Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 68527 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Chatarina Adhelisa
"ABSTRAK
Penelitian ini akan membahas peran ilustrasi musik karya Franz Schubert dalam film La Pianiste karya Michael Haneke. Film dan musik adalah dua hal yang tidak begitu saja diciptakan tanpa nilai dan makna di dalamnya. Film dan musik dalam film La Pianiste diduga memiliki relasi yang kuat karena Michael Haneke dalam berbagai karyanya tidak pernah menggunakan latar suara yang mendominasi seperti dalam film ini. Dalam penelitiannya, peneliti akan menganalisis relasi antara musik klasik yang ditempatkan sutradara dalam beberapa sekuen sebagai latar suara dan peristiwa yang ada pada sekuen. Pada akhir penelitian ditemukan bahwa karya Schubert dalam film ini mempunyai peran sebagai cara lain Haneke menyampaikan cerita selain dari tokoh, latar waktu dan tempat, alur, serta peristiwa.

ABSTRACT
This research will examine the role of music illustration from Franz Schubert rsquo s works in Michael Haneke rsquo s film, La Pianiste. Film and music are never made without value and meaning. Film and music in La Pianiste have such a strong bond, because in many of his work, Michael Haneke never incorporate a dominating sounds like he did in this film. In this paper, I analyze the relation between classical music that strategically placed as a backsound by the director in several sequences. In the end of this research, it is found that Schubert rsquo s works in this film act as an alternative way of Haneke to convey the story other than the already established characters, place, time, plot, and events."
2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Inda Rizkiyah
"Film sebagai salah satu produk budaya berfungsi tidak hanya sebagai sebuah hiburan tetapi juga cerminan permasalahan yang terjadi dalam suatu lingkungan sosial. Fenomena mengenai isu perempuan kerap kali muncul dan dapat kita lihat melalui sebuah film. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana posisi perempuan digambarkan dalam film La Princesse de Montpensier karya Bertand Tavernier. Melalui film ini, dengan menggunakan latar ruang dan waktu Prancis abad ke-16, perempuan direpresentasikan sebagai sosok yang masih terbelenggu dalam berbagai situasi. Walau tidak lagi menjadi sosok yang pasif sepenuhnya, diskriminasi terhadap perempuan tampak jelas ditampilkan.

Film as one of the cultural products serve not only as an entertainment but also a reflection of the problems that occur in social environment. Phenomenon on woman issues often arise and can be seen through a film. This study aims to uncover how the position of woman portrayed in the film La Princesse de Montpensier by Bertand Tavernier. Through this film, sets in 16th century in France, women are portrayed as someone who is shackled in a variety of situations. Although no longer being entirely passive figure, discrimination over women clearly shown."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Meira Muzarisa Hanum
"Ketika berbicara cinta, kita mengingat bagaimana pasangan membuat janji di hadapan tuhan untuk saling menyayangi dan menjaga. Dalam film Amour karya Michael Haneke kita menyaksikan bagimana pasangan berusia lanjut menghadapi kondisi penyakit stroke yang diderita salah satu di antara mereka. Penelitian ini berfokus pada tema kebebasan dengan menggunakan metode kualititatif dan pendekatan tekstual. Penelitian ini menggunakan kajian sinema oleh Boggs & Petrie yang didukung dengan teori struktur alur tradisional yang digagas Victoria Lynn Schmidt. Penelitian ini menemukan bahwa dalam film Amour penonton diarahkan untuk menelusuri ruang privat tokoh dan menyaksikan bahwa konflik yang terjadi antar keduanyaa bukan disebabkan oleh adanya hambatan dalam mencapai tujuan melainkan adanya kontradiksi dan konflik ketergantungan antara kedua karakter. Permasalahan yang terjadi antara pasangan ini tidak memiliki jalan keluar selain kematian sehingga selama hidupnya nostalgia menjadi cara bagi tokoh untuk melarikan diri dari kenyataan.

