Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 214334 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hamonangan, Salomo Harvard
"Di era modernisasi ini, kita bisa melihat bahwa ada perkembangan teknologi yang pesat. Dengan teknologi, kita bisa terhubung dengan informasi global secara leluasa melalui adanya akses internet berkecepatan tinggi, baik kabel maupun nirkabel melalui segala jenis gadget. Pada dasarnya, informasi sangat penting bagi pelaksanaan fungsi keamanan nasional. Harus ada teknologi, yang menjamin keamanan informasi. Salah satu teknologi untuk menjamin keamanan informasi ini dikenal sebagai enkripsi. Berdasarkan kejadian di atas, penelitian ini akan menganalisis pembahasan yang sedang berlangsung tentang bagaimana hukum positif Indonesia melihat teknologi enkripsi yang merupakan bagian dari dual-use goods, dapatkah teknologi enkripsi diklasifikasikan sebagai invensi paten, seberapa besarkah peran pemerintah dalam menangani teknologi enkripsi jika enkripsi termasuk bagian dari invensi paten, dan bagaimana hukum paten melindungi kepentingan ekonomi pemegang paten, termasuk pemegang paten teknologi enkripsi jika enkripsi termasuk dalam invensi paten. Pertama, penelitian ini akan menjelaskan apakah teknologi enkripsi dapat dipatenkan atau tidak. Penelitian selanjutnya akan mendekati isu tersebut melalui hukum positif yang ada di Indonesia, khususnya hukum Paten Indonesia. Kemudian menjelaskan jawaban atas pertanyaan penelitian dalam menentukan sejauh mana peran pemerintah dalam masalah ini dan bagaimana hukum paten melindungi kepentingan ekonomi pemegang paten.

In this era of modernization, we can see that there is a rapid development of technology. With technology, we can get connected to global information freely through the existence of high speed internet access, both wired and wireless through all kinds of gadget. Basically, information is fundamentally very important to the implementation of national security function. There must be a technology, which assures the safety of information. One of the technologies to secure information is known as encryption. Based on the aforementioned elaboration, this research analyzes the on going discussion of how does Indonesian positive law see the encryption technology which is part of the dual use goods, can encryption technology be classified as an invention of patent, to what extent is the government role in dealing with encryption technology, and how does the patent law protect the economic interest of patent holder, including encryption technology patent holder. First this research will explain whether encryption technology is patentable or not. The research would further approach the issue through prevailing positive law in Indonesia, especially Indonesian Patent Law. It will then strive to find the answers to the research questions on determining to what extent is the government role in this matter and how does the law protect the economic interest of patent holder.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S67112
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tina Mariam
"Kewajiban pengungkapan sumber asal disclosure of origin Sumber Daya Genetik Pengetahuan Tradisional SDGPT dalam permohonan paten yang invensinya berkaitan dengan/atau berasal dari SDGPT sebagaimana Pasal 26 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten UU Paten No.13/2016 berdampak Indonesia membutuhkan informasi/database SDGPT sebagaimana Pasal 26 ayat 2 UU Paten No.13/2016 .Database ini akan digunakan oleh pemeriksa paten untuk menjalankan Pasal 26 UU Paten No.13/2016, terkait dengan pemeriksaan subtantif yang invensinya berkaitan dengan/atau berasal dari SDGPT, sehingga terhindar pemberian perlindungan paten kepada pihak yang tidak berhak, yang melakukan penyalahgunaan misappropriation dan/atau biopiracy atas pemanfaatan SDGPT Indonesia. Database ini diharapkan bisa memberkan perlindungan pada masyarakat adat/lokal pemilik pengetahuan tradisional atas sumber daya genetik dengan melakukan pembagian keuntungan benefit sharing .Indonesia memiliki database InaBIF yang ditunjuk oleh Bappenas sebagai database SDGPT yang berisi informasi keanekaragaman hayati milik Indonesia. Kebutuhan database SDGPT sangat mendesak agar tujuan Pasal 26 UU Paten No.13/2016 dapat terlaksana, khususnya oleh pemeriksa paten. Karenanya perlu mengetahui apakah Database InaBIF dapat memenuhi ketentuan Pasal 26 dimaksud dan mengetahui yang perlu dirumuskan dalam database yang bagaimana yang dapat mendukung pelaksanaan Pasal 26 dan Pasal 54 UU Paten No.13/2016.

