Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 66405 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bahagia Wiba Cyntia
"ABSTRAK
Untuk memformulasikan serbuk inhalasi tertarget makrofag dibutuhkan eksipien dengan karakteristik yang sesuai untuk dapat membawa obat sampai makrofag. Penelitian sebelumnya membuktikan bahwa kombinasi kitosan dan gum xanthan memiliki indeks mengembang yang baik pada pH makrofag sehingga dapat dijadikan sebagai eksipien tertarget makrofag. Tujuan dari penelitian ini adalah membuat serbuk inhalasi menggunakan kitosan-xanthan KX sebagai pembawa yang dapat menahan pelepasan obat pada cairan paru pH 7,4 dan memfasilitasi pelepasan obat pada cairan makrofag paru pH 4,5 . KX dibuat dengan mencampurkan kitosan dan gum xanthan perbandingan 1:1, 1:2, dan 2:1. KX kemudian dikarakterisasi meliputi penampilan, bentuk morfologi, uji termal, spektrum inframerah, derajat keasaman, dan viskositas. Serbuk kering inhalasi dibuat dengan menggunakan rifampisin sebagai model obat dan lima eksipien berbeda yaitu kitosan, gum xanthan, KX l:1, 1:2, 2:1. Serbuk inhalasi dikarakterisasi penampilan, morfologi, kadar air, distribusi ukuran partikel, kadar zat aktif, efisiensi penjerapan, dan pelepasan obatnya. Serbuk inhlasi dengan karakteristik terbaik yaitu formula 3 dengan eksipien KX 1:1 yang menghasilkan rendemen 22,48 , rentang ukuran 1,106 ndash; 3,580 m, efisiensi penjerapan sebanyak 120,162 , dan dapat melepas obat sebanyak 3,145 dalam medium pH 7,4 dan sebanyak 23,774 dalam medium pH 4,5. Berdasarkan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa eksipien KX 1:1 dapat digunakan sebagai pembawa dalam formulasi serbuk inhalasi rifampisin.

ABSTRACT
Suitable excipient with certain characteristics is required in formulating inhalation powder to deliver drug into macrophage. Previous study had shown that the combination of chitosan and gum xanthan had remarkable swelling properties at macrophage condition pH 4.5 , thus it is suitable to be used as a macrophage targeted excipient. This study aimed to produce dry powder inhalation of rifampicin using chitosan xanthan CX as a carrier that can sustain drug release in lung fluid pH 7.4 and facilitate drug release in pulmonary macrophage fluid pH 4,5 . CX was prepared by mixing the chitosan and xanthan gum with the ratio 1 1, 1 2, and 2 1. Physical appearance, morphology, thermal properties, functional group, acidity, and viscosity of CX were then characterized. The inhalation powder were formulated by using rifampicin as a drug model and five different excipients which were chitosan, gum xanthan, and CX 1 1, 1 2, 2 1. Physical appearance, morphology, moisture content, and drug release of each formula of inhalation powder was evaluated. This study showed that rifampicin CX 1 1 was the best formula with yield of 22.48 , partical size range of 1.106 ndash 3.580 m, entrapment efficiency of 120.162 , and release 3,145 of rifampicin at pH 7.4 and 23.774 of rifampicin at pH 4.5. Based on these results, it can be concluded that CX 1 1 is a suitable excipient to formulate dry powder inhalation of rifampicin. "
2017
S69422
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Restu Anggita
"Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang menyerang saluran pernapasan dan salah satu obat yang digunakan adalah antibiotik rifampisin. Walaupun terapi oral rifampisin untuk pasien tuberkulosis sudah tersedia, terapi secara inhalasi yang menargetkan langsung ke paru dan alveolus diharapkan memberikan hasil yang lebih baik. Oleh karena itu diperlukan inovasi serbuk kering inhalasi yang dapat digunakan dalam regimen terapi tuberkulosis. Penelitian terhadap pengembangan obat TB dalam bentuk serbuk kering sudah ada, namun belum ada yang mengombinasikan kitosan dengan gelatin. Pada penelitian ini dilakukan formulasi, karakterisasi, dan evaluasi sitotoksisitas dari lima serbuk kering inhalasi rifampisin dengan pembawa kitosan-gelatin dengan variasi konsentrasi kitosan dan gelatin. Serbuk dibuat menggunakan metode semprot kering, kemudian dianalisis bentuk dan ukuran partikel geometris dan aerodinamisnya, lalu diuji pelepasannya dalam larutan dapar fosfat pH 7,4 dan SLS 0,05%, dan dalam larutan KHP pH 4,5. Formulasi dengan profil pelepasan yang paling baik diambil untuk diuji sitotoksisitasnya. Berdasarkan hasil penelitian dipilih F3 (Kit-Gel 2:1) sebagai formula terbaik dengan bentuk partikel sferis, rentang diameter partikel geometris 0,825-1,281 μm dan ukuran partikel aerodinamis 11,857 ± 1,259 μm, dengan persentase rifampisin kumulatif yang terdisolusi dalam dapar fosfat sebesar 45,894 ± 0,876% dan dalam larutan KHP sebesar 42,117 ± 0,912%. Uji sitotoksisitas dilakukan dengan metode MTT assay dan parameter viabilitas sel. Serbuk F3 lebih aman digunakan daripada rifampisin dalam konsentrasi 0,1 mg/mL dengan viabilitas sel sebesar 91,68%.

