Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 125905 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aji Satrio Pamungkas
"ABSTRAK
Pemilihan Umum sebagai sarana pelaksana kedaulatan rakyat telah diatur sedemikian rupa oleh pembuat undang-undang. Disamping mengatur tentang bagaimana Pemilihan Umum itu diselenggarakan, pembuat undang-undang juga membuat peraturan khusus yang melarang sejumlah perbuatan curang dengan ancaman pidana beserta proses penyelesaianya yang disebut sebagai tindak Pidana Pemilu. Penelitian ini dibuat untuk mengkaji salah satu proses penyelesaian tindak pidana Pemilihan Umum yaitu terkait upaya hukum banding sebagai upaya hukum terakhir dalam tindak pidana Pemilihan Umum yang dihubungkan dengan permintaan banding oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pengumpulan data melalui studi lapangan, yakni melalui wawancara langsung dengan Hakim Tinggi dan Jaksa Penuntut Umum khusus perkara tindak pidana Pemilihan Umum, serta studi kepustakaan dengan membaca dokumen yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa walaupun tidak diatur jelas oleh Undang-Undang Pemilihan Umum, terkait putusan bebas yang dikecualikan untuk dapat dimintakan banding tetap berlaku sebagai salah satu syarat suatu permintaan banding dapat diterima, dengan pertimbangan bahwa pengecualian tersebut merupakan bentuk perlindungan hak terdakwa yang dijamin oleh undang-undang.

ABSTRAK
General Election as the implementation of citizen rsquo s sovereignty has been regulated by the legislators. Besides regulating the mechanism of General Election, the legislator also established a peculiar regulation which prohibit corrupt act with penal punishment as Electoral Offences along with its settlement procedures. This research was made to examine one of the Electoral Offences settlement procedures about appeal against the District Court Decision as the last legal action, by analyzing its association with the appeal mechanism by Public Prosecutor on acquittal. This research conducted by collecting data through field data studies by interviewing the Public Prosecutor and High Court Judges for Electoral Offences, and also by observing and reading literary to find the concept, theories, or opinions about the subject matter. The result of this research indicated that acquittal on Electoral Offences still excluded from the decision that could be appeal, by considering Criminal Code Procedures regulation about the right of the defendant."
2017
S68066
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tika Suhertika
"ABSTRAK
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif, yang pengumpulan
datanya dilakukan melalui studi kepustakaan dan wawancara dengan beberapa
narasumber yang berkompetensi. Mengingat bahwa rumusan Pasal 244 KUHAP,
terhadap putusan bebas tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi, artinya Upaya
hukum kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas adalah sebagai
terobosan hukum dalam upaya memperoleh keadilan dan kebenaran. Demi
keadilan dan kepastian hukum, putusan hakim harus dapat dikoreksi untuk
diperbaiki atau dibatalkan apabila dalam putusannya terdapat kekeliruan atau
kekhilafan hakim. Hukum menyediakan sarana untuk mengoreksi suatu putusan
hakim apabila ada kekhilafan atau kekeliruan melalui upaya hukumnya. KUHAP
telah menetapkan larangan berkaitan dengan kewenangan untuk mengajukan
upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas. Jaksa Penuntut Umum mengajukan
upaya hukum terhadap putusan bebas, berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Kehakiman RI Nomor: M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983
tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP), dalam butir
ke-19 lampiran keputusan tersebut pada pokoknya dinyatakan bahwa “terhadap
putusan bebas tidak dapat dimintakan banding, tetapi berdasarkan situasi dan
kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran terhadap putusan bebas dapat
dimintakan kasasi”. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi. Dalam praktek
peradilan pidana, dikenal adanya Putusan Bebas Murni dan Putusan Bebas Tidak
Murni. Dalam hal kasasi terhadap putusan bebas, dalam memori kasasinya,
Penuntut Umum harus dapat membuktikan bahwa putusan yang dijatuhkan oleh
Pengadilan Negeri merupakan putusan bebas tidak murni dengan menjelaskan
alasan-alasan yang dijadikan dasar pertimbangan dimana letak sifat tidak murni
dari suatu putusan bebas tersebut yang mengacu pada ketentuan Pasal 253 ayat (1)
KUHAP yaitu apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau
diterapkan tidak sebagaimana mestinya, apakah benar cara mengadili tidak
dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang dan apakah benar pengadilan
telah melampaui batas wewenangnya. Terdapat korelasi antara pembuktian bebas
tidak murni Penuntut Umum terhadap putusan bebas dengan pertimbangan hukum
Hakim kasasi yang menerima kasasi Penuntut Umum, karena yang berwenang
menilai putusan bebas murni atau bebas tidak murni adalah Mahkamah Agung
sebagai pengadilan tertinggi (judex juris).