The disclosure of origin of the Genetic Resources of Traditional Knowledge GRTK in a patent application that its invention relates to or originates from GRTK as mandated by Article 26 paragraph 1 of Law Number 13 Year 2016 regarding Patent Patent Law No.13 2016 brings effect that Indonesia needed GRTK Information databases its accordance with Article 26 paragraph 2 of Patent Law No.13 2016 . This database will be used by patent examiner to execute Article 26 of the Patent Law No.13 2016, its related to substantive examination on patent applications that its invention relates to or originated from GRTK, avoiding granted patent to unauthorized parties misappropriation and or biopiracy for the utilization of Indonesian GRTK. This database is expected could give protection to indigenous peoples who have traditional knowledge of genetic resources by benefits sharingIndonesia now having InaBIF database which pointed by Bappenas as the GRTK database, that contains information on biodiversity owned by Indonesia. This SDGPT database is urgently needed especially for patent examiner to execute Article 26 of Patent Law No.13 2016. Therefore we need to know whether InaBIF database can comply with Article 26 and to know what needs to be formulated in database which is can execute Article 26 and Article 54 of Patent Law No.13 2016."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T49782
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"[Perkembangan Hukum Ketenagakerjaan Indonesia mengikuti dampak-dampak
globalisasi ekonomi maka wajib untuk selalu mengikuti perkembangan tren global.
Sebagai konsekuensi hukum, perkembangan pesat terhadap penggunaan Tenaga Kerja
Asing di Indonesia membuahkan tantangan bagi hukum Ketenagakerjaan yang ada
guna menentukan hak-hak atau kewajiban bagi pihak Tenaga Kerja Asing yang
terkait. Hasil penelitian ini mengemukakan bahwa implementasi daripada
konsekuensi hukum dalam hal pemutusan hubungan kerja Tenaga Kerja Asing masih
lemah terhadap situasi-situasi polemik sehingga membuat kedudukan hukum yang
rancu. Maka dari itu, mengacu pada fakta dimana pemutusan hubungan kerja Tenaga
Kerja Asing masih mengacu pada Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, perusahaan
asing yang ingin menanamkan modal di Indonesia tampaknya dapat ragu-ragu.
Sehingga, dianjurkan bahwa Pemerintah mengajukan aturan-aturan lanjutan serta
pengawasan yang lebih ketat dalam hal dampak hukum terhadap Penugasan dari
Perusahaan-Perusahaan Asing., The development of the Indonesian Manpower Law follows the influences of
economic globalization therefore shall continually keep up with current global trends.
As a legal consequence, the exponential growth within the presence of expatriate
workers working within the Indonesian jurisdiction presents a challenge toward the
existing manpower legislations in means of determining their rights and obligations.
The result of this research presents that the implementation of legal consequences in
the event of expatriate manpower termination is still prone to polemic situations thus
creating ambiguous legal standing. Therefore, due to the fact that the event of
employment termination is subject to the Indonesian Manpower Law, foreign
companies wishing to invest in Indonesia might develop hesitations. With that being
said, it would be advisable for the Government to issue further regulations and form
stricter supervisory bodies r]"
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S58117
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andini Astarianti Soemarsono
"Dalam rangka mengakselerasi transformasi digital di Indonesia, Regulatory Technology (“Regtech”) dan Supervisory Technology (“Suptech”) hadir sebagai pendekatan pengawasan berbasis teknologi yang dapat meningkatkan kepatuhan para Penyelenggara Teknologi Finansial. Regtech merupakan pemanfaatan teknologi untuk kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan secara efektif dan efisien yang digunakan oleh Penyelenggara Teknologi Finansial, sedangkan Suptech merupakan penggunaan teknologi inovatif oleh Lembaga Pengawas dengan tujuan untuk mendorong pelaksanaan fungsi pengawasan. Skripsi ini meneliti mengenai pengaturan Regtech dan Suptech serta permasalahan dan tantangan yang ditimbulkan dari pemanfaatan Regtech dan penerapan Suptech terhadap Teknologi Finansial di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif yang didasarkan pada bahan hukum tertulis seperti Undang-Undang, Peraturan Bank Indonesia, dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang berkaitan dengan pemanfaatan Regtech dan penerapan Suptech di Indonesia. Kesimpulan dari Skripsi ini adalah pemanfaatan Regtech dan penerapan Suptech telah memiliki dasar hukum yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia. Kemudian, permasalahan dan tantangan yang muncul menghambat pemanfaatan Regtech dan penerapan Suptech oleh para Penyelenggara Teknologi Finansial, seperti permasalahan regulasi, permasalahan infrastruktur informasi teknologi, permasalahan jaringan internet, dan permasalahan biaya. Penulis menyarankan adanya pedoman mengenai pemanfaatan Regtech dan penerapan Suptech dan melakukan penyelarasan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 13 Tahun 2018 dengan Surat Penetapan Hasil Regulatory Sandbox untuk Penyelenggara Aggregator.

