Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 172297 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Development of green environment in Jakarta, Indonesia; collection of articles."
Jakarta: Pusat Studi Metropolitan, Universitas Tarumanegara, 2015
307.121 6 KON
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Muhammad Arifin
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan upah antara kelompok pekerja metropolitan dan kelompok pekerja non metropolitan di Indonesia. Selain itu, penelitian ini menganalisis dekomposisi perbedaan upah tersebut ke dalam dua faktor yaitu faktor yang dapat dijelaskan (endowment) dan faktor tak-terjelaskan (unexplained). Dari data Sakernas Agustus 2019 ditemukan kesenjangan upah pekerja metropolitan dengan pekerja non metropolitan di Indonesia. Pekerja di kota metropolitan memiliki probabilitas upah yang lebih tinggi daripada pekerja di kota non metropolitan. Berdasarkan kesenjangan tersebut, kontribusi faktor unexplained menjelaskan disparitas upah lebih besar dibandingkan karakteristik pekerja (endowment).

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan upah antara kelompok pekerja metropolitan dan kelompok pekerja non metropolitan di Indonesia. Selain itu, penelitian ini menganalisis dekomposisi perbedaan upah tersebut ke dalam dua faktor yaitu faktor yang dapat dijelaskan (endowment) dan faktor tak-terjelaskan (unexplained). Dari data Sakernas Agustus 2019 ditemukan kesenjangan upah pekerja metropolitan dengan pekerja non metropolitan di Indonesia. Pekerja di kota metropolitan memiliki probabilitas upah yang lebih tinggi daripada pekerja di kota non metropolitan. Berdasarkan kesenjangan tersebut, kontribusi faktor unexplained menjelaskan disparitas upah lebih besar dibandingkan karakteristik pekerja (endowment)."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moch. Nunung Kurniawan
"Tulisan ini membahas pengalaman Radio Elshinta di Jakarta dalam mengembangkan jurnalisme berdasarkan inisiatif masyarakat jauh sebelum topik citizen journalism/jurnalisme warga muncul sebagai bahan riset dunia akademisi. Elshinta memiliki 100.000 pendengar yang setia menyumbangkan berita sejak tahun 2000. Studi ini membandingkan pengalaman Elshinta dengan situs jurnalisme warga populer di Korea Selatan Ohmynews dan mencoba mengidentifikasi katalis jurnalisme warga di kedua negara tersebut. Studi kasus ini dilengkapi wawancara dengan wartawan dari Ohmynews dan Elshinta.
Studi ini menyimpulkan bahwa dengan penetrasi internet di Indonesia rendah, budaya lisan kuat di Indonesia, dan tingkat pendidikan yang rendah, kesuksesan Elshinta dalam melibatkan pendengarnya dalam berita dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: (a) dominannya budaya lisan (b) rendahnya tingkat baca sehingga ada ketergantungan tinggi terhadap radio sebagai sumber informasi dan hiburan, (c) popularitas telepon seluler sebagai alat komunikasi. Meski demikian, televisi dan media cetak di Indonesia agak enggan menerapkan jurnalisme warga dengan alasan (a): ketakutan kehilangan reputasi sebagai institusi media yang kredibel dan juga kehilangan kepercayaan dari pemasang iklan, dan (b) konflik antara berita yang tidak teredit dari warga dengan kode etik jurnalistik dan Undang Undang Pers. Kendala yang lain untuk mengembangkan jurnalisme warga di media yang mainstream adalah rendahnya pemakaian handycam oleh para amatir, lambatnya akses internet, rendahnya kemampuan menulis dan kurangnya interaktivitas dari situs internet di Indonesia.

This paper examines the experience of Radio Elshinta in Jakarta with people-initiated journalism long before the descriptor "citizen journalism" emerged as a topic of research in academic level. Elshinta has 100,000 listeners, most with no formal training in journalism, contributing to its news broadcast since 2000. This study compares Elshinta's experience with a popular online citizen media portal Ohmynews in South Korea and attempts to identify the catalysts of ?citizen journalism? in the two countries. The case study is complemented by interviews with journalists from Ohmynews and Elshinta.
