Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 56924 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Elena Sarrah Novia
"ABSTRAK
Skripsi ini meneliti tentang bagaimana faktor-faktor domestik mempengaruhi arah kebijakan luar negeri Indonesia dalam rangka merespons dinamika situasi internasional, dengan menggunakan teori Neoclassical Realism. Situasi internasional yang terjadi pada masa itu adalah modernisasi militer yang terjadi di kawasan Asia Tenggara, diintervensi oleh keempat faktor domestik, yakni persepsi pemimpin, budaya strategis, hubungan negara dan masyarakat, dan institusi domestik. Dalam kurun waktu sepuluh tahun 1997-2007 , negara-negara di Asia Tenggara ndash; Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Myanmar, dan Indonesia ndash; melakukan modernisasi militer. Dibandingkan negara yang lain, Indonesia belum bisa melaksanakan modernisasi militer dengan optimal. Pada 27 April 2007 Indonesia dan Singapura sepakat untuk menandatangani Perjanjian Kerja Sama Pertahanan atau Defense Cooperation Agreement DCA . Perjanjian ini akan memberikan akses terhadap Singapura ke beberapa wilayah kedaulatan Indonesia untuk digunakan sebagai Military Training Area MTA . Selain itu, DCA juga memungkinkan untuk dilakukannya latihan militer bersama, pertukaran personil militer, dan pembangunan fasilitas militer Indonesia oleh Singapura. Namun demikian, DPR RI justru mengecam penandatanganan DCA dan memutuskan untuk menolak untuk meratifikasi kesepakatan tersebut. Satu dekade setelah DCA ditandatangani, belum ada kelanjutan proses ratifikasi perjanjian pertahanan tersebut. Tulisan ini berargumen bahwa DCA merupakan bentuk external balancing yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap modernisasi negara-negara di Asia Tenggara. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa usaha pemerintah Indonesia untuk melakukan external balancing gagal dikarenakan oleh empat variabel perantara, yakni persepsi DPR RI, budaya strategis, hubungan negara masyarakat, dan institusi domestik.

ABSTRAK
This thesis examines how domestic factors influence the direction of Indonesian foreign policy in order to respond to the dynamics of the international situation using the Neoclassical Realism theory. The international situation occurring during that period was the military modernization that occurred in Southeast Asia, which was interfered by the four domestic factors, namely leader 39 s perception, strategic culture, state and society relations, and domestic institutions. Within ten years 1997 2007 , countries in Southeast Asia Singapore, Malaysia, Thailand, Vietnam, Myanmar, and Indonesia implementing military modernization. Compared to other countries, Indonesia has not been able to carry out military modernization optimally. On April 27, 2007 Indonesia and Singapore agreed to sign a Defense Cooperation Agreement DCA . This Agreement will grant Singapore access to several sovereign territories of Indonesia as a Military Training Area MTA . In addition, the DCA also allows for joint military exercises, military personnel exchanges, and the construction of Indonesian military facilities by Singapore. However, the DPR RI House of Representatives criticized the signing of the DCA and decided to refuse to ratify it. Up to a decade after the DCA was signed, there has been no continuation of the ratification process of the defense agreement. This paper argues that DCA is a form of external balancing by the Indonesian government towards the military modernization of countries in Southeast Asia. The results of this study indicate that the Indonesian government 39 s attempts to perform external balancing failed due to four intermediate variables, namely the perception of DPR RI, strategic culture, state and society relations, and domestic institutions."
Lengkap +
2017
S69374
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rudi Rochmansyah
"Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD) 1945, yang diawali dengan Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga, dan Keempat, secara fundamental telah mengubah format kelembagaan negara dan pergeseran kekuasaan dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.
Perubahan yang mendasar juga menandakan terjadinya perubahan sistem kekuasaan negara yang dianut dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, yaitu dari paradigma dengan sistem pembagian kekuasaan (distribution/division of powers) secara vertikal sebelum perubahan UUD 1945, menjadi sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers) secara horizontal setelah perubahan UUD 1945. Dianutnya sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers) yang bersifat horizontal ini sebagaimana yang tercermin dalam pandangan Jimly Asshiddiqie, ialah mempertegas kedudukan dan fungsi kekuasaan negara yang dipisah dengan menganut prinsip checks and balances yang diwujudkan ke dalam tiga cabang kekuasaan negara, yaitu kekuasaan legilatif dipegang oleh DPR, kekuasaan eksekutif dipegang oleh Presiden dan kekuasaan kehakiman dipegang oleh lembaga peradilan.
