Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 168607 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Febi Arya Hidayat
"Latar Belakang: Dalam dunia penerbangan, fatigue dapat menyebabkan inkapasitasi penerbang dan mengakibatkan kecelakaan pesawat. Jam terbang merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan risiko fatigue. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan jam terbang 7 hari dan beberapa faktor lain terhadap risiko fatigue pada penerbang sipil di Indonesia.
Metode: Sebuah studi cross sectional dengan consecutive sampling dilakukan pada penerbang sipil yang sedang melakukan medical check-up di Balai Kesehatan Penerbangan di Jakarta pada Juni 2016. Karakteristik demografi, pekerjaan, kebiasaan dan jam terbang diperoleh melalui kuesioner dan wawancara. Data fatigue diperoleh melalui pemgisian self-questionnaire fatigue dan dihitung dengan Fatigue Severity Scale (FSS) yang telah dikalibrasi. Fatigue dikategorikan menjadi “Tidak Fatigue” (skor FSS <36) dan “Fatigue” (skor FSS ≥36). Analisis menggunakan risiko relatif dengan regresi Cox dan waktu yang konstan.
Hasil: Penelitian ini mencakup 542 penerbang, 50,2% mengalami fatigue, dan 49,8% tidak fatigue. Subyek yang memiliki jam terbang lebih dari 30 jam dalam 7 hari dibandingkan dengan yang kurang sama dengan 30 jam dalam 7 hari, memiliki risiko fatigue 1,39 kali lebih tinggi [risiko relatif disesuaikan (RRA)= 1,39; CI=1,16-1,68; p = 0,001]. Subjek yang memiliki lisensi tipe ATPL dibandingkan dengan yang CPL memiliki risiko fatigue 1,31 kali lebih tinggi (RRa= 1,31; CI=1,11-1,54 p= 0,001). Selanjutnya subyek yang berolahraga secara appropriate memiliki risiko fatigue 32% lebih kecil (RRa=0.68; CI=0,43-1,06; p=0.094).
Kesimpulan: Penerbang sipil di Indonesia yang memiliki jam terbang lebih dari 30 jam dalam 7 hari dan penerbang dengan lisensi tipe ATPL mengalami peningkatan risiko fatigue. Kebiasaan olahraga secara appropriate menurunkan risiko fatigue pada penerbang sipil di Indonesia.

Background: In aviation world, fatigue may cause the pilot incapacitation and can lead to the aircraft accidents. Flight hours is believed to be one of the factors related to the risk of fatigue. The purpose of this study is to identify relationship between flight hours in seven day and other factors to the risk of fatigue among civilian pilot in Indonesia.
Methods: A cross sectional study with consecutive sampling was conducted among civilian pilots who attended medical check-up at Aviation Medical Center in Jakarta on June 2016. Demographic characteristics, employment related factors, habits and flight hours were obtained through questionnaire and interviews. Fatigue data were obtained through fatigue self-questionnaire form and measured with Fatigue Severity Scale which had been validated. Fatigue was categorized into non-fatigue (FSS score <36) and fatigue (FSS score ≥36). Risk relative was computed using Cox regression with a constant time.
Results: This study included 542 pilots, 50,2% had fatigue and 49,8% were normal (non-fatigue). The subjects who have flight hours >30 hours/week compared to ≤30 hours/week, had 1.37-fold higher risk of fatigue [adjusted relative risk [RRa=1.37; CI=1,14-1,65; p=0.001]. The subject with ATPL license compared to CPL license, had 1.28-fold higher risk of fatigue [RRa=1.31; CI=1,11-1,54; p=0.001). Furthermore, subjects who have appropriate exercise, had 32% lower risk of fatigue (RRa=0.68; CI=0,43-1,06; p=0.094).
