Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 68562 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jashinta Kresna Senja
"Dosis radiasi yang diterima fetus pada tindakan radiologi intervensional cenderung menjadi perhatian utama dalam penentuan justifikasi, mengingat fetus memiliki radiosensitivitas yang tinggi menjadikannya rentan terhadap efek radiasi. Tujuan dari penelitian ini adalah menunjukkan visibilitas perangkat lunak perhitungan dosis fetus PCXMC, CODE, dan membandingkan hasil pengukuran fantom sebagai referensi estimasi perhitungan dosis fetus menggunakan TLD. Penelitian ini menggunakan fantom Rando perempuan, dengan tambahan bola pantai sebagai bagian perut wanita hamil. Kemudian, eksposi dilakukan dengan dua pesawat radiologi intervensional yang berbeda. Parameter eksposi pada pengukuran disesuaikan untuk perhitungan simulasi. Pengukuran memberikan hasil dosis janin berturut-turut untuk kemiringan gantri 0 , 30 , dan 90 2,21 0.32 mGy; 3,37 0.53 mGy; dan 10,10 4.5 mGy dari pesawat 1, dan 0,74 0.13 mGy; 0,69 0.06 mGy; dan 2,72 1.11 mGy dari pesawat 2. Kalkulasi dengan kondisi eksposi yang sama pada CODE diperoleh hasil yang jauh lebih rendah dibandingkan hasil pengukuran, untuk gantry 0 , 30 , dan 90 perbedaan mencapai 81 ,72 ,70 pada pesawat 1, 97 , 93 , 96 pada pesawat 2. Sebaliknya, dengan hasil kalkulasi PCXMC yang relatif jauh lebih tinggi dari hasil pengukuran, untuk sudut gantry 0 , 30 , dan 90 perbedaan mencapai 206 , 289 , 100 Pada pesawat 1, 57 , 208 , dan 49 pada pesawat 2.

The purpose of this research is to compare the feasibility of two foetal dose calculation software, namely PCXMC, CODE, by comparing the result with phantom measurement using TLD. Female Rando phantom with additional beach ball containing water to simulate first trimester pregnancy was used as measurement subject using two different angiography devices. Exposure parameters in measurement were being employed as input values for simulation using the two softwares. The measurement yielded on foetal dose of respectively for 0 , 30 , and 90 gantry angle 2.21 0.32 mGy 3.37 0.53 mGy and 10.10 4.50 mGy for first device, as well as 0.74 0.13 mGy 0.69 0.06 mGy and 2.72 1.11 mGy for second device. CODE generated results presented relatively large discrepancy against phantom measurement, i.e. respectively for gantry angle 0 , 30 , and 90 being 81 , 72 , and 70 for first device, and 97 , 93 , 96 for the second device. The discrepancy yielded on PCXMC calculation presents discrepancies of 206 , 289 , and 100 for first device, as well as 57 , 208 , and 49 for second device all respectively for 0 , 30 , and 90 gantry angle. Extended literature study indicated that the discrepancies were attributed to difference in reference phantoms used."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S67875
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Aida
"Telah dilakukan penelitian mengenai dosis ekuivalen pada staf intervensional yang dilakukan di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta dengan menggunakan TLD-100 Rod dan TLD-100 Chip sebagai dosimeter personal. Hasil dari pengukuran dosis ekuivalen untuk prosedur PCI dengan menggunakan TLD-100 Rod lebih besar dosis yang diterima dibandingkan dengan menggunakan TLD-100 Chip. Perbedaan rata-rata antara hasil dari TLD-100 Rod dan TLD-100 Chip adalah 34.2%. Dari hasil pembacaan TLD-100 Rod dosis yang paling besar pada perawat adalah di titik pengukuran bagian gonad di luar apron. Untuk dokter dosis yang paling besar juga didapat di titik pengukuran bagian gonad apabila tidak memakai apron. Di lain pihak, dari hasil pembacaan TLD-100 Chip dosis yang paling besar pada perawat adalah di titik pengukuran bagian tiroid dan pada dokter dosis yang paling besar di titik pengukuran bagian tangan. Dari penelitian ini juga melakukan pengukuran dosis output yang bertujuan untuk mengetahui laju dosis pada titik IRP. Hasil dari pengukuran laju kerma udara per mA adalah 0,061 mGy/mAs sampai 0.257 mGy/mAs. Hasil laju dosis pada titik IRP dibandingkan dengan laju dosis staf dan didapat hasil persentase yang sangat kecil. Nilai DAP tidak signifikan berkorelasi dengan tingkat radiasi hamburan. Dosis ekuivalen yang didapat staf kecil sedangkan nilai DAP yang didapat besar. Rata-rata hasil pengukuran intensitas apron dengan menggunakan TLD-100 Rod dan TLD-100 Chip adalah 43.83% sampai 95.91% pada pengukuran staf perawat dan 37.38% sampai 95.91% pada pengukuran staf dokter. Sedangkan untuk tirai kaca Pb adalah 97.77 % sampai 98.95% dan untuk tirai Pb adalah 98.5% sampai 99.27%.

