Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 170783 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurul Aisyah
"Beberapa studi epidemiologi maupun studi metaanalisis menunjukkan faktor seperti jenis kelamin dan usia, obesitas, dan resistensi insulin, pada diabetes mellitus tipe 2 memiliki hubungan dengan risiko terjadinya kanker. Hiperinsulinemia dapat mempengaruhi risiko kanker tidak hanya melalui efek mitogenik langsung dari insulin tetapi juga secara tidak langsung melalui peningkatan produksi IGF-1. Metformin yang merupakan terapi lini pertama untuk pasien diabetes melitus tipe 2 telah dikaitkan dengan risiko berkurangnya berbagai sel kanker. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional yang bertujuan untuk membandingkan dan menganalisis hubungan antibodi anti-p53 dengan beberapa penanda metabolik HbA1c, insulin, dan IGF-1 pada pasien diabetes melitus yang menerima terapi antidiabetes metformin n=47 , non-metformin n=31 , dan subjek sehat n=16 di Puskesmas Pasar Minggu. Sampel yang digunakan adalah serum darah yang kemudian diuji menggunakan metode ELISA untuk menganalisis antibodi anti-p53, IGF-1, dan Insulin. Nilai antibodi anti-p53, yaitu 0,26 0,06 dan pada kelompok metformin tunggal/kombinasi dan 0,24 0,08 pada kelompok non-metformin. Nilai pada kedua kelompok memiliki perbedaan yang bermakna p< 0,001 jika dibandingkan dengan subjek sehat. Terdapat korelasi negatif menengah antara antibodi anti-p53 dengan HbA1c r = -0,407; p= 0,023 dan dengan IGF-1 r = - 0,571; p = 0,021 pada kelompok non-metformin. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara antibodi anti-p53 dengan kadar insulin pada ketiga kelompok.

Either epidemiological studies or meta analysis has shown that several factors such as gender, age, obesity, and insulin resistance are related to cancer incidents. Hyperinsulinemia affect cancer progression not only trough insulin mitogenic activities but also trough inducing IGF 1 production. Metformin as a first line therapy for patients with type 2 diabetes mellites has been associated with a reduced risk of various cancer cells. Aside from its insulin sensitizer mechanism, several studies showed other mechanism related to cancer treatment. This cross sectional study compares and analyzes the correlation between effect of antidiabetic treatment in the group of metformin combination n 47 and non metformin n 31 against anti p53 antibody and their relation to HbA1c, IGF 1, and insulin in type 2 diabetes mellitus patients in Pasar Minggu Primary Health Center. Patient rsquo s blood serum was collected then analyzed with ELISA kit to measure the value of anti p53 antibody, IGF 1, and insulin. The average of anti p53 antibody were 0.26 0.06 and 0.24 0.08 in metformin combination group and non metformin group, respectively. There was a statistically significant difference anti p53 antibody level between the two groups against age and sex match 16 apparently healthy subjects.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2017
S68867
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karla Carolina
"Beberapa studi epidemiologi dan meta analisis menunjukkan faktor risiko berhubungan dengan diabetes melitus dan kanker, diantaranya jenis kelamin, usia, hiperglikemia dan obesitas. Hiperinsulinemia, hiperglikemia dan inflamasi pada diabetes dapat menginduksi kerusakan sel yang bertransformasi  menjadi sel kanker. Kerusakan sel dapat berupa stress oksidatif, lipotoksisitas dan glukotoksisitas. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan non-parallel sampling design yang bertujuan untuk mengukur dan melihat hubungan antibodi anti-p53 dengan HbA1c pada dua kelompok. Kelompok pada penelitian ini adalah pasien diabetes melitus tipe 2 (n = 78) dan pasien diabetes melitus tipe 2 yang menderita kanker (n = 51). Analisis antibodi anti-p53 pada serum sampel dilakukan menggunakan ELISA, sedangkan pengukuran HbA1c dilakukan dengan Afinion Analyzer. Pada penelitian ini kadar serum antibodi anti-p53 pada kelompok pasien diabetes melitus tipe 2 (0,25 ± 0,05 U/ml) berbeda bermakna dengan kelompok pasien diabetes melitus tipe 2 yang menderita kanker (0,98 ± 0,32 Ug/ml) (p = 0,03). Sementara, HbA1c pada kelompok diabetes melitus tipe 2 (8,39 ± 0,23 %) berbeda bermakna dengan kelompok diabetes melitus tipe 2 yang menderita kanker (7,02 ± 0,20 %) (p < 0,001). Tidak ada korelasi antibodi anti-p53 dengan HbA1c pada kelompok pasien diabetes melitus tipe 2 (r = -0,188,  p = 0,099).  Terdapat korelasi sedang antibodi anti-p53 dengan HbA1c pada kelompok pasien diabetes melitus tipe 2 yang menderita kanker (r = -0,359, p = 0,01). Penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antibodi anti-p53 dan HbA1c pada kedua kelompok. Terdapat hubungan negatif yang bermakna antara antibodi anti-p53 dengan HbA1c pada kelompok diabetes melitus tipe 2 yang menderita kanker.

