Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 63165 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agung Sulthonaulia Utama
"Krisis Zona Eropa yang terjadi pada tahun 2009 membawa berbagai dampak terhadap negara-negara anggotanya. Salah satu hal yang terlihat setelah terjadinya krisis adalah peningkatan sentimen anti Uni Eropa yang semakin jelas terlihat dan biasa disebut sebagai Euroskepticism. Dalam tinjauan literatur terhadap 16 tulisan ini, akan dilakukan pengelompokan argumen dalam literatur krisis zona euro berdasarkan tiga kategori: penyebab, dampak, dan preskripsi. Setelah itu, dua dari tiga kategori tersebut penyebab dan preskripsi ditinjau lebih dalam lagi untuk dipetakan sikapnya terhadap eksistensi Uni Eropa, serta prinsip-prinsip dan perjanjian yang ada di dalamnya, di mana akan ada dua ragam utama, yakni: golongan pro Uni Eropa dan golongan yang skeptis terhadap Uni Eropa. Tinjauan pustaka ini diharap dapat memperkaya khazanah kajian kawasan Uni Eropa, serta memudahkan pembacanya untuk lebih dapat memahami mengenai krisis zona euro dan juga Euroskepticism.

Eurozone Crisis which occurred in 2009 brought about various effects to its member countries. One of the most observable things after the crisis happened is the increase of anti European Union sentiments, a widely adopted view known as Euroskepticism. In this literature review to 16 scholarly writings, the arguments in the Eurozone Crisis literature are classified into three different categories causes, effects, and prescriptions. After that, two out of those three categories effects and prescriptions in the literature will be analyzed deeper and classified into two categories pro European Union and skeptical towards European Union. This literature review serves to enrich the regional study of European Union, as well as making the readers understand Eurozone Crisis and Euroskepticism better."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Kohar
"Skripsi ini membahas mengenai upaya EU sebagai institusi regional dalam menyelesaiakan krisis di kawasannya dari tahun 2008-2012. Di dalam penelitian ini, penulis melihat bahwa Euro sebagai mata uang tunggal kawasan Eropa yang dipakai oleh 17 negara merupakan inovasi integrasi ekonomi yang terjadi terhadap kawasan. Sehingga, penelitian ini menarik untuk diteliti karena penyelesaian krisis yang dilakukan bukan pada tingkat negara tetapi pada tingkat institusi regional. Teori Liberal Intergovernmentalism yang dipakai dalam penelitian ini dapat menjelaskan proses bagaimana institusi regional dalam membuat kebijakan penyelesaian krisis. Proses tersebut dapat dilihat dari tawar menawar yang terjadi di instusi dengan dilatarbelakangi oleh preferensi atau kepentingan setiap negara. Kompromi yang terjadi antar negara di Eurozone membuahkan hasil kebijakan yang disepakati bersama. Kemudian, kebijakan tersebut diimplementasikan setiap negara di kawasan Eurozone.

This undergraduate thesis discusses the efforts of EU as a regional institution in rescuing Euro from crisis in the region from 2008-2012. This study found that Euro as the single currency used by 17 European countries is an economic integration innovation in region. Thus, this study is interesting to study because the solution of crisis that was not at the state level but at the level of regional institutions. Liberal intergovernmentalism theory that was used in this thesis may explain how the process of regional institutions in making policy crisis resolution. The process can be seen from the bargaining that occurs in instuons the preferences or interest motivated by every country in Eurozone. The compromise between countries in the Eurozone to fruition with the agreed policy. Then, the policy is implemented every country in the Eurozone."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S52689
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuning Sintya Defa
"Tesis ini membahas kebijakan European Financial Stability Facility EFSF yang dikeluarkan pada tahun 2010 oleh Uni Eropa berdasarkan kesepakatan negara-negara anggota Zona Euro bersama European Central Bank ECB dan International Monetary Fund IMF dalam merespon krisis ekonomi yang terjadi di Yunani, Irlandia dan Portugal pada masa Krisis Ekonomi Zona Euro. Kebijakan EFSF yang dibahas pada tesis ini adalah hal-hal yang melatarbelakangi dikeluarkannya kebijakan EFSF. Hal-hal yang melatarbelakangi tersebut didasarkan kepada kerangka pemikiran neoliberal institusional. Berdasarkan kerangka pemikiran neoliberal institusional, tesis ini menetapkan kelemahan institusional oleh Uni Eropa, European Monetary Union EMU, dan ECB yang tidak memiliki regulasi dan sistem pengelolaan krisis ekonomi telah membuat negara-negara anggota Zona Euro mencari solusi dengan meratifikasi kebijakan EFSF dengan melibatkan IMF sebagai solusi krisis ekonomi yang terjadi di tahun 2010. Tesis ini juga melihat bagaimana implikasi EFSF bagi perekonomian negara-negara Zona Euro yang mengalami krisis, melihat sejauh mana harapan negara anggota Zona Euro dapat direalisasikan.