Conclusions: Civilian pilots in Indonesia who had more than 30 hours flight time in 7 days and ATPL type pilots have an increased risk of fatigue. Appropriate exercise decreased the risk of fatigue on civilian pilots in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irwan Janu Sucipta
"Kondisi hipoksia bagi penerbang merupakan ancaman bahaya yang selalu ada meskipun dengan pesawat kabin bertekanan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor risiko hipoksia pada penerbang militer Indonesia. Penelitian ini memakai desain potong lintang dengan consecutive sampling pada penerbang militer Indonesia yang melaksanakan indoktrinasi dan latihan aerofisiologi ILA selama bulan Juni 2017 di Lakespra Saryanto Jakarta. Sebanyak 120 subjek didapatkan selama penelitian ini. Hipoksia ditandai dengan Waktu Sadar Efektif WSE < 4 menit saat latihan di Ruang Udara Bertekanan Rendah RUBR dengan ketinggian 25000 kaki.
Hasil menunjukkan bahwa fatigue, kesamaptaan dan ketahanan kardiovaskular VO2max tidak menunjukan hubungan yang bermaknan dengan WSE p>0,05. Pada penelitian ini dapatkan total jam terbang dan kebiasaan merokok sebagai faktor dominan. Subjek yang memiliki total jam terbang ge; 1000 jam memiliki risiko WSE < 4 menit 2,6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan total jam terbang < 1000 jam [ORa= 2,65; IK 95 = 1,21-5,78; p= 0,014]. Subjek yang merokok memiliki risiko WSE < 4 menit lebih rendah 63 dibandingkan dengan yang tidak merokok [ORa= 0,37; IK 95 = 0,14-0,95; p= 0,039]. Dapat disimpulkan bahwa Fatigue, kesamaptaan dan ketahanan kardiovaskular tidak berhubungan dengan hipoksia yang ditandai oleh waktu sadar efektif. Total jam terbang ge; 1000 jam meningkatkan risiko WSE < 4 menit, sedangkan merokok menurunkan risiko WSE < 4 menit.

Hypoxic condition for pilots are an ever present threat of dangers even with pressurized cabin aircraft. The purpose of this study to determine the risk factors of hypoxia in Indonesia military pilots. This study used cross sectional design with consecutive sampling on Indonesia military pilots who carried out indoctrination and aerophysiology exercise during the month of June 2017 at Lakespra Saryanto Jakarta. 120 subjects were obtained during the study. Hypoxia is characterized by Time of Useful Consciousness TUC 4 minutes during exercise in the hypobaric chamber at 25000 feet chamber altitude.
The results showed that fatigue,physicall fitness and cardiovascular endurance VO2max did not show a meaningful relationship with TUC p 0.05. In this study, total flying hours and smoking habits were found as dominant factor. Compared to 1000 hours of total flying hours, subjects with a total flying hours ge 1000 hours were 2.6 times higher risk to have TUC 4 minutes ORa 2,65 CI 95 1,21 5,78 p 0,014. Compared to non smokers, smoker subjects were 63 lower risk to have TUC 4 minutes ORa 0,37 CI 95 0,14 0,95 p 0,039. In conclusion Fatigue, physicall fitness and cardiovascular endurance are not associated with hypoxia characterized by time of useful consciousness. Total flight hours ge 1000 hours increase risk for TUC 4 minutes, while smoking decrease risk for TUC 4 minutes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Faisal Adrian Zein
"Fatigue is essential in the aviation field because it affects many passenger`s safety. Garuda Indonesia is National Airline which operates as a Flag Carrier, and most importantly as the state owned air transportation provider of the largest archipelago national, which cover three different time zones. The purpose of this study is to analyze factors that affect airline pilot fatigue at Boeing 737 fleet of Garuda Indonesia, which fly domestic and regional flights. While most of the research related to human fatigue in the aviation industry has focused on long-haul pilots since the exposure of their duties towards jet lag, short-haul pilots also experience elevated levels of fatigue caused by their flight operation. As the nature of the Boeing B737 aircraft operation, this study concentrates on short to medium haul, less than 8 hours flight time per flight sector, or
multiple flight sectors a day, with the set of two pilots for each rotation pattern. Fatigue is classified into physical decline, mental decline, and rest defects; and pilot fatigue in Boeing 737 pilot of Garuda Indonesia is affected by seven variables Duty Assignment, Personal Lifestyle, Working Environment, Rest Environment, Crew Pairing, Unresolved Stress, Illness. Finding the variables and the phenomenon of factors which contributes to pilot fatigue in Garuda Indonesias Boeing B737 pilot can also contribute to pilot fatigue management.