The equivalent dose for staffs doing interventional radiology have been done at National Cardiovascular Center Harapan Kita Hospital using TLD-100 chip and TLD-100 rod as personal detector. The results shows that the dose equivalent for PCI procedures using TLD-100 rod received larger doses than TLD-100 chip. The average dose difference between TLD-100 rod and TLD-100 chip is 34.2%. The greatest dose of TLD-100 rod was occurred at gonad point for nurses and medical doctors, whereas it was occurred at thyroid and hand point of measurement in TLD-100 chip for nurse and medical doctor respectively. In this study was performed the measurements dose rate at the point of IRP (Interventional Refferences Point). The results of measurements of air Kerma rate per mA was in the range of 0.061 mGy / mAs to 0.257 mGy / mAs and if it was comparison the IRP to dose rate staffs in very small percentage. The DAP value was not significantly in correlated with the level of radiation scattering. However, the dose equivalent obtained of staffs was very small while the DAP value is high. In addition, the average of the intensity measurement of the apron using TLD-100 rod and TLD-100 chips were in the range of 43.83% to 95.91% for nursing staff and in the range of 37.38% to 95.91% for medical staff. As for glass curtain Pb was 98.95% to 113.79% and for curtains was 98.5% Pb to 99.27%."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
S47213
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Icha Renisha Mulia
"Pada pesawat angiografi modern, dosis maupun DAP selama pemeriksaan ditampilkan pada panel kendali. Namun, dosis tersebut tidak secara langsung menunjukkan dosis entrans kulit, utamanya pada pusat lapangan radiasi. Dengan menggunakan perangkat lunak berbasis AndroidTM telah dilakukan estimasi dosis entrans kulit pasien berdasarkan hasil pengukuran dengan fantom polymethyl methacrylate PMMA. Dosis entrans kulit pasien yang dikalkulasi dengan mengacu pada Kerma at Reference Point Ka,r dan Dose Area Product DAP dilakukan dengan memasukkan koreksi geometrik akibat kemiringan gantri, atenuasi meja pasien, koefisien konversi kerma udara menjadi dosis serap, dan faktor hamburan balik. Hasil kalkulasi ESD merupakan dosis titik pada pusat lapangan radiasi, bukanlah dosis maksimum yang diterima kulit pasien.
Hasil kalkulasi dibandingkan dengan hasil pengukuran ESD pada simulasi dengan fantom PMMA. Penelitian dilakukan dengan pesawat angiografi Siemens Artis Zee dengan kondisi eksposi 69-87 kV dan filter tambahan 0,1 mmCu. Pengukuran dengan thermo-luminescent dosemeters TLD dilakukan pada proyeksi penyinaran posterior-anterior PA , left anterior oblique LAO , right anterior oblique RAO , cranial CRA dan caudal CAU . Diskrepansi ESD hasil kalkulasi dan ESD pengukuran memiliki rata-rata 0,66-5,25 untuk kalkulasi mengacu DAP dan 0,52-5,17 . untuk kalkulasi mengacu Ka,r.