ABSTRACTThis thesis discusses about the European Financial Stability Facility EFSF policy established in 2010 by the European Union under the agreement of Eurozone member states together with the European Central Bank ECB and the International Monetary Fund IMF as the response of economic crisis in Greece, Ireland and Portugal during the Eurozone Economic Crisis. The EFSF policy discussed in this thesis is the underlying issue of EFSF policy. The underlying things are based on neoliberal institution framework. Based on neoliberal institution framework, this thesis conclude the institutional weaknesses by the European Union, the European Monetary Union EMU, and the ECB which has no regulation and economic crisis management system has made the Eurozone member states seek the solution by ratifying the EFSF policy by involving the IMF as a solution to the economic crisis that occurred in 2010. This thesis also looks at how the EFSF implications for the economy of Eurozone member states in crisis to see how far the expectations can be realized."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nikita Wulandari
"Bank Sentral Eropa (ECB) sedang dihadapkan dengan inflasi yang tinggi setelah beberapa dekade inflasi di Zona Euro mencapai tingkat yang sangat rendah. Hal ini mengharuskan ECB mengambil tindakan moneter, yaitu dengan melakukan pengetatan perekonomian yang menyebabkan ECB menaikkan suku bunganya untuk pertama kalinya setelah 11 tahun. Sebuah studi peristiwa (event study) digunakan untuk mempelajari dampak pengetatan moneter terhadap harga obligasi pemerintah di zona euro. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengetatan moneter menyebabkan peningkatan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah. Dua regresi digunakan untuk menganalisis faktor pendorong abnormal return imbal hasil obligasi selama pengetatan moneter.

The European Central Bank (ECB) is being faced by a high inflation after decades of low inflation. This led the ECB to take monetary measures by tightening the economy which induced the ECB to increase its interest rates for the first time after 11 years. An event study was conducted to examine the effects this monetary tightening has on the Eurozone government bond prices. The results of the analyses indicated that the monetary tightening lead to increase in government bond yields. Finally, two regressions were run to analyse the drivers of the abnormal returns of bond yields during the monetary tightening. "
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Riefky
"Kebangkitan populisme dan krisis pengungsi telah menghadapkan Uni Eropa (UE) pada potensi ancaman dan tantangan dalam mempertahankan prinsip-prinsip dasar demokrasi dan HAM yang dianut oleh UE. Di sisi lain, UE juga harus menjamin keamanan dan menyerap aspirasi warganya, khususnya di tengah desakan nativisme kaum populis untuk menolak pengungsi yang dianggap merugikan masyarakat Eropa. Kondisi tersebut mengarahkan penelitian ini untuk memvalidasi strategi UE dalam mengatasi potensi ancaman atas bangkitnya populisme dan krisis pengungsi terhadap kondisi demokrasi dan keamanan di Eropa. Menjawab permasalahan itu, penelitian ini menggunakan Teori Populisme, Teori Persepsi Ancaman, dan Teori Strategi sebagai indikator dalam menganalisis berbagai kajian literatur, kebijakan Uni Eropa, serta pernyataan politik pemimpin Eropa terkait masalah pengungsi dan kebangkitan populisme dalam kurun waktu 2014-2019. Setelah menganalisis potensi ancaman populisme dan merumuskan strategi UE berdasarkan Five P’s Mintzberg, yang terdiri dari indikator Plans, Patterns, Positions, Perspectives, dan Ploys, maka temuan penelitian ini menjelaskan bahwa strategi utama UE adalah melakukan perimbangan kekuatan dan pemberian ruang politik kaum populis secara terukur. Melalui strategi ini, kelompok populis seolah terakomodir agenda politiknya dan menjadi bagian dari kekuasaan, namun sejatinya tidak. Melalui strategi ini, UE dianggap berhasil mengelola tekanan kaum populis dan mengatasi masalah pengungsi tanpa mengabaikan nilai-nilai demokrasi dan HAM. Penelitian ini menyimpulkan bahwa populisme akan selalu hadir menjadi potensi ancaman dan tantangan bagi UE dengan mengangkat berbagai isu strategis dalam skala yang berbeda, sehingga strategi UE untuk beradaptasi terhadap perkembangan situasi global akan sangat diperlukan. Lebih jauh, penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi penelitian selanjutnya untuk mengkaji perkembangan gerakan populisme pada ranah nasional, regional, dan global.

