Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 126392 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Citra Kurniasari Ilyas Nampira
"Latar Belakang : Beban kerja mental pada PLLU yang tidak diimbangi dengan feedback yang cukup akan meningkatkan risiko kelelahan dan menurunkan keselamatan penerbangan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan beban kerja mental dan faktor dominan lain dengan kelelahan pada PLLU di bandara Soekarno-Hatta.
Metode: Desain penelitian menggunakan desain pre-post dengan consecutive sampling. Dilakukan pada pemandu lalu lintas udara unit controller di bandara Soekarno Hatta. Penelitian menggunakan NASA-TLX, alat reaction time L-77 Lakassidaya dan HRV. Variabel yang dianalisis adalah beban kerja mental, umur, masa kerja, jenis kelamin, unit kerja, kerja gilir, stres, kebiasaan rokok, alkohol, latihan fisik dan suhu.
Hasil: Dari 334 PLLU unit controller hanya 104 responden yang bersedia mengikuti penelitian dan 103 responden yang memenuhi kriteria inklusi. Didapatkan beban kerja mental memiliki korelasi lemah dengan kelelahan r=0,114 . Faktor-faktor dominan yang berhubungan dengan kelelahan adalah stres, kebiasaan merokok dan masa kerja. PLLU dengan stres mempunyai relative risk 145 lebih tinggi dibandingkan yang tidak stres [ Risk Relative RR = 1,45 ; 95 interval kepercayaan IK 1,055-1,999;p = 0,007], merokok memiliki korelasi sedang r=0,315 dan masa kerja memiliki korelasi lemah p=0,034; r=0,172 dengan kelelahan.
Simpulan: Beban kerja mental, stres, kebiasaan merokok dan masa kerja memiliki hubungan dengan kelelahan pada PLLU di bandara Soekarno Hatta.

Background: Mental workload on ATC which don rsquo t have enough feedback will increase fatigue risk and decrease aviation safety. The aims of this study were to know association between mental workload and other dominant factor with fatigue in ATC at Soekarno Hatta airport.
Methods: The design of the study was pre post with consecutive sampling of all Air Traffic Controller unit in Soekarno Hatta Airport. This study used NASA TLX, reaction time L 77 Lakassidaya and HRV. The variables analyzed were mental workload, age, lenght of work, gender, work unit, shift, stress, smoking habit, alcohol, physical exercise and temperature.
Results: From 334 Air Traffic Controllers only 104 were willing to participate and only 103 respondents meet the inclusion criterias. Obtained mental workload has a weak correlation with fatigue r 0,114 . The dominant factors associated with fatigue are stress, smoking habits and lenght of work. ATC with stress has a relative risk of fatigue of 145 higher than non stressful ATC Risk Relative RR 1,45 95 confidence interval CI 1,055 1,999 p 0,007 , smoking has moderate correlation r 0,315 and lenght of work has weak correlation p 0,034 r 0,172 with fatigue.
Conclusions: Mental workload, stress, smoking and length of work have associated with fatigue at ATC at Soekarno Hatta airport.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Shafira Karamina Alifah
"Beban kerja mental yang tinggi dapat mengakibatkan kelelahan dan penurunan konsentrasi serta performa pekerja. Penelitian dilaksanakan untuk melihat pengaruh beban kerja mental terhadap kelelahan mental. Pengukuran kelelahan mental dilaksanakan pada 10 menit awal dan akhir waktu kerja menggunakan electroencephalogram, sedangkan beban kerja mental diukur setelah pekerjaan diselesaikan dengan menggunakan kuesioner NASA-TLX.
Penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan pada gelombang alpha yang mengindikasikan adanya peningkatan kelelahan mental dan menemukan bahwa variabel absolute alpha lebih sensitif dalam melihat peningkatan gelombang alpha dibandingkan dengan relative alpha. Penelitian ini membuktikan bahwa terdapat hubungan antara beban kerja mental dengan kelelahan mental walaupun kekuatannya tidak tergolong kuat.

High mental workload can lead to fatigue and further result in decreased concentration and work performance. This study is conducted to see the effects of mental workload towards mental fatigue. Mental fatigue measurement was held at the first and the last 10 minutes of the working time using electroencephalogram, while mental workload measurement was held after the work is completed using the NASA-TLX questionnaire.