Kelelahan sangat penting dibidang penerbangan karena mempengaruhi keselamatan banyak orang. Garuda Indonesia adalah maskapai penerbangan nasional yang beroperasi sebagai Flag Carrier, dan juga sebagai BUMN penyedia transportasi udara dari negara kepulauan terbesar di dunia, yang mencakup tiga zona waktu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kelelahan penerbang armada Boeing 737 di Garuda Indonesia, yang menerbangkan penerbangan
domestik serta regional. Sementara sebagian besar penelitian yang terkait dengan kelelahan manusia pada industri penerbangan lebih berkonsentrasi terhadap penerbang rute jarak jauh, dikarenakan tugas mereka rentan terpapar jet-lag, penerbang rute jarak pendek juga mengalami peningkatan tingkat kelelahan yang disebabkan oleh karakter operasional dari penerbangan mereka. Sesuai dengan kemampuan operasional dari pesawat Boeing B737, studi ini berkonsentrasi pada penerbang jarak pendek hingga menengah, dengan waktu penerbangan kurang dari 8 jam per sektor penerbangan, atau beberapa sektor penerbangan per hari, dengan komposisi dua penerbang pada setiap rotasi penerbangan. Kelelahan diklasifikasikan menjadi penurunan kemampuan fisik, penurunan kemampuan mental, dan kurang istirahat; dan kelelahan pilot pada pilot Boeing 737 Garuda Indonesia dipengaruhi oleh tujuh variabel-Tugas, Gaya Hidup, Lingkungan Kerja, Lingkungan Istirahat, Rekan Kerja, Stres yang Tidak Terselesaikan,
serta Penyakit Medis. Identifikasi dari variabel serta fenomena faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kelelahan pilot di pilot Boeing B737 Garuda Indonesia akan dapat berkontribusi untuk manajemen kelelahan penerbang."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2019
T53437
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Vinianti
"Latar belakang: Kelelahan yang dialami oleh pramugari dapat mempengaruhi sebagian besar kemampuan dalam melaksanakan tugas. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kelelahan pada pramugari sipil di Indonesia.
Metode: Desain potong lintang dengan sampling purposif pada pramugari yang melaksanakan pengujian kesehatan di Balai Kesehatan Penerbangan dan Garuda Sentra Medika, tanggal 27 April?13 Mei 2015. Kelelahan diukur dengan Fatigue Severity Scale (FSS). Data dikumpulkan menggunakan kuesioner , meliputi demografi, pekerjaan, kehilangan waktu tidur , beban kerja mental dan kelelahan.
Hasil: Di antara 512 pramugari yang melaksanakan pemeriksaan kesehatan, 373 subyek termasuk kriteria inklusi, dengan prevalensi kelelahan 36,2%. Jumlah sektor, kehilangan waktu tidur, perubahan jadwal terbang dan kadar hemoglobin merupakan faktor yang berhubungan dengan kelelahan. Jumlah sektor lebih dari enam memiliki risiko 37% menyebabkan kelelahan [risiko relatif suaian (RRa)=1,37;p=0,095]. Kehilangan waktu tidur berisiko dua kali lebih besar menyebabkan kelelahan (RRa=2,07;p= 0,000).Perubahan jadwal terbang dan kadar hemoglobin rendah memiliki risiko 44%(RRa=1,41;p=0,011) dan 33%(RRa=1,33;p=0,042) menyebabkan kelelahan.
Simpulan: Jumlah sektor 7-9 dalam 24 jam terakhir, kehilangan waktu tidur, perubahan jadwal terbang dan kadar hemoglobin rendah meningkatkan risiko kelelahan pada pramugari sipil di Indonesia.

