Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 184359 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agrina Ika Cahyani
"Diare pada balita masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang ada di Indonesia. Daerah Istimewa Yogyakarta, Sulawesi Selatan, dan Maluku merupakan tiga provinsi dari beberapa provinsi di Indonesia yang mengalami peningkatan kejadian diare dari tahun 2007 hingga 2013 dan balita menjadi populasi yang paling berisiko untuk mengalami diare. Fasilitas jamban, sumber air minum, pengolahan air minum, dan fasilitas cuci tangan diketahui menjadi faktor risiko kejadian diare.Studi ini menggunakan desain potong lintang dengan menggunakan data sekunder yang bersumber dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia SDKI 2012 untuk mengetahui hubungan antara fasilitas jamban, sumber air minum, pengolahan air minum, dan fasilitas cuci tangan dengan kejadian diare pada balita. Sampel penelitian adalah balita berusia 0-59 bulan di Daerah Istimewa Yogyakarta, Sulawesi Selatan, dan Maluku yang menjadi sampel SDKI 2012.Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi diare tertinggi ditemukan di Sulawesi Selatan 20,5 dan terendah di Daerah Istimewa Yogyakarta 6,4 . Selain itu, ditemukan hubungan yang signifikan antara fasilitas cuci tangan dengan kejadian diare pada balita di Daerah Istimewa Yogyakarta nilai P=0,026 . Sumber air minum juga ditemukan berhubungan secara signifikan dengan kejadian diare pada balita di Sulawesi Selatan nilai P=0,007 . Fasilitas cuci tangan pun berhubungan dengan signifikan dengan kejadian diare pada balita di Maluku nilai P=0,010 . Walaupun beberapa variabel tidak berhubungan dengan signifikan, variabel-variabel tersebut dapat meningkatkan risiko balita untuk mengalami diare. Oleh karena itu, pencegahan terhadap faktor risiko perlu dilakukan seperti menggunakan jamban yang memenuhi syarat, menggunakan sumber air minum yang layak, mengolah air minum sebelum dikonsumsi, dan memiliki fasilitas cuci tangan yang memadai.

Diarrhea in under five children is still one of the public health problems in Indonesia. The Special Region of Yogyakarta, South Sulawesi, and Maluku are the three provinces of several provinces in Indonesia which experienced an increase in the incidence of diarrhea from 2007 to 2013 and under five children became the most at risk population for diarrhea. The latrine facility, drinking water source, drinking water treatment and hand washing facilities are known to be risk factors for diarrhea.This study used a cross sectional design using secondary data from the Indonesian Demographic and Health Survey IDHS 2012 to determine the association between latrine facilities, drinking water sources, drinking water treatment and hand washing facilities with diarrhea occurrences among under five children. The sample of the study was 0 59 months old children in Yogyakarta, South Sulawesi and Maluku which were samples of the IDHS 2012.The results showed that the highest prevalence of diarrhea was found in South Sulawesi 20.5 and the lowest was found in Yogyakarta Special Region 6.4 . In addition, there was a significant association between hand washing facilities and the incidence of diarrhea among under five children in the Special Region of Yogyakarta P value 0.026 . Drinking water sources were also found to be significantly related to the incidence of diarrhea among under five children in South Sulawesi P value 0.007 . Hand washing facilities were significantly associated with the incidence of diarrhea among under five children in Maluku P value 0.010 . Although some variables do not have significant association, these variables may increase the risk of under five children suffering from diarrhea. Therefore, prevention of risk factors needs to be done such as using improved latrines, using improved drinking water sources, treating drinking water before consumption, and having adequate handwashing facilities."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S67956
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agrina Ika Cahyani
"Industri sepeda motor merupakan salah satu sektor usaha yang sangat rawan untuk terjadinya praktik penetapan harga mengingat bentuk struktur pasarnya yang oligopoli dimana struktur pasar tersebut akan mempermudah jalannya kesepakatan diantara para pelaku usaha dalam pasar. Apalagi melihat perkembangan industri sepeda motor dewasa ini yang semain berkembang, dengan pangsa pasar yang semakin luas, karena semakin tingginya permintaan masyarakat dan banyaknya pengguna sepeda motor di Indonesia. Sepeda motor banyak diminati karena merupakan sarana transportasi yang efisien dan ekonomis sesuai dengan kondisi masyrakyat Indonesia yang sebagain besar menengah kebawah. Salah satu jenis sepeda motor yang menjadi favorit konsumen adalah jenis skuter matik yang berkapasitas mesin 110-125cc, sepeda motor ini lebih mudah digunakan sehingga menjadi idola masyarakat Indonesia. Pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar sepada motor skutik ada dua yaitu YIMM dan AHM dimana kedua perusahaan ini menguasai lebih dari 70% pangsa pasar. Tingginya pangsa pasar mereka dan adanya bukti yang diduga sebagai bentuk komunikasi berupa email yang dikirimkan oleh Yoichiro Kojima, Presiden Direktur YIMM kepada bawahannya dalam internal perusahan yang isinya menginstruksikan supaya Yamaha mengikuti kenaikan harga motor Honda telah memunculkan dugaan KPPU mengenai adanya praktik penetapan harga diantara dua pelaku usaha dominan dipasar sepeda motor skutik tersebut, sampai akhirnya kasus tersebut berhasil dibawa ke tahap pemeriksaan lanjutan oleh KPPU. Namun, selama proses pemeriksaan lanjutan, Investigator masih kekurangan alat bukti untuk membuktikan adanya kesepakatan diantara kedua terlapor yaitu AHM dan YIMM untuk menetapkan harga sepeda motor jenis skuter matik berkapasitas mesin 110-125cc.