Tuberculosis is a respiratory tract disease in which one of the first-line agents used is rifampicin. Oral rifampicin for TB patients is widely available, but inhalation therapy that targets the lungs and alveolus directly could give a better outcome. This drives the need for developing a dry inhalation powder that could be incorporated into the therapeutic regimen of TB. Previous studies on the development of TB medication have been performed, but the application of combination of excipients of chitosan and gelatin as carrier has not been studied. In this study, formulation, characterization, and cytotoxicity evaluation of five rifampicin dry inhalation powders with various concentration of its chitosan-gelatin carrier were studied. The powder was produced with dry-spraying method. Its shape, aerodynamic and geometric particle size were then analyzed. Its releasing profile in phosphate buffer (pH 7.4 and SLS 0.5%) and potassium hydrogen phthalate (pH 4.5) was also tested. Formulation with the best releasing profile was used for cytotoxicity test. F3 (Chit-Gel 2:1) showed the best profile with spherical particle shape and geometric and aerodynamic particle size 0.825-1.281 μm and 11.857 ± 1.259 μm respectively, the cumulative rifampicin percentage dissolved in phosphate buffer and potassium hydrogen phthalate (KHP) were 45.894 ± 0.876% and 42.117 ± 0.912%, respectively. Cytotoxicity evaluation was conducted using MTT assay method with cell viability as the parameter. F3 is less cytotoxic than rifampicin in 0.1 mg/mL with cell viability 91.68%."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Rengganis
"Serbuk inhalasi rifampisin-manitol (1:1) diketahui mampu meningkatkan kelarutan rifampisin dalam medium cairan paru dan penambahan L-leusin 30% b/b mampu memperbaiki sifat aerodinamis serbuk inhalasi rifampisin. L-leusin bersifat hidrofobik sehingga perlu diketahui konsentrasi optimalnya yang dapat menghasilkan serbuk dengan sifat aerodinamis terbaik tanpa menurunkan kelarutan rifampisin. Parameter produksi, seperti kecepatan penyemprotan dan tekanan gas atomisasi dapat mempengaruhi hasil dan karakter serbuk inhalasi yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh formula optimum serbuk inhalasi rifampisin dengan pembawa manitol (1:1) dan penambahan L-leusin menggunakan Response Surface Methodology (RSM). Formula optimum diharapkan dapat menghasilkan serbuk inhalasi dengan rendemen di atas 70%, Fine Particle Fraction (FPF) di atas 50%, persentase serbuk teranalisis (Emitted Fraction/EF) di atas 50%, dan persentase rifampisin terdisolusi di atas 50%. Lima belas formula percobaan dirancang secara statistik menggunakan desain Box Behnken dengan memvariasikan tiga parameter, yaitu konsentrasi L-leusin, kecepatan penyemprotan, dan tekanan gas atomisasi. Serbuk diformulasikan menggunakan metode semprot kering lalu dikarakterisasi fisik dan kimianya. Serbuk inhalasi yang diperoleh dari 15 formula tersebut menghasilkan rendemen 49–73%, diameter aerodinamis pada rentang 0,07 ± 1,38 µm hingga 15,45 ± 1,37 µm, EF sebesar 38,95-50,8%, FPF sebesar 16,44-33,03%, dan persentase rifampisin terdisolusi sebesar 28,51-65,14%. Hasil optimasi menunjukkan bahwa konsentrasi L-leusin optimum adalah 30% b/b, kecepatan penyemprotan optimum sebesar 22,99% atau 6,14 mL/menit, dan tekanan gas atomisasi sebesar 35,36 mm.