The rise of populism and the refugee crisis has exposed the European Union (EU) to potential threats and challenges in defending the basic principles of democracy and human rights. On the other hand, the EU have to ensure the security and absorb the aspirations of its citizens, especially in the midst of the populist nativism pressure to reject refugees who are considered detrimental to European society. These conditions lead this research to validate the EU's strategy in overcoming the potential threats of the rise of populism and the refugee crisis to the conditions of democracy and security in Europe. Answering this problem, this study uses Populism Theory, Threat Perception Theory, and Strategy Theory as indicators in analyzing various literature studies, European Union policies, and political statements by European leaders related to refugee issues and the rise of populism in the period 2014-2019. After analyzing the potential threat of populism and formulating an EU strategy based on Five P's Mintzberg's Strategy, which consists of the Plans, Patterns, Positions, Perspectives, and Ploys indicators, the findings of this study explain that the EU's main strategy is to balance power and provide populist political space in a measurable way. Through this strategy, populist groups seem to be accommodated by their political agenda and become part of power, but in reality they are not. Through this strategy, the EU is considered successful in managing populist pressure and overcoming the refugee problem without ignoring democratic values ​​and human rights. This study concludes that populism will always be a potential threat and challenge for the EU by raising various strategic issues at different scales, so that the EU's strategy to adapt to the development of the global situation will be very necessary. Furthermore, this research is expected to be a reference for further research to examine the development of the populism movement in the national, regional, and global spheres."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Averil Khalisha Paramesti
"Tesis ini meneliti bagaimana liputan media tentang krisis imigran di Italia dan Spanyol memengaruhi proses decision-making kebijakan penanganan imigran kedua negara tersebut. Tesis ini memiliki dua tujuan penelitian: (1) menjelaskan bagaimana media Italia dan Spanyol melakukan representasi diskursif aktor-aktor politik dalam krisis imigran di negara mereka dan (2) menelaah hubungan antara representasi aktor-aktor politik tersebut dan proses pengambilan keputusan (decision-making) kebijakan penanganan imigran di negaranya masing-masing. Menerapkan teori analisis wacana kritis sosiosemantik Theo van Leeuwen dan pendekatan konstruktivisme Alexander Wendt, publikasi daring dua surat kabar terbesar Italia (Corriere della Sera, La Repubblica) dan Spanyol (El País, El Mundo) antara tahun 2014 dan 2016 dianalisis. Hasil analisis menunjukkan bahwa representasi diskursif aktor-aktor politik dalam masing-masing surat kabar mencerminkan kecenderungan ideologis mereka, di mana pemberitaan cenderung menekankan perbedaan antara “kita” (Uni Eropa dan pemerintah) dan “mereka” (para pencari suaka) serta meniadakan kemanusiaan para pencari suaka. Kecenderungan ideologis dari representasi aktor-aktor politik keempat surat kabar itu sendiri merupakan cerminan bagaimana Italia dan Spanyol memandang krisis imigran Eropa sebagai ancaman terhadap identitas nasional mereka. Dengan bantuan media massa, Italia dan Spanyol melakukan sekuritisasi terhadap krisis imigran Eropa untuk “membujuk publik agar setuju” mengambil tindakan-tindakan yang tegas, ekstrem, dan terkadang melanggar hukum dalam menghadapi ketidakstabilan dan ketidakpastian krisis. Selain itu, dalam konteks integrasi Eropa, konflik “kita” versus “mereka” menjadi sebuah bukti akan kurangnya solidaritas di antara negara-negara anggota dan naiknya kepopuleran populisme serta nasionalisme individu, sehingga hal ini mengundang pertanyaan mengenai rapuhnya Uni Eropa sebagai proyek integrasi.