ABSTRACT
This Study uses normative legal research, which collecting of data is by library
research and interview with several competent resource persons. Considering that
draft Article 244 of Criminal Code Procedures (KUHAP), the Acquittal is unable
to be filed for legal effort of cassation, this means Legal Effort of Cassation By
Public Prosecutor Towards Acquittal is as legal penetration in the effort to have a
justice and truth. In the name of justice and legal certainty, the decision of judge
shall be able to correct for improvement or cancellation in case in its decision
contains error or mistake of the judge. The law provides facility to correct a
decision of the judge in case it has error or mistake through its legal effort.
KUHAP has stipulated a prohibition related to the authority to submit the Legal
Effort of Cassation By Public Prosecutor Towards Free Verdict. Public Prosecutor
submits the legal effort towards free verdict, based on the Decree of the Minister
of Justice of RI Number: M.14-PW.07.03 Tahun 1983 dated the 10th of December
1983 regarding Supplement to Implementing Guidance of KUHAP (TPP
KUHAP), in point 19 of the attachment of its decree that principally states that
“toward Acquittal is unable to request an appeal, but based on the situation and
condition, in the name of law, justice and truth, the acquittal can be requested for
cassation”. This matter will be based on the jurisprudence. In the criminal
judicature practices, it is known Absolute Acquittal and Non-absolute Free
Verdict. N the case of cassation towards free verdict, in memory of its cassation,
the Public Prosecutor shall be able to prove that the decision punished by the
District Court is non-absolute acquittal by mentioning the reasons as the
consideration basis, in which the nature of non-absolute of a acquittal referring to
the provision in Article 253 paragraph (1) KUHAP namely is it correct the law
and regulation is not applied or improperly applied, is it correct the way to trial is
not carried out in accordance with the provision of the Law and is it correct the
court has over authority limit. There is correlation between proof of non-absolute
free by Public Prosecutor towards acquittal by legal consideration of Cassation
Judge who receive the cassation of Public Prosecutor, because the competent
authority to decide the absolute acquittal or non-absolute acquittal in the Supreme
Court as the highest court (judex juris)."
2013
T35419
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahriza Mutiara Adhyaksa
"Penelitian ini dilakukan dengan melihat ditemukan banyak putusan pengadilan yang menolak permohonan restitusi korban tindak pidana perdagangan orang. Tidak ada standar baku mengenai penghitungan penilaian ganti kerugian untuk restitusi. Penuntut umum juga tidak memiliki keseragaman cara pandang dalam pengajuan restitusiyang akan dimasukkan dalam surat tuntutan. Dengan melihat keadaan tersebut, penelitian ini membahas mengenaipertimbangan hakim dalam menentukan permohonan restitusi yang diajukan oleh penuntut umum ditinjau dari pemenuhan hak korban tindak pidana perdagangan orang dengan studi putusan pengadilan. Penelitian inimerupakan penelitian yuridis normatif dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan dan ditunjang dengan wawancara. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, diketahui bahwa penuntutumum memiliki kewenangan mengajukan permohonan restitusi dengan melampirkan penghitungan restitusi dalamtuntutan pidananya. Namun dalam praktiknya, putusan perkara tindak pidana perdagangan orang jarangmengabulkan restitusi. Hal ini dipengaruhi oleh kurang maksimalnya pembuktian yang dilakukan penuntut umum terhadap kerugian korban tindak pidana perdagangan orang sehingga tidak menimbulkan keyakinanhakim. Tidak ada pedoman penghitungan restitusi yang baku. Faktor lainnya yaitu belum jelasnya prosedurpengajuan restitusi bagi korban tindak pidana perdagangan orang. Diperlukan upaya pembentukan pedomanpelaksana mengenai prosedur pengajuan restitusi oleh masing- masing lembaga penegak hukum, pembuatan pengaturan penilaian terkait penghitungan restitusi, peningkatan kesadaran aparat penegak hukum, dan evaluasi terhadap putusan pengadilan yang menangani perkara tindak pidana perdagangan orang yang disertai denganpermohonan restitusi. Maka, diharapkan tuntutan restitusi semakin banyak dikabulkan dengan mekanisme dan pengaturan yang seragam.

