Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 54310 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ismu Gunandi Widodo
Surabaya: Airlangga University Press, 2006
345.027 4 ISM a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Alvira Melanie Wahjosoedibjo
Depok: Universitas Indonesia, 1999
S21951
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syaefurrochman Achmad
"Diskresi kepolisian adalah konsep otoritas polisi yang diberikan oleh hukum untuk melakukan tindakan sesuai dengan pertimbangan hati nurani petugas maupun institusi. Otoritas tersebut sangat dibutuhkan untuk mengatasi masalah penegakan hukum dan ketertiban masyarakat yang sangat luas. Masalahnya adalah pengunaan diskresi tersebut potensial disalahgunakan.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui corak diskresi dalam penyidikan tindak pidana narkotika dan obat-obat berbahaya di Polda Metro Jaya. Dengan metode etnografi, peneliti ini ingin memotret gambaran yang sesungguhnya dari praktek penyidikan dan diskresi macam apa yang dikembangkan para penyidik narkoba. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi institusi kepolisian untuk menentukan kebijakan yang diperlukan, utamanya dalam mengendalikan diskresi, sehingga hukum dapat ditegakkan secara etis.
Temuan penelitian ini mematahkan anggapan sebagian anggota polisi yang menyatakan tidak ada diskresi dalam penyidikan narkotika. Hasil penelitian ini justru menampakkan corak diskresi yang beragam. Diskresi dilakukan atas dasar pertimbangan kualitas kasus, prioritas kegiatan karena keterbatasan sumber daya, perbedaan dalam memandang pemakai narkoba apakah sebagai korban ataukah sebagai pelaku kejahatan, dan keselamatan anggota. Faktor sosial ekonomi dan lama tugas juga mempengaruhi keputusan petugas menggunakan diskresi.
Dalam penyidikan kasus narkoba, terdapat 21 corak diskresi yang mendasarkan pada asas kewajiban hukum; ada juga yang koruptif. Peneliti juga menemukan sejumlah penyalahgunaan wewenang non-diskresi dalam bentuk tindak kekerasan sebagai efek negatif dari sistem kepolisian yang bercorak militeristik.
Keinginan institusi agar polisi bertindak etis tidak dibarengi dengan langkah serius memberantas korupsi, karena pimpinan dan anggota polisi memberikan toleransi tindakan koruptif tersebut dengan dalih tidak ada dana operasional.
Dalam konteks penegakan hukum, Polri harus meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja polisi agar korupsi tidak tumbuh subur, antara lain dengan mengembangkan budaya polisi yang etis. Langkah lain adalah merumuskan pedoman pelaksanaan diskresi agar terhindar dari kesalahan dalam memutuskan tindakan diskresif dan pelatihan menggunakan kewenangan diskresi.