Pergeseran kekuasaan legislasi merupakan implikasi dari Perubahan UUD 1945. Pada Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 naskah asli mengamanatkan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Sedangkan DPR sebagai lembaga legislatif hanya diberikan hak untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang. Berdasarkan UUD 1945 ini, Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif sekaligus juga memegang kekuasaan legislatif. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem yang dianut UUD 1945 ini adalah pembagian kekuasaan dan tidak menganut prinsip check and balances, karena kekuasaan Presiden sangat dominan dalam menyelenggarakan negara dan pemerintahan, baik dalam kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan legislatif.
Perubahan UUD 1945 telah menganut sistem pemisahan kekuasaan secara horizontal dengan prinsip check and balances, yang mendorong terjadinya pergeseran kekuasaan legislasi dari Presiden beralih kepada DPR. Dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 (Perubahan) mengamanatkan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang sedangkan pada Pasal 5 ayat (1) mengamanatkan bahwa Presiden mempunyai hak mengajukan Rancangan Undang-Undang. Pergeseran kekuasaan legislasi tersebut menunjukkan adanya pemisahan kekuasaan negara secara horizontal menjadi cabang kekuasaan legislatif dipegang oleh DPR sedangkan kekuasaan eksekutif dipegang oleh Presiden. Pemisahan kekuasaan negara dengan menganut prinsip check and balances menandakan adanya keseimbangan peran DPR sebagai lembaga legislatif dan Presiden pemegang kekuasaan eksekutif, sebagai lembaga negara dalam menyelenggarakan negara dan pemerintahan."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18222
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saifullah Ma`shum
Jakarta: Kreasi Cendekia Pustaka, 2012
328.3 SAI d
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Kompas, 2005
328 WAJ
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yana Syafriyana Hijri
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh terjadinya peningkatan jumlah pembentukan DOB di Indonesia. Hanya dalam waktu setengah dekade bertambah menjadi lima kali lipat. Kurun waktu 1999-2009 menunjukkan kenaikan yang signifikan, jumlah provinsi naik 27%, kabupaten 70,1%, dan jumlah kota 57,6%. Sampai dengan bulan Juni 2009, telah terbentuk 205 DOB, yang terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Sehingga, total DOB saat ini berjumlah 33 Provinsi, 398 Kabupaten dan 93 Kota, ditambah 5 Kota dan 1 Kabupaten Administratif di Provinsi DKI Jakarta. Adapun kenaikan jumlah pembentukan DOB melalui hak usul inisiatif DPR, meningkat 91% (53 DOB), terdiri dari 1 provinsi, 46 kabupaten, dan 6 kota. Pemerintah sendiri hanya mengusulkan 5 DOB (8,6%), terdiri dari 4 kabupaten, dan 1 kota. Kentalnya faktor politis dalam isu pembentukan DOB masih menjadi hambatan bagi pengendaliannya. Sebagai pijakan teoritis, penelitian ini menggunakan teori proses politik dari Roy C. Macridis dan Carlton Clymer Rodee, teori elit dari Vilpredo Pareto, teori pemekaran daerah dari Gabriele Ferrazzi, dan teori primordialisme dari Clifford Gertz dan Ramlan Surbakti.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan teknik analisis deskriptif. Sedangkan teknik pengumpulan data berdasarkan dokumen tertulis, baik risalah rapat Pansus, Panja, Timus Komisi II dan Paripurna DPR RI atau dokumen terkait dari lembaga-lembaga lainnya, termasuk wawancara mendalam dengan anggota Panja Komisi II DPR RI. Temuan dilapangan menunjukkan proses pembentukan Kabupaten Mamberamo Tengah merupakan tuntutan masyarakat melalui tokoh adat, tokoh agama, elit politik dan birokrasi, menggunakan pendekatan formal dan informal untuk mendesak Anggota Komisi II DPR RI segera memprosesnya menjadi hak usul inisiatif. Oleh karena itu, pembentukan DOB merupakan tindakan politis, karena beberapa ketentuan, syarat dan mekanisme administratif seringkali diabaikan. Bahkan tuntutan tersebut juga dipengaruhi adanya kontrak politik elit, transaksi ekonomi politik, dan kepentingan pembentukan daerah pemilihan dalam pemilu. Implikasi teoritis menunjukkan aktualisasi maupun sikap atas perilaku politik seperti dijelaskan Roy C. Macridis dalam tuntutan pembentukan Kabupaten Mamberamo Tengah disampaikan kelompok masyarakat adat dan didukung organisasi agama, menjadi kepentingan bersama untuk mewujudkan keadilan, pemerataan, persamaan, kesejahteraan dan kemakmuran, diagregasikan partai politik di daerah dan pusat agar dapat dibahas melalui mekanisme sistem politik. Kepentingan tersebut terealisasi karena adanya sekelompok elit sesuai dengan pendapat Pareto seperti tokoh adat, agama dan partai politik di daerah dan pusat yang berperan mengawalnya dalam lembaga politik.