During examination of interventional radiology, radiation dose as well as Dose Area Product DAP are shown on control panel in modern angiography devices. However, dose shown indirectly indicates entrance skin dose received by patient, especially dose at center point of radiation field. Using AndroidTM based software, estimation of entrance skin dose ESD has been done based on measurement result using polymethyl methacrylate PMMA phantom in examination simulation. Patient entrance skin dose calculated using Kerma at reference point Ka,r and DAP as input value, then corrected by geometrical factor, patient table attenuation, air kerma to dose conversion coefficient, and backscatter factor.
Calculation result then compared to measurement result of ESD on PMMA phantom. The study was performed using Siemens Artis Zee angiography with exposure condition of 69 87 kV and additional filtration 0,1 mmCu. ESD measurements were carried out with thermo luminescent dosemeters TLD , in the projection of posterior anterior PA , left anterior oblique LAO , right anterior oblique RAO , cranial CRA dan caudal CAU . Discrepancy between ESD calculation and ESD measurement ranged from 0,66 to 5,25 for calculation using DAP as reference, in the other hand calculation using Ka,r as reference has discrepancy ranged from 0,52 to 5,17.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
S67007
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Aulia Ardyanti
"Penelitian ini membahas batas ketebalan yang diperlukan dalam penggunaan antiscatter grid pada pesawat Siemens Artis Zee yang berada di RS Kanker ldquo;Dharmais rdquo; Jakarta. Pesawat Siemens Artis Zee memiliki fitur fluoroskopi dengan mode yang dapat diatur yaitu low fluoroscopy, medium fluoroscopy dan high fluoroscopy. Pasien direpresentasikan dengan menggunakan fantom Polymethyl Methacrylate PMMA dengan variasi ketebalan 7 ndash;22 cm interval 1 cm. Dosis radiasi diukur pada titik dosis entrans kulit dan dosis transmisi, sedangkan kualitas citra menggunakan parameter resolusi spasial dan SNR, sehingga didapatkan parameter FOM sebagai hubungan antara dosis radiasi dengan kualitas citra SNR . FOM digunakan untuk menentukan batas ambang penggunaan antiscatter grid pada mode fluoroskopi berdasarkan ketebalan fantom. Hasil yang didapatkan untuk batas penggunaan antiscatter grid dimulai maksimum pada mode low fluoroscopy pada ketebalan 11 cm, mode high fluoroscopy pada ketebalan 16 cm dan pada mode medium fluoroscopy tidak disarankan penggunaannya karena hanya meningkatkan dosis tanpa meningkatkan kualitas kualitas citra.

The study discusses the threshold of thickness required for antiscatter grid use on Siemens Artis Zee at ldquo Dharmais rdquo National Cancer Center, Jakarta. The device has adjustable modes of low, medium, and high fluoroscopy. Patients are represented by Polymethyl Methacrylate PMMA phantom with a thickness variation of 7 22 cm of 1 cm interval. The dose metrics was measured as the entrance skin dose ESD and the transmission dose, while the image quality metric employed being spatial resolution and SNR, leading the result to FOM as squared SNR per dose. The FOM bridged dose and image quality to determine threshold of antiscatter grid usage on fluoroscopy based on fantom thickness. As a result, antiscatter grid are recommended to be used for objects 11 cm and thicker on the use of low fluoroscopy mode, and 16 cm and thicker objects on high fluoroscopy mode. In medium fluoroscopy mode, no threshold was yielded due to tube current being higher than other modes, hence it is recommended to remove the antiscatter grid during the use of the medium fluoroscopy mode."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
S68086
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurdina Gita Pratiwi
"Pada tindakan kardiologi intervensional, dosis yang diterima pasien relatif lebih tinggi, sedangkan pekerja radiasi akan menerima dosis hambur yang kualitasnya relatif lebih rendah. Namun, pekerja menerima dosis kumulatif dari seluruh tindakan kardiovaskuler yang dilakukannya selama bertahun-tahun. Oleh karenanya, tujuan penulisan ini akan difokuskan untuk mengestimasi distribusi radiasi hambur pada pekerja radiasi tanpa perisai pelindung di Cath Lab. Laju dosis hambur diukur menggunakan detektor survey unfors Xi. Detektor diletakkan pada 6 posisi berbeda di sekitar fantom. Setiap posisi memiliki sebelas titik pengukuran dari 25 sampai 175 cm di atas lantai dengan interval 15 cm, sebagai ilustrasi ketinggian parsial organ pekerja.