In order to accelerate digital transformation in Indonesia, Regulatory Technology (“Regtech”) and Supervisory Technology (“Suptech”) are present as technology-based supervisory approaches that can improve compliance by Financial Technology Operators. Regtech is the use of technology for compliance with laws and regulations effectively and efficiently used by Financial Technology Operators, while Suptech is the use of innovative technology by the Supervisory Agency to encourage the implementation of the supervisory function. This thesis examines the regulation of Regtech and Suptech as well as the problems and challenges that arise from the use of Regtech and the application of Suptech to Financial Technology in Indonesia. This study uses a normative juridical method based on written legal materials such as the Act, Bank Indonesia Regulations, and Financial Services Authority Regulations relating to the use of Regtech and the application of Suptech in Indonesia. The thesis concludes that the use of Regtech and the application of Suptech have a legal basis issued by the Financial Services Authority and Bank Indonesia. Then, the problems and challenges that arise hinder the use of Regtech and the application of Suptech by Financial Technology Operators and Supervisory Agencies, such as regulatory issues, information technology infrastructure problems, internet network problems, and cost issues. The author suggests guidelines regarding the use of Regtech and the application of Suptech and harmonizing the Financial Services Authority Regulation No. 13 of 2018 with a Letter of Determination of Regulatory Sandbox Results for Aggregator Operators."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wawan Budi Darmawan
"Kebijakan keamanan nasional Indonesia yang telah berorientasi terhadap ancaman dari luar dan cenderung mengabaikan keberadaan keamanan individu. Mengingat keberadaan ancaman invasi militer dari negara Iain sejak berakhirnya Perang Dingin telah berkurang atau bahkan tidak ada, justru ancaman terhadap keamanan nasional muncul dari beberapa sektor lain di Iuar militer, seperti masalah lingkungan dan sosial.
Penerapan Doktrin Sishankamrata sebagai landasan dalam upaya melakukan pertahanan negara, memberikan kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap hukum humaniter dan prinsip perang yang adil.
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah, apakah Doktrin Sishankamrata memberikan perlindungan terhadap keamanan manusia? Sejauh manakah permasalahan-permasalahan non-combatant timbul dalam perang rakyat semesta?
Untuk menjawab pokok permasalahan di atas, penelitian ini menggunakan pemikiran-pemikiran tentang Keamanan Nasional (Joseph S. Nye, Jr., HJ . Morgenthau) dan Keamanan Manusia (Barry Buzan, J. Ann Tickner, Ole Weaver) melalui sudut pandangan Hukum Humaniter dan Perang yang Adil (Michael Walzer, Liebe C. Greene) melalui metode kulitatif sebagai pilihan cara dalam memahami pemaknaan keamanan nasional Indonesia.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada penerapan perang semesta yang terjadi di Bosnia-Herzegovina, menunjukkan bahwa perang semesta telah mengaburkan prinsip diskriminasi yang mengharuskan pembedaan antara combatant dan non-combatant. Begitu pula dalam penerapan Doktrin Sishankamrata dalam konflik internal (Timor-Timur, Aceh dan Papua) yang terjadi di Indonesia, yang menyebabkan terjadinya konflik horizontal dalam masyarakat.