Rifampicin-mannitol inhalation powder (1:1) is known to increase the solubility of rifampicin in the lung fluid medium and the addition of 30% w/w L-leucine can improve the aerodynamic properties of rifampicin inhalation powder. L-leucine is hydrophobic, so it is necessary to know the optimal concentration that can produce powder with the best aerodynamic properties without reducing the solubility of rifampicin. Pump rate and atomizing gas pressure can affect the yield and character of the inhalation powder produced. This study aims to obtain the optimum rifampicin inhalation powder formula with mannitol carrier (1:1) and the addition of L-leucine using Response Surface Methodology. The optimum formula is expected to produce inhalation powders with yields above 70%, Fine Particle Fraction (FPF) above 50%, Emitted Fraction (EF) above 50%, and the percentage of dissolved rifampicin above 50%. Fifteen experimental formulas were statistically designed using the Behnken Box design by varying three parameters, such as L-leucine concentration, pump rate, and atomizing gas pressure. Powders were formulated using the spray dry method and then characterized physically and chemically. The inhalation powder obtained from these 15 formulas produced a yield of 49–73%, aerodynamic diameter in the range of 0,07 ± 1,38 µm to 15,45 ± 1,37 µm, EF is 38,95-50,8%, FPF is 16,44-33,03%, and the percentage of dissolved rifampicin is 28,51-65,14%. The optimization results showed the optimum L-leucine concentration is 30% w/w, pump rate is 22,99% or 6,14 mL/minute, and atomizing gas pressure is 35,36 mm."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dessy Dian Septysari
"Film transdermal merupakan sistem penghantaran obat yang diaplikasikan melalui kulit untuk menghantarkan obat ke sistemik. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari eksipien kompleks polielektrolit kitosan-xanthan (KPKX) sebagai eksipien pembentuk film yang dibuat dengan mencampurkan larutan gum xanthan 1% ke dalam larutan kitosan 1% dengan cara diteteskan dan disertai pengadukan. KPKX yang diperoleh dikarakterisasi gugus fungsi, indeks mengembang, kekuatan gel, dan sifat mekanik filmnya. Film transdermal dibuat dengan menggunakan KPKX 1:1 sebagai matriks, propilenglikol-gliserol (8:2) 50% sebagai plasticizer, dan ketoprofen sebagai model obat. Film transdermal ketoprofen yang dihasilkan memiliki sifat mekanis yang baik dengan persentasi elongasi sebesar 108,70 ± 1,56% dan tensile strength sebesar 791,05 ± 5,30 N/m2. Uji disolusi in vitro menunjukkan pelepasan ketoprofen dari film transdermal ketoprofen sebesar 99,57 ± 4,67% selama 12 jam dengan mekanisme difusi terkendali. Uji penetrasi in vitro menunjukkan bahwa penetrasi in vitro dari film transdermal ketoprofen sebesar 12,34 ± 0,22 mg/cm2 selama 12 jam dengan kecepatan penetrasi 1,051 ± 0,074 mg/cm2.jam. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa KPKX merupakan eksipien yang baik digunakan sebagai pembentuk film transdermal.