The study concludes that despite the low penetration of internet in Indonesia, the predominantly oral culture and low level of education, the main factors for Elshinta?s productive engagement with its listeners are (a) the predominantly oral culture in Indonesia; (b) low literacy, thus they rely on radio as the primary source of information and entertainment; and (c) the popularity of mobile phones for interpersonal communication. However, Indonesian television and printed media have been slow in catching up with people-initiated journalism because of: (a) fear over losing its reputation as credible media organizations, and thus commercial trust; and (b) conflict between unedited reports by untrained reporters with the professional code of ethics and Press Law. Other obstacles in broadering people-initiated journalism in Indonesian mainstream media are the slow uptake of amateur handy-cam images by TV stations, slow internet access, lack of writing skills, and lack of interactivity in existing online news sites."
Jakarta: The Jakarta Post, 2007
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Widyawati
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1999
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Mikael Samin
"ABSTRAK
Migrasi merupakan aliran sumberdaya manusia dari suatu lingkungan hidup (ekosistem) ke lingkungan hidup (ekosistem) lainnya dalam suatu wilayah negara. Migrasi juga merefleksikan keseimbangan aliran sumberdaya manusia dari suatu wilayah ke wilayah lainnya (Firman, 1994). Migrasi umumnya selalu cenderung dari wilayah atau kawasan (ekosistem) yang lingkungan hidupnya masih minus ke wilayah atau kawasan (ekosistem) yang lingkungan hidupnya lebih mantap keadaan sosial-ekonominya. Jadi, migrasi merupakan tanggapan atau reaksi migran atas ketidakmantapan (ketimpangan) lingkungan sosialekonominya di daerah asal, atau lingkungan hidup daerah asal tidak berfungsi secara balk bagi kehidupan para migran. Sementara itu ada anggapan para migran bahwa terdapat kemantapan ekosistem di luar daerahnya yang akan menjadi daerah tujuan migrasinya itu.
Pola migrasi di Indonesia kelihatannya masih bersifat Jawa sentris, artinya sebagian besar migran dari seluruh wilayah di Indonesia menuju ke Jawa dan sebagian besar migran dari Jawa menuju ke wilayah-wilayah di Jawa juga, terutama terpusat ke kota-kota besar (kota metropolitan).
Pemusatan arus migrasi ke kawasan (ekosistem) kota metropolitan ini menunjukkan suatu pengutuban (polarisasi), yang menyebabkan kepadatan penduduk Pulau Jawa, terutama di kawasan kota metropolitannya lebih tinggi daripada daerah-daerah lainnya. Hal ini lebih nampak lagi di wilayah Kota Metropolitan Jakarta, kepadatan penduduknya pada tahun 1993 mencapai 11.183 jiwa/km2 dengan pertumbuhan penduduknya pada periode 1980-1990 sebesar 2,41 persen dan pada tahun 1990-1993 sebesar 2,12 persen per tahun, yang merupakan wilayah propinsi dan kawasan kota metropolitan terpadat dan terbesar pertumbuhan penduduknya di Indonesia. Kepadatan dan pertumbuhan penduduk Kota Metropolitan Jakarta yang tinggi ini sebagai suatu akibat dari penduduk yang pindah ke kota tersebut lebih banyak yang mampu menetap daripada pindah kembali ke daerah asal atau ke daerah lain.
Kemampuan menetap migran ke suatu lingkungan tempat tinggal menimbulkan terkonsentrasinya sumberdaya manusia paaa satu ruang kehidupan, yang sudah tentu pada gilirannya agihan penduduk tidak merata dan seimbang di setiap wilayah dan kawasan, pemanfaatan sumber daya lingkungan hidup juga tidak merata dan perhatian terhadap pembangunan wilayah pun tidak merata dan seimbang.
Terkonsentrasinya sumber daya manusia di kota-kota besar (kota metropolitan) sering diikuti dengan meningkatnya gejala perusakan dan pencemaran lingkungan hidup, seperti tekanan terhadap lahan perkotaan, meningkatnya produksi limbah, rusaknya air tanah, masalah sanitasi atau kesehatan masyarakat, timbulnya pemukiman liar dan kumuh, dan sebagainya. Di samping itu, meningkatnya angkatan kerja yang belum dapat terserap dalam kesempatan kerja yang produktif, timbulnya kesenjangan taraf hidup antar kelompok masyarakat dan tekanan-tekanan sosial psikologis lainnya, baik dialami masyarakat kota umumnya maupun yang dialami oleh masyarakat migran sendiri.