Kepustakaan : 43 buku (1974-2000), 6 Undang-undang, 5 Peraturan Kepolisian 6 artikel, 13 berita."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T365
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedy Setyawan
"ABSTRAK
Tindak pidana pencucian uang yang diatur dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 adalah tindak pidana yang mempunyai karakteristik sebagai tindak pidana yang white collar crime hal ini berhubungan dengan pelaku yang mempunyai kekuatan ekonomi ataupun kekuatan politik , subyek atau pelaku tindak pidana individu sebagai manusia dan juga dapat sebuah korporasi, berbentuk organitation crimes berkaitan dengan lintas batas wilayah negara atau transnational. Dalam melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang diatur dalam KUHAP, Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia dan surat-surat Keputusan Kapolri yang merupakan petunjuk lapangan dan petunjuk teknis, serta Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003. Selanjut memberikan aturan melakukan tindakan lain sesuai dengan penilaian kualitas individu dan untuk kepentingan umum yang diatur dalam pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP dengan dibatasi persyaratan a).tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; b).selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan; c). tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d). atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa; e).menghormati hak asasi manusia. Selanjutnya dalam pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, mengatur juga kewenangan diskresi. Makna dikresi dikaitkan dengan penyidikan adalah kewenangan yang diberikan .berdasarkan asas kewajiban {plichmatigheids beginsel) sebagai tindakan individu dari penyidik dengan dibatasi dengan norma-norma professional, norma hukum, norma moral dan kemasyarakatan, karena tidak adanya perundang-undangan yang sedemikian lengkapnya sehingga dapat mengatur semua prilaku manusia, adanya keterlambatan-keterlambatan untuk menyesuaikan perundang undangan dengan perkembangan- perkembangan dalam masyarakat yang dapat menimbulkan ketidakpastian, kurangnya biaya untuk menerapkan perundang-undangan sebagaimana yang dikehendaki oleh pembentuk undangundang, adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan secara khusus, atau memperluas atau mengisi kekosongan hukum, sehingga penerapan diskresi oleh penyidik akan lebih baik untuk mengurangi kekurangan dari peraturan-peraturan yang tertulis dalam pelaksanaan di masyarakat. Penerapan diskresi yang menyimpang dalam penyidikan tindak pidana pada umumnya dan khusus untuk tindak pidana pencucian uang di Bareskrim Mabes Polri dikaitkan dengan pelanggaran Kode Etik Profesi yang diatur dalam Peraturan Kepala Polisi RI No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian RI (yang sebelumnya diatur dalam Keputusan Kapolri No. Pol.: Kep/32/VII/2003) dan dibentuk Komisi Rode Etik Kepolisian RI berdasarkan Peraturan Kepolisian RI No. Pol. 8 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Rode Etik Kepolisian RI (yang sebelumnya diatur dalam Keputusan Kapolri No. Pol.: Kep/321VII/2003),dengan "peraturan kepolisian" yang dapat juga merupakan kontrol dari masyarakatlmedia massa atau tidak mempengaruhi dalam hal-hal yang melanggar Mode Etik Profesi Kepolisian RI, sehingga penerapan diskresi dalam penyidikan tindak pidana terutama tindak pidana pencucian uang dapat dikontrol dan'pengawasan baik dari luar maupun dari dalam, misalnya kasus Brigjen Pol. Drs. Samuel Ismoko, yang telah melakukan penyimpangan penerapan diskresi dianggap melanggar Kode Etik Profesi Kepolisian RI melalui proses Sidang Komisi, Komisi Kode Etik Kepolisian RI, dengan dinyatakan tidak layak menjalankan Profesi Kepolisian sebagai penyidik pada fungsi Reserse seiama 1 Tahun, selanjutnya terdapat dorongan dari masyarakat (melalui media massa) karena adanya tindak pidana maka diproses secara hukum pidana.

ABSTRAK