Epidemiological studies and meta-analysis have shown risk factors are related with diebetes mellitus and cancer, they are such as gender, age, hyperglycemia and obesity. Hyperinsulinemia, hyperglycemia dan inflamation on diabetes can induce cell destruction that are transformed into cancer cells. Cell destruction form of oxidative stress, lipotoxicity and glucotoxicity. This study was a cross-sectional with  non-parallel sampling design which compares and analyzes the correlation between anti-p53 antibody with HbA1c in the group of type 2 diabetes mellitus and type 2 diabetes mellitus with cancer, namely type 2 diabetes mellitus patients (n = 78) and type 2 diabetes mellitus patients with cancer (n = 51). Analyze for anti-p53 antibody was using ELISA,while HbA1c was measured with HbA1c Afinion Analyzer. The serological level of anti-p53 antibody in the type 2 diabetes mellitus (0,25 ± 0,05 U/ml) significant diference between type 2 diabetes mellitus type 2 (0,98 ± 0,32 Ug/ml) (p = 0,03). HbA1c showed significant difference in the type 2 diabetes mellitus (8,39 ± 0,23 %) between type 2 diabetes mellitus type 2 (7,02 ± 0,20 %) (p < 0,001). There was no correlation between anti-p53 antibody with HbA1c in the group of type 2 diabetes mellitus (r=-0,188, p=0,099). There was moderate correlation between anti-p53 antibody with HbA1c in the group of type 2 diabetes mellitus with cancer (r = -0,359, p = 0,01).  Based on result showed there were significant difference between anti-p53 antibody with HbA1c in both groups. There was negative correlation anti-p53 antibody with HbA1c in the type 2 diabetes mellitus with cancer.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Avie Saptarini
"Penderita Diabetes Melitus (DM) Tipe 2 mengalami peningkatan risiko kanker yang diduga diakibatkan oleh kondisi hiperglikemia, hiperinsulinemia, dan inflamasi. Ketiga faktor tersebut dapat menginduksi proses tumorigenesis melalui jalur glukotoksisitas, lipotoksisitas, dan stres oksidatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur dan membandingkan mutan p53 sebagai tumor marker pada pasien DM tipe 2 dan pasien DM tipe 2 yang menderita kanker, mengukur dan membandingkan HbA1c pada kedua kelompok, serta melihat korelasi mutan p53 dengan HbA1c pada kedua kelompok. Desain studi yang digunakan adalah cross-sectional dengan teknik pengambilan sampel consecutive sampling. Kelompok yang diteliti pada penelitian ini adalah pasien DM tipe 2 (n = 51) dan pasien DM tipe 2 yang menderita kanker (n = 51). Analisis mutan p53 pada serum sampel dilakukan menggunakan ELISA, sedangkan pengukuran HbA1c dilakukan dengan Afinion Analyzer.