Background: Fatigue among flight attendants could affect the capabilities in performing duties. The aim of this study were to investigate factors on fatigue among female flight attendant in Indonesia.
Methods: Cross-sectional study with purposive sampling was directed to female flight attendant who were taking medical examination at Balai Kesehatan Penerbangan and Garuda Sentra Medika, from April 27th-May 13th 2015. Fatigue was measured with Fatigue Severity Scale (FSS). Data were collected by completing an questionnaire on demographics, workload, sleep restriction, mental workload and fatigue.
Results: Among 521 flight attendant were taking medical examination, 373 were choosen as subject and the percentage of fatigue was 36.2%. Number of sector, sleep restriction, changed of duty schedule and hemoglobin level were the factors related to fatigue. Subject with number of sector more than six had 37% increase risk to have fatigue [adjusted relative risk(RRa)=1.37;p=0.095]. Subject with sleep restriction had 2-fold risk to have fatigue(RRa=2.07;p= 0.000). Subject with changed of duty schedule and low hemoglobin levels have 41%(RRa=1.41;p=0.011) and 33%(RRa=1.33;p=0.042) increase risk to have fatigue.
Conclusions: Number of 7-9 sectors in the last 24 hours, sleep restriction, changed of duty schedule and low hemoglobin level have increased risk of fatigue among flight attendant in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amilya Agustina
"Latar belakang: Kesejahteraan psikologis penerbang dapat mempengaruhi fungsi kognitif penerbang sehingga membahayakan keselamatan penerbangan. Tingkat kesejahteraan penerbang berhubungan dengan iklim keselamatan yang dimiliki penerbang tersebut. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara iklim keselamatan dengan kesejahteraan psikologis penerbang sipil di Indonesia.
Metode : Penelitian ini merupakan studi analitik dengan menggunakan metode potong lintang. Sampel ditentukan dengan teknik consecutive sampling. Data dikumpulkan dengan pengisian kuesioner oleh subjek mengenai variabel iklim keselamatan dan kesejahteraan psikologis. Analisis data yang digunakan yaitu regresi linear berganda.
Hasil: Iklim keselamatan berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan psikologis [ =0,921; p=0,000]. Dimensi iklim keselamatan yang berpengaruh signifikan yaitu manajemen [ =0,135; p=0,049] , sistem keselamatan [ =0,143; p=0,040], prosedur [ =0,176; p=0,018], pelatihan [ =0,153; p=0,035], komunikasi [ =0,232; p=0,000] dan personil operasi [ =0,185; p=0,012].
Kesimpulan: Manajemen, sistem keselamatan, prosedur, pelatihan, komunikasi, dan personil operasi terbukti berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis penerbang sipil Indonesia.

Background: Psychological wellbeing of the pilot can affect the flight cognition function of the pilot, thus endangering the safety of the flight. The level of wellbeing of the pilots is related to the safety climate of the pilot. The purpose of this study is to determine the relationship between the safety climate and psychological wellbeing of civilian pilot in Indonesia.
Method: This was an analytic study using cross sectional method. The sample is determined by consecutive sampling technique. Data were collected by filling out questionnaires by subjects regarding the variables of the safety climate and psychological wellbeing. The data analysis used is multiple linear regression.
Results The safety climate has a significant effect on psychological wellbeing 0.921 p 0.000. The dimensions of the safety climate which have a significant effect are management 0.135 p 0.049, safety systems 0.143 p 0.040 , procedures 0.176 p 0.018, training 0.153 p 0.035, communication 0.232 p 0.000 and operations personnel 0.185 p 0.012.
Conclusion Management, safety systems, procedures, training, communication and operations personnel have significant effect on psychological wellbeing of civilian pilot in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Armyn Trimulia Atmadja Tunggawidjaja
"Latar belakang. Belum diketahui apakah ada hubungan antara usia penerbang, obesitas sentral, kebiasaan merokok, riwayat penyakit metabolik, dan jam terbang total dengan kejadian sindroma metabolik pada penerbang sipil pesawat sayap tetap.
