Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 151073 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ade Dharmawan
"ABSTRAK
Pneumonia komunitas Community Acquired Pneumonia, CAP merupakan penyakit infeksi yang sering terjadi dan merupakan masalah kesehatan, menempati peringkat ke lima sebagai penyebab kematian global. Etiologi CAP dapat ditemukan hanya pada 30 ndash; 50 kasus menggunakan metode konvensional. Pemberian tatalaksana awal antibiotika pada CAP menggunakan metode terapi empirik berdasarkan educated guess atau data antibiogram lokal. Pewarnaan Gram sputum merupakan metode yang sederhana dan murah untuk secara cepat memperkirakan etiologi mikroba pneumonia. Penelitian ini dilakukan secara prospektif untuk melakukan evaluasi hasil pemeriksaan mikroskopik sputum dengan pewarnaan Gram untuk menetapkan dugaan etiologi pneumonia komunitas pada pasien rawat inap di RSUD Budhi Asih. Dari 100 sampel sputum yang sudah diseleksi kelayakannya, dinilai lagi kelayakannya menurut kriteria ASM 94 sampel , Bartlett rsquo;s 100 sampel dan Musher dkk 96 sampel . Setelah dilakukan pemeriksaan kultur, PCR dari 100 sampel, 65 sampel diketahui penyebabnya, sedangkan 35 sampel tidak diketahui, namun 10 diantaranya BTA positif. Patogen yang ditemukan adalah Klebsiella pneumoniae 29,6 , Acinetobacter baumanii 10,2 , Enterobacter cloacae, Pseudomonas aeruginosa dan Staphyloccocus aureus 4,6 , Moraxella catarrhalis 3,7 , Enterobacter aerogenes dan Escherichia coli 2,8 , Streptococcus pneumoniae dan Mycoplasma pneumoniae 1,9 , Citrobacter koseri 0,9 . Penilaian kelayakan sputum dapat menggunakan kriteria Bartlett rsquo;s karena kriteria ini yang lebih longgar sehingga penolakan spesimen sputum lebih sedikit dan hasil yang didapat tidak berbeda secara signifikan

ABSTRACT
Community Acquired Pneumonia CAP is an infectious disease that often occurs and is a health problem, ranked fifth as the cause of global death. The etiology of CAP can be found in only 30 50 of cases using conventional methods. Administration of early antibiotic treatment in CAP using empirical therapy method, based on educated guess or local antibiogram data. Sputum Gram staining is a simple, rapid and cheap method to estimate the etiology of bacterial pneumonia. This study was conducted prospectively to evaluate the results of sputum microscopic examination with Gram staining to establish the alleged etiology of community acquired pneumonia in inpatients at RSUD Budhi Asih. From 100 selected sputum samples eligible, they were re assessed according to ASM criteria 94 samples , Bartlett 39 s 100 samples and Musher et al 96 samples . After culture examination and PCR detection from100 samples, 65 samples can be identified the etiology, while 35 samples cannot be identified, but 10 samples are positive AFB. Pathogens found were Klebsiella pneumoniae 29,6 , Acinetobacter baumanii 10,2 , Enterobacter cloacae, Pseudomonas aeruginosa and Staphyloccocus aureus 4,6 , Moraxella catarrhalis 3,7 , Enterobacter aerogenes and Escherichia coli 2,8 , Streptococcus pneumoniae and Mycoplasma pneumoniae 1,9 , Citrobacter koseri 0,9 . Assessment of sputum eligibility may use Bartlett 39 s criteria, since it more flexible criteria so that fewer sputum specimens will be rejected and the results obtained do not significantly differ"
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Verawati Sulaiman
"Latar Belakang: Community Acquired Pneumonia (CAP) merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia. Bakteri atipikal (Chlamydia pneumoniae, Mycoplasma pneumaniae, Legionella pneumophila) sebagai penyebab penting CAP. Sejauh ini belum ada pemeriksaan mikrobiologi yang rutin dilakukan sehingga perlu pengembangan uji, salah satunya metode molekuler multiplex real time PCR. .