Pada penelitian ini kadar serum mutan p53 pada kelompok pasien DM tipe 2 (1,62 ± 0,08 ng/ml) tidak berbeda bermakna dengan kelompok pasien DM tipe 2 yang menderita kanker (1,64 ± 0,09 ng/ml) (p = 0,774). Sementara itu, HbA1c pada kelompok DM tipe 2 (8,42 ± 0,25 %) berbeda bermakna dengan kelompok DM tipe 2 yang menderita kanker (7,02 ± 0,20 %) (p < 0,001). Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar mutan p53 dengan HbA1c, baik pada kelompok DM tipe 2 (r = 0,083; p = 0,561), maupun kelompok DM tipe 2 yang menderita kanker (r = 0,072; p = 0,617). Penelitian ini menunjukkan bahwa kadar mutan p53 pada kelompok DM tipe 2 dan DM tipe 2 yang menderita kanker tidak berbeda bermakna, namun HbA1c pada kedua kelompok berbeda bermakna. Sementara itu, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar mutan p53 dengan HbA1c pada kedua kelompok.

Type 2 Diabetes Mellitus has been found to increase the risk of cancer which is caused by conditions of hyperglycemia, hyperinsulinemia, and inflammation. These three factors are able to induce tumorigenesis through mechanisms of glucotoxicity, lipotoxicity, and oxidative stress. This study aimed to measure and compare mutant p53 as tumor marker in Type 2 Diabetes Mellitus patients and Type 2 Diabetes Mellitus patients with cancer, to measure and compare HbA1c level in both groups, and to analyze the correlation between mutant p53 and HbA1c level in both groups. This study was a cross-sectional study with consecutive sampling technique in which two groups were involved, namely type 2 diabetes mellitus patients (n = 51) and type 2 diabetes mellitus patients with cancer (n = 51). Serological level of mutant p53 protein was analyzed using ELISA and HbA1c was measured with HbA1c Afinion Analyzer.
The serological level of mutant p53 in the type 2 diabetes mellitus patients (1.62 ± 0.08 ng/ml) showed no significant difference compared with type 2 diabetes mellitus patients with cancer (1.64 ± 0.09 ng/ml) (p = 0.774). Meanwhile, HbA1c level showed significant difference between type 2 diabetes mellitus patients (8.42 ± 0.25 %) and type 2 diabetes mellitus patients with cancer (7.02 ± 0.20 %) (p < 0.001). Mild correlations between mutant p53 and HbA1c level were found in both type 2 diabetes mellitus patients (r = 0.083; p = 0.561) and type 2 diabetes mellitus patients with cancer (r = 0.072; p = 0.617). Based on the result, there was no significant difference between mutant p53 in type 2 diabetes mellitus patients with and without cancer. HbA1c level was found to be significantly different in both groups. Meanwhile, there was no significant correlation between mutant p53 and HbA1c in both groups.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ruzicka Ilma Faradisi
"Beberapa studi epidemiologi maupun studi metaanalisis menunjukkan beberapa faktor pada DM tipe 2 memiliki hubungan dengan risiko terjadinya kanker. Mutan p53 yang terbukti berkontribusi terhadap perkembangan tumor sementara insulin yang diketahui berperan dalam mengendalikan kadar gula tubuh, dipilih menjadi biomarker yang akan diteliti pada penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan kadar mutan p53 dan insulin pada kelompok pasien DM tipe 2 + kanker (n=51) dan pasien DM tipe 2 (n=51). Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan teknik pengambilan sampel consecutive sampling. Pada penelitian, diketahui tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p=0,774) pada nilai mutan p53 antara kelompok pasien DM tipe 2 + kanker (1,65±0,10 ng/mL) dan kelompok pasien DM tipe 2 (1,62±0,09 ng/mL). Terdapat perbedaan bermakna (p<0,001) pada kadar insulin antara kelompok pasien DM tipe 2 + kanker (19,33±2,68 µIU/mL) dan kelompok pasien DM tipe 2 (37,31±2,68 µIU/mL). Tidak terdapat korelasi bermakna antara kadar mutan p53 dengan kadar insulin pada kelompok pasien DM tipe 2 + kanker (r=0,191; p= 0,179) dan pada kelompok pasien DM tipe 2 (r=-0,081; p= 0,574). Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna pada kadar mutan p53 antara kelompok pasien DM tipe 2 + kanker dan kelompok pasien DM tipe 2, namun terdapat perbedaan pada kadar insulin pada kedua kelompok. Selain itu, tidak ada korelasi bermakna antara kadar mutan p53 dan insulin pada kedua kelompok.