The motorcycle industry is one sector that is highly vulnerable to the practice of price fixing because of its oligopoly market structure which leads to facilitate the course of the agreement between the businesses in the market. Furthermore, according to the development of the motorcycle industry today who semain growing, with a market share that is more widespread, motorcycles have a high demand as a means of transportation that is most efficient and economical in accordance with the conditions of the majority of the Indonesian people that is emerging middle class. The consumer most favorite kind of motorcylcle is automatic scooter with capacity 110-125cc engine, because this kind of motorcycle is easier to use. There are two market leaders in automatic scooter market, that is YIMM and AHM who control more than 70% of market share in Indonesia’s market. The high share of their market and their email that allegedly as an evidence of communication between YIMM and AHM which sent by Yoichiro Kojima, President YIMM to his subordinates in the company's internal contents that instructed Yamaha to follow the price increase of Honda has bring out allegations of the KPPU regarding the existence of the practice of price fixing between the two businessmen that dominant in the motor scooter market, until the case is brought to the stage of further investigation by the Commission. However, during the process of further investigation, investigators still lack evidence to prove the existence of an agreement between the two reported that are AHM and YIMM to set the price of automatic scooter type motorcycle with engine capacity 110-125cc."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadindra Arina Aswonoputro
"Skripsi ini menganalisis praduga Penetapan Harga dan Praktek Kartel yang dilakukan oleh PT. Astra Honda Motor AHM dan PT. Yamaha Indonesia Motor Manufacturing. Pelanggaran diperkuat oleh pertemuan golf, email, dan kesaksian. Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan oleh KPPU, praktik dan harga kartel terbukti melanggar Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 5 tahun 1999, tetapi ada ketidakberesan dalam membuktikan unsur perjanjian, sehingga putusan KPPU seolah memaksakan.

This thesis analyzes the presumption of Price Fixing and Cartel Practice conducted by PT. Astra Honda Motor AHM and PT. Yamaha Indonesia Motor Manufacturing. The violations are reinforced by Golf encounters, emails, and testimonies. Based on inspection conducted by KPPU, cartel practices and pricing proved to violate Article 5 paragraph 1 of Law number 5 year 1999, but there are irregularities in proving the element of agreement, so that KPPU 39 s decision seems impose. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Meyliana S.K.
"Keberadaan lembaga pengawas dalam bidang persaingan usaha yang dikenal dengan Komisi Pengawas Persainga Usaha (KPPU), merupakan kemajuan di bidang bisnis khususnya terhadap perlindungan bagi konsumen dan para pelaku usaha dalam aktivitas bisnis persaingan yang sehat. Adapun perihal pembuktian terhadap perkara tentang perjanjian penetapan harga / sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengalami pergeseran dalam pembuktiannya.
Berkaitan dengan alat bukti yang digunakan KPPU dalam memeriksa perkara, selain yang diatur dalam undang-undang, dikeluarkanlah Peraturan Komisi sebagai pedoman penerapan/penggunaan Pasal 5 tentang Perjanjian Penentapan Harga ini yang dimaksudkan agar terjadi kesepahaman antara masyarakat dengan lembaga pengawas sebagai penegak.
Penulis mengangkat beberapa putusan KPPU tentang perkara penetapan harga yang dilakukan oleh beberapa pelaku usaha sebagai terlapor, agar pembaca dapat memahami beberapa bentuk dan ragam pembuktian yang dilakukan KPPU di tahun 2003, 2007 dan 2009. Teori kemanfaatan penulis gunakan dalam kajian penulisan ini agar dapat dipahami bahwa tujuan hukum diciptakan ditengah masyarakat bukan hanya untuk mencapai keadilan semata, melainkan juga bermanfaat bagi masyarakat.