Tujuan: Melakukan optimasi uji multiplex real time PCR untuk mendeteksi secara simultan dan cepat C.pneumoniae, L.pneumophila dan M.pneumoniae pada sputum pasien CAP.
Metode: Penelitian ini merupakan uji eksperimental laboratorium yang terdiri atas 3 tahap. Tahap 1 meliputi optimasi suhu penempelan, primer, probe, volume elusi akhir dan cetakan DNA. Tahap 2 untuk menentukan batas ambang deteksi DNA dan reaksi silang. Tahap 3 adalah penerapan uji multiplex real time PCR pada spesimen sputum pasien CAP.
Hasil: Uji multiplex real time PCR telah berhasil dioptimasi dengan ambang batas minimal deteksi DNA untuk Chlamydia pneumoniae, Legionella pneumophila dan Mycoplasma pneumaniae adalah 1855, 3185 dan 130 kopi DNA. Uji ini tidak bereaksi silang dengan mikroorganisme yang berpotensi menimbulkan reaksi positif palsu. Sebanyak 134 sputum telah diuji dan ditemukan positif M.pneumoniae sebanyak 1 spesimen (0,74 %).
Kesimpulan: Uji multiplex real time PCR dapat mendeteksi C.pneumoniae, M.pneumoniae, dan L.pneumophila secara simultan pada sputum pasien CAP.

Background: Community Acquired Pneumonia (CAP) is one of the leading causes of morbidity and mortality in the world. Atypical bacteria (Chlamydia pneumoniae, Legionella pneumophila, Mycoplasma pneumaniae) are the important causes of CAP. In daily clinical practice, detection of atypical bacteria are sometimes neglected due to the limited standard test available. The real time multiplex PCR methode can be used as an alternative test for the detection of atypical bacteria.
Objective: Optimization of the multiplex real time PCR test to simultaneously detect C.pneumoniae, L.pneumophila and M.pneumoniae in CAP patients.
Methods: This study is experimental laboratory test that conducted in three phases. The first is optimization of annealing temperature, primers dan probe concentration, final elution of DNA extraction and volume of PCR templete. The second is determination of minimal detection of DNA and cross reaction of optimized real time PCR multiplex. The third is application of real time PCR multiplex in sputum clinical specimen patient with CAP.
Results: The multiplex real time PCR test was successfully optimized for annealing temperature, concentration of primer both forward and reverse, probes concentration and inhibitor. Limit detection of the DNA Chlamydia pneumoniae, Legionella pneumophila and Mycoplasma pneumaniae were 1855 copies, 3185 copies and 130 copies DNA. This test also showed no cross reaction to microorganisms that have potential to cause false positives. A total of 134 sputum clinical specimens have been tested with this method and only one sample (0,74%) was positive M.pneumoniae.
Conclusion: The multiplex real time PCR assay can detect C. pneumoniae, M. pneumoniae, and L. pneumophila simultanously in sputum of patients with Community Acquired Pneumonia (CAP)"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rifka Fadhilah
"Aspergilosis paru merupakan infeksi oportunistik yang disebabkan oleh jamur Aspergillus spp. Insidensi aspergilosis paru cenderung semakin meningkat seiring dengan peningkatan penggunaan obat-obatan imunosupresan seperti kortikosteroid dan terapi sitotoksik. Sulitnya penegakan diagnosis aspergilosis paru menjadi tantangan disebabkan tanda dan gejala klinis yang tidak spesifik serta biopsi jaringan sebagai baku emas yang bersifat invasif. Pemeriksaan kultur sputum dan deteksi antibodi merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan pada pasien suspek aspergilosis paru yang dikirim ke Laboratorium Mikologi Departemen Parasitologi FKUI, namun belum tersedia data mengenai nilai diagnostik deteksi antibodi dalam mendiagnosis aspergilosis paru.