Criminal act of money laundering as had been provided with Laws No. 15 year 2002 on Criminal Act of Money Laundering as had been revised by Laws No. 25 year 2003 is that of having characteristics as white collar crimes, it is pertained to such criminal actor who has economic or political power, subject or individual actor as human or even corporation as national or international organized crimes. In doing investigation for criminal act of Money Laundering as had been provided with Criminal Code, Laws No.2 year 2002 on Police Republic Indonesia and which of decrees of Head of Police Department of Republic of Indonesia as instructional and technical guidance and Laws No. 15 year 2002 on Criminal Act of Money Laundering as had been revised by Laws No. 25 year 2003. Thereafter, it had set out other commitment in accordance with individual quality evaluation and for public interests had been regulated in Article 7 paragraph (1), letter j Criminal Code by limited requirements, i.e.,: a). it had not contradicted with legislation; b). in line with legal obligation which requires occupational acts; c). such acts should be proper and reasonable and included in occupational area; d). and by proper consideration based on forcing condition; e). respect to human rights. Subsequently, in article 18 paragraph (1) Laws No. 2 year 2002 regarding Police of Republic of Indonesia, also it set out discretional authority. The meaning of discretion being correlated with investigation is authority based on - obligation principles (plichmatigeheids beginsei) as individual act of investigator limited by professional, legal, moral and society norms, as result of no legislation being complete to regulate all human behavior, the delays to adjust legislation. with society changes that may result in uncertainty, lack of budget for applying -law wished by legislator (s), individual
"
2007
T19209
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kasmanto Rinaldi
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T25172
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Sulistiandriatmoko
"Dalam suatu proses penyidikan tindak pidana penyalahgunaan narkotika, fase penanganan awal merupakan fase yang paling krusial, karena merupakan fase yang sangat penting dalam menentukan “nasib” tersangka, apakah akan ditahan, direhabilitasi atau dibebaskan. Pada fase ini juga terjadi penggunaan diskresi yang paling intensif oleh Penyidik Polri, yaitu ketika Penyidik Polri menggunakan kewenangannya untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab atau bertindak menurut penilaiannya sendiri sebagaimana diatur dalam KUHAP dan Undang-Undang Kepolisian. Berdasarkan hasil penelitian tahap pertama dengan menggunakan metode survei terhadap 124 Penyidik Polri, diketahui bahwa Penyidik Polri memang masih tidak konsisten dalam penggunaan kewenangan diskresinya. Setelah dilakukan penelitian tahap kedua dengan menggunakan metode empiris, diketahui bahwa penggunaan diskresi oleh Penyidik Polri hanya mempedomani ketentuan yang tertulis dalam KUHAP dan Undang-Undang Kepolisian, dan kurang mempedomani teori dasar diskresi sebagaimana dikemukan oleh para ahli hukum yang pada intinya menegaskan bahwa diskresi adalah merupakan ide atau gagasan tentang moral, yang letak kedudukannya ada pada zona abu-abu antara hukum dan moral, dalam penggunaan diskresi semestinya lebih mengutamakan pertimbangan moral daripada pertimbangan hukum, dan harus mendasarkan pada akal sehat serta itikad baik. Akibatnya, penggunaan diskresi oleh Penyidik Polri cenderung lebih mengejar kepastian hukum dari pada mewujudkan keadilan, lebih mengutamakan pertimbangan hukum dari pada pertimbangan moral, dan cara berpikirnya lebih berorientasi pada hukum positif dari pada hukum alam. Hal itulah yang diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya kelebihan hunian di Rutan dan Lapas di seluruh Indonesia. Ketika hasil penelitian empiris dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan metode normatif, diketahui bahwa pengunaan diskresi oleh Penyidik Polri dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari aspek hukum atau perundang-undangannya, aspek aparat penegak hukumnya, sarana pendukung penegakan hukumnya, maupun kondisi masyarakat dan budaya masyarakatnya. Oleh karena itu, agar penggunaan diskresi oleh Penyidik Polri dalam penyidikan tindak pidana penyalahgunaan narkotika menjadi lebih baik, maka perlu dilakukan upaya penataan ulang terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi tersebut.