This research is motivated by the increasing number of the establishment of DOB in Indonesia. In just a decade it has conducted for five times. The period of 1999-2009 showed a significant increase, up to 27% for the number of provinces, 70.1% for the districts, and 57.6% for the number of cities. As June 2009, has formed 205 DOB, which consists of 7 provinces, 164 countries, and 34 cities. Thus, currently number for total DOB is 33 provinces, 398 districts and 93 cities, plus 5 and 1 District Administrative City in Jakarta. The number of initiative right proposal for DOB establishment through parliaments is increasing as well, 91% (53 DOB), consists of 1 province, 46 districts and 6 cities. The government itself is only proposed 5 DOB (8.6%), consists of 4 districts and 1 city. The strong political factor in the issue of the DOB formation is still an obstacle to its control. As a theoretical foundation, this study uses the theory of the political process from Roy C. Macridis and Carlton Clymer Rodee, elite theory of Vilpredo Pareto, the theory of area of Gabriele Ferrazzi, and primordial theory of Clifford Gertz and Ramlan Surbakti.
This study used qualitative methods, the descriptive analysis techniques. While data collection techniques based on written documents, minutes of meetings with the Special Committee, Working Committee, Drafting Team, the Plenary Commission II of the parliaments, and related documents from other institutions, including in-depth interviews with members of the Working Committee. Field findings show the process of formation of the District Central Mamberamo a requirement of society through traditional leaders, religious leaders, political and bureaucratic elite, using formal and informal approaches to urge Members of Commission II of the parliaments immediately proceed to the right of initiative proposal. Therefore, formation of DOB is a political act, because some of the provisions, terms and administrative mechanism are often overlooked. Even these demands also influenced the contract by the political elite, transactions political economy, and the interests of formation of constituencies in the election. Theoretical implications indicate that the actualization of the political behavior and attitudes as explained by Roy C. Macridis shown in the demand for the District Central Mamberamo delivered and supported indigenous groups of religious organizations, to realize the common interest of justice, equity, equality, welfare and prosperity, aggregated regional and national political party in order to enter the political system mechanism. While the benefit is realized because of the elite group is in accordance with the concept of Pareto, such as the presence of traditional leaders, religious and political parties, whose role is to bring the interests and escorted into the political institutions.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T34986
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arrista Trimaya
"Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) telah memberikan dampak yang sangat besar dalam sistem ketatanegaraan negara Republik Indonesia, khususnya telah menempatkan posisi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pemegang kekuasaan membentuk Undang- Undang yang sebelumnya kekuasaan tersebut berada di tangan Presiden. DPR masa bakti 2004-2009 didasarkan pada Prolegnas tahun 2005-2009 untuk menjalankan program legislasinya. Prolegnas untuk masa bakti 2005-2009 telah menetapkan sebanyak 284 (dua ratus delapan puluh empat) judul Rancangan Undang-Undang yang direncanakan akan disusun dan dibahas dalam jangka waktu 5 (lima) tahun. Kualitas pelaksanaan fungsi legislasi DPR RI masa bakti 2004-2009 dapat dikatakan belum cukup baik. Hal ini dikarenakan tidak tercapainya jumlah Undang-Undang yang sesuai dengan perencanaan dalam daftar Prolegnas yang hanya tercapai kurang lebih 34 (tiga puluh empat) persen dari target awal. Adanya pengujian Undang-Undang ke Mahkamah Konstitusi juga menunjukkan bahwa kualitas pelaksanaan fungsi legislasi yang belum optimal. Belum optimalnya pelaksanaan fungsi legislasi DPR RI masa bakti 2004- 2009 disebabkan oleh berbagai kendala seperti: pertama pembahasan Rancangan Undang-Undang sangat lambat dan tidak efisien, kedua, pengaturan fungsi legislasi dalam Tatib DPR RI belum rinci dan sistematis, ketiga, kedudukan Baleg sebagai pusat harmonisasi dalam pembentukan Undang-Undang belum optimal, keempat, keberadaan SDM pendukung dalam pelaksanaan fungsi legislasi yang masih kurang, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya, terutama dalam hal penguasaan fungsi legislasi, kelima, sarana dan prasarana untuk mendukung pelaksanaan fungsi legislasi DPR masih sangat minim.

