Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 168681 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Olivia Larasati
"Skripsi ini membahas mengenai alasan perempuan tidak dianggap sebagai ahli waris dalam masyarakat adat Batak Toba serta hak perempuan terhadap harta kekayaan ayahnya. Pembahasan dilakukan melalui studi literatur, pengamatan di lapangan, serta wawancara. Penelitian ini dilakukan dengan cara pendekatan normatif, meliputi penelitian terhadap pengertian dan ketentuan hukum baik tertulis maupun tidak tertulis, serta pendekatan empiris untuk memperoleh fakta mengenai perilaku subyek hukum terkait dengan permasalahan yang dibahas. Kesimpulan atas permasalahan tersebut adalah perempuan tidak dianggap sebagai ahli waris karena pada dasarnya, kehidupan perempuan merupakan tanggung jawab dari laki-laki baik ayah maupun saudara laki-lakinya , perempuan juga sudah tidak akan menjadi anggota kerabat dari klan ayahnya ketika ia menikah sehingga tidak ada hubungan hukum, dan masyarakat adat Batak Toba menghindari adanya tindakan pengalihan harta apabila terjadi pemberian warisan kepada perempuan. Perempuan juga memiliki hak untuk menikmati kekayaan ayahnya, yang dapat diperoleh dengan melalui pemberian dari pewaris ataupun pemberian dari saudara laki-lakinya. Walaupun Negara, melalui putusan Mahkamah Agung tahun 1961, telah memutuskan bahwa perempuan adalah ahli waris yang sama kedudukannya dengan laki-laki, tidak semua masyarakat Batak Toba mengakui kedudukan perempuan sebagai ahli waris, terutama bagi keluarga Batak Toba yang masih bertempat tinggal di Desa Sibuntuon, dan tidak ada keseragaman pemahaman akan hak perempuan terhadap harta kekayaan orangtuanya yang diakibatkan tidak tertulisnya hukum waris adat Batak Toba. Dalam hal ini para tokoh Adat yang menekuni hukum adat Batak Toba dapat turut andil dalam memberikan pengertian terkait dengan proses waris-mewaris dalam masyarakat Batak Toba.

This thesis talks about the reasons why Batak women are not regarded as a legal heir in Batak Toba's custom and also their rights on their father's properties. The discussion is held through thorough literature study, field observatory and interviews. The research in this discussion is done through a normative approach, including research through legal understanding and provisions, whether it is written or not, as well as an empirical approach to obtaining facts about the behavior of legal subjects related to the issues discussed. The research has come to a conclusion that woman in Batak Toba's custom is not considered as a legal heir because they are considered as a responsibility of men whether it is their father or their relatives and women in Batak Toba's customs are no longer considered as a true relatives of their father's family clan as soon as they are married, which leave them with no legal relationship with their father. Although they are not considered as a legal heir, Batak Toba women also have the rights to enjoy their father's riches, which they can gained from the heir or gifts from their brothers. Although Indonesia's Law through the Supreme Court's decision of 1961 has ruled out that women are in the same position of heirs to men, not all Batak Toba community especially those in Sibuntuon Village consider women as heirs. There is also no uniform understanding of women's rights to their parents' property due to the unwritten law of the inheritance of Batak Toba. In this case, those who are considered as indigenous leaders in the community who pursue the customary law of Batak Toba can contribute in providing understanding about the inheritance process of Batak Toba community.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69188
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laurensia Lefina Mulauli
"Di negara Indonesia dikenal adanya pluralisme hukum waris sebagaimana terdapat 3 (tiga) sistem hukum waris yang berlaku, antara lain hukum waris Islam, hukum waris perdata barat, dan hukum waris adat yang beraneka ragam mengikuti sistem kekeluargaan yang dianut oleh masing-masing suku bangsa di masyarakat. Tulisan ini disusun dengan metode penelitian doktrinal dan berfokus pada keberlakuan hukum waris adat Batak. Tulisan ini menganalisis bagaimana penyelesaian sengketa kewarisan yang terjadi pada keluarga Batak saat ini, apakah Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya masih memberlakukan ketentuan hukum waris adat Batak secara penuh, sebagai masyarakat bercorak patrilineal, yang hanya memberikan bagian waris kepada anak laki-laki saja, atau turut mengindahkan