Tujuan penelitian ini adalah membandingkan pemeriksaan deteksi antibodi dengan crude antigen Aspergillus dengan metode imunodifusi dengan kultur sputum sebagai tes rujukan. Penelitian berdesain potong lintang dengan sampel berjumlah 689 rekam medis dari pasien suspek aspergilosis paru yang melakukan pemeriksaan kultur sputum dan deteksi antibodi di Laboratorium Mikologi Departemen Parasitologi FKUI tahun 2008-2015. Dari analisis deskriptif didapatkan prevalensi aspergilosis paru berdasarkan hasil positif kultur sebesar 0,4. Dari uji diagnostik deteksi antibodi dengan tabel 2x2, nilai sensitivitas 33,33 dan spesifisitas 95,62 serta terdapatnya perbedaan yang bermakna.

Pulmonary aspergillosis is an opportunistic infection caused by Aspergillus spp mold. The incidence of this infection has dramatically increased which is related to the increasing utilization of immunosuppressive drugs such as corticosteroids and cytotoxic therapy. Diagnosis of pulmonary aspergillosis has been challenging since not only the signs and symptoms of the disease are nonspecific, but also tissue biopsy as gold standard is considered invasive. Sputum culture and antibody detection has been routine examinations done to the patient with suspected pulmonary aspergillosis sent to the Mycology Laboratory of Department of Parasitology FMUI, but the diagnostic value of antibody detection is not available.
The aim of this study is to compare antibody detection with immunodiffusion method using crude antigen of Aspergillus with sputum culture as reference test. This cross sectional study used 689 samples obtained from medical records of patients with suspected pulmonary aspergillosis who undergo both sputum culture examination and antibody detection in Mycology Laboratory of Department of Parasitology FMUI in 2008 2015. Descriptive analysis showed the prevalence of pulmonary aspergillosis based on positive culture result is 0,4. The sensitivity and specificity of antibody detection are 33,33 and 95,62 respectively, resulted from diagnostic test using 2x2 table. Statistical analysis using McNemar rsquo. test shows significant difference between mentioned examinations and low level of agreement Kappa 0,026.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55737
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"[Tuberkulosis (TB) dan diabetes mellitus (DM) merupakan 2 penyakitdengan prevalensi yang tinggi di Indonesia. Gambaran kadar gula darah puasa (GDP)penderita TB dan hubungannya dengan derajat BTA sputum belum banyak diketahui. Penelitian ini bertujuan mengetahui ada tidaknya perbedaan rerata GDP antar derajat BTA dan melihat hubungan antara kadar GDP dengan derajat BTA sputum pasien TB di Ternate. Dari hasil penelitian, diperoleh rata-rata GDP pasien TB109,34 ± 74,2 mg/dl,tidak terdapat perbedaan reratakadar GDP yang bermakna antara kelompok derajat BTA dan terdapat hubungan antara derajat BTA sputum dengan hasil pemeriksaan GDP pada pasien TB (p = 0,035) dengan proporsi DM pada pasien TB dengan BTA+3 mencapai 40%., Tuberculosis (TB) and diabetes mellitus (DM) are two diseases with high prevalences in Indonesia.Fasting blood glucose (FBG) levels in TB patients and its relationship with the degree of acid fast bacilli (AFB) in sputum smear is still not widely known. This research aimed to get the FBG levels, its mean difference among the degrees of AFB and its relationship with AFB levels in TB patient’s sputum smear in Ternate. The result of FBG level of TB patients was109,34 ± 74,2 mg/dl. There is no significantmean differencesof FBG level among the degrees of AFB but there was aassociation foundedbetween FBG and AFB levels in TB patients (p = 0,035). In addition, the proportion of DM among TB pasient with AFB +3 reached 40%.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putra Rizki