Implikasi teoritik dari penelitian ini adalah bahwa teori Keamanan Nasional dalam pemikiran tradisional (dengan penekanan pada state centric) seperti yang diimplementasikan dalam Perang Semesta dan Doktrin Sishankamrata tidak sejalan dengan hukum humaniter dan prinsip perang yang adil, baik prinsip jus ad helium maupun jus in bella. Seperti yang ditunjukkan dalam kasus Bosnia-Herzegovina dan konflik internal di Indonesia (Timor Timur, Aceh dan Papua).

Indonesian National Security Policy until today is still orienting through external threat and tends to ignore the existence of individual security. Considering that the existence of military invasion threat irom other countries since the end of Cold War had been reduced or even disappeared, but threat of National Security is occur from many other sectors outside military such as environment and social problem.
The implementation of SISHANKAMRATA Doctrine as a guideline in country defense causes acts against humanitarian law and just war principle.
The issue which want to be taken up in this research is Does SISHANKAMRATA Doctrine give protection for human security? How far the non-combatant issues occur within the total war?
To answer the main problems above, this research is using many thoughts pertaining National Security (Joseph S. Nye, Jr., HJ. Morgenthau) and Human Security (Barry Buzan, J. Ann Tickner, Ole Weaver) through Humanitarian Law and Just War (Michael Walzer, Liebe C. Greene) perspectives and using qualitative method in order to understand Indonesian National Security.
The result of this research shows that the implementation of total war in Bosnia- Herzegovina had made unclear discrimination principle which supposed to make separation between combatants with non-combatant. This also happened to the implementation of SIS TA Doctrine in internal conflict (East Timor, Aceh and Papua) in Indonesia which caused the occurrence of horizontal conflict within the society.
Theoretical implication in this research is that National Security Theory in traditional thought (emphasizing to state centric) as what had been implemented in Total War and SISHANKAMRATA Doctrine, were not the same with Humanitarian Law and Just War principle, in jus ad bellum principle or even in jus in bella, as what had been shown in Bosnia-Herzegovina case and internal conflict in Indonesia (East Timor, Aceh and Papua).
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21460
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aji Saka
"Skripsi ini membahas mengenai prinsip hukum “Genuine Use” dan “Pemakaian merek dalam perdagangan” sebagai dasar penghapusan Merek terdaftar yang tidak dipakai dalam perdagangan, menurut Undang-Undang No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, tidak ditentukan definisi dan kriteria sebagai penggunaan Merek dalam perdagangan. Prinsip “Genuine Use” adalah terminology dari Hukum Merek Uni Eropa yang memberikan kriteria, serta syarat penentuan sebuah Merek digunakan dalam perdagangan dengan prinsip “Genuine Use”. Merek dilindungi untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan badan hukum, dalam kegiatan perdagangan barang dan/ atau jasa. Sehingga, atas ketidakpakaian Merek terdaftar tersebut, menghalangi pihak lain, yang dengan itikad baik untuk mendaftarkan dan menggunakan Mereknya dalam perdagangan. Ketentuan dari peraturan perundang-undangan Merek yang sudah ada, tidak memberikan definisi dan kriteria yang jelas mengenai pemakaian merek dalam perdagangan terhadap barang dan/atau jasa. Sehingga, hal tersebut membuat banyak interpretasi hukum dan menghasilkan ketidakpastian hukum.