adanya pergeseran nilai waris adat patrilineal dengan turut memberikan bagian waris kepada anak perempuan berdasarkan pada kaidah hukum Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 179 K/SIP/1961 yang mempersamakan kedudukan dan hak ahli waris perempuan dan laki-laki dalam sistem waris adat patrilineal. Pertimbangan Majelis Hakim yang menyetarakan kedudukan laki-laki dan perempuan, serta membagi proporsi warisan secara adil dan merata, dalam beberapa putusan penyelesaian sengketa kewarisan keluarga Batak saat ini, tidak serta merta dapat dikatakan sebagai suatu bentuk peleburan hukum waris adat Batak terhadap konsepsi hukum waris perdata barat yang secara prinsip tidak membedakan kedudukan dan hak ahli waris menurut jenis kelamin. Majelis Hakim tetap memberlakukan hukum waris adat Batak terhadap keluarga berperkara dengan mengindahkan adanya pergeseran nilai waris adat patrilineal sebagaimana kaidah hukum Yurisprudensi MA dengan turut memberikan bagian waris kepada anak perempuan, sebab sistem kekerabatan patrilineal yang dianut oleh masyarakat adat Batak akan selamanya bersifat mengikat secara turun-temurun dan tidak dapat diubah di mana pun masyarakat adat Batak tersebut bertempat tinggal.

In Indonesia, there is known to be a pluralism of inheritance law as there are 3 (three) applicable inheritance law systems, including Islamic inheritance law, western civil inheritance law, and customary inheritance law which varies following the family system adopted by each ethnic group in the community. This paper is prepared with doctrinal research methods and focuses on the enforceability of Batak customary inheritance law. This paper analyzes how to resolve inheritance disputes that occur in Batak families today, whether the Panel of Judges in its legal considerations still applies the provisions of Batak customary inheritance law in full, as a patrilineal society, which only gives a share of inheritance to sons, or also heeds a shift in the value of patrilineal customary inheritance by contributing to giving a share of inheritance to daughters based on legal rules Supreme Court Jurisprudence No. 179 K / SIP / 1961 which equalizes the position and rights of female and male heirs in the patrilineal customary inheritance system. The consideration of the Panel of Judges who equalize the position of men and women, and divide the proportion of inheritance fairly and equitably, in some decisions on the settlement of Batak family inheritance disputes today, cannot necessarily be said to be a form of integration of Batak customary inheritance law to the conception of western civil inheritance law which in principle does not distinguish the position and rights of heirs according to sex. The Panel of Judges continues to apply Batak customary inheritance law to litigant families by heeding the shift in the value of patrilineal customary inheritance as the rule of Supreme Court Jurisprudence law by also giving a share of inheritance to daughters, because the patrilineal kinship system adopted by the Batak indigenous people will forever be binding for generations and cannot be changed wherever the Batak indigenous people live."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Solagratia Moza Tessalonika
"Pembagian harta waris berdasarkan Hukum Waris Adat Batak Toba yang dipilih oleh pewaris sebelum meninggal dunia dan dituangkan dalam Akta Wasiat, seharusnya dipertimbangkan oleh hakim ketika memutuskan penyelesaian sengketa pembagian harta waris. Hal tersebut tentu diperlukan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat Hukum Adat yang menghendaki pembagian harta waris mereka didasarkan pada norma Hukum Adat setempat. Dalam kenyataannya, sengketa pembagian harta waris diputuskan hakim dengan mempertimbangkan norma di luar Hukum Adat Batak Toba sehingga Akta Wasiat dibatalkan, sebagaimana ditemukan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 909 PK/Pdt/2019. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis akibat hukum Putusan a quo terhadap pembagian harta waris menurut Hukum Adat Batak Toba dan peran notaris dalam pembuatan Akta Wasiat yang memuat kehendak penghadap untuk membagi waris berdasarkan Hukum Adat Batak Toba. Penelitian doktrinal ini menggunakan data sekunder berupa bahan-bahan hukum yang relevan dengan tujuan penelitian. Data tersebut dikumpulkan melalui studi dokumen, dan didukung dengan wawancara terhadap beberapa informan dan narasumber. Selanjutnya dilakukan analisis secara kualitatif. Dari hasil analisis dapat dijelaskan bahwa akibat hukum Putusan a quo terhadap pembagian harta waris berdasarkan Hukum Adat Batak Toba adalah Akta Wasiat dinyatakan sebagai cacat dan batal demi hukum. Selain itu dapat dinyatakan bahwa telah terjadi pergeseran dalam pembagian harta waris pada sebagian Masyarakat Adat Batak Toba yang semula memegang teguh norma hukum yang patrilineal menjadi mulai mengakomodasi persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Dalam kaitannya dengan peran notaris dalam pembuatan Akta Wasiat berdasarkan Hukum Adat Batak Toba dapat dikemukakan bahwa penyuluhan hukum tentang pembagian harta waris harus disampaikan sebelum pembuatan akta agar penghadap memahami ketentuan hukum yang dipilihnya untuk dijadikan dasar dalam pembagian waris. Kemudian, notaris dapat meminta Berita Acara dari penghadap mengenai pewarisan secara Hukum Adat dan membuat klausula dalam Akta Wasiat untuk mengklarifikasi maksud yang terkandung dalam akta, terutama dalam konteks pembagian harta waris berdasarkan kehendak terakhir pewaris.

The distribution of inheritance based on the Toba Batak Customary Inheritance Law, which was chosen by the testator before he or she died and stated in the Deed of Will, should be considered by the judge when deciding on the resolution of disputes over the distribution of inheritance. This is certainly necessary to fulfill the sense of justice of the Customary Law community who wants the distribution of their inheritance to be based on local Customary Law norms. In reality, disputes over the division of inheritance were decided by judges taking into account norms outside the Toba Batak Customary Law so that the Deed of Will was cancelled, as found in Supreme Court Decision Number 909 PK/Pdt/2019. The aim of this research is to analyze the legal consequences of the a quo decision on the distribution of inheritance according to Toba Batak Customary Law and the role of the notary in making a Deed of Will which contains the wishes of the party to divide inheritance based on Toba Batak Customary Law. This doctrinal research uses secondary data in the form of legal materials that are relevant to the research objectives. This data was collected through document study, and supported by interviews with several informants and sources. Next, a qualitative analysis was carried out. From the results of the analysis it can be explained that the legal consequence of the a quo decision regarding the distribution of inheritance based on Toba Batak Customary Law is that the Deed of Will is declared defective and null and void. Apart from that, it can be stated that there has been a shift in the distribution of inheritance among some of the Toba Batak Indigenous Peoples who previously adhered to patrilineal legal norms and have begun to accommodate equal rights between men and women. In relation to the role of a notary in making a Deed of Will based on Toba Batak Customary Law, it can be stated that legal counseling regarding the distribution of inheritance must be provided before making the deed so that the person who submits it understands the legal provisions he or she has chosen to use as a basis for the distribution of inheritance. Then, the notary can request an official report from the applicant regarding the distribution of inheritance according to customary law and make clauses in the Deed of Will to clarify the meaning contained in the deed, especially in the context of the distribution of inheritance based on the last will of the testator."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sahala, Sumijati
"Hukum adat yang beraneka ragam banyaknya masih berlaku pada suku bangsa di Indonesia, dan masing-masing mengacu pada sistem kekerabatan yang dianut. Sistem kekerabatan patrilineal seperti pada suku Batak dan Bali, tidak memasukkan anak perempuan sebagai ahli waris dan tidak termasuk penerus keturunan. Pelaksanaan hukum waris yang termasuk bidang hukum keluarga menurut hukum adat Batak khususnya Batak Toba di Jakarta, masih menggunakan hukum adat Batak. Sejak tahun 1961. MA mengeluarkan putusan yaitu Yurisprudensi No.179/K/ST/1961 tentang warisan adat di tanah Batak Karo yang memperhitungkan anak perempuan sebagai ahli waris dan mendapatkan bagian yang sama dengan anak laki-laki terhadap harta kekayaan bapaknya (orang tuanya). Dari Yurisprudensi tersebut terlihat bahwa secara yuridis anak perempuan adalah ahli waris, hak waris anak laki-laki dan anak perempuan tidak dibedakan, namun kenyataannya dalam masyarakat Batak Toba anak perempuan bukan ahli waris apalagi mempunyai hak untuk mendapatkan harta warisan bapaknya (orang tuanya).