Research shows that there is an increase in alpha band which indicates an increase in mental fatigue and also finds that absolute alpha is more sensitive to see the increase in alpha band compared to the relative alpha. This study proves that there is a relationship between mental workload and mental fatigue although it's not relatively strong.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S62983
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tito Agistha Nanda Pratama
"Mahasiswa merupakan pekerjaan yang membutuhkan banyak sumber daya mental. Beban kerja mental dipengaruhi oleh banyak faktor, yang salah satunya adalah faktor lingkungan. Dalam rangka mengoptimalkan beban kerja mental pada mahasiswa, khususnya mahasiswa pria, penelitian ini ingin mengetahui signifikansi dari faktor suhu, pencahayaan, dan intensias suara musik klasik terhadap beban kerja mental, yang terdiri dari akurasi dan waktu, serta detak jantung rata-rata dan maksimal dalam pengerjaan tugas numerik. Selain itu, penelitian ini juga mencari kombinasi suhu, pencahayaan, dan intensitas suara musik klasik yang optimal terhadap beban kerja mental dan kenyamanan.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa tidak ada faktor utama yang signifikan terhadap empat faktor beban kerja mental yang diukur, namun interaksi faktor berpengaruh signifikan terhadap akurasi dan waktu. Kombinasi optimal yang didapatkan berbeda-beda tergantung sudut pandang keluaran yang ingin didapatkan.

Student is a job that needs much mental resources. Mental workload is affected by many factors, that one of it is environmental factor. In order to optimize mental workload to student, especially male student, this research tend to find signification from temperature, illumination, and classical music sound intensity factor to mental workload, which are accuracy and time, and also average and maximum heart rate in doing numerical task. Beside of that, this research also tends to find temperature, illumination, and classical music sound intensity optimal combination to mental workload and comfort.
Result from this research shows that there are no main factors that significant to four factors of mental workload that measured, but factors interaction are significant to accuracy and time. Acquired optimal combination are vary depend on view of output that want to be achieved.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
S55470
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nesia Putri Sharfina
"Fatigue diakui sebagai risiko utama yang membahayakan keselamatan dalam dunia penerbangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kelelahan pada petugas Tower Control ATC di Jakarta ATS Center, Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Faktor yang diteliti yaitu faktor risiko terkait pekerjaan (shift kerja dan durasi kerja) dan faktor risiko tidak terkait pekerjaan (usia, jenis kelamin, status gizi, kuantitas tidur, dan waktu tempuh perjalanan) terhadap kelelahan. Checklist Individual Strength-20 (CIS-20) digunakan untuk mengukur kelelahan secara subjektif. Penelitian ini bersifat kuantitatif observasional dengan menggunakan desain studi cross sectional. Hasil penelitian diketahui sebanyak 56,5% petugas Tower Control mengalami kelelahan. Namun, dari keseluruhan variabel tidak ditemukan hubungan yang signifikan secara statistik terhadap kelelahan.

Fatigue is recognized as a major risk that endanger the safety of aviation world. This study aims to determine risk factors associated with fatigue on Aerodrome Controllers in Jakarta ATS Center, Soekarno-Hatta International Airport. Factors studied were work-related factors (shift work and duration of work) and non-work-related factors (age, sex, nutritional status, sleep quantity, and commuting time) to fatigue. Checklist Individual Strength-20 (CIS-20) was used to measure fatigue subjectively. This research is a quantitative observational study using cross sectional design. The results of the study known as much as 56,5% of Aerodrome Controllers experiencing fatigue. However, there is no significant relationship to fatigue found from all of the variables statistically in this study."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
S65471
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oktavidal Felani Putra
"Latar Belakang : Beban kerja pada pemandu lalu lintas udara dengan penggunaan layar VDT dapat menimbulkan risiko sindrom mata kering yang dapat mengganggu fungsi penglihatan sehingga berisiko menurunkan keselamatan penerbangan. Tujuan dari penelitian ini adalah melihat prevalensi sindrom mata kering pada pemandu lalu lintas udara di bandara Soekarno Hatta beserta faktor-faktor risiko yang berhubungan.