This thesis discusses the legal principles of "Genuine Use" and "Use of trademarks in trade" as the basis for the deletion of registered trademarks that are not used in trade, according to Law no. 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications. Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications, provides no definitions and criteria for the use of Marks in trade. The principle of "Genuine Use" is a terminology from the European Union Trademark Law which provides the criteria, as well as the conditions for determining a Mark to be used in trade with the principle of "Genuine Use". Marks are protected to distinguish goods and/or services produced by individuals or legal entities, in the activities of trading goods and/or services. Thus, for the non-use of the registered Mark, it prevents other parties, who in good faith, from registering and using their Mark in trade. The provisions of the existing Mark laws and regulations do not provide clear definitions and criteria regarding the use of marks in the trade of goods and/or services. Thus, it creates many legal interpretations and results in legal uncertainty"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aji Saka
"Skripsi ini membahas mengenai prinsip hukum “Genuine Use” dan “Pemakaian merek dalam perdagangan” sebagai dasar penghapusan Merek terdaftar yang tidak dipakai dalam perdagangan, menurut Undang-Undang No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, tidak ditentukan definisi dan kriteria sebagai penggunaan Merek dalam perdagangan. Prinsip “Genuine Use” adalah terminology dari Hukum Merek Uni Eropa yang memberikan kriteria, serta syarat penentuan sebuah Merek digunakan dalam perdagangan dengan prinsip “Genuine Use”. Merek dilindungi untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan badan hukum, dalam kegiatan perdagangan barang dan/ atau jasa. Sehingga, atas ketidakpakaian Merek terdaftar tersebut, menghalangi pihak lain, yang dengan itikad baik untuk mendaftarkan dan menggunakan Mereknya dalam perdagangan. Ketentuan dari peraturan perundang-undangan Merek yang sudah ada, tidak memberikan definisi dan kriteria yang jelas mengenai pemakaian merek dalam perdagangan terhadap barang dan/atau jasa. Sehingga, hal tersebut membuat banyak interpretasi hukum dan menghasilkan ketidakpastian hukum.

This thesis discusses the legal principles of "Genuine Use" and "Use of trademarks in trade" as the basis for the deletion of registered trademarks that are not used in trade, according to Law no. 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications. Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications, provides no definitions and criteria for the use of Marks in trade. The principle of "Genuine Use" is a terminology from the European Union Trademark Law which provides the criteria, as well as the conditions for determining a Mark to be used in trade with the principle of "Genuine Use". Marks are protected to distinguish goods and/or services produced by individuals or legal entities, in the activities of trading goods and/or services. Thus, for the non-use of the registered Mark, it prevents other parties, who in good faith, from registering and using their Mark in trade. The provisions of the existing Mark laws and regulations do not provide clear definitions and criteria regarding the use of marks in the trade of goods and/or services. Thus, it creates many legal interpretations and results in legal uncertainty"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aji Saka
"Skripsi ini membahas mengenai prinsip hukum “Genuine Use” dan “Pemakaian merek dalam perdagangan” sebagai dasar penghapusan Merek terdaftar yang tidak dipakai dalam perdagangan, menurut Undang-Undang No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, tidak ditentukan definisi dan kriteria sebagai penggunaan Merek dalam perdagangan. Prinsip “Genuine Use” adalah terminology dari Hukum Merek Uni Eropa yang memberikan kriteria, serta syarat penentuan sebuah Merek digunakan dalam perdagangan dengan prinsip “Genuine Use”. Merek dilindungi untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan badan hukum, dalam kegiatan perdagangan barang dan/ atau jasa. Sehingga, atas ketidakpakaian Merek terdaftar tersebut, menghalangi pihak lain, yang dengan itikad baik untuk mendaftarkan dan menggunakan Mereknya dalam perdagangan. Ketentuan dari peraturan perundang-undangan Merek yang sudah ada, tidak memberikan definisi dan kriteria yang jelas mengenai pemakaian merek dalam perdagangan terhadap barang dan/atau jasa. Sehingga, hal tersebut membuat banyak interpretasi hukum dan menghasilkan ketidakpastian hukum.