Permasalahan utama yang dihadapi adalah apakah warga masyarakat adat Batak masih berpegang pada hak waris dalam hukum adat Batak sehingga menjadi kendala bagi penerapan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Dalam mengamati kehidupan warga masyarakat Batak Toba di Jakarta, digunakan teori jender, antropologi hukum dikaitkan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Jender manurut Saparinah Sadli merupakan sejumlah karakteristik psikologis ditentukan secara sosial dengan adanya seks lain, dasar hubungan jender itulah diasumsikan dengan adanya perbedaan analisis. Dalam menganalisis peran laki-laki. dan perempuan dalam kehidupan sehari-hari dalam kenyataannya bekerja, yang rumusan hukum tidak hanya hukum yang tertulis saja tetapi juga aturan yang tidak tertulis, Menurut rumusan von Benda Beckmann hukum merupakan konsepsi kognitif dan normatif termasuk didalamnya prinsip, adat dan norma-norms lainnya.
Bekerjanya hukum dalam kehidupan warga masyarakat Batak juga. dapat dilihat apakah hukum adat itu masih hidup dan diterapkan. Moore dalam penelitiannya terhadap orang Chagga di Tanzania, Afrika. rnengemukakan bahwa betapa pentingnya hukum untuk mengadakan perubahan sosial (Sally Folk Moore ; 1993: 1-18). Hukum yang dimaksud adalah hukum tanah yang merupakan undang-undang dan dapat diterapkan untuk menggantikan pedoman-pedoman yang berlaku tentang kepemilikan tanah, menjadi diawasi melalui sistem kepemilikan yang diambil alih seluruhnya oleh negara. Penelitian Moore ini mirip dengan penelitian tentang hukum waris pada suku bangsa Batak. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif dan bersifat kualitatif Kami menggabungkan beberapa teknik penelitian, yaitu dalam mengumpulkan informasi diterapkan metode telaah kepustakaan dan beberapa dokumen yang berbentuk keputusan dan tulisan. Untuk melengkapi data tersebut kami juga mengikuti kegiatan adat dalam kehidupan sehari-hari antara warga masyarakat Batak di Jakarta dengan pengamatan terlibat (participation-observation), disamping data yang didapat dari lima orang ketua adat sebagai informan. Data juga didapat dari kuesioner yang disebarkan kepada 40 orang wanita dari marga Simandjuntak dan Pasaribu dan untuk lebih memahami serta menghayati pengalaman wanita dalam masalah warisan, diadakan wawancara secara mendalam (depth-interview) terhadap sepuluh orang ibu yang diambil secara snow-ball.