"Latar Belakang. Elektrokardiogram (EKG) merupakan salah satu alat yang direkomendasikan pada pemeriksaan prepartisipasi atlet. Penggunaan kriteria EKG khusus pada atlet, dapat menurunkan angka rujukan selama pemeriksaan prepartisipasi atlet. Metode. Penelitian ini bersifat observasional dengan desain potong lintang pada 243 atlet PPOP DKI Jakarta yang tersebar pada 17 cabang olahraga. Atlet yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan pemeriksaan EKG istirahat, hasil rekaman EKG dibaca oleh dua spesialis jantung secara terpisah. Hasil pembacaan EKG dikelompokkan berdasarkan kriteria populasi umum dan kriteria khusus atlet yaitu Kriteria Internasional. Kemudian dianalisis perbedaan hasil abnormalitas dari masing-masing kriteria. Hasil. Atlet PPOP DKI Jakarta terdiri dari 57,2% laki-laki, berusia 15,5±1,36 tahun. Terdapat perbedaan nilai proporsi abnormalitas EKG atlet berdasarkan kriteria populasi umum dengan Kriteria Internasional, dimana 98,6% EKG abnormal dengan kriteria populasi umum dianggap normal dengan Kriteria Internasional (p<0,0001). Remodeling jantung yang tergambar melalui EKG lebih banyak ditemukan pada atlet laki-laki, ≤15 tahun, lama berlatih ≤5 tahun dan kelompok olahraga moderate to high dynamic demands. Kesimpulan. Sebagian besar abnormalitas EKG berdasarkan kriteria populasi umum dianggap sebagai remodeling berdasarkan Kriteria Internasional. Remodeling terjadi karena proses adaptasi jantung terhadap latihan intensif yang dilakukan oleh atlet. Penggunaan Kriteria Internasional diharapkan dapat menurunkan angka rujukan akibat kesalahan interpretasi EKG pada atlet.

Background. Electrocardiogram (ECG) is one of the recommended tools for athlete’s pre-participation examination. Using specific ECG criteria for athletes can reduce the number of referrals during the athlete's pre-participation examination. Method. This study was a cross-sectional design in 243 DKI Jakarta PPOP athletes who spread across 17 sports. Athletes who accept the inclusion criteria are given a rest ECG examination, the results of the ECG record are read by two cardiologists independently. ECG results are grouped based on general population criteria and athlete specific criteria, International Criteria. Then analyzed the differences of the abnormalities each criteria. Results. PPOP DKI Jakarta athletes consisted of 57.2% of men, age 15.5 ± 1.36 years. There are differences in abnormalities ECG proportion, between general population criteria and International Criteria, where 98.6% of abnormal ECGs with general population criteria are considered normal with International Criteria (p <0.0001). Remodeling is more commonly found in male athletes, ≤15 years old, ≤5 years old and moderate to high dynamic sports groups. Conclusion. Most ECG abnormalities based on general population criteria are considered remodeling based on International Criteria. Remodeling happens because of the adaptation process of the heart to intensive exercise by athletes. The use of International Criteria is expected to reduce the reference rate due to misinterpretation of ECG in athletes."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Artati Murwaningrum
"Latar Belakang: Infeksi HAP oleh bakteri multidrug-resistant (MDR) menyebabkan mortalitas yang tinggi, lama rawat yang memanjang dan biaya perawatan yang tinggi. Karena itu perlu diketahui gambaran faktor risiko terjadinya infeksi bakteri MDR pada pasien HAP.
Tujuan: Mengetahui gambaran faktor risiko terjadinya infeksi bakteri MDR pada pasien HAP di RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Metode: Penelitian dengan desain Kohort retrospektif menggunakan rekam medik pasien HAP yang memiliki hasil kultur sputum di RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 2015-2016 dengan metode total sampling. Pasien HAP diklasifikasikan menjadi terinfeksi bakteri MDR dan terinfeksi bakteri bukan MDR berdasarkan kategori resistensi isolat yang paling resisten pada sputum yang pertama kali didiagnosis MDR. Evaluasi gambaran faktor risiko dilakukan kepada semua subjek. Seluruh analisis dilakukan menggunakan program Microsoft Excel.