The Amendment of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia (UUD 1945) has caused an immense consequence on the constitutional system of the Republic of Indonesia, and in particular has positioned the House of Representatives (DPR) with its power of legislation that was formerly at the hand of the President. The 2004 - 2009's House has its 2005-2009 Prolegnas as the basic of legislation program. The 2005-2009 Prolegnas is a set of 284 (two hundred and eighty-four) proposed bills to be prepared and discussed within a period of 5 (five) years. The performance quality of legislation function of the 2004-2009 House is considered not satisfactory. The reason is it fails to meet the number of bills planned on the list of Prolegnas. At the moment, the number only reached approximately 34 (thirty-four) percent of the set target. Other benchmarks that can be used as a reference in assessing the quality of the legislation function of the 2004-2009 House of Representatives is through a number of judicial review at the Constitutional Court. The exercise of judicial review indicates a poor quality of the implementation of legislation function. There are some reasons and constrains for the poor performance of legislation function of the 2004-2009 House, such as: first, the draft discussion is time-consuming and inefficient, second, the rule of legislation function in the Rule of Procedure set up by the House is not yet thorough and systematic, third, the Legislation Commission that should plays a central role in drafting has not been the most favorable, fourth, the lack of support of human resources in the implementation of legislation function, both in terms of quantity and quality, especially in terms of mastering the legislation function, and fifth, a minimum facilities and infrastructure in supporting the function of legislation of the House that still exists."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28903
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Miftah Faridi
"Fokus penelitian ini adalah pengusaha dalam dunia politik Studi Pada DPR RI Periode 2014-2019 . Penelitian ini dilatarbelakangi karena jumlah pengusaha yang menjadi anggota DPR RI Periode 2014-2019 meningkat signifikan sebesar 266 47,54 dibandingkan dengan periode sebelumnya dari tahun 2009-2014 yang hanya berjumlah 215 39,09 . Penelitian ini menggunakan teori Frederick 2006 dengan melihat 17 karekteristik yang melekat pada diri entrepreneur seorang pengusaha untuk menjadi anggota DPR RI Periode 2014-2019.Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mengambil informan dari lima orang anggota DPR RI Periode 2014-2019 dari partai Golkar, Demokrat, PAN dan PKB.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa karakteristik yang ada dalam diri anggota DPR RI periode 2014-2019 adalah komitmen, dorongan kuat untuk berprestasi, berorientasi pada kesempatan dan tujuan, Inisiatif dan tanggung jawab, pengambilan keputusan yang persisten, mencari umpan balik, Internal locus of control, toleransi terhadap ambiguitas, pengambilan resiko yang terkalkulasi, integritas dan reliabilitas, toleransi terhadap kegagalan, energi tingkat tinggi, kreatif dan inovatif, visi, independen, percaya diri dan optimis dan membangun tim. Dari semua karakteristik yang melekat dalam diri pengusaha ternyata faktor yang paling dominan adalah dorongan kuat untuk berprestasi.