Epidemiological studies and meta-analysis have shown that several factors in type 2 DM are related to cancer incidents. Mutant p53 is scientifically proven to contribute in tumor development while insulin that known well to play an important role in controlling body glucose levels, therefore those two biomarkers were chosen to be investigated in this study. This research aimed to study the correlation of mutant p53 and insulin in type 2 DM + cancer (n=51) and type 2 DM patients (n=51). This research was a cross-sectional study with consecutive technique sampling. This study showed that there was no significant difference (p=0.774) of mutant p53 value between type 2 DM + cancer patients group (1.65±0.10 ng/mL) and type 2 DM patients group (1.62±0.09 ng/mL). However, it was significant difference (p<0.001) of insulin value in type 2 DM + cancer patients group (19.33±2.68 µIU/mL) and type 2 DM patients group (37.31±2.68 µIU/mL). There was also no significant correlation between mutan p53 and insulin value in type 2 DM + cancer patients group (r=0.191; p=0.179) and type 2 DM patients group (r=-0.081; p=0.574). Based on the results, we concluded that there was no significant difference of mutant p53 value in type 2 DM + cancer patients group and in type 2 DM patients group but there was significant difference of insulin value in both groups. There was also no significant correlation between mutan p53 and insulin value in both groups."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andisyah Putri Sekar
"Abnormalitas metabolisme glukosa yang terjadi pada pasien diabetes mengambarkan peningkatan risiko pada perkembangan dan prognosis kanker tertentu. Metformin yang merupakan terapi lini pertama untuk pasien diabetes melitus tipe 2 telah dikaitkan dengan risiko berkurangnya berbagai sel kanker. Penelitian ini membandingkan dan menganalisis efektivitas pengobatan metformin tunggal/kombinasi dan non-metformin terhadap nilai antibodi anti-p53 dan hubungannya dengan nilai HbA1c pada pasien T2DM yang memiliki faktor risiko kanker. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian observasional dengan menggunakan metode cross-sectional dengan jumlah sampel 32 orang yang diambil di Puskesmas Pasar Minggu, Puskesmas Cimanggis, RSUD Depok, dan pasien volunteer di kabupaten Tangerang dengan teknik total sampling. Nilai rerata antibodi anti-p53 diukur menggunakan elisa kit MESACUP anti-p53 Test, sedangkan HbA1c diukur di lab klinik terakreditasi dengan metode ion exchange HPLC. Nilai antibodi anti-p53, yaitu 0,17 ± 0,07 pada kelompok metformin tunggal/kombinasi dan 0,25 ± 0,12 pada kelompok non-metformin. Namun, nilai antibodi anti-p53 pada kedua kelompok tidak memiliki perbedaan yang bermakna (p = 0,970). Analisis korelasi antara nilai HbA1c dengan nilai antibodi anti-p53 pada kelompok non-metformin menghasilkan hubungan negatif yang kuat dan bermakna (r = -0,709; p = 0,003). Sedangkan pada kelompok metformin tunggal/atau kombinasi tidak ditemukan hubungan yang bermakna (r = -0,056; p = 0,830).

Abnormalities of glucose metabolism that occur in diabetic patients describe an increased risk in the development and prognosis of certain cancers. Metformin is a first-line therapy for patients with type 2 diabetes melitus has been associated with a reduced risk of various cancer cells. This study compares and analyzes the effectiveness of treatment in group of metformin or combination and non-metformin towards anti-p53 antibody ​​and their relation to HbA1c in T2DM patients who have risk factors for cancer. Type of research is an observational study using cross-sectional method with a total sample is 32 people in Puskesmas Pasar Minggu, Puskesmas Cimanggis, RSUD Depok, and volunteers patient in Tangerang district using total sampling technique. Anti-p53 antibody was measured using elisa kit MESACUP anti-p53 Test whereas HbA1c was measured in accredited clinical lab by ion exchange HPLC method. The average of anti-p53 antibody is 0,17 ± 0,07 in metformin single dose/combinations group and 0,25 ± 0,12 in non-metformin group. Moreover, there was no significance difference between the group of metformin or combination and non-metformin (p = 0,970). On the other hand, there was a strongly correlation between HbA1c values and anti-p53 antibody in group of non-metformin (r = -0,709; p = 0,003) but none in the group of single dose or combinations group (r = -0,056; p = 0,830).