This thesis investigates how media coverage of the European refugee crisis in Italy and Spain influences policymakers’ decisions on how to deal with asylum seekers and refugees in both countries. Two research objectives are outlined as the foundation of the thesis: (1) to explain how political actors in the refugee crisis are represented in the Italian and Spanish press, and (2) to investigate the relationship between the political actors’ discursive representations and their countries’ immigration policy decision-making process. Online publications about the European refugee crisis from two mainstream news agencies in Italy (Corriere della Sera, La Repubblica) and Spain (El País, El Mundo) between 2014 and 2016 are analyzed using Theo van Leeuwen’s sociosemantic approach of critical discourse analysis and Alexander Wendt’s constructivist approach. The findings of the thesis reveal that each newspaper’s discursive representations of political actors are in accordance to their ideological tendencies, with the news emphasizing the divide between “us” (the European Union and the government) and “them” (asylum seekers) and erasing asylum seekers’ humanity. The ideological tendencies in the four newspapers’ representation of political actors reveal how Italy and Spain perceive the European refugee crisis as a danger to their national identity. With the help of mass media, Italy and Spain securitize the European refugee crisis in order to “persuade the public to consent” to take bold, radical, and sometimes law-breaking measures in dealing with the crisis’ instability and uncertainty. In addition, the “us” against “them” conflict in the context of European integration reflects a lack of cooperation among member states, as well as the rising appeal of populism and individual nationalism, creating concerns about the European Union’s viability as an integration project."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihombing, Mangaratua
"Skripsi ini membahas tentang perluasan keanggotaan suatu organisasi internasional, secara khusus mengenai proses perluasan keanggotaan Turki di dalam Uni Eropa. Uni Eropa, seperti kebanyakan organisasi internasional lainnya, memberikan persyaratan perluasan keanggotaan bagi negara-negara yang ingin bergabung menjadi negara anggota. Untuk dapat diterima menjadi negara anggota di Uni Eropa, sebuah negara harus memenuhi persyaratan yang terkandung di dalam Traktat Maastricht 1992 dan Kriteria Copenhagen 1993. Turki telah mengajukan aplikasi perluasan keanggotaan kepada Uni Eropa sejak tahun 1987 dan telah melakukan berbagai upaya untuk memenuhi persyaratan yang ada, namun hingga saat ini Turki masih harus puas dengan statusnya sebagai kandidat anggota di Uni Eropa. Berbagai hal dianggap menjadi kendala dalam proses bergabungnya Turki di Uni Eropa, misalnya adalah keadaan ekonomi Turki, hal tentang perlindungan hak minoritas, dan konflik Turki dengan Siprus yang telah menjadi anggota Uni Eropa pada tahun 2004. Namun demikian, Turki hingga saat ini masih terus melakukan upaya-upaya dalam harapan Uni Eropa dapat segera menerima Turki sebagai negara anggota di Uni Eropa.