Berdasarkan kenyataan di lapangan terdapat indikasi bahwa kemampuan menetap masyarakat migran asal Manggarai ke Kota Metropolitan Jakarta, khususnya yang menetap di Jakarta Timur tergolong cukup tinggi. Tingginya kemampuan menetap masyarakat migran ini erat kaitannya dengan lingkungan sosial-ekonomi migran, baik sewaktu di daerah asal maupun setelah menetap di kota metropolitan. Atas dasar hal tersebut maka disusun hipotesis kerja, yakni kemampuan menetap migran ke kota metropolitan dipengaruhi oleh kesempatan kerja sewaktu di daerah asal, kesesuaian (kepuasan) dengan lapangan kerja di lingkungan daerah asal, status sosial-ekonomi sewaktu di daerah asal, pola konsumsi sewaktu di daerah asal, nilai kemakmuran (ekonomis) wilayah yang diharapkan migran di daerah asal, nilai pemilikan lahan usaha di daerah asal, kesempatan kerja setelah menetap di kota metropolitan, kesesuaian (kepuasan) dengan lapangan kerja di lingkungan kota metropolitan dan sekitarnya, status sosial-ekonomi setelah menetap di kota metropolitan, pola konsumsi setelah menetap di kota metropolitan, nilai kemakmuran (ekonomis) yang diharapkan migran di kawasan kota metropolitan dan sekitarnya, peranan infrastruktur penunjang mata pencaharian terhadap kegiatan ekonomi migran di wilayah kota metropolitan.
Penelitian ini dilakukan di Wilayah Kotamadya Jakarta Timur sebagai bagian dari Wilayah Kota Metropolitan Jakarta dengan populasi sebanyak 294 migran asal Suku Manggarai yang memenuhi beberapa kriteria yang telah ditetapkan. Dari populasi tersebut terpilih sampel sebanyak 62 orang migran atau 21,09 persen yang berdomisili di Kelurahan Palmeriam Kecamatan Matraman. Sampel ini merupakan sampel wilayah yang ditentukan secara purpossive (purpossive area sampling) untuk menentukan lokasi sasaran penelitian dan sekaligus menentukan jumlah migran sebagai responden.
Untuk memperoleh data, maka digunakan daftar pertanyaan (kuesioner) dan wawancara secara mendalam. Sedangkan untuk menganalisis data digunakan analisis deskripsi atau interpretasi dan pemahaman dengan hantuan tabeltabel. Selain itu juga dianalisi.s dengan uji statistik Korelasi Rank Spearman dengan memperhatikan faktor koreksi T terhadap ranking berangka sama dan untuk menguji signifikansinya menggunakan rumus "distribusi student's t".
Dari hasil analisis data ditemukan bahwa :
1. Masyarakat migran asal Manggarai ternyata mempunyai niat untuk bertahan hidup (menetap selamanya) pada lingkungan hidup (ekosistem) Kota Metropolitan Jakarta dari pada pindah lagi ke daerah asal atau ke daerah lain. Hanya 3,23 persen dari responden yang berniat untuk pindah kembali dan 22,58 persen yang masih ragu-raga. Hal ini diperkuat pula dengan lama menetap mereka di Kota Metropolitan Jakarta yang tergolong cukup lama (5 tahun ke atas) yakni sebanyak 59,68 persen dan adaptasi sosial-ekonomi yang cukup tinggi dan tinggi yakni sebanyak 62,90 persen dari responden.
2. Nilai budaya Manggarai dalam kegiatan sosial--ekanomi seperti gotong-royong dalam rangka pengumpulan dana, kegiatan arisan, hidup damai dengan sesama warga masyarakat di lingkungan sekitar, gensi (gengsi) atau ritak (main), rantang rugi (takut rugi) dan rantang rabo (takut dimarahi) serta saling membantu dalam mencari pekerjaan merupakan nilai-nilai yang memperkuat strategi adaptasi sosial-ekonomi para migran (ata long).