Metode. Penelitian ini merupakan studi kasus kontrol, yang dilakukan pada bulan Desember 2022. Penerbang sipil laki-laki pesawat sayap tetap yang menjalani pemeriksaan kesehatan di Balai Kesehatan Penerbangan pada periode Juni – November 2022 diinklusi dalam studi. Variabel bebas yang diteliti adalah jam terbang, usia, status obesitas, merokok, dan riwayat DM tipe II keluarga.
Hasil. Terdapat dua ratus enam puluh dua penerbang sipil pesawat sayap tetap yang diinklusi dalam studi ini, dengan 131 (50%) penerbang dengan sindrom metabolik dan 131 (50%) lainnya tidak memiliki sindrom metabolik. Rerata usia pasien dalam penelitian adalah 38,70 ± 10,54 tahun, dengan 57,6% penerbang berusia ≤ 40 tahun. 59,2% subjek memiliki jam terbang ≥ 5000 jam, dengan median jam terbang keseluruhan subjek adalah sebesar 5600 (45¬27700) jam. Sebagian besar subjek (64,5%) memiliki indeks massa tubuh (IMT) yang termasuk dalam kategori obesitas. Hanya usia > 40 tahun dan IMT ≥ 25 kg/m2 yang ditemukan berhubungan dengan sindrom metabolik (p < 0,001), dengan rasio odds masing-masing sebesar 5,90 (IK 95%, 2,79–12,45) dan 6,24 (IK 95%, 3,25–12,00). Setelah menghilangkan faktor usia, jam terbang ≥ 5000 jam memiliki risiko 3,33 (IK 95%, 1,87–5,94) kali lebih tinggi untuk mengalami sindrom metabolik.
Simpulan. Usia ≥ 40 tahun dan status obesitas berhubungan dengan peningkatan risiko sindrom metabolik di kalangan penerbang sipil pesawat sayap tetap laki-laki.

Background. It is not yet known whether there is a relationship between pilot age, central obesity, smoking habits, history of metabolic disease, and total flight hours with the incidence of metabolic syndrome in civil fixed-wing aircraft pilots.
Methods. This research is a case control study, which was conducted in December 2022. Male civil pilots of fixed wing aircraft who underwent medical examinations at the Balai Kesehatan Penerbangan in the period June – November 2022 were included in the study. The independent variables studied were flight hours, age, obesity status, smoking, and family history of type II DM.
Results. Two hundred and sixty-two fixed-wing civil aviation pilots were included in this study, of which 131 (50%) pilots had the metabolic syndrome and 131 (50%) did not have the metabolic syndrome. The mean age of the patients in the study was 38.70 ± 10.54 years, with 57.6% of the pilots aged ≤ 40 years. 59.2% of the subjects had flight hours ≥ 5000 hours, with the median flight hours of all subjects being 5600 (45¬27700) hours. Most of the subjects (64.5%) had a body mass index (BMI) which was included in the obesity category. Only age > 40 years and BMI ≥ 25 kg/m2 were found to be associated with the metabolic syndrome (p < 0.001), with odds ratios of 5.90 (95% CI, 2.79–12.45) and 6, respectively. 24 (95% CI, 3.25–12.00). After removing the age factor, flying hours ≥ 5000 hours had a 3.33 (95% CI, 1.87–5.94) times higher risk of experiencing metabolic syndrome.
Conclusion. Age ≥ 40 years and obesity status are associated with an increased risk of metabolic syndrome among male civil fixed-wing aircraft pilots.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Prathama
"Latar belakang: Mata merupakan indera yang sangat penting dalam penerbangan. Salah satu fungsi untuk menentukan perkiraan jarak, sehingga diperlukan fungsi kedua mata yang baik. Tujuan penelitian ini adalah diketahuinya identifikasi pengaruh jam terbang total terhadap risiko miopia ringan pada pilot sipil di Indonesia.