Transdermal film is a drug delivery system that is applied through the skin to deliver drugs to the systemic. This present study was intended to evaluate the ability of chitosan-xanthan polyelectrolyte complex (CXPC) as film-forming excipient which were made by dropwise a solution of 1% xanthan gum in a solution of 1% chitosan and aided with stirring. The obtained CXPC was characterized, including its functional group, swelling index, gel strength, and film mechanical properties. Transdermal films made using CXPC 1:1 as matrix, propylene glycol-glycerine (8:2) 50% as plasticizer, and ketoprofen as model of drug. Ketoprofen transdermal film which were produced from CXPC possessed good mechanical properties with elongation percentage of 108.70 ± 1.56% and the tensile strength of 791.05 ± 5.30 N/mm2. The in-vitro drug release study showed that 99.57 ± 4.67% of ketoprofen has been released from transdermal film in 12 hours by diffusion-controlled mechanism. In-vitro drug release study showed that 12.34 ± 0.22 mg/cm2 of ketoprofen able to penetrate through skin membrane with the flux of 1.051 ± 0.074 mg/cm2.hour. Therefore, it can be concluded that CXPC had good characteristics to be applied as excipient transdermal film.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2014
S57662
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmadina Providya
"ABSTRAK
Rifampisin merupakan salah satu obat pilihan untuk terapi laten tuberkulosis dan sedang dikembangkan untuk penghantaran tertarget ke paru-paru. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formula serbuk inhalasi rifampisin dengan pembawa kitosan-xanthan KX yang optimal menggunakan metode respon permukaan Response Surface Methodology. Suatu desain eksperimen yang terpola secara statistik dibuat dengan metode Box Behnken dengan variasi konsentrasi larutan KX, rasio rifampisin/KX, dan variasi suhu inlet pada alat spray dryer. Serbuk inhalasi dikarakterisasi terhadap respon efisiensi penjerapan EE , ukuran partikel, serta pelepasan rifampisin di kondisi paru pH 7,4 dan makrofag paru pH 4,5. Hasil penelitian diperoleh 14 formula serbuk inhalasi dengan nilai efisiensi penjerapan 112,00 -149,08 , ukuran partikel rata-rata 0,599-5,506 m, pelepasan rifampisin di dalam medium pH 7,4 6,54 -22,95 dan medium pH 4,5 12,02-48,60 . Berdasarkan program Design Expert 9.0.6.2, didapatkan kondisi yang optimal untuk pembuatan serbuk inhalasi rifampisin adalah nilai konsentrasi larutan KX 0,5, rasio rifampisin:KX 1:1, dan suhu inlet spray dryer 143 C. Pada kondisi dan parameter tersebut, diprediksikan akan didapatkan serbuk inhalasi rifampisin dengan nilai EE 107,1 , ukuran partikel 1,001 m, pelepasan rifampisin di dalam medium pH 7,4 17,8 dan medium pH 4,5 32,6 dengan nilai desirability yaitu 0,86.

ABSTRACT
Rifampicin is drug of choice for anti tuberculosis therapy and currently be developed to be targeting drug delivery to pulmonary. The study was aimed to get an optimal formula of Rifampicin dry powder inhalation with chitosan xanthan CX carrier by spray dry method using response surface methodology RSM. An experiment design was formed statistically by Box Behnken method and was designed by variation of CX solution, Rifampicin CX ratio, and variation of inlet temperature at the spray dryer. The dry powder inhalation was characterized with response of entrapment efficiency EE, particle size, and rifampicin release inside pulmonary pH 7.4 and pulmonary macrophage pH 4.5. The characterization from 14 formulas were resulted the response of EE as 112.00 149.08, average particle size 0.599 ndash 5.506 m, rifampicin release in medium pH 7.4 s 6.54 22.95 and in medium pH 4.5 as 12.02 ndash 48.60 . The optimal formula of Rifampicin dry powder inhalation with CX was obtained from Design expert software in CX concentration 0.5, Rifampicin CX ration 1 1, and inlet temperature of the spray dryer is 143 C. If the manufacturing process of dry powder inhalation was prepared in those condition and parameters, was predicted that the result of Rifampicin dry powder inhalation with EE 107,1 , particle size 1.001 m, the release of rifampicin in medium pH 7.4 as 17.8 and medium pH 4.5 as 32.6 with desirability value 0.86."
2017
S69878
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thalia Yulian Chandra
"Formulasi serbuk inhalasi rifampisin dengan pembawa kitosan dapat menghantarkan lebih banyak rifampisin ke makrofag paru untuk meningkatkan efektivitas terapi tuberkulosis laten. Diperlukan serbuk rifampisin-kitosan dengan sifat aerodinamis yang baik agar dapat terdeposisi di paru-paru. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan sediaan serbuk inhalasi rifampisin-kitosan dengan adanya penambahan L-leusin dan/atau amonium bikarbonat yang memiliki sifat aerodinamis yang baik dan pelepasan obat yang baik dalam medium makrofag paru. Serbuk inhalasi rifampisin-kitosan 1:1 (F1) diformulasikan dengan leusin 30% (F2), amonium bikarbonat 1,5% (F3), atau kombinasinya (F4) dan dibuat dengan metode semprot kering. Serbuk inhalasi rifampisin-kitosan yang diperoleh kemudian dikarakterisasi rendemen, kandungan lembab, ukuran partikel geometris dan aerodinamis, serta kelarutan dan profil disolusinya dalam medium simulasi paru pH 7,4 dan medium simulasi makrofag paru pH 4,5. Penambahan leusin 30% (F2) berhasil sedikit memperbaiki sifat aerodinamis serbuk rifampisin-kitosan 1:1 (F1) dengan diameter aerodinamis rata-rata sebesar 7,56 µm, fine particle fraction (FPF) sebesar 32,48%, dan persentase serbuk teranalisis sebesar 67,23%, serta meningkatkan pelepasan rifampisin dalam medium simulasi makrofag alveolar (pH 4,5) menjadi 16,07 ± 0.56% dalam 2 jam dengan peningkatan 1,33 kali dibandingkan dengan serbuk rifampisin-kitosan (F1).