Secara eksperimen, fantom rando diradiasi dengan fluoroskopi pada kondisi 88-93 kV dan 5.7-9.4 mA berdasarkan variasi kemiringan gantry dan ukuran lapangan. Phillips C-arm divariasikan pada Kemiringan gantri 0o PA projection, 20o dan 30o Caudal, 20o dan 30o Cranial, dan 40o dan 50o Left Anterior Oblique dan Flat Panel Detector (FPD) pada 20x20 dan 25x25 cm2. Secara umum, laju dosis tertinggi terdapat pada daerah pinggang pekerja (100 cm) dan terendah pada daerah kepala pekerja (175 cm) yaitu berturut-turut sebesar 2.49 mGv/jam dan 0.02 mGy/jam. Data pengamatan menunjukan bahwa fraksi hambur berada pada rentang 0.001–0.060% dari dosis primer di isocenter. Laju dosis hambur cenderung meningkat pada setiap peningkatan sudut kemiringan gantri di semua posisi. Semakin besar luas FPD maka akan menurunkan nilai fraksi dosis hambur yang juga akan meminimalkan laju dosis hamburnya.

In Interventional Cardiology, dose received by the patient is relatively higher, while the occupational would receive scattered radiation dose whose quality is relatively lower. However, the occupational received accumulative doses of all cardiovascular procedures were done over the years. Therefore, the purpose of this paper will focus to estimate the distribution of scattered dose to occupational without any protective shielding in the Cath Lab. The scattered dose rate was measured by using survey detector of Unfors Xi. The detector was placed at 6 different positions around the phantom. Each measurement position has eleven points from 25 to 175 cm above the floor with increment of 15 cm as the illustration of partial height of occupational organ.
Experimentally a Rando phantom was irradiated by automatic pulsed fluoroscopy with condition varies in the range of 88-93 kV and 5.7-9.4 mA depend on gantry tilt and field size. The Phillips C-arm gantry tilt was varied at 0o PA projection, 20o and 30o Caudal, 20o and 30o Cranial, and 40o and 50o Left Anterior Oblique, and also Flat Panel Detector (FPD) was varied at 20x20 and 25x25 cm2. Generally, the greatest dose rate was known at level corresponding to Waist (100 cm) of occupational and the lowest at Head areas (175 cm) of occupational which is 2.49 mGv/h and 0.02 mGy/h, respectively. The given data showed that the scattered fractions are in the range of 0.001-0.060% from its primary dose at isocenter. The scattered doses tend to increase with gantry tilt for all positions. Increasing field size of FPD will decreased the scattered fraction from its dose at isocenter, and also it affects the scattered dose rate.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
S53512
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Nurtriningsih
"Studi dilakukan pada 20 pasien intervensi jantung: 12 coronary angiography (CA) dan 8 percutaneous transluminal coronary angioplasty (PTCA). Dosis permukaan diukur menggunakan DAP (dose-area product) dan gafChromic XR-RV3 yang ditempelkan pada permukaan kulit. Distribusi dosis permukaan dapat digambarkan pada film gafChromic. Selain itu, diukur pula dosis hambur pada tiroid, gonad dan mata. Citra dianalisis menggunakan algoritma In-house pada channel merah RGB standar. Korelasi antara dosis maksimum permukaan (MESD) dan DAP untuk kedua prosedur diinvestigasi. Ditemukan korelasi cukup signifikan (R2 = 0.86) antara DAP and MESD (R2 = 0.96 for CA and R2 = 0.82 for PTCA) sehingga pengukuran DAP tidak bisa dijadikan satu-satunya indicator untuk merepresentasikan dosis kulit pasien.