This thesis discusses the legal principles of "Genuine Use" and "Use of trademarks in trade" as the basis for the deletion of registered trademarks that are not used in trade, according to Law no. 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications. Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications, provides no definitions and criteria for the use of Marks in trade. The principle of "Genuine Use" is a terminology from the European Union Trademark Law which provides the criteria, as well as the conditions for determining a Mark to be used in trade with the principle of "Genuine Use". Marks are protected to distinguish goods and/or services produced by individuals or legal entities, in the activities of trading goods and/or services. Thus, for the non-use of the registered Mark, it prevents other parties, who in good faith, from registering and using their Mark in trade. The provisions of the existing Mark laws and regulations do not provide clear definitions and criteria regarding the use of marks in the trade of goods and/or services. Thus, it creates many legal interpretations and results in legal uncertainty"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Hilda Fauzi
"Alam, manusia, dan teknologi seringkali dibedakan dari bentuk dan sifatnya. Adanya distingsi antara artifisial dan natural menjadikan sebuah realitas ditempatkan pada konsep oposisi biner. Manusia dan alam adalah entitas yang dikategorikan sebagai yang natural. Sedangkan teknologi diklasifikasikan sebagai yang artifisial. Pada dasarnya, teknologi dipahami bukan hanya sebagai instrumental, teknologi telah bertansfromasi menjadi pola pikir dan tindakan manusia dalam mengatasi faktisitasnya. Namun bagi para aktifis deep-ecology, teknologi dianggap sebagai sumber eksploitasi terhadap kelangsungan ecosphere. Pemahaman tersebut sejatinya berdiri pada paradigma instrumentalis yang hanya melihat teknologi sebagai means-ends. Paradigma instrumentalis memberikan pemahaman yang dangkal terhadap apa itu teknologi.
Penulis mencoba memberikan sebuah eksplanasi tentang adanya perpindahan status teknologi dari artifisial menuju natural. Proses transisi yang dialami oleh teknologi tidak lain merupakan sebuah bentuk ko-evolusi dengan manusia dan alam. Sehingga realitas teknologis pun kini mulai melebur dan menyatu dalam konsep natural. Penulis juga melakukan sintesa terhadap ide tentang teknosenstrisme dengan ekosentrisme deep-ecology, bahwa limitasi teknologi adalah sebuah kekeliruan. Proses naturalisasi teknologi dan ko-evolusi telah memberikan dampak adanya proses kulturalisasi terhadap alam. Dalam hal ini, alam tidak lagi menyandang label natural, tetapi ia telah beralih menjadi entitas kultural.

Human, technology, and nature usually distinguished through their forms and their nature. The distinction between natural and artificial replace the reality to binary position. Human and nature have been classified as natural things. While technology is defined as artificial thing. Basically, technology no longer becomes instrumental object, it had transformed to the way of human rsquo s thinking and activities to overcome their facticity. However, for deep ecology activist, technology remain supposed to be a source of devastation for the living of ecosphere. That understanding stands on instrumental paradigm which sees technology just as means and ends. The instrumental paradigm gives a shallow understanding towards what technology is.
In that case, the author tries to give an explanation about the transition of technology from artificial object to natural one. The transition process that happens to technology was kind of co evolution with human and nature. So, technological reality had diffused and united in natural framework. The author also tries to synthesize the notion of technocentric with ecocentric, that the limitation of technology is an oversight. Naturalization and co evolution process implicated to nature rsquo s culturalization. In this case, nature no longer bearing natural label, but it transformed to cultural entity.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2017
S70166
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cholila Djavad Nammah
"Pengajar menerima dan menggunakan teknologi internet untuk persiapan bahan ajar dan pengumpulan tugas siswa Penelitian ini mengadopsi Unified Theory of Acceptance and Use of Technology UTAUT sebagai konsep model penerimaan oleh pengajar SMA di Kota Bogor Analisis dilakukan menggunakan metode Structural Equation Modeling dan Path Analysis Hasil penelitian menunjukkan bahwa performance expectancy secara signifikan mempengaruhi behavioral intention sedangkan effort expectancy dan social influence tidak berpengaruh serta facilitating conditions tidak mempengaruhi use behavior Behavioral intention secara signifikan mempengaruhi use behavior pada wanita sedangkan pada pria keduanya tidak berpengaruh Sekolah sebaiknya memfokuskan nilai manfaat dalam sosialisasi teknologi internet bagi pengajar

Internet technology is growing rapidly each year which is accepted by teachers in academic environment to prepare teaching materials and collect assignments This research adopted the Unified Theory of Acceptance and Use of Technology UTAUT as the concept of high school teachers rsquo acceptance The analysis performed by using Structural Equation Modeling and Path Analysis The findings of research tells that performance expectancy has a significant relationship with behavioral intention whereas effort expectancy and social influence do not Facilitating conditions is not found to influence use behavior Behavioral intention significantly influences use behavior for female teachers but not for male teachers Schools should consider performance expectancy when adopting internet technology for teaching "
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>