The focus of this study is a entrepreneur in the politic case study of DPR RI in Period 2014 2019 . This research is motivated because the number of entrepreneurs who are members of the DPR RI 2014 2019 period increased significantly by 266 47.54 compared with the previous period of 2009 2014 which amounted to only 215 39.09. This study uses the theory of Frederick 2006 to see the 17 characteristics inherent in the entrepreneur an entrepreneur to become a member DPR RI from 2014 to 2019 period. This study used qualitative methods to take the informant of the five members of DPR RI 2014 2019 period of the Golkar party, the Demokrat, PAN and PKB.
Results of this study concluded that the characteristics that exist in the period 2014 2019 member of Parliament is a commitment, a strong urge for achievement, and goal oriented opportunities, initiative and responsibility, decision making persistent, seek feedback, internal locus of control, tolerance for ambiguity, taking calculated risks, integrity and reliability, tolerance to failure, high energy, creative and innovative, vision, independent, confident and optimistic and team building. The conclusion of this study describe that members of Parliament in DPR RI in period 2014 2019 the characteristics inherent in the entrepreneur turns the most dominant factor is the strong urge for achievement.
"
Lengkap +
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lisa Adhrianti
"ABSTRAK
Teori groupthink memberikan perspektif menarik untuk melihat bagaimana cara berpikir suatu kelompok terikat pada kohesivitas yang tinggi terhadap kelompoknya dan mereka berupaya semaksimal mungkin untuk mencapai kebulatan suara sehingga mengesampingkan motivasi untuk berpikir untuk menghasilkan alternatif keputusan realistis. Pada perkembangannya, teori groupthink umumnya menjadi komoditas barat dengan studi pada kelompok politik di lingkup eksekutif pemerintahan yang bersifat homogen dan lebih tertutup, sehingga menarik untuk melihat fenomena groupthink dalam konteks komunikasi kelompok politik di lingkup legislatif dalam parlemen di negara transisi demokrasi seperti Indonesia yang anggotanya berlatar heterogen dari multiparpol dan lebih terbuka, namun sering menghasilkan keputusan yang kontroversial. Penelitian ini menyoroti adanya indikasi groupthink pada pengambilan keputusan tentang definisi Badan Publik pada RUU Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Hasil keputusan dianggap gagal dari perspektif masyarakat sipil karena menghasilkan pasal baru 14,15,16 sebagai hasil tawar menawar kepentingan (trade-off) antara eksekutif dan legislatif tentang masuknya BUMN, BUMD, Parpol dan LSM sebagai badan publik. Ditambah lagi dengan faktor pembahasan yang memakan waktu paling lama sementara tuntutan penyelesaian harus cepat, dan dampak dari implementasi pasal tersebut masih belum dapat dikatakan baik karena kasus sengketa badan publik masih tinggi, sanksi hukum tergolong rendah, serta belum tercapai angka persentase 100% badan publik yang memenuhi kewajiban memiliki Pejabat Pembuat Informasi dan Dokumentasi (PPID) dilingkup organisasinya. Sebagai penelitian kualitatif paradigma postpostivis yang menggunakan metode studi kasus instrumental dengan objek penelitian pada kelompok anggota Panitia Kerja (Panja) RUU KIP Komisi I DPR RI masa bakti 2004-2009, hasil penelitian ini menujukkan bahwa groupthink dapat terjadi di lingkup legislatif DPR RI karena adanya pertarungan kepentingan dengan kelompok eksekutif, tekanan waktu dan kelelahan yang kemudian memaksa kelompok legislatif menjadi kohesif dan menghasilkan keputusan yang tidak dapat dikatakan baik. Terlihat kondisi sebagai upaya meminimalisasi groupthink melalui peran pimpinan yang lebih akomodatif, adanya proses hearing, serta adanya peran devil?s advocate, namun ternyata pada akhirnya upaya tersebut tidak membawa hasil yang signifikan sehingga groupthink tetap terjadi. Secara teoritis, penelitian ini memperkaya perspektif teori groupthink Irving Janis (1972) yang tidak menyebutkan bahwa sebenarnya groupthink juga bisa terjadi pada kelompok yang awalnya heterogen, lebih terbuka, memiliki kekuatan relatif setara namum dikelilingi kepentingan-kepentingan lain diluar kelompok, yang menekan terhadap proses penyelesaian tugas melalui upaya kompromi.