Metode: Studi potong lintang dengan purposif sampel pada pilot sipil yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan dengan rentang waktu 27 April sampai dengan 13 Mei 2015. Definisi miopia ringan jika mata memerlukan koreksi penglihatan jauh dengan lensa < -3 dioptri. Data karakteristik demografi, pekerjaan, kebiasaan diperoleh dari kuesioner. Data tajam penglihatan dan kadar gula darah puasa didapatkan dari rekam medis Balai Kesehatan Penerbangan. Analisis menggunakan regresi Cox dengan waktu konstan.
Hasil: 690 pilot sipil yang melakukan pemeriksaan kesehatan di Balai Kesehatan Penerbangan, 428 subjek bersedia menjadi responden. Subjek terpilih untuk dianalisis berjumlah 413 pilot dan 15 pilot lainnya menderita miopia berat. Dari 413 pilot, 141(34,1%) miopia ringan dan 272 (65,8%) normal. Faktor-faktor yang mempengaruhi miopia ringan adalah ras, status perkawinan dan jam terbang total secara signifikan. Subjek dengan ras selain Asia dibandingkan dengan ras Asia berisiko 2,1 kali lipat lebih besar menderita miopia ringan [risiko relatif suaian (RRa)=2,19; p=0,030]. Dibandingkan dengan subjek tidak menikah, subjek yang menikah berisiko 3,8 kali lipat menderita miopia ringan (RRa=3,80; p=0,000). Selanjutnya, dibandingkan subjek dengan jam terbang total 16-194 jam, subjek dengan jam terbang total 195-30285 jam mempunyai risiko 4,5 kali lipat menderita miopia ringan (RRa=4,56; p=0,000).
Kesimpulan: Subjek yang menikah, ras non Asia dan yang memiliki 195 atau lebih jam terbang total mempunyai risiko lebih tinggi menderita miopia ringan di Indonesia.

Background: Eye is very important organ in aviation?s operation. One of the functions is to estimate distance where both healthy eyes are needed. The purpose of this study was to identify the influence of total flight hours on the risk of mild myopia among civilian pilots in Indonesia.
Methods: Study design was cross-sectional with purposive sampling among pilots those who got medical examinations at Civil Aviation Medical Center on April 27th - May13th, 2015. Mild myopia is condition the eyes need negatif lens corection for distance visual acuity less than -3 diopters. Demographic characteristic, occupational characteristic, ranking characteristics, and habits were obtained from questionnaire. Visual acuity and fasting blood sugar levels data were obtained from medical records in Aviation Medical Board. Data were analysed with Cox regression.
Resulted: 690 civilian Indonesia?s pilots who conducted medical examination, 428 subjects were willing to participate. Total subjects to be analyzed were 413 pilots and 15 pilots were not involved since severe myopia. Amongst of 413 pilots, 141 (34,1%) mild myopia and 272 (65,8%) normal. Factors influencing mild myopia were race, marital status and total flight hours. Non-Asian subject had 2.1-fold risk of mild myopia compared to Asian race subject [adjusted relative risk (RRa)=2.19; p=0.030]. Subjects who were married had 3.8-fold risk of mild myopia compared with subjects who were not married (RRa=3.80; p=0.000). Subjects who had total flight hours 195-30285 hours had 4.5-fold risk to be mild myopia compared with subjects 194 or less total flight hours (RRa=4.56; p=0.000).
Conclusion: Married subject, non-Asian race and those who have 195 or more total flight hours constitute a higher risk of suffering mild myopia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darma Syahputra
"Latar belakang : Diabetes Mellitus (DM) dapat terjadi pada pilot sipil akan menyebabkan struk dan gangguan kardiovaskular sehingga membahayakan keselamatan penerbangan. Tujuan penelitian ini adalah identifikasi kaitan total jam terbang dan faktor lainnya terhadap DM pada pilot sipil di Indonesia.