Hasil: Proporsi HAP selama tahun 2015 dan 2016 berturut-turut adalah 6,12 dan 6,15/1000 admisi. Proporsi pasien HAP yang terinfeksi bakteri MDR selama tahun 2015 dan 2016 berturut-turut adalah 95% dan 82,1%. Gambaran proporsi faktor risiko infeksi bakteri MDR pada pasien HAP RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 2015-2016 mulai dari yang paling tinggi ke yang paling rendah berturut-turut adalah riwayat pemakaian antibiotik 90 hari sebelum diagnosis (100%), albumin <2.5 g/dL (100%), Charlson Comorbidity index≥3 (95,9%), usia> 60 (95,2%), lama rawat> 5 hari (92,5%), riwayat pemasangan NGT (92,1%), riwayat perawatan ICU/HCU sebelumnya (81,8%) dan penggunaan steroid setara prednison>10 mg/hari atau ekivalen selama>14 hari (28,6%).
Simpulan: Proporsi infeksi bakteri MDR pada pasien HAP RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 2015 dan 2016 berturut-turut adalah 95% dan 82,1% dengan proporsi faktor risiko infeksi bakteri MDR yang paling tinggi adalah pada pasien dengan riwayat pemakaian antibiotik 90 hari sebelum diagnosis dan albumin <2.5 g/dL.
>
Background: Multi-drug Resistant (MDR) Hospital-acquired Pneumonia (HAP) is associated with high mortality, prolonged hospital stay and high cost. Therefore, it is important to have description risk factors distribution for MDR HAP.
Aim: To have description of risk factors proportion for infection with MDR bacteria in HAP patients hospitalized in Cipto Mangunkusumo General Hospital.
Methods: A Cohort retrospective study with total sampling methode was conducted to collect medical records of HAP patients hospitalized in 2015-2016. Patients were classified as infected with MDR bacteria and infected with non-MDR bacteria based on the most resistant category of the sputum firstly diagnosed infected with multidrug-resistant bacteria. Risk factors evaluation were conducted to all subjects. All analysis was done using Microsoft Excel.
Results: Proportion of HAP during 2015 and 2016 respectively were 6.12 per 1000 admission and 6.15 per 1000 admission. Proportion of HAP patients infected with MDR bacteria in 2015 and 2016 were 95% and 82,1% respectively. MDR bacteria in 2015 and 2016 were 95% and 82,1% respectively. Description of risk factors proportion for infection with MDR bacteria from the highest to lowest respectively were prior antibiotic use 90 days before diagnosis (100%), albumin level <2.5 g/dL (100%), Charlson Comorbidity index≥3 (95,9%), age >60 years (95,2%), hospitalization>5 days (92,5%), NGT insertion (92,1%), prior ICU/HCU hospitalization in the last 90 days (81,8%) and prior steroid use equivalent to prednisone >10 mg/day for >14 days (28,6%).
Conclusion: Proportion of HAP patients infected with MDR bacteria in 2015 and 2016 were 95% and 82,1% respectively with the highest risk factors proportion for infection with multidrug-resistant bacteria were prior antibiotic use in 90 days before diagnosis and albumin <2,5 g/dL."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Finasari Said
"Streptococcus pneumoniae dapat menyebabkan terjadinya community-acquired pneumonia, meningitis, dan bakteremia pada semua golongan usia. Penelitian tentang S. pneumoniae di Indonesia masih jarang dilakukan. Uji biakan sebagai metode baku masih memiliki kendala dalam penerapan kondisi optimal untuk pertumbuhan S. pneumoniae, yaitu pada lingkungan atmosfer 5% CO2 (carbon dioxide), dan spesimen dari pasien seringkali diperoleh setelah pemberian antibiotik sehingga memberikan hasil negatif. Metode molekular saat ini lebih banyak diterapkan karena dianggap lebih sensitif, dapat menghemat waktu, dan mengurangi biaya. Gen psaA mengkode protein psaA (pneumococcal surface adhesin A) yang berperan dalam proses virulensi bakteri, dan ditemukan pada keseluruhan serotipe S. pneumoniae.