ABSTRACT
Groupthink theory gives us a very interesting perspective to see a thinking process of a highly cohessive small group in a bigger group and how they put the best effort to reach an agreement while ignoring motivation on creating other realistic alternative decision. Groupthink is very common on the west, with studies on political groups in government executives body with homogen type of members and relatively more introvert, so making this even more interesting to be researched in group communication context in the legislatives from a democratic transitional country such as Indonesia. This legislatives consists of heterogen background members came from multi different political party and more extrovert but in reality so often in meaking controversial decisions. This research focused on groupthink indicators in decision making of Public Body definition from constitution draft of Public Information Opennes. From the perspective of civil society the decission taken considered fail because verse number 14,15,16 are bargain result between executives and legislatives on matter of BUMN, BUMD, political party also NGO as public body. More further, this process took a very long time in process where the demand of finishing stage is so short, also the impact of these verses is not as expected seen on numbers of disputes of information petition is so high, the sanctions is so light and there are so many public body has not appointed Information and Documentation Manager Officer (PPID). As a qualitative with pospositivist paradigm this research used case study method instrument with members of Working Committee of constitution draft of Public Information Opennes Law in 1st Commision of House of Representatives of Republic of Indonesia periode 2004-2009 as the research object. The result of this research shows that groupthink could be happen inlegislatives because there are so many conflict of interest with the executives, time pressuress, and fatigue. This condition forces legislatives became so cohesive and starts making bad decisions. These facts shown in order to minimize groupthink through the leader?s role to be come more accommodative, hearing process, and also the role of devil?s advocate, but still in the end these groupthink prevention process didn?t bring any adequate results. Groupthink still took place. Theoritically, this research hoped to enrich perspectives of groupthink theory by Irving Janis (1972). This theory did not mentioned the fact that groupthink also can happen on a heterogen group, more open, posses the same power among the members but yet surrounded by other interests from outer group and push the working process through compromises."
Lengkap +
Depok: 2015
D2102
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Rizal Maulana
"Skripsi ini membahas tentang hubungan Indonesia dengan Australia ketika diberlakukannya The Agreement on Maintaining Security (AMS) pada tahun 1995-1999. Penelitian ini merupakan penelitian sejarah diplomasi yang memfokuskan pada bidang pertahanan dan keamanan, khususnya tentang persetujuan keamanan yang dibuat oleh Indonesia dan Australia pada tahun 1995. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah dengan menggunakan sumber-sumber tertulis. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian lain yang sejenis yaitu ruang lingkup permasalahannya yang menjadikan The Agreement on Maintaining Security (AMS) sebagai fokus pembahasan. Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa AMS membuat hubungan kedua negara berada pada titik yang terdekat dibandingkan periode-periode sebelumnya. Akan tetapi, ternyata AMS tidak dapat bertahan lama karena persetujuan ini berakhir pada tahun 1999. Selain itu, dalam penelitian ini terdapat beberapa hasil temuan yang tidak menjadi perhatian khusus dari penelitian sebelumnya. Hasil-hasil temuan itu diantaranya proses negosiasi, respon dalam negeri dari kedua negara, serta implementasi dan dampaknya.

This thesis discusses the relationship between Indonesia and Australia on the implementation of the Agreement on Maintaining Security (AMS) in 1995-1999. This research is a research on history of diplomacy that focuses on the field of defense and security, especially regarding the security agreements made by Indonesia and Australia in 1995. The method used in this study is the historical method using written sources. The difference between this research and other similar studies is the scope of the problem which makes the Agreement on Maintaining Security (AMS) the focus of the discussion. The results of this study explain that AMS causes the relation between the two countries reached the closest point compared to the previous periods. However, it turned out that AMS could not last long because this agreement ended in 1999. In addition, in this study there were several findings that were not of particular concern from the previous researches. The findings include the negotiation process, the domestic responses from the two countries, also the implementation and impacts.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H.R. Agung Laksono
Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2005
342.05 AGU k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>