Formulation of rifampicin inhalation powder with chitosan as a carrier could deliver more rifampicin to alveolar macrophages to to increase the effectiveness of latent tuberculosis therapy. Rifampicin-chitosan powder with good aerodynamic properties is required in order to be deposited in the lungs. This study was aimed to produce rifampicin-chitosan inhalation powder with the addition of L-leucine and/or ammonium bicarbonate with good aerodynamic properties and high drug release in simulated alveolar macrophage fluid. Rifampicin-chitosan (1:1) inhalation powder (F1) was formulated with 30% L-leucine (F2), 1.5% ammonium bicarbonate (F3), or both (F4) and prepared using spray drying method. The obtained rifampicin-chitosan inhalation powder was characterized by its powder yield, moisture content, geometric and aerodynamic particle size distribution, as well as solubility and dissolution profile in simulated lung fluid and simulated alveolar macrophage fluid. The addition of 30% L-leucine suceeded in slightly the aerodynamic properties of 1:1 rifampicin-chitosan powder (F1) with an average aerodynamic diameter of 7.56 µm, fine particle fraction (FPF) of 32.48%, and emitted fraction of 67.23%. It also showed to increase rifampicin dissolution in simulated alveolar macrophage fluid (pH 4.5) to 16.07 ± 0.56% within 2 hours with an increase of 1.33 times compared to rifampicin-chitosan powder (F1)."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dea Laopra Nindyakirana
"ABSTRACT
Penghantaran insulin melalui paru merupakan rute alternatif penghantaran secara sistemik untuk mengatasi masalah injeksi insulin dan degradasi enzimatik pada bentuk sediaan oral. Tujuan dari penelitian ini untuk mendapatkan mikropartikel insulin menggunakan kompleks poliion kitosan dan xanthan gum yang kemudian ditambahkan dengan manitol untuk menjaga stabilitas insulin selama proses. Mikropartikel insulin dibuat dengan metode gelasi ionik antara kitosan dan xanthan gum yang kemudian
dikeringkan dengan freeze dryer dengan penambahan larutan manitol. Mikropartikel insulin dikarakterisasi meliputi rendemen, ukuran dan morfologi partikel, spektrum inframerah (IR), efisiensi penjerapan, indeks polidispersitas, potensial zeta, dan stabilitas selama 12 minggu. Selain itu, uji pelepasan obat secara in vitro dilakukan dalam buffer.