Hasil penelitian dapat disimpulkan sbb ; walaupun secara normatif anak perempuan tidak termasuk dalam kelompok ahli waris, namun dalam perkembangannya, keluarga yang berasal dari warga masyarakat Batak Toba yang bertempat tinggal di Jakarta sudah memasukkan anak perempuan mereka sebagai ahli waris, sedangkan bagian yang diterima anak perempuan sangat bervariasi, yaitu bagian anak laki-laki lebih banyak dari anak perempuan, bagian anak perempuan tergantung dari saudara laki-lakinya atau bagian anak laki-laki sama dengan anak perempuan. Hal yang utama dapat dilihat pada bidang pendidikan, dimana anak laki-laki dan perempuan mendapat prioritas utama dengan tidak ada perbedaan. Satu hal yang ditemui dalam penelitian ini adalah bahwa pengertian perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan pada warga masyarakat Batak Toba di Jakarta tidak pada hal yang negatif saja, lebih jauh perbedaan peran tersebut bertujuan untuk memberikan perlindungan dan keamanan (emotional security) bagi anak perempuan mereka, baik yang masih lajang maupun yang sudah berkeluarga."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vergouwen, J.C.
Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2004
340.53 VER m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriele Griselda
"Anak naniain secara harfiah berarti “anak angkat”. Anak angkat yang dimaksud dalam skripsi ini adalah istri non-Batak Toba yang diangkat sebagai anak oleh orangtua Batak Toba sehubungan dengan perkawinannya dengan suaminya yang bersuku Batak Toba. Ia diberikan marga yang sama dengan marga orangtua angkatnya. Penelitian bersifat deskriptif. Penulis berusaha menelusuri latar belakang perlunya anak nanian diangkat, hubungan dengan orangtua angkat serta orangtua biologis, serta hak mewaris dari orangtua angkat. Hasil penelitian adalah bahwa kedudukan anak naniain adalah sah menjadi warga masyarakat adat Batak Toba. Sebagai anggota masyarakat, ia merupakan pengemban hak dan kewajiban adat Batak Toba.

Anak naniain in literal meaning is "adoptive child". Adoptive child hereinafter in this thesis will be referred to a non-Batak Toba wife adopted by one of Batak Toba parents due to her marriage with her Batak Toba spouse. She is given the same surname as her adoptive parents. Author explores the necessary anak naniain has to be adopted, her relationship with her adoptive parents and biological parents, and her right to inherit from her adoptive parents. Result is that status of anak naniain legally recognized as a member of Batak Toba society, obtaining rights and obligations in Batak Toba customary law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S58635
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meliyana Yustikarini
"Skripsi ini membahas mengenai kedudukan anak (perempuan) dalam hukum waris adat, khususnya daerah Batak. Di Batak kedudukan anatar anak laki-laki dengan anak perempuan tidaklah sama. Anak laki-laki kedudukannya lebih istimewa di bandingkan dengan anak perempuan. Anak laki-laki merupakan penerus keturunan dan selalu seclan dengan ayah dan keluarga ayah. Sedangkan anak perempuan tidak selamanya seclan dengan ayah dan keluarga ayah. Anak perempuan setelah dikawin jujur, hak dan kewaj iban pindah ke keluarga suami, sehingga anak perempuan bukan ahli waris ayahnya. Di Batak tidak mengenal anak perempuan sebagai ahli waris tetapi di sana dikenal adanya lembaga "Holong Ate". Lembaga "Holong Ate" ini dapat memperluas hukum waris adat setempat. Anak perempuan dapat meminta bagian dari ayah sebagai pemberian atau hibah sebelum dia rnanikah. Pemberian harta peninggalan ini dapat dilakukan sebelum atau sesudah ayahnya meninggal, ini merupakan wujud dari kasih sayang ayah kepada anak perempuan. Akan tetapi pemberian harta peninggalan ini tidak berlaku pada harta pusaka (leluhur). Dengan adanya lembaga "Holong Ate" ini kedudukan anak perempuan dan anak laki-laki akan menjadi sarna dalam hal mewaris. Akan tetapi masyarakat Batak tidak semuanya mempergunakan lembaga "Holong Ate" dalam kewarisan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
S20892
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Rejeki