When talking about love we reminded how people made promises before god to love and care each other. In Michael Haneke’s film Amour, we see how an elder couple cope with ilness. This research is based on the theme of freedom using qualitative methods and textual approaches. This study uses the theory of cinema by Boggs & Petrie and the traditional plot structure theory proposed by Victoria Lynn Schmidt. This reasearch found that the audiences of Amour is direceted to the private space of the couple and witnesses that the conflict occur between them is not caused by attainment of their goals but the presence of interdependence and character conflict. The problem that occurs between this couple has no way out other than death so that during their life nostalgia becomes the way for the two characters to escape reality. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Stuttgart : J.B. Metzler, 1995
R 016.7914375 MET
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Tazkiya Chaerani Athaya Hakim
"Pada umumnya film merupakan representasi dari realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Namun melalui representasi tersebut, perempuan kerap ditempatkan sebagai gender yang tersubordinasi dan didominasi. Et Dieu... créa la femme (1956) merupakan salah satu film Prancis yang menunjukkan bahwa terdapat pergeseran pada cara media merepresentasikan perempuan di layar lebar Prancis pada tahun 50-an. Dengan menggunakan kajian film dari Boggs & Petrie (2018) serta teori male gaze oleh Mulvey (1989), artikel ini memaparkan bagaimana unsur-unsur dalam film menempatkan perempuan sebagai objek maskulin dalam rangka melanggengkan jaringan patriarki yang telah lama terkonstruksi. Hasil analisis menunjukkan bahwa konstruksi perempuan dalam film Et Dieu... créa la femme bersifat ambigu: narasi film seolah menawarkan wacana kebebasan berekspresi bagi perempuan yang mendobrak wacana dominan patriarki yang kerap mengekang ruang gerak perempuan, tetapi nyatanya masih tidak membebaskan perempuan dari jeratan objektivikasi melalui sudut pandang laki-laki. 

In most cases, films are a representation of the social realities that occur in society.  However, through these representations, women are often placed as the subordinated and dominated gender. Et Dieu... créa la femme (1956) is one of the French films that shows that there was a shift in the way the media represented women on the French big screen in the 50s. Using Boggs & Petrie's (2018) film studies and Mulvey's (1989) male gaze theory, this article explains how elements in the film place women as masculine objects in order to perpetuate long-constructed patriarchal networks. The results of the analysis show that the construction of women in Et Dieu... créa la femme is ambiguous: the film's narrative seems to offer a discourse of freedom of expression for women that breaks the dominant patriarchal discourse that often restricts women's space, but in fact still does not free women from the trap of objectification through the male point of view."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lindgren, Ernest
New York: Collier Books, 1970
791.4 LIN a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriela Kiara Triheningtyas
"Film Capernaum karya Nadine Labaki menunjukkan isu sosial yang dialami oleh masyarakat kelas bawah di Beirut, Lebanon. Artikel ini bertujuan untuk melihat tingkat ketangguhan diri tokoh atau resiliensi dengan latar belakang berbeda yakni dari sudut pandang anak, imigran gelap serta komunitasnya dalam bertahan hidup dan menghadapi ancaman sekitar demi mencapai kebebasan dalam menentukan pilihan serta kebahagian baik secara materiel maupun morel. Dalam mencapai tujuan, digunakan metode kualitatif dengan menganalisis unsur naratif dan sinematografis menggunakan teori kajian film menurut Boggs dan Petrie yang kemudian diperdalam dengan konsep resiliensi sosial menurut Patrick dan Saldaporak. Hasil menunjukkan bahwa perkembangan resiliensi dicerminkan secara signifikan oleh tokoh Zain. Penjenjangan tersebut tidak selalu berjalan berurutan, terdapat pula sikap resisten dalam prosesnya, namun sebagai satu kesatuan, komunitas Beirut memiliki tingkat resiliensi rendah karena didominasi oleh sikap penerimaan sebagai mekanisme pertahanan. Selain itu, ancaman utama yang menjadi penyebab adalah kondisi ekonomi dan malafungsi lembaga sosial khususnya keluarga sebagai institusi pertama bagi setiap anak. Lain halnya dengan keluarga, terlepas dari ketidakterturan yang ada, institusi sosial yakni pengadilan berhasil berjalan sesuai fungsinya

Capernaum by Nadine Labaki exhibits social issues that prevails amongst the lower class in Beirut, Lebanon. This article aims to showcase the actors’ resilience from different backgrounds, which vary from the point of view of children, illegal immigrants as well as their communities in hope to face and survive the threats that surrounds them. In achieving the objective, a qualitative method by Boggs and Petrie is used by analyzing its narrative and cinematographic elements. This is then supported by social resilience theory by Patrick and Saldaporak. The results show that the development of resilience is significantly reflected by a character named, Zain. The progression is not always sequential, as there are also some resistant attitudes. However, as a unity, the Beirut community has a low level of resilience which can be attributed to their high coping capacities. Additionally, the main threats that caused their low level of resilience are the poor economic conditions and the malfunction of social institutions in the country, especially the family as the first institution for every child. Despite the existing disorganization, the social institution, namely the court, has succeeded in functioning properly according to its obligations."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Disyacitta Nastiti
"ABSTRAK
Wa Halla rsquo; La Wayn? merupakan sebuah film yang berkisah tentang kehidupan sebuah desa yang terisolir. Desa tersebut dihuni oleh dua kelompok agama, yaitu Muslim dan Kristen. Kaum perempuan di dalamnya berusaha untuk melindungi desa dari timbulnya peperangan antaragama yang terjadi di luar desa. Film ini menarik untuk diteliti karena adanya karakter perempuan yang lebih dominan dalam menyelesaikan konflik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab dan menjelaskan seperti apa karakter perempuan dinarasikan dalam film, serta mengetahui bagaimana narasi cerita yang dibangun. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Peneliti akan menganalisis struktur narasi, cerita, alur, sudut pandang serta fungsi dan karakter pada film yang disutradarai oleh Nadine Labaki ini. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa representasi perempuan yang ditampilkan pada film ini tidak meninggalkan keseluruhan stereotipe perempuan pada umumnya. Di sisi lain, perempuan mampu melakukan sesuatu yang lebih besar daripada stereotipe pada umumnya.