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2016
S65034
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitriani Syawalia Naisya Buri
"Obesitas dan resistensi insulin pada pasien diabetes melitus tipe 2 dapat menyebabkan hiperlipidemia dan komplikasi pada sistem kardiovaskular. Metformin digunakan sebagai lini pertama terapi diabetes melitus tipe 2 dan dapat diberikan secara tunggal maupun kombinasi dengan golongan sulfonilurea. Namun beberapa studi menyatakan adanya peningkatan risiko penyakit kardiovaskular pada penggunaan terapi kombinasi metformin-sulfonilurea sedangkan penggunaan terapi kombinasi ini cukup tinggi. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui pengaruh pengunaan terapi metformin maupun terapi kombinasi metformin-sulfonilurea terhadap profil lipid pasien DM tipe 2 yang berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskular. Desain studi yang digunakan adalah cross sectional dengan teknik pengambilan sampel yakni consecutive sampling. Seluruh subjek yang diikutsertakan telah mengonsumsi metformin n=38 atau kombinasi metformin-sulfonilurea n=51 selama minimal 1 tahun dan berpuasa selama 8 jam sebelum pengambilan darah untuk pengujian profil lipid. Profil lipid yang terdiri dari kadar kolesterol total, kadar HDL, kadar trigliserida dan kadar LDL diukur dari sampel darah subjek. Alat pengukur profil lipid menggunakan metode enzimatik. Hasil pengujian kolesterol total, kadar HDL, kadar trigliserida dan kadar LDL menunjukkan bahwa rata-rata pada kelompok metformin lebih baik dibandingkan dengan kelompok terapi kombinasi metformin-sulfonilurea namun tidak menunjukan perbedaan yang bermakna p>0,05 untuk tiap komponen yang diukur. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa penggunaan metformin dapat menghasilkan profil lipid yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan terapi kombinasi metformin sulfonilurea, meskipun tidak berbeda secara statistik.

Obesity and insulin resistance in type 2 diabetes mellitus patients can cause hyperlipidemia and complications in the cardiovascular system. Metformin is used as a first line therapy of type 2 diabetes mellitus and can be administered only or in combination with sulfonylurea group. However, some studies suggest an increased risk of cardiovascular disease in the use of combination metformin sulfonylurea therapy while the use of combination therapy is quite high. This study conducted to determine the effect of metformin therapy and metformin sulfonylurea combination therapy on lipid profile of type 2 DM patients which relate to cardiovascular disease. The study design was cross sectional with sampling technique is consecutive sampling. All subjects who were enrolled had taken metformin n 38 or a combination of metformin sulfonylurea n 51 for at least 1 year and fasted for 8 hours prior to blood sampling for lipid profile testing. Lipid profile consisting of total cholesterol level, HDL level, triglyceride level and LDL level were measured from blood samples of the subjects. Lipid profile was analyzed by enzymatic methods. Results of total cholesterol, HDL levels, triglyceride levels and LDL levels testing showed that the average in the metformin group was better than the metformin sulfonylurea combination therapy group but did not show a significant difference p 0.05 for each measured component. Therefore it can be concluded that the use of metformin can produce a better lipid profile compared with the use of a combination of metformin and sulfonylurea, although not statistically different."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Dorthy Santoso
"Latar belakang: Diabetes melitus tipe 2 merupakan salah satu penyakit metabolik yang sering dijumpai dan merupakan salah satu dari empat prioritas penyakit tidak menular. Prevalensi penyakit DM meningkat dengan pesat dan akan menjadikan Indonesia perillgkat kc empat dunia. Bctrunbalmya jumlnh penyandang DM dan komplikasi akibat DM menjadi beban negara terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia. Salah satu komplikasi yang l~rkail d~Ilgan bidang Hum Kesehatan Kulit dan Kelamin adalah komplikasi mikrovaskular yakni neuropati. Neuropati otonom ditandai dengan kulit kering dan jumlah keringat yang berkurang. Kekeringan kulit yang tidak di tata laksana dengan baik mempennudah timbulnya kaki diabetik. Tujuan: Mengetahui pengaruh kadar HbAle dan gula darah terhadap kulit kering pada pasien DM tipe 2. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan terhadap pasien diabetes melitus tipe 2 di Poliklini.k Endokrin IImu Penyakit Dalam dan Poliklinik Hmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUPN. Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada bulan Juli hingga September 2018. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik untuk menentukan derajat kekeringan kulit dengan menggunakan penilaian SRRC, dilanjutkan dengan pemeriksaan eorneometer dan tewameter. Terakhir dilakukan pemeriksaan laboratorium darah untuk kadar HbAle dan GDS. Basil: Didapatkan total 95 subjek clengan usia rerata 54 tahun, hampir sebagian besar pasien tidak merokok, tidak menggunakan pelembap dan AC, tidak menggunakan air hangat untuk mandi, mengkonsumsi obat penurun kolesterol, mengalami neuropati dan menopause, serta durasi lama DM 2:5 tabun. Hasil utama penelitian ini didapatkan korelac;;i yang hennakna seeara statistik antara kadar HbAle dengan nilai SRRC berdasarkan uji nonparametrik Spearman (r· = 0,224; P = 0,029). Perhitungan statistik dilanjutkan kembali dengan anal isis stratiflkasi dan regresi linear stepwise. Kesimpulan: Pada pasicn DM tipe 2 terdapat peningkatan SRRC dan SCap yang dipengaruhi oleh kadar HbAle.

Background: Type 2 diabetes mellitus is one of the most common metabolic diseases and is one of the top four non-contagious priorities. DM prevalence has been increasing rapidly and would make Indonesia ranked fourth in the worldwide. The increasing number of people with DM and its associated complications are major burden, especially for developing countries such as Indonesia. One of the complications associated with Dermatology and Venereology is microvascular complications, specifically neuropathy. Autonomic neuropathy is characterized by dry skin and reduced amount of sweat. Unmanaged dry skin is a potential risk factor of developing diabetic foot. Objective: To determine the effect ofHbAlc and blood glucose level on dry skin in type 2 diabetes mellitus patient. Methods: This study was a cross-sectional study conducted on patients with type 2 diabetes mellitus in the Endocrine outpatient clinic of the Internal Medicine and Dermatology and Venereology outpatient clinic of RSUPN. Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta from July to September 2018. History taking, physical examination to dctcrminc the degree of skin dryness using SRRC assessment, followed by examination of the comeometer and tewameter. At last, blood test examination was performed for HbAlc and random blood glucose levels measurement. Results: A total of95 subjects were enrolled with an average age of 54 years, most if the patients were non-smoker, did not use moisturizers and air conditioning, did not use warm water for bathing, consumed cholesterol lowering agent, experienced neuropathy and menopause, and have been suffering DM for more than 5 years. The main results of this study were statistic3.Ily significant correlation between HbAlc levels and SRRC values based on the Spearman nonparametric test (r = 0,224; P = 0,029). Statistical calculations were continued with stratification analysis and stepwise linear regression. Conclusion: Type 2 DM patients experience increment in SRRC and SCap, which are associated with HbA 1 c level.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2019
T59211
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitriyani
"ABSTRAK
Diabetes mellitus (DM) tipe 2 diketahui sebagai salah satu masalah kesehatan yang memberikan beban ekonomi yang cukup besar pada sistem pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Bervariasinya penggunaan terapi obat akan mengakibatkan adanya perbedaan dalam efektivitas dan biaya terapi, sehingga perlu dilakukan analisis efektivitas-biaya. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis efektivitas-biaya terapi kombinasi metformin-insulin dan metformin-sulfonilurea pada pasien rawat jalan dengan DM tipe 2. Penelitian ini menggunakan desain studi kohort, pengambilan data dilakukan secara retrospektif di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo menggunakan rekam medik pasien rawat jalan dengan DM tipe 2 dari tahun 2016-2019 dan data billing rumah sakit. Efektivitas terapi (∆HbA1c) dan biaya medis langsung antara kedua kelompok dibandingkan. ∆HbA1c antara kelompok metformin-insulin dan kelompok metformin-sulfonilurea tidak memiliki perbedaan yang bermakna secara statistik (rerata perbedaan 0,123%; p=0,608). Sedangkan median biaya medis langsung kelompok metformin-insulin lebih tinggi dibandingkan kelompok metformin-sulfonilurea (p < 0,001). Hasil analisis efektivitas-biaya menunjukkan bahwa terapi kombinasi metformin-sulfonilurea lebih cost-effective dibandingkan kombinasi metformin-insulin.