This research was conducted by observing that there were many court decisions that rejected requests for restitution for victims of trafficking in persons. There is no standard standard regarding the calculation of theassessment of compensation for restitution. Public prosecutors also do not have a uniform viewpoint in filing forrestitution that will be included in the lawsuit. By looking at these circumstances, this study discusses the considerations of judges in determining requests for restitution submitted by public prosecutors in terms offulfilling the rights of victims of the crime of trafficking in persons with a study of court decisions. This research is a normative juridical research using data collection techniques in the form of literature studies and supported by interviews. Based on the results of research and discussion, it is known that public prosecutors have the authority to submit requests for restitution by attaching restitution calculations to their criminal charges. However, inpractice, decisions on cases of trafficking in persons rarely grant restitution. This is influenced by the lack of maximum evidence by the public prosecutor against the loss of victims of the crime of trafficking in persons so that it does not give rise to the judge's conviction. There are no standard guidelines for calculating restitution.Another factor is the unclear procedure for filing restitution for victims of the crime of trafficking in persons.Efforts are needed to establish implementing guidelines regarding procedures for filing restitution by each law enforcement agency, making assessment arrangements related to calculating restitution, increasing awareness of law enforcement officials, and evaluating court decisions handling cases of criminal acts of trafficking in persons accompanied by requests for restitution. Thus, it is hoped that more and more demands for restitution will begranted with a uniform mechanism and arrangement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trypu Vevianto
"Tindak pidana pada awalnya merupakan tindakan yang merugikan keuangan negara. dalam perkembangannya kondisi yang diciptakan akibat tindak pidana korupsi adalah membahayakan keamanan negara, dan akhirnya tindak pidana korupsi menimbulkan bahaya keamanan asimetrik atau non-tradisional yaitu bahaya terhadap keamanan umat manusia, karena dampak negatifnya telah menambah ke dunia pendidikan, kesehatan, penyediaan sandang pangan, keagamaan dan fingsi fungsi pelayanan sosial lainnya.

Criminal acts were initially acts that were detrimental to state finances. in its development the conditions created due to criminal acts of corruption are endangering the security of the state, and ultimately corruption acts pose asymmetric or non-traditional security hazards, namely the danger to the security of mankind, because the negative effects have added to the world of education, health, food and religious clothing, religious and function of other social service functions.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29370
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sianturi, Roberto Bosta
"Skripsi ini membahas dua permasalahan. Pertama, pengaturan sistem koordinasi antara Penyidik POLRI dengan Jaksa Penuntut umum dalam KUHAP. Kedua, mengenai penerapan sistem koordinasi check and balance dalam kasus korban salah tangkap. Dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan yang dipadu dengan wawancara narasumber, penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui sistem koordinasi perseimbangan dan berimbang antara penyidik POLRI dengan Jaksa Penuntut Umum, baik secara peraturan perundang-undangan maupun dalam prakteknya. Permasalahan mengenai adanya sistem koordinasi yang dimulai oleh penyidik pada saat dimulainya penyidikan terkait dengan pemberitahuan oleh penyidik dengan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan kepada Jaksa Peneliti. Seperti yang telah ditetapkan oleh KUHAP bahwa penyidik wajib menyampaikan kepada jaksa sejak dimulainya penyidikan agar Jaksa mengikuti perkembangan kasus sejak dimulainya penyidkan, yang mana menjadi dasar penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum.