The existence of an agency in business competition law, known as Commission for Supervision of Business Competition (KPPU) such an improvement in business, especially on consumer protection and businessman / business-actor in a healthy competition of business activity. Proofing the subject matter of the price fixing agreement / as set forth in Article 5 of Law Number 5 Year 1999 about Anti Monopoly and Unfair Business Competition, a shift in approach to the concept of proof.
Evidence relating to the use of the Commission in examining the case, the Commission issued regulations to guide the implementation / use of Article 5 of this Price Fixing Agreement which are intended to enable the understanding between the community and regulatory agencies for enforcement.
The author raises several Commission judgements on price fixing case made by some business as reported, so that readers can understand some of the forms and kinds of evidence which the Commission conducted in 2003, 2007 and 2009. The theory used in this study is ulitily theory, in order to be understood by readers that the purpose of the law was created in the community not only to achieve justice, but also give benefit for the community.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30435
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Zealabetra Mahamanda
"Skripsi ini membahas tentang praktek kartel dan penetapan harga yang diduga dilakukan oleh delapan perusahaan semen di Indonesia. Dugaan tersebut diperkuat dengan terjadinya hambatan pasokan yang menyebabkan kelangkaan dan tingginya harga jual akan produk semen semen di Indonesia. Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan oleh KPPU, dugaan kartel tersebut tidak terbukti. KPPU tidak dapat membuktikan bahwa pelaku usaha telah melanggar Pasal 5 dan Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999. Selain itu, tidak terdapat adanya petunjuk perjanjian pengaturan harga, perjanjian pengaturan pemasaran dan perjanjian kartel dalam kasus ini. Alhasil, dugaan terjadinya praktek kartel dan penetapan harga tidak terbukti. Adapun dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan tujuan menganalisis putusan KPPU No. 01/KPPU-I/2010 berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 dan Peraturan Komisi No. 4 Tahun 2010.

This thesis analyzes the presumption of cartel practices and price fixing by the eight cement company in Indonesia. This presumption is being strengthened by supply barrier which caused scarcity and raise the sell price of the cement product. KPPU couldn't prove that cement industry participants were breaking the article 5 and article 11 Regulation Number 5 Year 1999. Beside that, there is no evidences and indication about price fixing agreement, market sharing agreement and cartel agreement. As a result, this cartel and price fixing practices presumption hasn't proven. In process of writing this thesis, writer is using legal research methode to analyzing KPPU decision Number 01/KPPU-I/2010 based on the Law Number 5 Year 1999 and Comission Regulation Number 4 year 2010. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S448
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Adhika Fathazazi
"Skripsi ini membahas pengaturan hukum persaingan usaha terhadap kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menetapkan tarif premi asuransi kendaraan bermotor, kondisi pasar industri asuransi kendaraan bermotor sebelum dikeluarkannya kebijakan tersebut, dan dampak yang ditimbulkan dari penetapan batas bawah tarif premi asuransi kendaraan bermotor. Metodelogi penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan konseptual (conceptual approach). Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa pelaku usaha asuransi kendaraan bermotor yang tidak menyerahkan tarif premi kepada mekanisme pasar tetapi menggunakan tarif premi yang telah ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan termasuk perbuatan yang dikecualikan dalam UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat karena OJK mempunyai wewenang untuk mengatur dan mengawasi sektor jasa asuransi yang diamanatkan oleh UU No.21 Tahun 2011 tentang OJK. Kondisi pasar industri asuransi kendaraan bermotor sebelum adanya kebijakan ini sangat kompetitif dan tidak ada pelaku usaha dominan yang mengkontrol pasar, dan penetapan tarif premi batas bawah ini mendorong para pelaku usaha asuransi untuk bersaing dalam hal pelayanan, tetapi tidak dengan persaingan harga. Meskipun tidak melanggar hukum persaingan usaha, tetapi dampak dari penetapan harga dari kebijakan ini mempengaruhi pasar industri asuransi kendaraan bermotor.