In the process of investigating crimes of narcotics abuse, the initial handling phase is the most crucial phase, because it is a very important phase in determining the "fate" of the suspect, whether they will be detained, rehabilitated or released. In this phase, the most intensive use of discretion by the Indonesian National Police Investigators also occurs, namely when the Indonesian National Police Investigators use their authority to carry out other actions according to the law that are responsible or action according to their own judgment as regulated in the Criminal Procedure Code and the Police Law. Based on the results of the first stage of research using a survey methode of 124 National Police Investigators, it is known that Indonesian National Police Investigators are still inconsistent in the use of their discretionary authority. After carrying out the second stage of research using empirical methods, it was discovered that the use of discretion by Indonesian National Police Investigators only guided the provisions written in the Criminal Procedure Code and the Police Law, and did not follow the basic theory of discretion as put forward by legal experts who essentially emphasized that discretion is moral ideas, which are located in the gray zone between law and morals, in the use of discretion should prioritize moral considerations over legal considerations, and must be based on common sense and good faith. As a result, the use of discretion by Indonesian National Police Investigators tends to pursue legal certainty more than realizing justice, prioritizes legal considerations over moral considerations, and their way of thinking is more oriented towards legal positivism than natural law. This is thought to be one of the causes of excess in detentions and prisons throughout Indonesia. When the results of the empirical research were analyzed further using normative methods, it was discovered that the use of discretion by Indonesian National Police Investigators was influenced by various factors, such as legal or statutory aspects, aspects of law enforcement officers, supporting facilities for law enforcement, or the condition of society and the culture of the community. Therefore, in order for the use of discretion by Indonesian National Police Investigators in investigating crimes of narcotics abuse to be better, efforts need to be made to reorganize the various factors that influence this."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hardi Chandra
"Wilayah hukum Polres Metro Jakarta Barat memiliki 60% tempat hiburan malam di DKI Jakarta yang sangat potensial akan maraknya peredaran narkoba. Tindak pidana narkoba sendiri sudah dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang dilakukan dengan menggunakan modus yang semakin berkembang dalam mengelabuhi petugas kepolisian. Ditambah lagi dengan perkembangan teknologi yang semakin cepat juga menjadi akselerator peredaran narkoba terutama di Jakarta Barat. Hal tersebut tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Polres Metro Jakarta Barat untuk menangani dan menanggulangi penyalahgunaan narkoba, terutama dalam menggunakan diskresi bagi pengguna.
Polisi dalam menjalankan tugasnya di lapangan memiliki aturan-aturan khusus untuk melakukan tindakan hukum. Ketentuan tersebut tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, di samping itu juga memiliki aturan moral yang menjadi pedoman dan harus ditaati. Pedoman-pedoman kerja polisi tersebut memiliki keluwesan bertindak, kewenangan yang bersifat diskresioner, yakni kewenangan atau otoritas yang dimiliki polisi untuk melakukan tindakan yang menyimpang sesuai dengan situasi dan pertimbangan hati nuraninya. Penggunaan diskresi merupakan kekuatan polisi untuk menyelesaikan persoalan masyarakat secara cepat dalam rangka menciptakan keamanan dan ketertiban umum.
Penggunaan diskresi dalam penyidikan pada tindak pidana narkoba merupakan salah upaya untuk menangani dan menanggulangi penyalahgunaan narkoba. Polres Metro Jakarta Barat menggunakan diskresi untuk mengungkap jaringan peredaran narkoba dan dalam bentuk rehabilitasi. Dalam pengungkapan jaringan peredaran narkoba, teknik controlled delivery dan undercover buy yang digunakan lebih efektif jika didukung oleh penggunaan teknologi informasi. Sedangkan penggunaan diskresi dalam bentuk rehabilitasi diberikan kepada pengguna yang terbukti positif menggunakan narkoba tanpa barang bukti atau terdapat barang bukti namun dibawah ketentuan dalam SE MA Nomor 4 Tahun 2009.

Jurisdiction in Polres Metro Jakarta Barat have a 60% nightclubs in Jakarta potential of the extent of drug trafficking. The criminal act of drug itself has been categorized as an extraordinary crime committed by using a mode that is growing in a fool police officers. Coupled with increasingly rapid technological development has also become an accelerator drug trafficking, especially in West Jakarta. It is certainly a challenge for Polres Metro Jakarta Barat to handle and cope with drug abuse, especially in the use of discretion for the user.
Police in carrying out their duties in the field has specific rules to take legal action. The provisions contained in the Code of Criminal Procedure (KUHAP), in addition, it also has the moral rules that guide and must be obeyed. The guidelines of the police work with the flexibility to act, the authority is discretionary, the authority or the authority of the police to carry out actions that deviate according to the situation and consideration of conscience. The use of discretion is a police force to solve community problems quickly in order to create security and public order.