Metode : Penelitian menggunakan metode potong lintang dengan sampel purposif pada pilot sipil di Indonesia yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan pada tanggal 26 Mei ? 6 Juni 2015. Pengumpulan data menggunakan formulir kuesioner, pemeriksaan fisik dan laboratorium. Data yang dikumpulkan adalah karakteristik demografi dan pekerjaan, kebiasaan makan, indeks massa tubuh (IMT) dan kebiasaan olah raga. Kategori Diabetes Mellitus berdasarkan PERKENI.
Hasil: Diantara 690 pilot yang melakukan pemeriksaan medis, 428 subjek bersedia mengikuti penelitian. Subjek yang diikutsertakan dalam analisis sebanyak 292, 10,3% memiliki kadar gula puasa tinggi dan 89,7% memiliki kadar gula puasa normal. Jika dibandingkan subjek dengan jam terbang 16-4999 jam subjek dengan jam terbang 5000-27500 jam mempunyai risiko lebih besar menyandang DM risiko relatif suaian (RRa)=2,86; 95% interval kepercayaan (CI)=1,38-5,94; p=0,005]. Selanjutnya dibandingkan pilot dengan IMT normal, pilot dengan obesitas memiliki risiko lebih besar menyandang DM (RRa=3,29; 95% CI=0,76-14,29; p=0,111).

Background : Diabetes Mellitus (DM) can occur in civilian pilots will lead to a stroke and cardiovascular disorders, endangering flight safety. The purpose of this study was the identification of linkages total flying hours and other factors against the DM at civilian pilot in Indonesia.
Methods: A cross-sectional study using the method with a purposive sample in civilian pilots in Indonesia, which performs periodic health checks on Flight Health Center on May 26 to June 6, 2015. The data were collected using a questionnaire form, physical examination and laboratory findings. The data collected were the demographic characteristics and work, eating habits, body mass index (BMI) and exercise habits. DM classification based on standard PERKENI.
Results : Among the 690 pilots who conduct medical examination, 428 subjects were willing to follow the study. Subjects were included in the analysis as much as 292, 10.3% had high fasting glucose levels and 89.7% had normal fasting glucose levels. Compare to the pilots with total flight hours 16-4999 hours, pilots total flight hours 5000-27500 had 2.86 higher risk DM [RRa = 2.86; 95% CI = 1.38 to 5.94; p = 0.005]. Furthermore, compared to the pilot with normal BMI, the pilot with obesity had 3.3 higher risk DM (RRa = 3.29; 95% CI = 0.76- 14.29; p = 0.111).
Conclusions: The pilots who had total flight hours 5000 hours or more and obese had higher risk to be DM."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Sri Kristina
"Penyakit kardiovaskular merupakan penyumbang angka kesakitan dan inkapasitasi pada pilot. Risiko pajanan hipoksia intermiten dan radiasi kosmik dari lingkungan penerbangan tercermin dari jam terbang total dan jenis pesawat. Pajanan stresor kerja berupa jumlah sektor serta jenis penerbangan juga dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular. Disertai perubahan kebiasaan berupa berkurangnya durasi tidur dan aktivitas fisik akhirnya dapat menyebabkan tingginya risiko penyakit kardiovaskular. Upaya deteksi dini risiko penyakit kardiovaskular dapat dengan melakukan penghitungan estimasi risiko penyakit kardiovaskular. Studi ini menggunakan desain potong lintang. Data diambil menggunakan kuesioner dari pilot yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala pada 12-27 Mei 2022 di Balai Kesehatan Penerbangan, Jakarta. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan dengan SPSS versi 22. Dari 121 subjek, 66 pilot (54,5%) memiliki risiko penyakit kardiovaskular tinggi. Jam terbang total dan aktivitas fisik secara signifikan memiliki asosiasi dengan risiko penyakit kardiovaskular yang tinggi (p<0,001 dan p=0,003). Keduanya merupakan faktor dominan terhadap risiko penyakit kardiovaskular. Pilot dengan total jam terbang ≥10.850 jam memiliki risiko penyakit kardiovaskular yang tinggi 4,64 kali lebih besar dibandingkan dengan jam terbang <10.850 jam (OR= 4.64, 95% CI 2.09-10.26, p<0,001). Sedangkan pilot yang tidak aktif memiliki risiko penyakit kardiovaskular yang tinggi 2,63 kali lebih besar dibandingkan dengan pilot yang aktif (OR= 2.63 95% CI 1.18-5.86, p=0,019).