This research discusses the regulation of competition law to the policy of the Financial Services Authority (OJK), which establishes motor vehicle insurance premium rates, market conditions motor vehicle insurance industry prior to the issuance of the policy, and the impact of delimitation under the motor vehicle insurance premium rates. The methodology used in this research is normative juridical approach to conceptual (conceptual approach) The results of the study found that businesses motor vehicle insurance did not submit the premium rates to the market mechanism but use the premium rate set by the Financial Services Authority, including acts that are excluded in the Act 5 of 1999 on Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Competition as the OJK has the authority to regulate and supervise the insurance services sector is atributed by the Act No.21 of 2011. Market conditions of automotive insurance industry prior to this policy is very competitive and there is no dominant business operators who control the market, and the establishment of premium rates of lower limit encourages insurance businesses to compete in terms of service, but not with price competition. Although not violate competition law, but the impact of the pricing of these policies affect market of automotive insurance industry."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S61731
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endah Sumartiwi Prihastuti
"Skripsi ini membahas mengenai penetapan harga jual bahan bakar minyak jenis Pertamax yang ditetapkan oleh Pertamina di seluruh SPBU. Penetapan yang dilakukan Pertamina selaku produsen kepada Mitranya diperkuat dengan adanya kewajiban Mitra SPBU untuk menjual sesuai dengan harga yang ditetapkan Pertamina sebagaimana tertuang dalam kontrak. Dalam menetapkan harga terdapat berbagai faktor-faktor yang digunakan Pertamina untuk melahirkan harga jual eceran di pasaran. Penetapan harga tersebut dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat bagi para pelaku usaha. Oleh karena itu, penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan tujuan meninjau dan menganalisis ada tidaknya pelanggaran yang dilakukan kedua pihak berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

This thesis analyzes the presumption of the price fixing of Pertamax fuel oil set by Pertamina at all gas stations. The presumption made by Pertamina as a producer to the partners is reinforced by the obligation of SPBU rsquo s Partners to sell it with the price which already set by Pertamina based on the contract. In determining the price there are various factors used by Pertamina to retail price in the market. The prices may raise unfair business competition for all. Therefore, this thesis uses normative legal research methods with the aim of reviewing and analyzing whether there are violations committed by both parties based on Indonesian Antitrust Law No.5 1999. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufiqurrahman
"Bardasarkan Pasal 10 UU No.36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi menegaskan adanya larangan praktek yang menjurus kearah monopoli dan persaingan usaha tidak sehat diantara pengusaha penyelanggara telekomunikasi. Hal ini sejalan dengan asas yang terkandung di dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Menurut Undang-Undang tentang Telekomunikasi, jasa instalasi dilaksanakan oleh Penyelenggara Telekomunikasi. Siapa saja penyelenggara telekomunikasi, dinyatakan di dalam Pasal 8 dengan peraturan pelaksanaannya diatur di dalam PP No. 52 Tahun 2000. Penyelenggara tersebut adalah pengusaha yang berbadan hukum, tetapi juga dapat dilakukan oleh pengusaha perorangan. Perekrutan pengusaha sebagai penyelenggara telekomunikasi oleh PT. Telkom Tbk., lazimnya dibuat perjanjian dengan memuat kesepakatan-kesepakatan yang dituangkan secara tertulis dan tidak tertulis. Perjanjian kerja yang dibuat dengan tidak tertulis inilah yang menjadi peluang adanya praktek persaingan usaha tidak sehat. Pengusaha cenderung membuat penetapan harga jasa maupun barang, melalui perjanjian tidak tertulis, dapat diduga agar sulit dilacak sekalipun oleh pihak berwenang yaitu KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha), sekalipun terdapat laporan, KPPU tidak dapat bertindak diluar kewenangannya sebagaimana peran penyidik. Dari sudut pandang dua Peraturan yaitu UU No. 5 Tahun 1999 dan UU No. 36 Tahun 1999, terjadi dualisme dalam menghadapai satu permasalahan mengenai penetapan harga. Menurut UU No. 5 Tahun 1999 perjanjian mengenai penatapan harga adakalanya dapat diterapkan pendekatan perse illegal atau rule of reason.atau keduanya. Demikian juga menurut UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang dikenal dengan pendekatan bundling service dan unbundling service.