This thesis addresses two issues. First, regarding the rules and regulation concerning coordination system between National Police Investigator and Public Prosecutor in accordance with Criminal Law Procedure. Second, regarding the implementation of such coordination system in respect of check and balance system against the victim of wrongful arrest. By using the method of literature research combined with sources interviews, this thesis aims to determine the coordination system as check and balance system between National Police Investigator and Public Prosecutor, both in rule and regulation and in practice. The issue regarding coordination system must be addressed when Investigator starting the investigation in relation with the notification to Prosecutor that the investigation is formally commencing. As stipulated in Criminal Law Procedure (KUHAP) that Investigator obliged to convey the case progress to the Prosecutor as from the investigation is commencing, considering such investigation result would be determine as the basis of prosecution."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S57392
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Tsurayya
"Penuntut Umum memiliki peran penting dalam penegakan hukum, khususnya peradilan pidana. Salah satu peran penting tersebut adalah kewenangan untuk menuntut atau tidak menuntut suatu perkara ke pengadilan, yang dikenal dengan dominus litis atau pengendali perkara. dominus litis, peran aktif penuntut umum dimulai semenjak awal penyidikan, mengawasi penyidikan, mengawasi eksekusi putusan pengadilan, serta fungsi lainnya yang menyangkut kepentingan publik. Namun demikian, sistem peradilan pidana Indonesia cenderung mereduksi konsep dominus litis jaksa karena menganut sistem diferensiasi fungsional. Hal ini terlihat dari definisi penuntutan yang hanya dimaknai sebagai tindakan pelimpahan perkara ke pengadilan. Penelitian ini akan membahas tentang pengajuan tuntutan bebas oleh jaksa penuntut umum sebagai cerminan dari dominus litis. Penelitian ini berbentuk yuridis normatif yang akan dikaitkan dengan peraturan hukum di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa jaksa penuntut umum di Indonesia dapat mengajukan tuntutan bebas sesuai dengan Pedoman Jaksa Agung Nomor 24 Tahun 2021 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum. Tuntutan bebas dilakukan dalam hal kesalahan terdakwa tidak terbukti, unsur tindak pidana tidak terpenuhi, dan/atau pembuktian yang dihadirkan di persidangan tidak memiliki kekuatan pembuktian atau perolehan dua alat bukti dilakukan secara tidak sah. Salah satu faktor jaksa penuntut umum dalam mengajukan tuntutan bebas adalah karena adanya perubahan fakta persidangan dan fakta penyidikan. Selain itu, tuntutan bebas dilakukan dalam rangka supremasi hukum dan perlindungan hak asasi manusia.

Prosecutor has an important role in law enforcement, especially criminal justice. One of these important roles is the authority to prosecute or not prosecute a case to court, which is known as dominus litis or case controller. As a dominus litis, the prosecutor's active role starts from the beginning of an investigation, overseeing investigations, supervising the execution of court decisions, as well as other functions related to the public interest. However, the Indonesian criminal justice system tends to reduce the concept of prosecutor dominus litis because it adheres to a system of functional differentiation. This can be seen from the definition of prosecution which is only interpreted as an act of delegating cases to court. This research will discuss the subsmission of acquittal charges by the prosecutor as a reflection of dominus litis. This research is in the form of normative juridical which will be linked to legal regulations in Indonesia. Based on the research results, it was found that prosecutors in Indonesia can submit acquittal charges in accordance with the Pedoman Jaksa Agung Nomor 24 Tahun 2021 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum. An acquittal charge is made if the defendant's guilt is not proven, the elements of the crime are not fulfilled, and/or the evidence presented at trial does not have the strength of evidence or the acquisition of two pieces of evidence was carried out illegally. One of the factors of the prosecutor in submitting acquittal charges was due to changes in the facts of the trial and the facts of the investigation. In addition, acquittal charge are carried out in the framework of the rule of law and the protection of human rights."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Suhariyanto, 1983-
Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan. Badan Litbang Diklat Kumdil. Mahkamah Agung RI , 2012
345.05 PEN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Agung
"Tesis ini membahas mengenai beberapa permasalahan hukum yang dihadapi oleh Jaksa Penuntut Umum dalam penanganan tindak pidana perikanan. Penelitian ini adalah penelitian normatif yang didukung dengan wawanncara. Hasil penelitian adalah terdapat berbagai kendala yang dihadapi oleh Jaksa Penuntut Umum dalam menangani kasus tindak pidana perikanan yaitu adanya kebijakan pengendalian tuntutan pidana, materi pasal ? pasal dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, mekanisme penyimpanan dan eksekusi barang bukti.
Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, maka kebijakan penuntutan pengendalian tindak pidana perlu dihilangkan karena menimbulkan independensi Jaksa dalam menjalankan tugasnya serta perlunya revisi terhadap beberapa materi pasal dalam Undang-Undang No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan, serta perlunya perbaikan dalam mekanisme penyimpanan dan eksekusi barang bukti yang dipakai dalam melakukan tindak pidana perikanan tersebut.

This thesis discuss about some law problems that faced by Prosecutor in handling the illegal fishing crime or cases. This is a normative research with field interview. The result of this research that there are amount of problems that faced by Prosecutor in handling ilegal fishing crime/case, there are prosecution discresion, act number 31 year 2004 about illegal fishing, storing, handling and execution of the evidence.
To solve that problems, prosecutors must have their own discretion about prosecution, so they have independency in working on their duty. The other that the act needed to rearrange some of the articles inside illegal fishing act, and at least there must be a renew about storing, handling and execution of the evidence that used to offense illegal fishing crime."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T25649
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ristu Darmawan
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang peninjauan kembali yang diajukan oleh
Jaksa/Penuntut Umum kepada Mahkamah Agung terhadap putusan bebas atau
putusan lepas dari segala tuntutan hukum, meskipun ketentuan pasal 263 ayat (1)
KUHAP menyatakan bahwa hanya terpidana atau ahli warisnya yang dapat
mengajukan peninjauan kembali. Peninjauan kembali dilakukan oleh
Jaksa/Penuntut Umum sebagai terobosan hukum dalam upaya memperoleh
keadilan dan kebenaran karena ada keadaan baru (novum), ataupun adanya
kekeliruan atau kekhilafan hakim dan atau adanya putusan yang saling
bertentangan satu dengan yang lainnya. Jaksa Agung/Penuntut Umum tidak
menggunakan kasasi demi kepentingan hukum yang merupakan haknya dan lebih
memilih mengajukan peninjauan kembali. Ini menimbulkan beberapa implikasi
hukum karena bertentangan dengan prinsip-prinsip yang melekat pada peninjauan
kembali sebagaimana diatur dalam KUHAP, yaitu : pidana yang dijatuhkan dalam
putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan
dalam putusan semula (vide Pasal 266 ayat (3) KUHAP); dan permintaan
peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja (vide
Pasal 268 ayat (3) KUHAP). Penelitian menggunakan penelitian hukum normatif
yang pengumpulan datanya dilakukan melalui studi kepustakaan dan wawancara
dengan beberapa narasumber, yang kemudian dianalisis secara kualitatif. Hasil
penelitian ini menyimpulkan bahwa Jaksa/Penuntut Umum mengajukan
peninjauan kembali dengan dasar hukum ketentuan Pasal 263 ayat (3) KUHAP,
ketentuan Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 dan ketentuan
Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009. Jaksa Agung cq
Jaksa/Penuntut Umum tidak menggunakan hak kasasi demi kepentingan hukum
dan lebih memilih menggunakan peninjauan kembali terhadap putusan bebas atau
lepas dari tuntutan hukum dikarenakan ketentuan Pasal 259 ayat (2) KUHAP dan
ketentuan Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009. Meskipun
menimbulkan Implikasi hukum, peninjauan kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum
diterima oleh Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi yang dapat
menciptakan ketentuan baru melalui penafsiran terhadap peraturan yang ada dan
benar-benar memenuhi rasa keadilan untuk kepastian hukum.

