwa perubahan yang dilakukan selama di luar
negeri adalah perubahan yang sejalan dengan budaya asal siswa. Selain itu
ditemukan pula bahwa semua siswa tidak mempertahankan identitas budaya
asalnya dalam hal kebiasaan hidup sehari-hari seperti kebiasaan mengucapkan
salam.
Secara keseluruhan, dinamika yang dialami subyek sangat besar mengingat
perbedaan budaya yang ada dan kecenderungan subyek untuk selalu mengubah
perasaan dan perilakunya setiap kali masuk ke dalam lingkungan budaya baru.
Walaupun perilaku mereka berubah, namun siswa justru lebih merasa sebagai
bagian dari budaya Indonesia dan bangga terhadap hal tersebut selama di luar
negeri. Ini terlihat dari usaha subyek untuk membela nama baik Indonesia jika
mereka mendengar berita-berita negatif mengenai Indonesia dan bangga
menampilkan atraksi budaya Indonesia.
Usia remaja ternyata adalah usia yang tepat untuk mengirimkan siswa ke
luar negeri dalam rangka program pertukaran pelajar karena remaja senang
mencoba hal-hal baru. Namun demikian, penyusunan program orientasi dan
reorientasi dengan materi karakteristik budaya baru yang lebih spesifik serta
pengaktifan peran konselor selama siswa di luar negeri disarankan untuk lebih
ditingkatkan."
2002
S3082
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria I. Hidayatun
"ABSTRAK
Manusia sebagai mahluk hidup harus memenuhi berbagai kebutuhan pokok agar dapat melakukan segala kegiatan kehidupannya dengan baik, aman dan tenang, sehingga ia dapat menemukan dan merasakan suasana hidup yang seimbang. Kebutuhan pokok manusia tersebut yakni: tempat tinggal, makan dan minum serta kebutuhan-kebutuhan primer lainnya. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang dapat menunjang dan mendukung kegiatannya. Disamping itu ada kebutuhan-kebutuhan sekundair lainnya yang bersifat integratif, misalnya berkesenian, berkeadilan, bermoral, berprestasi dan lain sebagainya, sehingga ia dapat mempertahankan hidupnya lebih lama. Ini berarti pula bahwa manusia dapat mempertahankan dan melangsungkan kehidupannya, karena dia dapat melakukan kegiatan-kegiatannya.
Filsuf Yunani Aristoteles (Bertens, 1992: 166) mengatakan bahwa manusia adalah noon politicon, yang dapat diartikan sebagai mahluk sosial yang selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesamanya (hidup dalam polis). Dalam bergaul manusia menginginkan suasana yang aman, tenteram, nyaman dan bebas,sehingga ia dapat berkarya dan bekerja untuk mengabdikan dirinya bagi kepentingan sesamanya. Selanjutnya untuk dapat memenuhi kebutuhannya sebagai: mahluk sosial, dan mendukung kegiatan dalam memenuhi kebutuhannya, manusia memerlukan lingkungan alam dan lingkungan sosial yang dapat mendukung kehidupannya. Oleh karena itu manusia bertindak secara adaptif terhadap lingkungan fisik dan sekaligus lingkungan sosialnya.
Lingkungan fisik di sini meliputi dan berarti sebagai lingkungan alam dan lingkungan buatan atau binaan. Lingkungan alam diartikan sebagai lingkungan yang ada disekitarnya yang bersifat alamiah. Sedangkan lingkungan buatan dapat diartikan sebagai lingkungan yang dibuat oleh manusia yakni sebagai papan atau tempat. Dengan papan atau tempat tersebut tentunya manusia dapat memenuhi kebutuhan di atas. Oleh karena itu kadang-kadang atau bahkan sering papan atau tempat oleh sebagian besar manusia diartikan sebagai bangunan atau lebih disempitkan lagi sebagai rumah tinggal.
Dengan demikian, rumah tinggal sebagai perwujudan budaya mempunyai arti serta makna tidak hanya merupakan tindakan adaptif terhadap lingkungan fisik, akan tetapi juga merupakan tindakan adaptif terhadap lingkungan secara sosial dan bahkan kultural. Sebagaimana yang tercermin dalam pernyataan Piddington (1950. dalam Suparlan, 1986:9) dan Maslow (Goble, 1987:69-93 dan Maslow, 1984) bahwa manusia untuk dapat melangsungkan kehidupannya dan untuk dapat hidup lebih baik lagi yaitu dapat mengaktualisasikan dirinya, maka harus dipenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya terlebih dahulu.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat digolongkan ke dalam tiga golongan, yaitu: (i) kebutuhan primer, yang kemunculannya bersumber pada aspek-aspek biologi/organisme tubuh manusia; (ii) kebutuhan sosial atau kebutuhan sekunder, yang terwujud sebagai hasil akibat dari usaha-usaha untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang tergolong sebagai kebutuhan primer, yang harus dipenuhinya dengan cara melibatkan orang/sejumlah orang lain; (iii) kebutuhan integratif, yang munculnya dan terpencar dari hakekat manusia sebagai mahluk pemikir dan bermoral."