3. Berdasarkan tolok ukur yang telah ditetapkan, maka kemampuan menetap migran asal Manggarai di lingkungan Kota Metropolitan Jakarta, khususnya di Wilayah Jakarta Timur, dapat dikategorikan cukup tinggi. Hanya 32,26 persen dari responden yang termasuk kategori rendah.
4. Tingginya kemampuan menetap migran ke kota metropolitan dipengaruhi oleh rendahnya tingkat kesempatankerja migran sewaktu di daerah asal
5. Tingginya kemampuan menetap migran ke kota metropolitan dipengaruhi oleh ketidaksesuaian atau ketidakpuasan migran dengan lapangan kerja di lingkungan daerah asal (thit < ttah(a0,05;6o)).
6. Tingginya kemampuan menetap migran ke kotametropolitan dipengaruhi oleh sangat rendahnya status sosial-ekonomi migran sewaktu di daerah asal (thit { ttab(ao,05;60))
7. Kendatipun pola konsumsi (tingkat konsumsi dan tingkat kebutuhan hidup) migran sewaktu di daerah asal rendah atau kurang baik, tetapi tidak mempengaruhi tingginya kemampuan menetap migran ke kota metropolitan (thit > ttab(a0,05;60)
8. Tingginya kemampuan menetap migran ke kota metropolitan dipengaruhi oleh sangat rendahnya nilai kemakmuran (ekonomis) wilayah yang diharapkan migran di daerah asalnya (thit {tab(a0,05;60))
9. Walaupun rendahnya atau kurang baiknya nilai pembukaan lahan usaha migran di daerah asalnya., tetapi tidak mempengaruhi tingginya kemampuan menetap migran ke kota metropolitan (thit > ttah(a0,05;60)).
10. Tingginya kemampuan menetap migran ke kota metropolitan dipengaruhi oleh tingginya kesempatan kerja migran setelah menetap di kota metropolitan (thit > ttab(a0,05;60))
11. Tingginya kemampuan menetap migran ke kota metropolitan dipengaruhi oleh adanya kesesuaian atau kepuasan migran dengan lapangan kerja migran di lingkungan kota metropolitan (thit >ttab(0,Q5;6O)).
12. Tingginya kemampuan menetap migran ke kota metropolitan dipengaruhi oleh tingginya status sosial-ekonomi migran setelah menetap di wilayah kota metropolitan (thit } ttab(a0,05;60)).
13. Tingginya kemampuan menetap migran ke kota metropolitan dipengaruhi oleh tingginya atau baiknya pola konsumsi migran setelah menetap di kota metropolitan (thit > ttab(G0,05;60))
14. Tingginya kemampuan menetap migran ke kota metropolitan dipengaruhi oleh tingginya nilai kemakmuran (ekonomis) wilayah yang diharapkan migran di kota metropolitan (thit > ttab(ao,o5;6o)).
15. Tingginya kemampuan menetap migran ke kota metropolitan dipengaruhi oleh besarnya peranan infrastruktur penunjang mata pencaharian yang terdapat di kawasan kota metropolitan terhadap kegiatan ekonomi migran (thit } ttab(a0,05;60)).

ABSTRACT
Migration is a flow of human resource from one ecosystem to another ecosystem in an area of a country. Migration also reflects the balanced flow of human re-source from one area to another (Firman, 1974). Generally, migration usually tends to move from regions or areas (ecosystem) with a living environment that is minus to regions or areas (ecosystem) with social-economic environment that are better/stable. Thus, migration is a response or reaction of migration on the social-economic environment's imbalance of the original region, or biological environment of the original region that is not able to function properly for migrants to live. Meanwhile. Migrants assume that there is ecosystem stability outside of their region that will be the target of their migration.
The migration patterns in Indonesia is still centrally/ located in Java, which means that most of the migrant from all regions in Indonesia migrate to Java and most migrants from Java also migrate to certain regions around Java, particularly big cities (metropolitan cities).
The concentration of migration flow in metropolitan areas (ecosystem) implies a polarization, which causes population density in Java, particularly in the metropolitan area, which is found to be more dense than other regions. This is, especially more dominant in Metropolitan Jakarta the population density of which reaches 11.183 people/km2, with its population growth in 1980--1990 around 2.41 percent and 1990--1993 was 2.12 percent a year. This makes Jakarta as the most dense province and metropolitan area, with the highest population growth in Indonesia.