ABSTRACT
Type 2 diabetes mellitus (DM) has been recognized as one of the health problems that imposes economic costs to health care systems around the world. Variation of drug therapy will result in differences in effectiveness and cost of therapy, thus cost-effectiveness analysis has been regarded paramount. The purpose of this study is to analyze the cost-effectiveness of metformin-insulin and metformin-sulfonylurea combination therapy in outpatients with type 2 DM. This cohort study was conducted retrospectively at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo using medical records of outpatients with type 2 DM from 2016-2019 and hospital billing. The effectiveness of therapy (∆HbA1c) and direct medical costs between the two groups were compared. ∆HbA1c between the metformin-insulin group and the metformin-sulfonylurea group did not have statistically significant differences (mean difference 0,123%; p=0,608). While the median of direct medical costs of the metformin-insulin group was higher than metformin-sulfonylurea group (p < 0.001). The results of the cost-effectiveness analysis showed that the combination therapy of metformin-sulfonylurea was more cost-effective compared to the combination of metformin-insulin."
2019
T55097
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Misella Elvira Farida
"Kualitas tidur yang buruk pada pasien diabetes melitus tipe 2 akan berdampak pada kualitas hidupnya. Kualitas tidur yang buruk disebabkan oleh tanda dan gejala serta komplikasi diabetes melitus yang diakibatkan oleh status kontrol gula darah yang buruk. Kadar HbA1c dapat menggambarkan status kontrol gula darah pasien dalam tiga bulan terakhir.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan kadar HbA1c dengan kualitas tidur pada pasien diabetes melitus tipe 2. Desain penelitian ini adalah analisis korelatif dengan pendekatan cross sectional, reponden pada penelitian ini adalah pasien diabetes melitus tipe 2 sebanyak 110 pasien di Poli Endokrin Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. Pengambilan samel dengan teknik consecutive sampling. Data kadar HbA1c diambil dari hasil pemeriksaan HbA1c responden dalam tiga bulan terakhir dan kualitas tidur diukur dengan Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kadar HbA1c dengan kualitas tidur responden (p=0,000) dimana responden dengan kadar HbA1c pada kategori diabetes memiliki peluang 45 kali untuk memiliki kualitas tidur yang buruk dibandingkan responden dengan kadar HbA1c pada kategori normal.
Penelitian ini merekomendasikan kepada perawat agar memberikan edukasi mengenai manajemen diabetes melitus sehingga pasien dapat mempertahankan status kontrol gula darah yang baik dan mendapatkan kualitas tidur yang baik.

Poor sleep quality in patients with type 2 diabetes mellitus (T2DM) will have an impact on their quality of life. Poor sleep quality is caused by signs and symptoms and complications of diabetes mellitus caused by poor glycemic control. HbA1c level describes the patient's glycemic control in the last three months.
This study aims to identify the relationship between HbA1c level and sleep quality in patients with T2DM. The study was using a cross sectional approach, 110 patients with T2DM at the Endocrine Polyclinic of Dr. Cipto Mangunkusumo National General Referal Hospital Jakarta were recruited by consecutive sampling technique. HbA1c level was taken from the results of HbA1c examination of respondents in the last three months and sleep quality was measured by the Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI).