Metode : Desain penelitian menggunakan potong lintang dengan total sampling. Dilakukan pada pemandu lalu lintas udara unit controller ACC dan APP di bandara Soekarno Hatta. Sindrom Mata Kering diukur menggunakan dua macam pemeriksaan, yaitu secara subjektif dengan menggunakan kuesioner Occular Surface Dissease Index OSDI dan secara objektif dengan menggunakan tes schirmer. Variabel yang dianalisis adalah Usia, jenis kelamin, jabatan, masa kerja, jumlah pesawat yang ditangani 1 hari, merokok, gangguan fungsi penglihatan.
Hasil : Dari 316 PLLU unit controller hanya 134 responden yang bersedia mengikuti penelitian dan 124 responden yang memenuhi kriteria inklusi. Didapatkan prevalensi sindrom mata kering 60,5 dengan mayoritas adalah derajat ringan sebesar 33,1 . Faktor-faktor dominan yang berhubungan dengan sindrom mata kering adalah jabatan dan gangguan fungsi penglihatan. Jika dibandingkan dengan PLLU dengan jabatan supervisor pengawas maka PLLU dengan jabatan senior yang memang tugasnya adalah sebagai pelaksana di ACC dan APP lebih cenderung sindrom mata kering [ Odd Ratio OR = 3,54 ; 95 interval kepercayaan IK 1,44 -8,71; nilai p = 0,006 dan gangguan fungsi penglihatan dengan sindrom mata kering menunjukkan hasil analisis multivariate OR = 0,44; 95 interval kepercayaan IK = 0,20-0,96; nilai p=0,038].
Simpulan : Jabatan dan gangguan fungsi penglihatan berhubungan dengan terjadinya sindrom mata kering pada pemandu lalu lintas udara di bandara Soekarno Hatta.Kata Kunci : Jabatan;gangguan fungsi penglihatan;sindrom mata kering;PLLU

Background Workload of the Air Traffic Controller using a VDT can increase the incidence of dry eye syndrome and lead to limitation of the visual capacity, this condition can decrease the flight safety.
Methods The design of the study was Cross sectional with total sampling of all Air Traffic Controller ACC and APP unit in Soekarno Hatta Airport. Two type of measurements was used to identify dry eye syndrome, using Ocular Surface Disease Index OSDI questionnaire for subjective and Schirmer Test as the objective test. Variables included were age, sex, job position, length of service, number of aircrafts handled in one day, smoking, visual disorders.
Results From 316 Air Traffic Controllers only 134 were willing to participate and only 124 respondents meet the inclusion criterias. The prevalence of dry eye syndrome among ATC is 60,5 , mostly 33,1 is mild dry eye syndrome. The dominant factors that associated with dry eye syndrome in ATC were job position and the visual disorders. Senior controllers have a 3,54 higher risk to get dry eye syndrome compared to supervisors Odd Ratio OR 3,54 95 IC 1,44 8,71 p 0,006 and the visual disorders associated with dry eye syndrome OR 0,44 95 IC 0,20 0,96 p 0,038.
Conclusions Job Position and visual disorders were with dry eye syndrome in Air Traffic Controller at Soekarno Hatta Airport.Keywords Job Position Visual Disorders Dry Eye Syndrome ATC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Risma Delvina
"Penelitian ini adalah tentang makoto sebagai konsep moral orang Jepang. Nilai makoto ini tercermin dalam ajaran Konfusianisme, Budhisme dan Shintoisme. Makoto dalam penelitian ini dilihat sebagai sumber dari etos kerja orang Jepang, berdasarkan pemikiran dari Suzuki Shousan, Ishida Baigan dan Shibusawa Eiichi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa makoto merupakan dasar bagi terbentuknya etos kerja orang Jepang yang menunjukkan kesungguhan, ketulusan, kesetiaan dan kejujuran. Penelitian ini juga menemukan bahwa meskipun ada perubahan perilaku kerja di kalangan generasi muda Jepang dewasa ini, namun secara hakiki moral makoto masih tetap dipertahankan dalam kehidupan orang Jepang."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T17551
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajaria Nurcandra