Every international organization has its own provision or requirement on its enlargement. The European Union, as any other international organizations, also requires the state that desires to join into it as a member state. In order to be accepted as a member state in the European Union, a state must fulfill all the requirements stipulated in Maastricht Treaty 1992 and Copenhagen Criteria 1993. Turkey had submitted its enlargement application in 1987 and it has done all its efforts since then to satisfy the requirements, but until now Turkey has to be content with its status as a candidate state. Several things are considered to be the constraints on the process of Turkey's application; the Turkey's economic condition, the protection of minority rights, and the conflict between Turkey and Cyprus, which had been an European Union's member state since 2004. However, Turkey still continues to make efforts to fulfill all the requirements in the hope of its acceptance in the European Union."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S55924
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Valesia Ananta
"Uni Eropa adalah sebuah organisasi antar-oemerintahan dan supra-nasional, yang beranggotakan negara-negara Eropa. Untuk menjalankan tugasnya, Uni Eropa tentu harus memiliki konstitusi sebagai dasar untuk pengambilan tindakan dan keputusan. Namun, di dalam proses pengesahannya, terjadi beberapa hal yang menyebabkan konstitusi ini tidak kunjung diratifikasi oleh seluruh negara anggota. Adanya penolakan oleh Prancis dan Belanda merupakan salah satu contoh rancangan konstitusi ini tidak diratifikasi. Khususnya di Prancis, terdapat beberapa latar belakang berupa ketidakpuasan dalam bidang ekonomi dan sosial yang menjadi latar belakang penolakan terhadap rancangan Konstitusi Uni Eropa tahun 2005.

The European Union is an inter governmental and supra national organization, consisting of European countries. To perform its duties, the European Union would possess a constitution as the basis for decision making and action taking. However, in the process several member states refused to ratify the constitution draft which resulted in the constitution not being ratified at all. The rejection by France and the Netherlands is one example where this constitution draft has been rejected and is not ratified. France in particular, there are some dissatisfaction concernin economic and social situation which may be the background of the rejection of the EU Constitution draft in 2005.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Eugene Andreas Muskananfola
"Tesis ini meneliti penolakan Polandia terhadap kuota pengungsi yang diberikan oleh Uni Eropa (UE). Tujuan penulisan adalah untuk menjawab dua pertanyaan penelitian yaitu penolakan Polandia untuk relokasi pengungsi dan dinamika internal yang terdapat didalamnya. Polandia meruapakan salah satu negara di Eropa yang memiliki akselerasi cukup tinggi dalam melakukan integrasi menuju iklim politik demokrasi. Selanjutnya negara ini resmi bergabung dan diterima sebagai negara anggota UE pada tahun 2004 silam. Setiap pihak yang ingin menjadi bagian dari UE diharuskan untuk memenuhi sejumlah kriteria dasar yang telah ditetapkan. Salah satu diantaranya menyangkut aspek kemanusian. Sejak bergabungnya Polandia kedalam struktur UE, mereka dinilai memiliki prospek yang positif dalam menunjang keberlangsungan proses integrasi di kawasan Eropa. Dinamika politik yang berjalan kemudian merubah sejumlah situasi. Pemerintah Polandia menolak kuota pengungsi yang dicetuskan oleh UE. Ledakan krisis pengungsi di Eropa mencapai puncaknya pada tahun 2015.
Penelitian ini akan memfokuskan pembahasan kepada kebijakan yang diambil oleh Polandia tersebut. Keputusan Warsawa dianggap berbenturan dengan nilai-nilai fundamental yang dianggap menjadi bagian prinsip dasar dari UE. Dalam menunjang argumen penulisan, akan diangkat konsep amity dari Regional Security Complex Theory (RSCT) yang dicetuskan Barry Buzan dan gagasan terkait identitas nasional dari Anthony Smith. Temuan yang didapatkan adalah adanya signifikansi dari kawasan dan aspek internal yang mempengaruhi keputusan Polandia.

This thesis presents the Poland`s rejection towards the quota of refugees allocated by the European Union (EU). The aim of the study is to answer two research questions concerning Poland`s rejection towards the relocation of refugees and the related internal dynamics found within. Poland is a European country that proceeds to democracy politics climate with considerably high acceleration. The country officially joined and was accepted as an EU country member in 2004. Any party who wants to become part of EU is required to meet a number of basic criteria which have been set by the EU, one of which relates to humanity aspects. Since the inclusion of Poland in the EU, the country has been considered to have brought positive prospects in the integration within the European regions. The dynamics of politics, however, have changed some situations. The government of Poland rejects the quota of refugees set by EU whilst the booming of refugees reached its peak in 2015.