Penelitian ini dilakukan untuk identifikasi gen psaA Streptococcus pneumoniae langsung dari sputum dengan metode PCR. Sebanyak 176 sputum dikutsertakan dalam penelitian ini. Hasil uji biakan berdasarkan uji optochin dan uji kelarutan dalam garam empedu menunjukkan hasil positif S. pneumoniae pada 3 sputum. Hasil uji PCR menunjukkan gen psaA positif pada 3 sputum yang juga positif pada hasil biakan (100%), sehingga diperoleh sensitivitas dan spesifisitas 100%.

Streptococcus pneumoniae could cause community acquired pneumoniae, meningitis and bacteremia at all age groups. In Indonesia study about S.pneumoniae is still rare. Culture method as gold standard still has some limitations in optimal condition appliance for S pneumoniae growth, which is 5% CO2 atmosphere condition, and patient specimen is often obtained after antibiotic treatment therefore gives negatve result. Molecular method nowadays is more often performed due to better sensitivity, take less time and cost effective. psaA gene codes psaA protein that roles in bacterial virulent process and can be found in all S. pneumoniae serotypes.
This study aimed to identify Streptococccus pneumoniae psaA gene straightly from sputum by PCR method. This study included 176 sputum samples, from culture results there were 3 sputum S. pneumoniae by performing optochin test and bile salt solubility test. There were 3 sputum psaA gene positive has positive from culture results (100%) therefore sensitivity and specificity are 100%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jaswin Dhillon
"Latar belakang dan tujuan: Dari berbagai literatur, salah satu penyebab kegagalan respons klinis pasien pneumonia komunitas adalah akibat pemberian terapi antibiotik yang tidak tepat. Pemberian terapi antibiotik yang tidak tepat dapat meningkatkan risiko kematian dan resistensi antibiotik di kemudian hari. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi ketepatan penggunaan antibiotik dengan menggunakan metode Gyssens yang merupakan alat penilaian kualitatif yang dipakai oleh PPRA di Indonesia serta membandingkannya dengan luaran pasien pneumonia komunitas.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan. Data diambil dari rekam medis pasien berusia di atas 18 tahun yang didiagnosis pneumonia komunitas dan dirawat inap selama periode Januari- Desember 2019. Penelitian ini menganalisis pemberian antibiotik empiris pada saat pasien pertama kali didiagnosis pneumonia komunitas.
Hasil: Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 108 subjek. Proporsi pasien yang diberikan antibiotik empiris tidak tepat berdasarkan metode Gyssens adalah 58,3% dan yang diberikan antibiotik empiris telah tepat adalah 41,7%. Pasien yang mendapatkan terapi antibiotik empiris tidak sesuai dengan pedoman PDPI memiliki risiko meninggal sebesar 2,875 kali lipat (IK 95% 1,440 – 5,739, p=0,004). Pasien yang diberikan antibiotik empiris dalam waktu setelah 8 jam didiagnosis pnemunia komunitas memiliki risiko meninggal sebesar 3,018 kali lipat (IK 95% 1,612 – 5,650, p=0,002). Dari analisis multivariat, faktor prediktor independen yang berhubungan dengan kejadian mortalitas pasien pneumonia komunitas dalam 30 hari adalah kejadian pneumonia berat dengan risiko sebesar 7,3 kali lipat (IK 95% 2,24-23,88, p=0,001), penyakit CVD dengan risiko sebesar 5,8 kali lipat (IK 95% 1,28-26,46, p=0,023), dan ketidaktepatan pemberian antibiotik empiris dengan risiko sebesar 4,2 kali lipat (IK 95% 1,02-17,74, p=0,048).
Kesimpulan: Pada penelitian ini terdapat hubungan yang bermakna antara penggunaan antibiotik empiris tidak tepat berdasarkan metode Gyssens dengan luaran pasien yaitu kejadian mortalitas 30 hari (p=0,001).

Background and Purpose: From many literatures, one of the causes of clinical response failure in community-acquired pneumonia patients is due to the inappropriate empirical antibiotics use. Improper administration of empirical antibiotics can increase the risk of death and antibiotic resistance later in life. The purpose of this study is to evaluate the appropriateness of the empirical antibiotics use using the Gyssens method which is a qualitative assessment tool used by the antibiotic stewardship program in Indonesia and to compare it with the outcome of community-acquired pneumonia patients.