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yahya Buwaiti
"Pembangunan sektor pariwisata dihadapkan pada situasi yang cukup dilematis. Di satu sisi pembangunan sektor ini telah menjadi suatu keharusan karena ia merupakan sektor yang cukup unggul dalam menghasilkan devisa negara dan mendistribusikan pendapatan kepada masyarakat. Akan tetapi di sisi lain ia membawa dampak negatif yang cukup besar akibatnya bagi kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk hidup lainnya.
Salah satu bidang usaha yang dikembangkan dalam sektor pariwisata adalah industri jasa hiburan umum. Sebagai bidang usaha yang termasuk dalam sektor pariwisata, industri jasa hiburan umum adalah salah satu bidang usaha yang dikembangkan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat yang tergolong berpenghasilan menengah ke atas. Sektor ini mempunyai keterkaitan cukup luas sehingga cukup banyak menyerap tenaga kerja dan mendukung upaya meningkatkan pendapatan daerah, serta berfungsi sebagai daya tarik wisata.
Senada dengan hal tersebut, di Kotamadya Jambi juga berkembang objek-objek wisata hiburan umum yang ternyata memang lebih cepat kemajuannya. Objek wisata hiburan umum yang banyak terdapat di Kecamatan Pasar Kotamadya Jambi itu, adalah: Permainan Ketangkasan, Diskotik, Pub, Night Club, dan Karaoke.
Perkembangan industri jasa hiburan umum di Kecamatan Pasar Kotamadya Jambi ternyata memberikan warna tersendiri terhadap kehidupan sosial masyarakat di kota ini, bahkan mengakibatkan terjadinya perubahan sosial budaya . Beberapa hal yang diduga menjadi pangkal sebab terjadinya perubahan-perubahan dimaksud adalah karena dalam hiburan umum itu tumbuh dan berkembang kegiatan perjudian gelap, konsumsi obat-obat terlarang, dan prostitusi terselubung.
Dari kenyataan tersebut, maka melalui ketajaman ilmiah dengan landasan sosiologi, penulis melihat adanya beberapa perubahan sosial budaya yang terjadi di masyarakat setempat. Berkaitan dengan hal itu, terdapat beberapa pertanyaan mendasar yang memotivasi penulis untuk melakukan penelitian mendalam, yakni :
(1) Bagaimana proses perubahan sosial budaya itu terjadi ?
(2) Sejauh mana perubahan sosial budaya dimaksud terjadi ?; dan
(3) Bagaimana wujud perubahan dimaksud adanya ?.
Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode analisis dengan landasan Leon perubahan sosial. Karena penelitian ini mencakup sosial dan budaya, maka untuk memilah antara pengertian sosial dan budaya, penulis mengacu kepada penelitian yang diajukan oleh Wirutomo. Penelitian ini menggunakan metode observasi dan wawancara, yang dianalisis secara deskriptif.
Dari penelitian yang penulis lakukan, maka rangkaian perubahan meliputi interaksi para individu dalam suatu kelompok masyarakat, perubahan-perubahan dalam pola hubungan antar anggota masyarakat dan perubahan dalam pola hubungan dalam keluarga. Salah satu hal yang dapat dilihat secara nyata adalah bahwa dengan berkembangnya industri hiburan umum diiringi dengan berkembangnya "kehidupan malam", yang dianggap merupakan ancaman bagi pergeseran moral dan etika, terutama bagi generasi muda.
Melalui studi sosiologis, yang menggunakan metode analisis deskriptif, penelitian ini mengungkapkan adanya dampak sosial budaya sebagai akibat dari berkembangnya industri jasa hiburan umum di Kecamatan Pasar Kotamadya Jambi. Dengan menggunakan usaha-usaha hiburan umum yang melakukan kegiatan pada malam hari sebagai subjek penelitian, penelitian ini menemukan bahwa, industri jasa hiburan umum di Kecamatan Pasar Kotamadya Jambi yang meskipun berkembang secara pelan tapi pasti, telah mengakibatkan terjadinya perubahan sosial budaya yang cukup berarti bagi kehidupan masyarakat setempat.
Perubahan sosial budaya yang menjadi temuan dalam penelitian ini meliputi :
1. perubahan sikap masyarakat terhadap aktivitas hiburan umum itu sendiri,
2. tersosialisasikannya KKN yang secara terbuka terjadi di dalam aktivitas hiburan umum,
3. menjadi terbiasanya konsumsi obat-obat terlarang,
4. adanya perubahan dalam struktur masyarakat,
5. terbentuknya kelompok kepentingan,
6. adanya perubahan pola hubungan antar kelompok masyarakat,
7. adanya perubahan nilai-nilai dalam hubungan antara kelompok masyarakat, termasuk hubungan dalam keluarga, dan
8. munculnya krisis norma.