The results of this study indicated that there was a significant correlation between HbA1c level and the sleep quality of respondents (p = 0,000). The respondents with HbA1c level in the diabetes category have a 45 times greater chance of experiencing poor sleep quality compared to respondents with levels HbA1c in the normal category.
This study recommends the nurses to provid education and encourage patients with T2DM to maintain their glycemic control to promote healthy sleep among diabetic.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
July
"Diabetes melitus termasuk sepuluh penyebab kematian terbesar di dunia, dengan peningkatan 70% sejak tahun 2000. Kepatuhan menggunakan obat sangat penting untuk mencapai gula darah yang terkontrol pada pasien diabetes melitus. Pemberian insulin umumnya memberikan kontrol glikemik yang lebih baik sehingga meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi komplikasi diabetes, namun pemberiannya menyakitkan, membutuhkan teknik khusus, dan membatasi aktivitas harian pasien. Pemberian insulin pada pasien penyakit saraf memerlukan pertimbangan khusus karena kondisi pasien dapat memengaruhi kepatuhan menggunakan obat. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan pemberian insulin dengan kepatuhan menggunakan obat pada pasien diabetes melitus dengan penyakit saraf, serta pengaruh berbagai variabel perancu. Penelitian observasional ini dilakukan dengan desain potong lintang di sebuah rumah sakit pemerintah di Jakarta Timur pada September 2021-Januari 2022. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien diabetes melitus tipe 2 yang mendapatkan antidiabetes minimal 6 bulan. Variabel bebas adalah pemberian insulin, sedangkan variabel terikat adalah kepatuhan yang diukur dengan menggunakan metode subjektif (Adherence to Refills and Medications Scale, ARMS) dan metode objektif (Medication Refill Adherence). Variabel perancu meliputi karakteristik dasar, riwayat kesehatan, dan pengobatan pasien. Berdasarkan metode ARMS dan MRA, dari 175 responden, 28 responden (16,0%) patuh, yaitu 5 responden (8,9%) yang menggunakan insulin dan 23 responden (19,3%) yang tidak menggunakan insulin. Pada pasien diabetes dengan penyakit saraf, pemberian insulin memengaruhi kepatuhan menggunakan obat sebesar 0,374 kali (IK95%: 0,129-1,087) atau pasien yang mendapatkan insulin memiliki kepatuhan 62,6% lebih rendah dibandingkan pasien yang tidak mendapatkan insulin setelah dikontrol oleh iterasi dan perubahan antidiabetes yang digunakan pasien.

Diabetes mellitus is one of the ten leading causes of death in the world, with an increase of 70% since 2000. Medication adherence is very important to achieve controlled blood sugar in patients with diabetes mellitus. Insulin generally provides better glycaemic control thereby improving quality of life and reducing diabetes complications. However, the delivery considered painful, requires special techniques, and limits the patient's daily activities. Insulin administration in patients with neurological diseases requires special consideration because the patient's condition can affect medication adherence. This study aimed to analyze the relationship between insulin administration and medication adherence in diabetic patients with neurological diseases, and the influence of various confounding variables. This observational study was conducted with a cross-sectional design at a government hospital in East Jakarta from September 2021 to January 2022. The sample was type 2 diabetes mellitus patients who received antidiabetics for at least 6 months. The independent variable was insulin administration, while the dependent variable was adherence, measured using subjective methods (Adherence to Refills and Medications Scale, ARMS) and objective methods (Medication Refill Adherence, MRA). Confounding variables included baseline characteristics, medical history, and patient medication. Based on ARMS and MRA, there were 28 of 175 respondents (16.0%) who complied, namely 5 respondent (8.9%) who used insulin and 23 respondents (19.3%) who did not use insulin. Administration of insulin affects medication adherence by 0.374 times (95% CI: 0.129-1.087) than patients who do not use insulin or patients who use insulin have 62.6% lower adherence than patients who do not use insulin controlled by repeated prescription and antidiabetic changes."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>