This high growth and density of population is the result of the fact that most migrants who move to this city have the ability to find a place and reside in the city than move back to their original or other areas.
The ability of migrants to reside in certain neighborhood causes human resource concentration in certain living spaces, and of course, the distribution of population is not equal or balanced in each region or area. Thus, the use of living natural resource will not be equal, as well as the attention to development will not be equal or there is imbalance.
The concentration of human resource in big cities (metropolitan cities) is usually followed by a phenomenon of biological destruction and contamination, such as the increase of household' waste production, damage of ground water, illegal settlement or slum areas, etc. Besides, the increase of laborers that cannot be absorbed by productive work opportunities, disparity of standard of living among societal groups and other social-psychological pressures, both have been experienced by both the rural society and migrant society a like.
Based on the reality in the field, there are indications that the residing ability of Manggarainese migrant society in Metropolitan Jakarta, particularly in East Jakarta is found to be high. The high ability of this migrant society has close correlation with the social-economic environment of the migrants, both when being in their original region and after residing in the metropolitan city. Based on that case, it is hypothesized that the ability of migrants to reside in the metropolitan city is influenced by work opportunities in their original region (when they were still in their original area), their satisfaction on work opportunities in their original region, their social-economic status in their original region, consumption patterns when they were in their original region, the values of prosperity (economical values) they expected in their original region, the values of work field in their original region, work opportunities they have after residing in metropolitan city, their satisfaction on work opportunities around the metropolitan city, social-economic status after residing in metropolitan city, pattern of consumption after residing in metropolitan city, the values of prosperity expected by the migrants from metropolitan city, the role of supportive infrastructure like the means of making a living toward economic activities in metropolitan city.
This research was carried out in the Region of East Jakarta Municipality as a part of the Metropolitan City of Jakarta, with some 294 Manggrainese migrants who satisfied determined requirements. From those population, the selected samples were 62 migrants or 21.09 percent of the total population who reside in Kelurahan Palmeriam Kecamatan Matraman. This purposive area sampling is aimed at deter-mining the target location for research and the number of migrants as the respondents.
A Questionnaire was used to obtain the data, and detailed interview was carried out as well. While for data analysis, descriptive analysis was used. Whereas interpretation and comprehension are presented through tables. Data analysis was also done by using Rank Spearmen Statistical Correlation testing by seeing correlation factor T on similar number of rank, and " distribution of student's "t" formula is used to test its significance.
Through the analysis, it is found that:
1. Manggarainese migrant society have purpose to reside in the biological environment (ecosystem) of Metropolitan Jakarta, rather than moving back to their original region. Only 3.23 percent of the respondents are eager to move back, and 22.58 percent of respondents are still in doubt. This is also. stressed by the fact of length of living or residing in Metropolitan Jakarta (above 5 years) the percentage of which is 59.68 percent, social-economic adaptation is also high enough; this makes 62.90 percent of respondents.
2. Cultural values in social-economic activities, such as cooperation in collection of funds, arisan and living harmoniously with tribes around their neighborhood, as well as creating mutual help in finding jobs opportunities. These are the values that help to strengthen their strategy in social-economic adaptation.
3. Based on the determined measurement, the ability of Manggrainese migrants to reside in the neighborhood of Metropolitan Jakarta, particularly in East Jakarta,is categorized as fairly high. Only 32.26 percent of all respondents are categorized to be low.
4. The high ability of migrants to reside in Jakarta is influenced by the low work opportunities available in their original region (th<<< tab (Q 0.025;60).
5. The high ability of migrants to reside in the metropolitan city is influenced by dissatisfaction or incompatibily of migrants' on available work opportunities in their original region (th,, < tab (.0.05;60)).
6. The high ability of migrants to reside in the metropolitan city is influenced by their very low social-economic status in their respective original region (thit < tsab (a 0.050)).