"Pandemi Covid-19 menimbulkan dampak pada berbagai sektor yang memungkinkan memicu terjadinya gangguan mental emosional (GME) dan penurunan kualitas hidup sehingga pembentukan ketangguhan sangat diperlukan. Studi ini ditujukan unutk menganalisis peranan ketangguhan (individu, keluarga dan komunitas) terhadap GME dan kualitas hidup individu selama pandemi Covid-19 di Jakarta Timur pada gelombang kedua. Studi explanatory sequential mixed-methods dengan pendekatan desain cross sectional dan metode kualitatif dengan desain Rapid Assessment Procedure (RAP). Kualitas hidup diukur menggunakan Indonesian HRQoL, sedangkan GME diskrining menggunakan SRQ pada 300 responden yang terpilih dari teknik multistage cluster sampling. Exploratory qualitative dilakukan pada 2 kelompok FGD dan 3 informan wawancara mendalam, sedangkan explanatory qualitative dilakukan pada 6 kelompok FGD dan 9 informan wawancara mendalam. Masyarakat memahami ketangguhan (individu, keluarga, dan komunitas) sebagai konsep kamampuan menghadapi pandemi dengan memanfaatkan aspek-aspek di sekitar mereka, GME sebagai masalah mental, dan kualitas hidup sebagai kondisi kesehatan. Proporsi GME meningkat dua kali lipat dibandingkan situasi normal. Proporsi kualitas hidup buruk sebanyak 26,30%. Ketangguhan (individu, keluarga, dan komunitas) yang buruk berhubungan terhadap terjadinya GME dan kualitas hidup buruk selama pandemi Covid-19. GME juga berperan terhadap kualitas hidup yang buruk. Peranan ketangguhan individu terhadap GME dan kualitas hidup ditentukan oleh persepsi realistis dengan cara bersyukur, ikhlas, sabar, dan saling menguatkan, menerima keadaan, menerapkan protokol kesehatan, regulasi emosi-kognisi, kemampuan adaptasi, dan optimisme. Peranan ketangguhan individu terhadap GME dan kualitas hidup ditentukan oleh usia pengambil keputusan keluarga, dukungan sosial dan kontrol diri. Peranan ketangguhan komunitas terhadap GME dan kualitas hidup ditentukan oleh kestabilan sistem pendidikan, sistem kesehatan, sistem politik/pemerintahan, dan sistem manajemen pandemi. Ketangguhan keluarga ditemukan paling berperan terhadap kualitas hidup. Sistem pemerintahan yang berkolaborasi dan responsif menentukan kestabilan komponen-komponen ketangguhan komunitas. Oleh karena itu, direkomendasikan untuk memperkuat komponen ketangguhan keluarga dan sistem pemerintahan dalam menghadapi pandemi.

The Covid-19 pandemic has had an impact on various sectors that may trigger mental emotional disorders (GME) and a decrease in quality of life so that the formation of resilience is urgently needed. This study aimed at analyzing the role of resilience (individual, family and community) on GME and the quality of life of individuals during the Covid-19 pandemic in East Jakarta in the second wave. Explanatory sequential mixed-methods study with a cross-sectional design approach and qualitative methods with a Rapid Assessment Procedure (RAP) design. Quality of life was measured using the Indonesian HRQoL, while GME was screened using the SRQ on 300 respondents selected from the multistage cluster sampling technique. Exploratory qualitative was conducted with 2 FGD groups and 3 in-depth interviews with informants, while explanatory qualitative was conducted with 6 FGD groups and 9 in-depth interviews with informants. Communities understand resilience (individual, family and community) as a concept of being able to deal with a pandemic by utilizing aspects around them, GME as a mental problem, and quality of life as a health condition. The proportion of GME has doubled compared to the normal situation. The proportion of poor quality of life was 26.30%. Poor resilience (individual, family and community) related to the occurrence of GME and poor quality of life during the Covid-19 pandemic. GME also contributed to poor quality of life. The role of individual resilience to GME and quality of life was determined by realistic perceptions by being grateful, sincere, patient, and mutually reinforcing, accepting circumstances, implementing health protocols, emotional-cognition regulation, adaptability, and optimism. The role of individual resilience to GME and quality of life was determined by the age of family decision makers, social support and self-control. The role of community resilience to GME and quality of life was determined by the stability of the education system, health system, political/government system, and pandemic management system. Family resilience was found to have the most effect on quality of life. Collaborative and responsive governance systems determine the stability of the components of community resilience. Therefore, it is recommended to strengthen the components of family resilience and government systems to deal with a pandemic."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ati Surya Mediawati