The use of discretion in the investigation on the crime of drug is one attempt to address and combat drug abuse. West Jakarta Metro Police use discretion to uncover the drug trafficking network and in the form of rehabilitation. In the disclosure of drug distribution network, controlled delivery and undercover techniques buy used more effectively if they are supported by the use of information technology. While the use of discretion in the form of rehabilitation is given to the user who tested positive for using drugs without evidence or there is evidence but under the provisions of the SEMA No. 4 tahun 2009."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hardi Chandra
"Wilayah hukum Polres Metro Jakarta Barat memiliki 60% tempat hiburan malam di DKI Jakarta yang sangat potensial akan maraknya peredaran narkoba. Tindak pidana narkoba sendiri sudah dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang dilakukan dengan menggunakan modus yang semakin berkembang dalam mengelabuhi petugas kepolisian. Ditambah lagi dengan perkembangan teknologi yang semakin cepat juga menjadi akselerator peredaran narkoba terutama di Jakarta Barat. Hal tersebut tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Polres Metro Jakarta Barat untuk menangani dan menanggulangi penyalahgunaan narkoba, terutama dalam menggunakan diskresi bagi pengguna.
Polisi dalam menjalankan tugasnya di lapangan memiliki aturan-aturan khusus untuk melakukan tindakan hukum. Ketentuan tersebut tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, di samping itu juga memiliki aturan moral yang menjadi pedoman dan harus ditaati. Pedoman-pedoman kerja polisi tersebut memiliki keluwesan bertindak, kewenangan yang bersifat diskresioner, yakni kewenangan atau otoritas yang dimiliki polisi untuk melakukan tindakan yang menyimpang sesuai dengan situasi dan pertimbangan hati nuraninya. Penggunaan diskresi merupakan kekuatan polisi untuk menyelesaikan persoalan masyarakat secara cepat dalam rangka menciptakan keamanan dan ketertiban umum.
Penggunaan diskresi dalam penyidikan pada tindak pidana narkoba merupakan salah upaya untuk menangani dan menanggulangi penyalahgunaan narkoba. Polres Metro Jakarta Barat menggunakan diskresi untuk mengungkap jaringan peredaran narkoba dan dalam bentuk rehabilitasi. Dalam pengungkapan jaringan peredaran narkoba, teknik controlled delivery dan undercover buy yang digunakan lebih efektif jika didukung oleh penggunaan teknologi informasi. Sedangkan penggunaan diskresi dalam bentuk rehabilitasi diberikan kepada pengguna yang terbukti positif menggunakan narkoba tanpa barang bukti atau terdapat barang bukti namun dibawah ketentuan dalam SE MA Nomor 4 Tahun 2009.

Jurisdiction in Polres Metro Jakarta Barat have a 60% nightclubs in Jakarta potential of the extent of drug trafficking. The criminal act of drug itself has been categorized as an extraordinary crime committed by using a mode that is growing in a fool police officers. Coupled with increasingly rapid technological development has also become an accelerator drug trafficking, especially in West Jakarta. It is certainly a challenge for Polres Metro Jakarta Barat to handle and cope with drug abuse, especially in the use of discretion for the user.
Police in carrying out their duties in the field has specific rules to take legal action. The provisions contained in the Code of Criminal Procedure (KUHAP), in addition, it also has the moral rules that guide and must be obeyed. The guidelines of the police work with the flexibility to act, the authority is discretionary, the authority or the authority of the police to carry out actions that deviate according to the situation and consideration of conscience. The use of discretion is a police force to solve community problems quickly in order to create security and public order.
The use of discretion in the investigation on the crime of drug is one attempt to address and combat drug abuse. West Jakarta Metro Police use discretion to uncover the drug trafficking network and in the form of rehabilitation. In the disclosure of drug distribution network, controlled delivery and undercover techniques buy used more effectively if they are supported by the use of information technology. While the use of discretion in the form of rehabilitation is given to the user who tested positive for using drugs without evidence or there is evidence but under the provisions of the SEMA No. 4 tahun 2009."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>