Abstract
This thesis discusses the reconsideration filed by the Prosecutor / Public
Prosecutor to the Supreme Court against a Judgement of Acquittal or the dismissal
of charges, despite the provisions of Article 263 paragraph (1) Criminal Procedure
Code states that only the convicted person or his heirs can submit a
reconsideration. A request for reconsideration by the Prosecutor/Public Prosecutor
of law as a breakthrough in efforts to obtain justice and truth because of having
the new circumstances (novum), or a mistake or an oversight or a decision of the
judge and opposing one another. Attorney General/Prosecutor did not use
cassation in the interest of law and prefer to submit a reconsideration, this raises
some legal implications as opposed to the principles inherent in reconsideration
provided for in the Criminal Procedure Code, namely: that crime dropped in
reconsideration decision shall not exceed the penalty that has been imposed in the
original decision (refer to Article 266 paragraph (3) Criminal Code); and request
reconsideration of a decision can only be done once only (vide Article 268
paragraph (3) Criminal Code). Research using normative data collection through
library research and interviews with several sources, which are then analyzed
qualitatively. The results of this study concluded that the Prosecutor / Public
Prosecutor submit a reconsideration on the legal basis of Article 263 paragraph (3)
Criminal Procedure Code, the provisions of Article 68 paragraph (1) of Law
Number 3 of 2009 and the provisions of Article 24 paragraph (1) of Law Number
48 in 2009. Attorney General/Prosecutor did not use cassation in the interest of
law and prefer to submit a reconsideration against a Judgement of Acquittal or the
dismissal of charges because the provisions of Article 259 paragraph (2) Criminal
Procedure Code and the provisions of Article 45 paragraph (3) Undang Nomor 3
tahun 2009. Although it raises the legal implications, the reconsideration by the
Prosecutor/Public Prosecutor accepted by the Supreme Court as the supreme court
to create new provisions through the interpretation of existing regulations and
completely satisfy the justice for legal certainty."
2012
T 30375
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tumpal Eben Ezer
"Penjatuhan sanksi rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika adalah suatu tindakan yang penting karena disatu sisi penyalahguna narkotika merupakan korban dari tindak pidana narkotika. Dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menjelaskan bahwa pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, kerangka yuridis yang telah ada di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika serta Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2011 tentang pelaksanaan wajib lapor pecandu narkotika seharusnya digunakan dalam penerapannya pada masing-masing sub sistem peradilan pidana agar upaya pengobatan dan juga perawatan bagi penyalahguna, guna menyelaraskan penerapan rehabilitasi tersebut Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.04 Tahun 2010, begitu juga dengan Badan Narkotika Nasional mengeluarkan Peraturan Kepala BNN Nomor 2 Tahun 2011, Kejaksaan Agung pada tanggal 12 Januari 2012 telah menerbitkan Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor : B-136/E/EJP/01/2012 perihal tuntutan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, sedangkan Polri masih menyiapkan Rancangan Peraturan Kapolri tentang Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika di lingkungan Polri untuk di jadikan pedoman Penyidik dalam melakukan rehabilitasi terhadap penyalahguna Narkotika yang menjadi Pecandu atau korban Penyalahgunaan Narkotika. Berkaitan dengan hal tersebut penulis nantinya akan membahas mengenai harmonisasi antara ukuran-ukuran yang digunakan oleh Kepolisian, Badan Narkotika Nasional (BNN), Kejaksaan dan Pengadilan dalam merehabilitasi dilanjutkan dengan peranan Jaksa sebagai penyaring perkara dalam penanganan kasus-kasus Narkotika dan kewenangan penuntut umum dalam penanganan perkara Narkotika.

Rehabilitation sanctions against drug abusers is an important measure because on one hand, drug abusers are victims of crime narcotics. In Article 54 of Law No. 35 Year 2009 on Narcotics explain that addicts Narcotics and Narcotic abuse victims to undergo compulsory medical rehabilitation and social rehabilitation, the existing legal framework in the Act No. 35 Year 2009 on Narcotics and Government Regulation No. 25 of 2011 on the implementation of compulsory reporting of drug addicts should be used in the application on each - each sub-system of criminal justice in order to attempt treatment and also care for abusers, in order to harmonize the implementation of the rehabilitation of the Supreme Court has issued a Circular Letter of the Supreme Court (SEMA) No.04 of 2010, as well as with the National Narcotics Agency chief BNN issued Regulation No. 2 of 2011, the Attorney General on January 12, 2012 has issued Circular Attorney General for General Crimes Number: B-136/E/EJP/01/2012 demands concerning medical rehabilitation and social rehabilitation, while the police are still preparing the Draft Police Regulation on Narcotics Abuse Reduction in the police to make the guidelines at Investigators in rehabilitating narcotics abusers who become addicts or victims of Narcotics Abuse. In this regard the authors will discuss the harmonization between size - the size used by the Police, the National Narcotics Agency (BNN), and courts in rehabilitating followed by a role as a filter Attorney handling the case in the case - Narcotics and authority of the public prosecutor in handling Narcotics cases.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35989
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>