This research focuses on analyzing the policy of the government of Poland in rejecting the quota. The Warsaw decision was considered to collide with the fundamental values which are regarded basic principles of EU. The concept of amity of the Regional Security Complex Theory (RSCT) from Barry Buzan and the idea of national identity from Anthony Smith are adopted as the research arguments. The findings of the research reveal that there are significances within the region and internal aspects that govern the decisions of Poland.
"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T53953
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Yudhistira Henuhili
"Selama beberapa dekade terakhir, terjadi peningkatan perdebatan mengenai kedaulatan dalam kajian Ilmu Hubungan Internasional. Salah satu titik krusial yang mendorong perdebatan ini adalah terbentuknya Uni Eropa melalui Maastricht Treaty pada tahun 1992. Setelah itu, terdapat beragam literatur yang membahas mengenai kedaulatan di Uni Eropa, sehingga diperlukan sebuah kajian kepustakaan. Untuk menjawab permasalahan tersebut, studi ini memetakan perkembangan literatur mengenai kedaulatan di Uni Eropa pasca Maastricht Treaty. Dari tiga puluh artikel jurnal/buku/chapter edited volume yang dikaji, terdapat empat tema besar yaitu (1) karakteristik kedaulatan di Uni Eropa; (2) dinamika kedaulatan dalam kebijakan di Uni Eropa: antara intergovernmentalisme dan supranasionalisme (3) faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan terhadap perubahan bentuk kedaulatan di Uni Eropa dan (4) kritik terhadap penerapan kedaulatan di Uni Eropa. Setelah melakukan pemetaan dan analisis literatur, kajian kepustakaan ini menghasilkan beberapa temuan. Pertama, karakter kedaulatan di Uni Eropa memiliki penafsiran yang berbeda-beda, mulai dari kedaulatan dipandang disatukan (pooled sovereignty), dibagi (shared sovereignty), hingga dianggap masih berada di negara. Kedua, penerapan kedaulatan dalam tatanan praktis dalam level kebijakan di Uni Eropa dapat bertahan maupun berubah, menyesuaikan preferensi negara-negara anggotanya. Ketiga, penerimaan negara terhadap beragam bentuk kedaulatan di Uni Eropa dipengaruhi oleh faktor ekonomi, faktor interdependensi, dan faktor keamanan. Keempat, dinamika serta cara pandang terhadap kedaulatan di Uni Eropa tampaknya dipengaruhi oleh fenomena-fenomena empirik atau perkembangan yang terjadi di Uni Eropa. Terakhir, dari keseluruhan literatur, studi ini mengindentifikasi celah literatur yang terdapat dalam sedikitnya analisis mengenai kedaulatan dalam kebijakan di Uni Eropa, serta kurangnya studi komparatif yang membandingkan kedaulatan di Uni Eropa dengan kedaulatan dalam entitas politik lainnya.

Over the last few decades, the topic of Sovereignty has been increasingly discussed in International Relations. One of the crucial factors leading to the debate was the establishment of the European Union through the enactment of Maastricht Treaty in 1992. As an effect, various literature discussing sovereignty in the European Union emerged and subsequently neccessitates a literature review on it. This study mapped various literature on sovereignty in the European Union after Maastricht Treaty. By taking into account thirty journal articles/books/chapters of edited volume, this study found four major themes in the literature: (1) the characteristics of sovereignty in the European Union; (2) the dynamics of sovereignty in the European Union policies: between intergovernmentalism and supranationalism; (3) the factors influencing the acceptance of the changing form of sovereignty in the European Union; and (4) the critiques on the implementation of sovereignty in the European Union. After mapping and analyzing the literature, this study found several important points. First, the characters of sovereignty in the European Union result in various interpretations such as pooled sovereignty, shared sovereignty, and sovereignty that are embedded within member states. Second, the implementation of sovereignty in the European Union policies could both be static or dynamic, depending on the member states' preferences. Third, member states’ acceptance of various sovereignty forms in the European Union are influenced by economic, interdependence, and security factors. Fourth, the dynamics of the sovereignty in the European Union are perceived to be influenced by events happening in the European Union. Lastly, this study identifies several literature gaps on the lack of literature analyzing sovereignty aspect of European Union’s policies and the minimum amount of comparative studies between sovereignty in the European Union and sovereignty in other political entities."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>