Bilamana hal itu tidak diantisipasi secara dini dan secara tepat, maka dalam perkembangan selanjutnya dikhawatirkan akan berdampak lebih tidak baik bagi tatanan kehidupan masyarakat Kecamatan Pasar Kotamadya Jambi, khususnya dan masyarakat Kota Jambi pada umumnya. Dengan kata lain akan merusak tatanan sosial budaya yang merupakan identitas bangsa, yang nilai-nilai positifnya hendak dipertahankan, sebagaimana dimaksudkan oleh prinsip yang melandasi operasionalisasi pembangunan sektor pariwisata nasional. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T909
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sri Hayati
"Tesis ini membahas kaitan antara program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) dengan perubahan norma dan perilaku masyarakat menuju budaya bersih dan sehat masyarakat di Kabupaten Bojonegoro. Sebagai studi ilmiah, metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Soft Systems Methodology Checkland yaitu suatu model pendekatan untuk memecahkan situasi masalah kompleks yang tidak terstruktur berdasarkan analisis holistik dan berpikir sistem. Selama studi ditemukan fakta-fakta menarik seputar gerakan sanitasi atau jambanisasi, dimana pemerintah bersama masyarakat dan pihak swasta secara bersama-sama menggerakkan dan mensosialisasikan program jambanisasi secara serentak. Untuk melihat hal tersebut dan menggali lebih dalam masalah tersebut penelitian ini menggunakan analisa perilaku kesehatan Lawrence W. Green (2005) yakni faktor perilaku dilihat dari faktor pencetus (Predisposing Factors), faktor pendorong (Reinforcing Factors) dan faktor pendukung (Enabling Factors). Keberhasilan program STBM di Kabupaten Bojonegoro serta perubahan norma dan perilaku yang terjadi di masyarakat karena adanya faktor-faktor tersebut pertama; Faktor pencetus (Predisposing Factors) yakni pengetahuan individu, sikap, kepercayaan, tradisi, norma sosial masyarakat Kabupaten Bojonegoro yang terlihat dari adanya sosialisasi dan penyuluhan pengetahuan perilaku BAB bersih dan sehat, sikap teladan dari aparat dan tokoh desa dalam berperan aktif menjalankan program STBM. Kedua; Faktor penguat (Reinforcing Factors) yakni sikap dan perilaku petugas kesehatan seperti dari Dinas Kesehatan, aparat, tokoh masyarakat, tokoh agama dan petugas kesehatan. Terlihat peran aktif dari aparat, tokoh masyarakat, petugas kesehatan dan masyarakat dalam gerakan sanitasi seperti lomba ODF, penyuluhan, adanya pengawasan dan sanksi sosial. Ketiga; Faktor pendukung (Enabling Factors) tersedianya sarana pelayanan kesehatan masyarakat, bangunan wc yang berada di dalam maupun luar rumah warga, bertambahnya tenaga kesehatan, tenaga penyuluhan, dukungan dan peran aktif dari berbagai pihak sehingga masyarakat dapat membangun dan merawat WC. Tiga faktor tersebut saling terkait dalam menciptakan perilaku masyarakat sehat dan bersih yang berkelanjutan melalui program STBM.

This thesis discusses the Community Led Total Sanitation (CLTS) in relation to changes in norms and behavior towards a clean and healthy community in Bojonegoro District. As a scientific study, the approach taken in this study was using a model of Checkland?s Soft Systems Methodology, that is an approach model used to solve complex problem situations which are unstructured based on a holistic analysis and systems thinking. During this study, some interesting facts associated with sanitation and toiletry movement where the government and the public and private sectors collectively got together to mobilize and socialize toiletry program simultaneously. In order to to see and explore much deeper about the problem being studied, this research then analyzed by using the analysis of Lawrence W. Green (2005). The behavioral factor views of Predisposition Factors, Reinforcing Factors and Enabling Factors. The success of the above sanitation and toiletry program in Bojonegoro District and the changes in the norms and behaviors that occurred in the community, have been mainly encouraged by: First, Predisposition Factors, that is individual's knowledge, attitudes, beliefs, traditions, social norms of Bojonegoro?s that seen from the socialization and education of knowledge of clean and healthy defecation behavior, exemplary attitude of the officials and village leaders to take an active role running the CLTS program. Second, Reinforcing Factors, that is the attitudes and behaviors of health workers such as Department of Health, officials, community leaders, religious leaders and health workers. Seen the active role of officials, community leaders, health workers and the community in the movement such as ODF competition sanitation, education, supervision and social sanction.Third, Enabling Factors,that is availability of public health services, building WC inside or outside homes, increased health, energy counseling, support and active participation of various stakeholders so that people can build and maintain the toilets. The three factors are interrelated in creating a healthy and clean people's behavior sustainable through CLTS program."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
T31960
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>