Method: This study is a retrospective cohort study at the Persahabatan General Hospital. Data is taken from the medical records of patients over the age of 18 who are diagnosed with community-acquired pneumonia and hospitalized during the January- December 2019 period. This study analyzes the administration of empirical antibiotics when the patient is first diagnosed with community-acquired pneumonia.
Results: The number of samples in this study were 108 subjects. The proportion of patients who were given empirical antibiotics incorrectly based on the Gyssens method was 58.3% and those given empirical antibiotics were appropriate was 41.7%. Patients who received empirical antibiotic therapy not in accordance with PDPI guidelines had a 2.875-fold risk of death (95% CI 1.440 - 5.739, p = 0.004). Patients who were given empirical antibiotics after 8 hours of being diagnosed by the community-acquired pneumonia had a risk of death of 3,018-fold (95% CI 1.612 – 5.650, p = 0,002). From a multivariate analysis, independent predictors related to the mortality of community- acquired pneumonia patients within 30 days were the incidence of severe pneumonia with a risk of 7.3-fold (95% CI 2.24-23.88, p = 0.001), CVD with a risk of 5.8-fold (95% CI 1.28-26.46, p = 0.023), and inappropriate empirical antibiotics use with a risk of 4.2 fold (95% CI 1.02-17.74, p = 0.048).
Conclusion: In this study there was a significant relationship between the use of inappropriate empirical antibiotics use based on the Gyssens method and the outcome of community-acquired patients, which was the 30-days mortality (p = 0.001).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gina Amanda
"ABSTRAK
Latar belakang: Streptococcus pneumoniae adalah etiologi yang paling sering ditemukan pada pneumonia komunitas. Studi di Semarang mendapatkan bahwa angka kejadian pneumonia pneumokokus adalah sebesar 13,5% dari seluruh kasus pneumonia komunitas. Beberapa faktor termasuk vaksinasi mempengaruhi kejadian pneumonia pneumokokus dan komplikasi penyakit pneumokokus invasif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi dan karakteristik pneumonia pneumokokus pada pasien pneumonia komunitas.
Metode: Penelitian ini adalah studi potong lintang yang dilakukan pada pasien pneumonia komunitas di rumah sakit umum pusat Persahabatan Jakarta pada bulan April-Oktober 2018. Diagnosis pneumonia komunitas ditegakkan apabila terdapat infiltrat baru pada foto toraks disertai dua dari lima gejala demam, sesak napas, batuk, batuk darah, atau nyeri dada yang terjadi dalam kurun waktu kurang dari dua minggu. Pada tiap subjek penelitian akan dilakukan wawancara medis, pemeriksaan fisis, foto toraks, pemeriksaan laboratorium, dan biakan spesimen seperti sputum, darah, dan cairan pleura. Hasil biakan positif S. pneumoniae akan diperiksakan serotipe, uji kepekaan dan resistensi antibiotik.
Hasil: Dari 92 subjek penelitian didapatkan proporsi pneumonia pneumokokus sebesar 12%. Sebagian besar subjek pasien pneumonia pneumokokus berusia 19-64 tahun (72,7%), laki-laki (72,7%), memiliki komorbid paru (54,5%) dan ekstra paru (45,5%), malnutrisi (72,7%), tidak merokok saat ini (81,8%), dan tidak pernah divaksinasi pneumokokus (100%). Sesak napas, batuk, dan demam adalah gejala klinis yang sering ditemukan. Gambaran radiologis yang terbanyak ditemukan adalah infiltrat. Derajat penyakit pada kelompok ini adalah nilai CURB-65 ≤ 2 (100%). Pada penelitian ini didapatkan angka penyakit pneumokokus invasif sebesar 18,2%. Serotipe pada pasien pneumonia pneumokokus dengan penyakit pneumokokus invasif adalah 6A/6B dan 7F/7A, sedangkan pada pasien tanpa penyakit pneumokokus invasif adalah serotipe 3, 6A/6B, 4, 9V/9A, 15A/15F, dan 16F. Telah ditemukan beberapa serotipe pneumokokus yang resisten terhadap antibiotik seperti golongan penisilin, makrolid, tetrasiklin, kloramfenikol, dan klindamisin. Kesimpulan: Proporsi pneumonia pneumokokus pada pasien pneumonia komunitas dewasa di penelitian ini adalah sebesar 12% dan angka kekerapan penyakit pneumokokus invasif sebesar 18,2%. Beberapa karakteristik tampak dominan pada subjek pasien pneumonia pneumokokus, namun hasil uji statistik menunjukkan hubungan yang tidak bermakna.