ABSTRACT
Delivery of insulin through the lungs is an alternative route of delivery systemically to overcome the problem of insulin injection and enzymatic degradation in oral dosage forms. The purpose of this study was to obtain insulin microparticles using the chitosan polyion complex and xanthan gum which were then added to mannitol to maintain insulin stability during the process. Insulin microparticles are made by the method of ionic gelation between chitosan and xanthan gum later
dried with a freeze dryer with the addition of mannitol solution. Insulin microparticles characterized include yield, particle size and morphology, infrared spectrum (IR), adsorption efficiency, polydispersity index, zeta potential, and stability for 12 weeks. In addition, the drug release test in vitro was carried out in a buffer."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadira Putri Krisandy
"Formulasi serbuk inhalasi rifampisin carrier-free dapat menghantarkan rifampisin dalam jumlah yang adekuat untuk menjamin efektivitas terapi tuberkulosis. Diperlukan serbuk inhalasi rifampisin dengan sifat aerodinamis yang baik agar dapat terdeposisi di paru-paru. Penelitian bertujuan untuk menghasilkan sediaan serbuk inhalasi rifampisin yang memiliki sifat aerdonamis yang baik dengan adanya penambahan l-leusin dan/atau amonium bikarbonat, dengan pelepasan obat yang baik dalam medium makrofag paru. Serbuk inhalasi rifampisin (F1) diformulasikan dengan leusin 30% (F2), amonium bikarbonat 2% (F3) atau kombinasinya (F4) dan dibuat dengan metode semprot kering. Serbuk yang diperoleh kemudian dikarakterisasi rendemen, kandungan lembab, ukuran partikel geometris dan aerodinamis, serta kelarutan dan profil disolusinya dalam medium simulasi cairan paru pH 7,4 dan medium simulasi makrofag paru pH 4,5. Penambahan leusin 30% (F2) berhasil sedikit memperbaiki sifat aerodinamis serbuk inhalasi rifampisin (F1) dengan diameter aerodinamis rata-rata 8,21 μm, FPF 30,73% dan EF 42,60%, serta meningkatkan pelepasan rifampisin dalam medium simulasi makrofag alveolar (pH 4,5) menjadi 13,14 ± 0.08% dengan peningkatan 1,62x dibanding serbuk rifampisin (F1).

A carrier-free dry powder inhaler of rifampicin formulations could deliver adequate amounts of rifampicin to provide the effectiveness of tuberculosis therapy. Inhaled rifampicin powder with good aerodynamic properties was required to be deposited in the lungs. The aim of the study was to produce a rifampicin inhaled powder that had good aerodynamic properties with the addition of L-leucine and/or ammonium bicarbonate, with good drug release in the medium of lung macrophages. Inhaled rifampicin powder (F1) was formulated with 30% leucine (F2), 2% ammonium bicarbonate (F3), or a combination thereof (F4) and was prepared by spray dry method. The obtained powder was then characterized by yield, moisture content, geometric and aerodynamic particle size, as well as solubility and dissolution profile in lung fluid simulation medium (pH 7.4) and lung macrophage simulation medium (pH 4.5). The addition of 30% leucine (F2) succeeded in slightly improving the aerodynamic properties of the inhaled rifampicin powder (F1) with an average aerodynamic diameter of 8.21 μm, FPF 30.73%, and EF 42.60%, as well as increasing the drug release of rifampicin in the alveolar macrophage simulation medium (pH 4.5) to 13.14 ± 0.08% with an increase of 1.62x compared to rifampicin powder (F1)."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggi Triantoro
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan kompleks polielektrolit kitosan-xanthan (KPKX) sebagai bahan penyalut tablet untuk memberikan pelepasan terkendali. Polielektrolit pada umumnya memiliki daya mengembang yang tinggi hanya pada pH tertentu sehingga kecepatan pelepasan obat menjadi tidak konstan selama berada di sepanjang saluran pencernaan. Melalui kompleksasi polielektrolit, didapatkan daya mengembang yang stabil pada rentang pH yang luas. Pada jam ke-12, KPKX memiliki daya mengembang dalam medium pH 1,2; 5,0; dan 7,4 berturut-turut sebesar 16,94 ± 1,47%; 18,01 ± 3,01%; dan 24,26 ± 2,14%. KPKX 1% menunjukkan kekuatan gel sebesar 7,13 ± 0,45 gF. KPKX menunjukkan adanya peningkatan tensile strength dibandingkan kedua senyawa asalnya. Hasil pengujian menunjukkan tensile strength film KPKX sebagai F1 sebesar 460 N/m2. Tablet inti dibuat dengan metode kempa langsung dengan verapamil HCl sebagai model obat. Penyalutan dilakukan pada tablet verapamil HCl hingga didapat penambahan bobot sebesar 5,4%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penggunaan KPKX sebagai bahan penyalut mampu memberikan pelepasan terkendali yang lebih baik dan stabil bila dibandingkan dengan kitosan dan gum xanthan. Dalam 12 jam, jumlah verapamil HCl yang dilepaskan adalah sebanyak 40,96 ± 4,58%. Pelepasan terkendali dari tablet salut KPKX mengikuti pelepasan orde nol dengan mekanisme pelepasan mengikuti prinsip difusi non-Fickian pada medium asam dan basa.