ABSTRACT
Wa Halla rsquo La Wayn is a movie that tells about the life of an isolated vilage. The village is inhabited by two religious groups, they are Muslim and Christian groups. The women in it are trying to protect the village from the incident of interfaith warfare that happened outside the village. This film is interesting to be researched because the female characters in it are more dominant to solve the conflict. The purpose of this research is to answer and explain what kind of female characters narrated in the film, also to know how narrative story is built. The methodology used in this research is descriptive qualitative. Researcher will analyze the structure of narrative, story, plot, point of view, also the functions and characters in the film which was directed by Nadine Labaki. The results of the research can be concluded that the female representation shown in this film does not leave the whole stereotype of women in general. On the other side, the women able to do something bigger than the stereotype in general."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Firman Hadiansyah
"Adaptasi film ke dalam novel atau sebaliknya seialu menimbulkan perubahan, sebagai akibat dari perbedaan media dan hasil interpretasi penulis dan sutradara. Penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan sejumlah persamaan dan perbedaan mendasar yang dihasilkan oleh adaptasi dari film ke dalam novel Biala Tak Berdawai, dilihat dari unsurunsur penceritaan.
Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan strukturalisme yang memfokuskan pada unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam film dan novel Biola Tak Berdawai. Unsur-unsur film dan novel yang dianalisis dan dibandingkan dalam penelitian ini adalah alur penyajian, alur sebab akibat, tokoh dan penokohan, latar ruang dan Tatar waktu.
Hasil analisis film dan novel Biola Tak Berdawai terhadap unsurunsur di atas, menunjukkan persamaan sekaligus perbedaan. Cerita dalam film dan novel pada dasarnya sama tetapi menjadi terkesan berbeda ketika Dewa dijadikan penutur di dalam novel. Tokoh Dewa menjadi serba tahu dan mampu menuturkan dengan fasih mengenai kejadian-kejadian yang ada di sekelilingnya, padahal di dalam film, tokoh Dewa digambarkan sebagai anak yang sangat sulit untuk berkomunikasi dengan prang fain dikarenakan penyakit autis dan cacat ganda. Dengan demikian, tokoh utama di dalam novel tidak hanya Renjani, tetapi juga Dewa. Perbedaan Iainnya terletak pada berupa kemunculan cerita pewayangan di dalam novel, juga terdapat penghilangan, dan penambahan beberapa cerita. Semua perbedaan tersebut menunjukkan adanya perbedaan interpretasi penulis novel atas cerita film Biola Tak Berdawai.
Berbeda dengan unsur alur penyajian, alur sebab akibat antara film dan novel tidak menunjukkan perbedaan. Dad awal hingga akhir cerita, novel adaptasi tetap bersetia terhadap film sebagai cerita pertama. Begitu juga dengan latar ruang dan waktu.

The adaptation of film into novel or vice verse always produces changes as the consequence of the different media and the result of the actor and the director's interpretation. This study aims to present some basic similarities and differences which are produced by the adaptation from film into novel Biola Talc Berdawai, and viewed from the story elements.
The method used is structuralism, focusing on the intrinsic elements in film and novel Biota Tak Berdawai. The film and novel elements which are analyzed and compared in this study are plot, the characters and characterization, and setting.
The result of the analysis of film and novel Biola Tak Berdawai to the mentioned elements presents similarities and differences at the same time. The story in film and novel is basically the same but it imprisons different when Dewa is made as a narrator in the novel. The character of Dewa knows everything and he can utter fluently what happens in his surrounding, whereas in film the character of Dewa is showed as the boy who has difficulty to communicating with other people because he is autistic and has double deformity. So the main character in the novel is not only Renjani but also Dewa. The other difference is on the presence of things pertaining to the wayang story in the novel. All those differences present the difference of the writer's interpretation on the story of Biota Tak Berdawai film.
It is different to plot presence, the cause and effect plot between film and novel does not present the difference. From the beginning until the end of story, adapted novel keep loyal to film as the original story. It also happens to the setting of place and time.
"
Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T17618
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
London: Routledge, 1996
791.43 INT
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>