7. Although the consumption pattern (rate of consumption and rate of living necessity) of migrants in their original region is low or worse, but it does not influence the high ability to reside in the metropolitan city(thit < tsab (a 0.05:50))
8. The high ability of migrants to reside in metropolitan city is influenced by their very low prosperity values (economic) of the region expected by the migrants in their original region (this < tsab)
9. The low values of field possession in their original region, such does not influence the high ability to reside in metropolitan city(thit 7 tthb (x0.05;50))
10. The high ability of migrants to reside in the metropolitan city is influenced bythe high work opportunities after the migrants settled in the metropolitan city `thit> stab (a O.05;6d)
11. The high ability of migrants to reside in the metropolitan city is influenced by the suitability and satisfaction of migrants in the work opportunities availablein the metropolitan city (this > stab (a 0.05;0))
12. The high ability of migrants to reside in the metropolitan city is influenced by migrants social-economic status after residing in the metropolitan city(thit> CI; (a 0,05;50)
13. The high ability of migrants to reside in the metropolitan city is influenced by the better consumption pattern after residing in the metropolitan city(t it > tsah (a 0.05;60))
14. The high ability of migrants to reside in the metropolitan city is influenced by the high prosperity values (economic) in the area expected by migrants in themetropolitan city (this > tsab (a 0.050))
15. The high ability of migrants to reside in the metropolitan city is influenced by the high supportive infrastructure of the metropolitan city for economic activities of the migrants (thit > tteb (a 0.50;60)
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Matondang, M.H.
"Terdapat beberapa dasar pemikiran yang melatar belakangi mengapa orang Batak meninggalkan kampung halamannya, merantau ke Pulau Jawa dan sebagian memilih lapangan kerja di bidang angkutan umum di kota Metropolitan Jakarta, cukup penting dan menarik dipelajari secara sistematik dan mendalam.
Dari beberapa sudut tinjauan, ternyata kedudukan dan peranan orang Batak dalam penyelenggaraan kegiatan angkutan umum di kota Metropolitan Jakarta, baik sebagai pengusaha, pemilik, pengelola, sopir,kondektur, dan sebagainya, cukup menonjol dan dianggap penting. Apalagi mengingat bahwa sektor transportasi sangat vital dan strategic dalam menunjang Pembangunan Nasional.
Ditinjau dari kedudukan kota Metropolitan Jakarta sebagai ibukota Negara R.I., pusat perekonomian dan pemerintahan mempunyai daya tarik yang kuat bagi pendatang baru. Jumlah penduduk Jakarta setiap tahunnya bertambah rata-rata 300.000 jiwa, umumnya berasal dari daerah-daerah dengan perlbagai suku bangsa. Mereka pindah ke Jakarta meninggalkan kampung asal dan menjadi urban dikota Metropolitan Jakarta. Ditinjau dari latar belakang perpindahan penduduk dari daerah asal ke Jakarta ternyata ada perbedaan antara suku Batak dengan suku bangsa lain.
Perpindahan etnis Batak dari tanah leluhurnya ke berbagai daerah di Indonesia khususnya ke kota Jakarta didorong oleh dua faktor utama yaitu: (1) keinginan melanjutkan pendidikan dan emansipasi bagi angkatan pertama (1915-1950) dan kedua (1950-1965), (2) keinginan untuk memperbaiki kondisi ekonomi bagi angkatan ketiga (1965-1980) dan keempat (1980-1995). Masing-masing mempunyai sikap, perilaku, dan strategi adaptif yang berbeda-beda dalam kehidupan kota Jakarta.
Mereka melihat dan memanfaatkan peluang pekerjaan didasarkan pada sikap, perilaku, dan pengetahuan budaya yang dimilikinya. Angkatan pertama faktor pendorongnya adalah pengaruh misi agama Kristen dan emansipasi, angkatan kedua faktor pendorongnya adalah kebutuhan melanjutkan sekolah dan mencari lapangan pekerjaan, dan tahap ketiga dan keempat faktor pendorongnya adalah tekanan ekonomi dan memanfaatkan peluang atas keberhasilan pembangunan secara materiil di Jakarta.