"
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fikri Faisal
"ABSTRAK
Pendahuluan: Pneumonia komunitas CAP salah satu penyebab kematian tertinggi. Tujuan mengetahui respons pengobatan selama perawatan pasien CAP secara empiris serta faktor yang berkaitan dengan pola kuman, respons pengobatan, gejala klinis, laboratorium, foto toraks, lama rawat dan faktor komorbid di RS persahabatan.
Metode: Kohort prospektif pasien pneumonia komunitas rawat inap di RS Persahabatan selama 15 bulan terkumpul 47 pasien. Gejala klinis, hasil laboratorium, foto toraks dan hasil mikrobiologi. Sampel mirkobiologi dikumpulkan sebelum dan sesudah pemberian antibiotik.
Hasil: Terkumpul 47 pasien. laki-laki 74,5% dan perempuan 25,5%. Rerata umur 61 tahun. Gejala klinis awal paling banyak sesak napas 51% berkurang 27,7% dan batuk 32% berkurang 23,4%. Nilai awal leukosit rerata 15,27. sel/mm3 berkurang 12,0. sel/mm3. Foto toraks awal infiltrat 89,3% menurun 38,3%. Patogen pada sputum sebelum penggobatan Klebseiella pneumonia 34,0%. Hasil sputum pasca terapi empiris eradikasi 91.5%. Pengobatan antibiotik tersering seftriakson. Faktor komorbid tersering keganasan rongga toraks. Lama rawat minimal 4 hari dengan terapi sulih minimal 3 hari.
Kesimpulan: Pasien CAP paling dominan menunjukan gejala klinis sesak napas dan batuk, gambaran infiltrat pada foto toraks dan gram-negatif Klebsiella pneumonia pada sputum. Terjadi penurunan leukosit setelah pemberian antibiotik. Terapi empiris dengan antibiotik tunggal masih sensitif.

ABSTRACT
Introduction : Pneumonia is the first leading disease with the highest mortality in hospitalized patients. The purpose of this study is to determine treatment response for the empirical treatment of CAP patients and factors associated with patterns of bacteria, treatment response, clinical symptoms, laboratory and chest X-ray, length of stay and comorbidities in Persahabatan Hospital, Jakarta.
Methods : Prospective cohort study in hospitalized community acquired pneumonia patients at Persahabatan Hospital while 15 month. Clinical symptoms, laboratory findings, chest x-ray and microbiologic. Microbiologic sample is before and after antibiotic administration.
Results : There were 47 patients. Male accounted 74,5% and female 25,5%. The average age was 61 years old. Clinical symptoms before treatment were dyspnea 51% decreased to 27,7% and cough 32% decreased to 23,4%. Leukocytes count was 15,27 cell/mm3 decreased to 12,0 cell/mm3. Chest x-ray infiltrates 89,3% decreased to 38,3%. Before-treatment microbiological patterns were K. pneumoniae 34,0%. Result after empirical treatment was eradication 91,5%. The most frequent innitial antibiotic administration was ceftriaxone.The most frequent comorbidity was thoracic malignancy. The patients were hospitalized at least for 4 days with replacement therapy at least for 3 days.
Conclusion: Patients with CAP predominantly showed symptoms of dypnea and cough, infiltrates on chest x-ray and gram-negative Klebsiella pneumonia in sputum samples. There were resolution of leucocyte counts after antibiotic administration. Empirical antibiotic treatments with single drug were still sensitive."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>