"Pengembangan alat ukur menelaah perubahan psikologis, mental dan perilaku saat interaksi dalam konteks asuhan keperawatan melalui telaah hasil persepsi teruji, observasi pendamping, observasi dari penguji dan angket klien, sehingga dapat memberikan informasi diagnostik beban kerja mental. Selama interaksi perawat dengan klien dipengaruhi oleh jenis interaksi, kondisi klien, ketersediaan waktu, kemampuan berfikir kritis, kemampuan mengelola masalah, keseimbangan diri dan kontrol diri. Beban kerja mental saat interaksi dapat muncul apabila terjadi selisih kapasitas maksimum seorang perawat untuk dapat melakukan upaya fisik, mental, pengelolaan waktu, kinerja, upaya mengelola perasaan frustrasi dan effort dengan pengaruh yang muncul saat interaksi. Akibat terjadinya beban kerja mental dapat muncul perubahan fisik, perubahan perilaku dan perubahan psikologis. Pendekatan interpretasi menggunakan skala interval dan skala ordinal yang diisi oleh 596 partisipan dengan 11 case processing data. Penelitian dilaksanakan di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatra Barat dan Sulawesi Selatan. Validitas dan reliabilitas variabel persepsi teruji (?=0,996 sebelum interaksi dan ?=0,993 setelah interaksi), observasi (?=0,844 sebelum interaksi, ?=0,711) orientasi (?=0,711), identifikasi (?=0,769), eksplorasi (?=0,773), resolusi (?=0,820), setelah interaksi (?=0,772), angket klien (?=0,64). Hasil pengujian model Confirmatory Factor Analisis (CFA) melalui program Lisrel menghasilkan p-value = 0,150 (p>0,05) dan RMSEA = 0,075 (RMSEA<0,1). Simpulan alat ukur ini vaild dan reliabel yang fit karena telah menggunakan komponen-komponen yang menyebabkan model alat ukur fit sebagai informasi diagnostik pengukuran beban kerja mental. Saran diperlukan dukungan regulasi sebagai implikasi dalam penggunaan alat ukur.

Development of a measuring tool examines the psychological changes, mental and behavioral interactions in the context of nursing care through the study of perception results tested, companion observation, observation of testing and questionnaire client, so it can provide diagnostic information of mental workload. During the interaction of nurses with clients affected by the type of interaction, client conditions, availability of time, critical thinking skills, ability to manage the problem, the balance of self and self-control. Mental workload when interaction occurs when there is difference in the maximum capacity of a nurse to be able to perform physical effort, mental, time management, performance, efforts to manage feelings of frustration and effort to the effect that appears when the interaction. Due to the occurrence of mental workload may arise physical changes, changes in behavioral and psychological changes. Interpretation approach using interval scale and ordinal scale completed by 596 participants with 11 case processing data. The experiment was conducted in the province of West Java, Central Java, West Sumatra and South Sulawesi. Validity and reliability perception variables tested (? = 0.996 and ? = before interaction after interaction 0.993), observation (? = 0.844 before interaction, ? = 0.711) orientation (? = 0.711), identification (? = 0.769), exploration (? = 0.773), resolution (? = 0.820), after the interaction (? = 0.772), client questionnaire (? = 0.64). The results of model testing Confirmatory Factor Analysis (CFA) through lisrel program produces p-value = 0.150 (p> 0.05) and RMSEA = 0.075 (RMSEA<0.1). Conclusions this measure vaild and reliable fit for the use of components that cause the model fit as a measuring instrument diagnostic information measuring mental workload. Suggestions needed support as the regulatory implications of the use of measuring tools."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noer Haeny
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko kelelahan mata. Jenis penelitian ini bersifat observasional dengan disain cross sectional. Sampel ini berjumlah 60 pekerja radar controller di PT Angkasa Pura II (Persero) Cabang Utama Bandara Soekarno-Hatta, dengan menggunakan teknik simple random sampling. Pengambilan data dengan kuesioner, observasi dan pengukuran tingkat pencahayaan dan temperatur. Hasil penelitian didapatkan sebesar 86,7% pekerja mengalami keluhan subjektif kelelahan mata. Dari variabel yang diteliti yaitu umur, masa kerja, gangguan penglihatan, durasi kerja, kekontrasan layar, tingkat pencahayaan dan temperatur ruang yang dihubungkan dengan kelelahan mata, hanya variabel temperature yang memiliki hubungan yang signifikan (p=0,013). Disarankan untuk pihak perusahaan untuk melakukan penyesuaian temperature di ruang kerja sesuai dengan rekomendasi ICAO Circular 241/93 dan peraturan Kepmenkes 1405/2002. Untuk pekerja pada saat break diharapkan melakukan stretching 10 menit atau dimanfaatkan untuk istirahat.