Etnis Batak di Jakarta dari angkatan pertama dan kedua membentuk asosiasi Klan dengan tujuan untuk melestarikan tradisi Batak ("Agama Adat"), memelihara identitas, membentuk sarana interaksi ekonomi dan social, dan bertujuan sebagai sarana pendidikan. Tetapi dari angkatan ketiga dan keempat pembentukan Klan bertujuan sebagai sarana interaksi ekonomi khususnya memperoleh kesempatan kerja. Klan-klan dari angkatan pertama berciri religi (rohaniawan) dan pendidikan (keilmuan); klan-klan angkatan kedua berciri kewiraswastaan, birokrasi, dan pendidikan (keilmuwan); klan-klan angkatan ketiga dan keempat berciri untuk mencari nafkah atau perbaikan kondisi ekonomi, misalnya klan sopir, kenek, pedagang kecil, dll.
Bagi angkatan ketiga dan keempat ada kecocokan antara watak, sikap, kemauan, dan perilaku keras suku Batak dari hasil penempaan lingkungann asal mereka (Tanah Batak) dengan kondisi obyektif kota Jakarta khususnya dalam peluang kerja bidang angkutan umum. Di samping itu bidang pekerjaan angkutan umum merupakan bidang kerja yang cepat mengahasilkan uang atau alat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bagi angkatan pertama dan kedua lebih fleksibel menyesuaikan diri dengan kondisi Jakarta khususnya dan daerah-daerah lainnya, karena mereka telah memiliki pengetahuan yang lebih luas.
Klan suku Batak di Jakarta secara evolusi berubah dan berkembang menjadi "Simbol" saja, karena pengaruh gerak masyarakat Jakarta yang semakin individualistis dan ekonomistik. Hubungan kesukuan yang awal mulanya merupakan hubungan adat yang penuh religius dan hubungan kekerabatan, berubah menjadi hubungan yang bersifat ekonomis, terutama pada angkatan ketiga dan keempat.
Ada warisan budaya yang tidak dapat hilang dalam proses evolusi budaya Batak di Jakarta, yaitu "Dalihan Natolu", merupakan tiga pilar utama adat Batak sebagai kesatuan religi, kesatuan sosial, dan kesatuan kekerabatan. Dalihan Natolu sebagai "Ideologi" suku Batak tidak akan bisa dihancurkan oleh mekanisme masyarakat modern Jakarta, karena Dalihan Natolu merupakan inti atau hakekat dari interaksi orang Batak dengan lingkungan hidupnya yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Tetapi dari sudut perilaku upacara-upacara adat, sebagian dari Dalihan Notolu ada yang disesuaikan dengan perkembangan lingkungan masyarakat Jakarta, misalnya upacara-upacara kelahiran, perkawinan, dan kematian.
Dilihat dari sisi ekonomi, peranan Dalihan Natolu sangat besar bagi suku Batak di Jakarta, yaitu dalam hal penciptaan lapangan kerja dan pembinaan tenaga kerja, misalnya seperti yang dilakukan oleh M. Hutagalung pemilik perusahaan bus kota "Arian". Etnis Batak pendatang Baru yang belum memiliki pekerjaan ditampung, dibina, dan diberi pekerjaan sebagai sopir, kenek, montir, dan pekerjaan-pekerjaan lain sesuai dengan kemampuannya.
Dari segi angkutan penumpanng umum yang menjadi pilihan pekerjaan sebagian suku Batak di Jakarta dari angkatan ketiga dan keempat, sampai saat ini belum sempurna. Hal itu bukan disebabkan oleh kelemahan suku Batak yang bekerja dalam bidang tersebut, tetapi disebabkan oleh berbagai faktor antara lain: (a) lemahnya disiplin masyarakat baik sebagai pemakai jasa angkutan umum, petugas lalu lintas, pengusaha, maupun para pekerja (sopir, kernet, dll.), (b) jumlah kendaraan penumpang umum yang tidak seimbang (lebih kecil) di-banding kebutuhan pemakai jasa, (c) kebijakan pemerintah dalam hal pemilikan kendaraan pribadi belum dibatasi, sehingga kendaraan pribadi lebih banyak daripada kendaraan penumpang umum, (d) sikap dan perilaku para petugas yang terkait dengan kepentingan angkutan umum yang kurang mendukung kepentingan umum.