The study was intended to investigate the ability of chitosan-xanthan polyelectrolyte complex (CXPC) as coating material for tablets to provide sustained-release behavior. Polyelectrolytes usually have higher swelling index only at certain pH. Therefore, drug release rate becomes unstable along the gastrointestinal tract. Through polyelectrolyte complexation, the swelling index showed good stability in wide range of pH. After 12 hours, the swelling index of CXPC in medium of pH 1.2, 5.0, and 7.4 were 16.94 ± 1.47%, 18.01 ± 3.01%, and 24.26 ± 2.14% respectively. CXPC 1% showed the gel strength of 7,13 ± 0,45 gF. CXPC showed an increase in tensile strength compared to both the previous compounds. The test showed the tensile strength of CXPC film as F1 was 460 N/m2. Core tablets were made by using direct compression method and verapamil HCl was used as drug model. Verapamil HCl tablets were coated by CXPC until they got 5,4% additional weight. Based on the study, the use of CXPC as coating material was able to provide better and more stable sustained-release behavior compared to chitosan and xanthan gum. Within 12 hours, the amount of released verapamil HCl was 40,96 ± 4,58%. Sustained-release behavior of CXPC-coated tablets followed zero-order release with mechanism of non-Fickian diffusional release in acidic and basic medium.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2014
S56631
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monica Arnady
"
Sediaan inhalasi serbuk kering dapat menjadi solusi untuk pengobatan tuberkulosis karena dapat memaksimalkan konsentrasi obat pada daerah yang terinfeksi. Obat antituberkulosis yang memiliki kelarutan yang rendah seperti rifampisin akan menurunkan efektivitas kerja obat di paru-paru yang hanya memiliki sedikit volume cairan. Penelitian ini bertujuan untuk membuat serbuk inhalasi rifampisin dengan kelarutan dan disolusi yang lebih baik menggunakan manitol dan polivinilpirolidon K-30. Serbuk inhalasi rifampisin-manitol 1:1 dan 1:2, rifampisin-PVP 1:1 dan 1:2, serta rifampisin-manitol-PVP 1:1:1 dibuat dengan semprot kering. Serbuk inhalasi yang diperoleh dikarakterisasi secara fisik, kimia, serta kelarutan dan disolusi. Penelitian ini menunjukkan bahwa serbuk inhalasi rifampisin berhasil diformulasikan dengan menggunakan manitol dan PVP K-30 dan adanya peningkatan kelarutan dan disolusi. Peningkatan kelarutan dan disolusi didukung oleh hasil DSC, XRD, dan FTIR yang menunjukkan terjadinya interaksi antara rifampisin dengan kedua pembawa dan perubahan bentuk kristal. Serbuk inhalasi rifampisin-PVP 1:2 F4 terbukti paling baik meningkatkan kelarutan rifampisin dalam aquademineralisata dengan kelarutan dari 1,853 0,175 mg/mL menjadi 25,519 0,187 mg/mL serta disolusi dari 8.812 2.199 menjadi 54,943 5,622 selama 2 jam. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa rifampisin dapat diformulasikan sebagai serbuk inhalasi yang memiliki kelarutan dan disolusi yang lebih baik dengan penambahan PVP K-30 1:2.

ABSTRACT
Dry powder inhalation can be a solution for tuberculosis treatment because it allows high drug concentration in the infected area of lung. Poorly soluble antitubercular drug, such as rifampicin can limit the therapeutic effect in the limited lung fluid volume. This study aimed to produce dry powder inhalation of rifampicin with a better solubility using mannitol and polyvynilpryrrolidone K 30 as carriers. Rifampicin mannitol 1 1 and 1 2, rifampicin PVP 1 1 and 1 2, and rifampicin mannitol PVP 1 1 1 were made by spray drying. These inhalation powder were characterized by their physical properties, chemical properties, also solubility and dissolution. This study showed that rifampicin inhalation powder were successfully formulated using mannitol and PVP and also increasing its solubility and dissolution. The characterization with DSC, XRD, FTIR showed the interaction between rifampicin with both carriers and the deformation to amorphous state. Rifampicin PVP 1 2 F4 inhalation powder appeared to show the best result in enhancing rifampicin rsquo s solubility in deionized water from 1.853 0.175 mg mL to 25.519 0.187 mg mL also dissolution from 8.812 2.199 to 54.943 5.622 . Based on these results, it can be concluded that rifampicin can be formulated into inhalation powder and perform better solubility and dissolution with the combination of rifampicin PVP K 30 1 2."
2017
S68343
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>