"Skripsi ini membahas mengenai kedudukan janda dalam hukum waris adat, khususnya daerah Batak. Di Batak, hukum waris terikat pada sistem atau stelsel Patrilineal yang bersifat genealogis. Sistem kekerabatannya mutlak menurut "garis ayah". Segala harta yang timbul dalam perkawinan adalah milik suami. Oleh sebab itu, kedudukan janda terhadap harta peninggalan ialah bahwa perempuan itu sebagai orang asing yang tidak berhak atas warisan. Tetapi dalam perkembangannya, janda hanya diberi hak untuk menikmati harta pencarian dan harta-harta lain yang dibawa oleh suami-istri kedalam perkawinan, hal ini . berlangsung seumur hidup. Dengan adanya hal itu, secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa janda merupakan ahli waris dalam masyarakat hukum adat Batak, dengan syarat janda tersebut tidak kawin lagi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
S20798
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sartika Sari Dewi
"Dalam setiap perkawinan pada masyarakat, tak jarang pasangan suami istri tidak dapat memperoleh keturunan. Maka dari itu, mereka melakukan pengangkatan anak. Namun, hingga saat ini belum terdapat unifikasi peraturan terutama dalam bidang waris sebagai akibat hukumnya. Terdapat persamaan dan perbedaan dalam aturan dari Hukum waris perdata barat dan hukum waris adat yang dimana kedua hukum tersebut merupakan bagian dari hukum positif waris yang sama – sama mengikat dan berlaku di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk membahas tentang kedudukan dan hak anak angkat mengenai hal mewaris serta hak yang diperoleh anak angkat dalam pembagian waris keluarga ditinjau dari perspektif hukum perdata dan hukum adat, khususnya adat batak toba dengan metode penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian ini menyimpulkan terhadap kedua aturan hukum waris yang berbeda ini menimbulkan masalah dalam pengangkatan anak di Indonesia, khususnya mengenai dampak terhadap hak waris anak angkat tersebut.

In every marriage in society, it is not uncommon for a married couple to be unable to obtain offspring. Therefore, they adopt a child. However, until now there has been no unification of regulations, especially in the field of inheritance as a legal consequence. There are similarities and differences in the rules of Western civil inheritance law and customary inheritance law, which are both part of positive inheritance law that are equally binding and applicable in Indonesia. This research aims to discuss the position and rights of adopted children regarding inheritance and the rights obtained by adopted children in the distribution of family inheritance from the perspective of civil law and customary law, especially Batak toba custom with normative juridical research methods. The results of this study conclude that these two different inheritance law rules cause problems in the appointment of children in Indonesia, especially regarding the impact on the inheritance rights of the adopted child."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Grace Delima S
"Skripsi ini membahas tentang konsep sinamot (uang jujur) sebagai tuhor ni boru ("alat beli" anak perempuan) dalam perkawinan adat Batak Toba yang merupakan bentuk perkawinan jujur. Sejak zaman Si Jolo-jolo Tubu (nenek moyang) hingga masa kini, sinamot masih bersifat kontroversial. Bentuk sinamot yang dahulu merupakan benda yang magis dan bersifat kekal, kemudian seiring berjalannya waktu berubah menjadi bentuk binatang yang bernyawa, dan kini semua orang memaknai sinamot dengan sejumlah uang demi "membeli" seorang perempuan Batak. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-empiris dengan metode analisis data deskriptif-kualitatif. Hasil penelitian menyarankan bahwa sinamot sebaiknya dimaknai sebagai bentuk penghormatan kepada perempuan (dan parboru/keluarga perempuan) yang akan menjadi milik paranak/keluarga laki-laki.

This thesis discusses the concept of sinamot (bride-price) as tuhor ni boru (a symbolic act of “purchasing away” a Bataknese woman from her family) in Toba-Bataknese marriage custom which is a form of bride-price marriage. Sinamot has been a controversial issue since the time of Si Jolo-jolo Tubu (ancestors). In ancient times, sinamot took the form of a magical and eternal item; over time, it has also been interpreted into the form of animals and in modern times as a sum of money to symbolically “purchase” a Bataknese woman away from her family. This study uses a juridical-empirical approach with qualitative-descriptive data analysis method. The results of the study suggest that sinamot should be considered as a form to honor a woman (and parboru/woman family) that will be “owned” by paranak/man family.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S55543
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>