Kekerabatan etnis Batak di Jakarta dari angkatan pertama dan kedua sangat akrab dan merasa berkepentingan pada pembangunan tanah leluhur di Tapanuli Berta masih setia mempertahankan adat, karena mereka pada umumnya memiliki status sosial-ekonomi yang mapan. Tetapi sebaliknya kekerabatan etnis Batak di Jakarta dari angkatan ketiga dan keempat kurang berkepentingan terhadap tanah leluhur dan sebagian tata cara adat telah disederhanakan khususnya dalam praktek upacara-upacara adat perkawinan dan kematian, karena mereka masih bergulat untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya.
Kehidupan di Jakarta mempunyai pengaruh besar terhadap sikap dan perilaku etnis Batak Jakarta. Hubungan kekerabatan dalam konsep "Dalihan Natolu" secara utuh sudah tidak dapat dipertahankan karena perubahan sikap , perilaku, dan pengetahuan mereka. Kondisi lingkungan fisik, sosial, ekonomi, politik, dan budaya kota Jakarta sangat mempengaruhi bahkan menentukan pola pikir, sikap dan perlaku etnis Batak Jakarta khususnya dan etnis-etnis lainnya yang hidup di Jakarta."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T4524
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Yuda Andika Darmawan
"Studi ini menganalisis bagaimana pengalaman migrasi ke Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) dan kota metropolitan lainnya di Indonesia berpengaruh terhadap pendapatan, baik pekerja formal maupun informal. Penelitian ini menggunakan data dari Indonesia Family Life Survey (IFLS) tahun 2007 dan 2014 serta data BPS dan Simreg Bappenas. Dengan menggunakan regresi fixed effect, penelitian ini menemukan bahwa pengalaman migrasi ke Jabodetabek tidak memberikan pengaruh terhadap pendapatan, baik bagi pekerja formal maupun informal. Sementara pengalaman migrasi ke kota metropolitan selain Jabodetabek berpengaruh terhadap pendapatan baik bagi pekerja formal maupun informal. Akan tetapi, pekerja di Jabodetabek memperoleh pendapatan lebih tinggi sementara pekerja di kota-kota metropolitan tidak. Temuan ini menunjukkan adanya ketimpangan kesempatan dan ekonomi antara Jabodetabek sebagai primate city dan kawasan lainnya. Selain itu, penelitian ini juga mengkonfirmasi adanya learning effect bagi pekerja formal dan informal. Learning effect tersebut justru lebih tinggi untuk pekerja informal. Hal ini dikarenakan mudahnya melakukan imitasi untuk pekerjaan sektor informal. Selain itu, tingkat kepercayaan serta network externalities lebih kuat antar pekerja informal yang memungkinkan terjadinya transaksi atau kerjasama yang berulang.

This study examines how migration experience to large agglomeration economies of Jabodetabek (Jabodetabek, Bogor, Depok, Tangerang, and Bekasi) and other metropolitan cities in Indonesia affect income of both formal and informal workers. This study employs data from the Indonesia Family Life Survey (IFLS) in 2007 and 2014 as well as macro data from BPS and Simreg Bappenas. Using fixed effect regression, this study finds that migration experience to Jabodetabek has no effect on income, both formal and informal workers. Meanwhile, migration experience to a metropolitan city other than Jabodetabek increase the income of formal and informal workers. However, workers in Jabodetabek earn higher incomes while workers in metropolitan cities do not. These findings show that there is inequality of opportunity and economy between Jabodetabek as a primate city and other areas. In addition, this study also confirms the existence of a learning effect for formal and informal workers. Interestingly, learning effect is higher for informal workers. This is because it is relatively easy to imitate a product produced by informal sector. In addition, trust and network externalities are stronger among informal workers which allow them to make repeated transactions or partnerships."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amri Marzali
"In this article, the author examines whether the matrilineal system is compatible with urban social environment. The case of Minangkabau migrant groups, particularly those from the village of Silungkang, West Sumatra, who now live in the metropolitan city of Jakarta,reveals the incompatability of the two. In Minagkabau region, the combination of the traditional matrilineal system and the residence pattern of duo local are backed up by the wet rice economy and the communal land rights system. In the metropolitan city of Jakarta, these factors are absent. As a result, the matrilineal system does not work."
2000
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ishadi SK
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999
384.54 ISH d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>