Cardiovascular disease can cause incapacitation and long-term unfit period for pilots. Hypoxia and cosmic radiation exposure from flight environment reflected in total flight hours. Pilots are also at risk of being exposed to stress that can affect the cardiovascular system, reflected in the number of sectors and the types of flights it undertakes. Together with poor sleep duration and physical activity can finally lead to high cardiovascular disease risk. Early detection can be done by estimating the risk of cardiovascular disease. This was a cross-sectional study. Data were collected from pilots who had renewal medical examination on 12 to 27 May 2022 at the Aviation Medical Center using questionnaire. Bivariate and multivariate analyses were performed using SPSS version 22. Of 121 subjects, 54.5% (n=66) had a high cardiovascular disease risk. Total flight hours and physical activity were significantly associated with high cardiovascular disease risk (p<0.001 and p=0.003, respectively). Both are dominant factors for the cardiovascular disease risk. Pilots with total flight hours ≥10.850 hours had high cardiovascular disease risk 4.64 times greater than they with <10.850 hours (OR= 4.64, 95% CI 2.09-10.26, p<0.001). Inactive pilots had a high cardiovascular disease risk 2.63 times greater (OR= 2.63, 95% CI 1.18-5.86, p=0.019)."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ivan Sebastian Pamudji
"Latar belakang: Peningkatan Indeks Massa Tubuh IMT merupakan indikator obesitas, yang merupakan masalah kesehatan pada penerbang sipil di Indonesia dan dapat menyebabkan inkapasitasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui trend perubahan IMT serta faktor risiko lain yang berhubungan pada penerbang komersial Indonesia.
Metode: Desain penelitian berupa serial cross sectional yang didapat dari rekam medis penerbang komersial yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan RI pada tahun 2012 ndash; 2016. IMT didapatkan dari berat badan kg penerbang dibagi dengan kuadrat tinggi badan m2 . Data yang didapat berupa: tinggi badan, berat badan, umur, jam terbang 1 tahun, dan kebiasaan merokok. Analisis yang digunakan adalah ancova untuk melihat trend dan umur dan spearman atau pearson untuk data lainnya.
Hasil: Di antara 123 subyek, obesitas terlihat pada 64,2 - 74,8 subyek. Terlihat adanya perbedaan IMT yang bermakna antara tahun 2012 dan 2016 p = 0,032 . Tidak terdapat perbedaan bermakna antara jam terbang, umur, dan kebiasaan merokok terhadap perubahan IMT.
Simpulan: Terjadi peningkatan IMT yang bermakna secara statistik setelah 5 tahun, namun peningkatan ini tidak terlalu bermakna secara klinis dan sebagian besar subyek obesitas.

Background Increase in body mass index BMI is obesity indicator, which is problem at civilian aviation in Indonesia and can cause incapacitation. The purpose of this study was to investigate trend of changes in BMI and related risk factors on commercial pilots in Indonesia.
Methods Serial cross sectional study were obtained from commercial pilots medical record who were taking medical examination at the Civil Aviation Medical Center, Jakarta at 2012 ndash 2016. BMI were obtained from weight kg divided by quadrate of height m2. The data were height, weight, age, 1 year flight hours, and smoking habit. Ancova was used to investigate trend and age and spearman and pearson were used for other data.
Results From 123 subjects, obesity were seen in 64,2 74,8 subjects. There were differences in BMI between 2012 and 2016 p 0,032. No differences between flight hours, age, and smoking habit to BMI changes.Conclusions There were statistical increases of BMI after 5 years, however these increases have little clinical significance and most of the subjects were obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>