The purpose of this research is to know the risk factor that have related to eye fatigue. The design study of this research was observational with cross-sectional approach. The samples of this research was 60 radar controller workers in PT Angkasa Pura II (Persero) Branch Bandara Soekarno-hatta. And the sample is chosen by simple random sampling. Data were obtained by means of quesioners, observation and measurement illumination level and temperature.From the research result 86,7% workes complained of eye fatigue. From variable influencing this study is age, length of work, eyesight trouble, duration, contras display, illumination and temperature. Only temperature factor is significant risk factors to eye fatigue (p=0.013). It is recommended that the company to appropriated temperature level by recommended ICAO Cir. 241/93 and Kepmenkes 1405/20002. For the employess to decrease the eye fatigue, must do stretching 10 minute or provide rest time they break."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Zubaidah
"Tesis ini membahas efek modifikasi status hidrasi dengan memperhitungkan Indeks Massa Tubuh (IMT) pada petugas ground handling di Bandara Soekarno Hatta. Yang sering terpajan panas dalam waktu lama, yang dapat menyebabkan dehidrasi dan kelelahan. Lestari (2016) dalam penelitiannya menyatakan iklim kerja yang panas dan melebihi NAB dapat meningkatkan risiko terjadinya dehidrasi.  Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional, 219 responden yang bekerja di dalam Gedung dan apron. Status hidrasi diukur menggunakan berat jenis urin, IMT diukur dengan berat badan dan tinggi badan, dan kelelahan diukur menggunakan kuisioner IFRC. Hasil penelitian 63,5% responden mengalami kelelahan berat dan 36,5% mengalami kelelahan ringan. 70,3% pekerja memiliki status hidrasi yang baik, sementara 29,7% mengalami dehidrasi. 58,9% responden obesitas dan sisanya 41,1% tidak obesitas. Hasil analisis statistik menunjukkan tidak ada hubungan signifikan antara status hidrasi terhadap kelelahan kerja (p-value 0,340), ada hubungan signifikan antara IMT dengan kelelahan (p-value 0,014). Ada interaksi antara status hidrasi dengan IMT. Analisis multivariat menyatakan ada hubungan signifikan antara efek modifikasi status hidrasi dengan memperhitungakan IMT terhadap kelelahan (p-value 0,022 dan cOR 1,184). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh status hidrasi terhadap tingkat kelelahan kerja bergantung atau bervariasi menurut status IMT, sehingga diketahu nilai OR pada IMT obesitas (kode 1) adalah 1,46. Artinya responden yang obesitas dengan status dehidrasi berisiko 1,46 kali lebih tinggi pada responden yang mengalami kelelahan berat dibandingkan dengan status euhidrasi setelah dikontrol oleh faktor risiko terkait pekerjaan dan faktor risiko tidak terkait pekerjaan.

This thesis discusses the effect of hydration status modification considering Body Mass Index (BMI) on ground handling workers at Soekarno Hatta airport. Those worker are often exposed to prolonged heat, which can cause dehydration and fatigue. Lestari (2016) stated that a hot working climate exceeding TLV can increase the risk of dehydratin. This cross-sectional study involved 219 respondents working inside buildings and the apron. Hydration status was measured using urin specific gravity; BMI was measured with weight and height; and fatigue was measured using the IFRC questionnaire. The result showed that 63,5% of respondents experienced severe fatigue and 36,5% experienced mild fatigue; 70,3% of workers had good hydration status, while 29,7% were dehydrated; 58,9% of respondents were obese and the remaining 41,1% were not obese. Statistical analysis results showed no significant relationship between hydration status and work fatigue (p-value 0,340), but there was a significant relationship between BMI and fatigue (p-value 0,014). There was an interaction between hydration status and BMI. There was also a significant relationship between the effect of hydration status modification considering BMI on fatigue (p-value 0,022 amd cOR 1,184). This shows that the impact of hydration status on the level of work fatigue varies depending on BMI status. The OR value for obese BMI (code 1)was 1,46; meaning that obese respondents with dehydration were 1,46 times more likely to experience severe fatigur compared to respondents with good hydration status, after controlling for work-related and non-work-related risk factors.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>