AArticle 10 of Law 36 of 1999 on Telecommunications confirms the prohibition of the practice that leads towards monopoly and unfair competition among telecommunications carriers entrepreneurs. This is in line with the principles contained in the Law no. 5 in year 1999 on Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition. According to the Law on Telecommunications, installation service carried out by the Telecommunication Providers. Anyone telecommunications operator, expressed in Article 8 of the implementing regulations set in PP. 52 of 2000. The organizers are incorporated businesses, but can also be done by an individual entrepreneur. In the recruitment of employers as providers of telecommunications by PT. Telkom Tbk., typically made agreements that containing the written and unwritten. Employment agreement made with the unwritten that is the opportunity for unfair business practices. Employers tend to make the pricing of goods and services through an unwritten agreement, it can be presumed that difficult to trace even by the authorities that the Commission (KPPU), though there is a report, the Commission can not do outside the authority, which should investigator. From the point of view of the two regulations, namely Law no. 5 of 1999 and Law no. 36 In 1999, there was a duality in the face of the existing problems. According to Law no. 5 In year 1999 an agreement on price fixing is sometimes applied approach illegal per se or rule of reason or both. Similarly, according to Law no. 36 of 1999 on Telecommunications, as known as service bundling and unbundling approach to service."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S53182
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Yie, Brian
"Perjanjian penetapan harga adalah perjanjian antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama. Sedangkan kartel adalah perjanjian antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa. Pada tahun 2010, KPPU melalui putusan No. 17/KPPU-I/2010 memutus bahwa Kelompok Usaha Pfizer dan PT Dexa Medica, keduanya produsen obat anti hipertensi merek Norvask dan Tensivask, terbukti melakukan perjanjian penetapan harga dan kartel yang dilarang oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Putusan tersebut kemudian dibatalkan oleh putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan permohonan kasasi yang diajukan oleh KPPU ditolak oleh Mahkamah Agung dalam putusan No. 294 K/Pdt.Sus/2012.
Dalam skripsi ini, penulis mencoba menganalisa kesesuaian antara putusan Mahkamah Agung terkait pembuktian perjanjian penetapan harga dan kartel dalam perkara ini dengan hukum persaingan usaha di Indonesia, serta kedudukan bukti tidak langsung dalam hukum persaingan usaha di Indonesia. Hal tersebut didorong fakta bahwa penegakan hukum persaingan usaha di indutri farmasi, dalam hal ini obat anti hipertensi, menyangkut kepentingan masyarakat Indonesia akan kesehatan.
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, penulis mengambil kesimpulan bahwa putusan Mahkamah Agung in casu telah sesuai dengan hukum persaingan usaha di Indonesia dan bahwa penggunaan bukti tidak langsung oleh KPPU tidak memiliki dasar hukum yang kuat dalam peraturan perundang-undangan sehingga harus didukung oleh bukti-bukti langsung (hard evidence). Penulis mengharapkan kedepannya KPPU mendukung penggunaan bukti tidak langsung dengan bukti langsung untuk dapat membuktikan dengan pasti terjadinya pelanggaran hukum persaingan usaha dan Pemerintah Republik Indonesia merevisi Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 untuk memberikan dasar hukum bagi bukti tidak langsung sebagai alat bukti yang sah dalam hukum persaingan usaha Indonesia.

Price fixing agreement is an agreement between business competitors to fix the price on certain goods and or services which are to be paid by consumers or costumers in the same relevant market. While cartel is an agreement between business competitors to influence price by arranging production and or marketing of a good and or service. In 2010, KPPU through verdict No. 17/KPPU-I/2010 ruled that Pfizer Business Group and PT Dexa Medica, both are producers of anti hypertension drugs branded Norvask and Tensivask, were found guilty of making price fixing agreement and cartel which are forbidden by Law No.5/1999. The verdict was then annulled by the District Court's verdict, and the appeal submitted by KPPU was denied by the Supreme Court by verdict No. 294 K/Pdt.Sus/2012.
In this thesis, Writer tried to analyze the conformity of the Supreme Court's verdict regarding the evidencing of price fixing agreement and cartel in this case with antimonopoly law in Indonesia, and the position of indirect evidence in antimonopoly law in Indonesia. This analysis was motivated by the fact that the enforcement of antimonopoly law in pharmaceutical industry, in this case anti hypertension drugs, is related to the interest of Indonesian society in health.
Based on the result of the analysis, Writer concludes that the Supreme Court's verdict in casu is in conformity with antimonoply law in Indonesia and that the use of indirect evidence by KPPU do not have a solid legal foundation in Indonesia's legislation, therefore it has to be supported by direct evidence (hard evidence). Writer hopes that in the future KPPU would support the use of indirect evidence with direct evidence to be able to assuredly prove a violation of antimonopoly law and the government of RI would revise Law No.5/1999 to give legal foundation for indirect evidence as legitimate evidence in Indonesia's antimonopoly law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46352
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>