Hasil pengukuran film gafChromic menunjukkan bahwa dosis radiasi kulit pada prosedur PTCA lebih besar dibanding CA.Korelasi yang rendah antara MESD dan waktu fluoroskopi total (R2 = 0.44 dengan R2 = 0.26 untuk CA dan R2 = 0.29 untuk PTCA). Untuk dosis hamburan balik pada organ kritis, tiroid mendapat dosis tertinggi (1.45 cGy) diikuti oleh gonad (1.05 cGy) dan mata (0.61 cGy).

Twenty patients cardiac intervention procedures were studied : 12 coronary angiography (CA) dan 8 percutaneous transluminal coronary angioplasty (PTCA). The entrance skin dose were measure using DAP (dose-area product) and gafChromic XR-RV3 radiochromic film attached to the skin. gafChromic film measurement will be obtain the skin dose distribution on the back area of the coronary area. In addition, we also measure scattered dose on the tiroid, gonad and eyes. Image analysis was performed using red channel component of standart RGB (red, green and blue) color space image. The correlation between maximum entrance surface dose and dose area product for two interventional procedures was investigated. We found a significant correlation R2 = 0.86 of DAP (dose-area product) and MESD (R2 = 0.96 for CA and R2 = 0.82 for PTCA) so that DAP measurement cannot only be the one indicator to represent patient skin dose.
The gafChromic film results that the radiation dose to the skin for PTCA procedure greater than CA. In this study, we found a poor correlation of maximum entrance surface dose and total fluoroscopy time (R2 = 0.44 which were R2 = 0.26 for CA and R2 = 0.29 for PTCA). The result of gafChromic measurement shows that entrance surface dose for PTCA procedure greater than CA. For backscattering entrance dose, thyroid get the highest dose (1.45 cGy) followed by gonadal (1.05 cGy) and eyes (0.61 cGy)."
2013
S54442
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamdi Sahal
"Pesawat angiografi rotasi 3 dimensi digunakan dalam radiologi intervensi, kardiologi intervensi dan bedah invasif minimal yang dapat memvisualisasikan pembuluh darah, dan mengevaluasi anatomi tubuh yang lebih rumit dengan dosis radiasi yang lebih besar dibandingkan generasi sebelumnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan perhitungan estimasi dosis radiasi yang masuk ke dalam tubuh pasien yang dibandingkan dengan dosis ambang yang dapat diterima. Penelitian dilakukan dengan menggunakan phantom rando jenis wanita di dua instalasi cathlab dengan jenis pesawat yang berbeda. Pengukuran dosis dilakukan dengan menggunakan TLD pada mata, tiroid, spinal cord, payudara dan gonad pada mode preset yang berbeda untuk kepala dan abdomen.
Hasil penelitian menunjukkan pada pesawat 1, dosis yang diterima untuk pengukuran kepala pada mode 5sDR Head berkisar antara 1,17 mGy-3,68 mGy dan pada mode 5sDR Head Care berkisar antara 0,58 mGy-1,15 mGy. Sedangkan untuk pengukuran abdomen pada mode 5sDR Body dosis yang diterima adalah berkisar antara 0,50 mGy-0,85 mGy dan pada mode 5sDR Body Care berkisar antara 0,55 mGy-0,79 mGy. Pada pesawat 2, dosis yang diterima untuk pengukuran kepala pada mode Carotid Prop Scan berkisar antara 2,20 mGy-3.71 mGy dan mode Carotid Roll Scan berkisar antara 2,02 mGy-4,59 mGy. Sedangkan dosis yang diterima untuk pengukuran abdomen pada mode Abdomen Prop Scan berkisar antara 0,44 mGy-2,34 mGy dan pada mode Abdomen Roll Scan berkisar antara 0,43 mGy-1,30 mGy. Kesimpulan dari penelitian ini adalah semua mode preset tidak memberikan dosis yang mendekati dosis ambang untuk setiap titik pengukuran.

Three dimensional Rotational Angiography 3DRA is mostly used in interventional radiology, interventional cardiology, and minimal invansive surgery to visualize blood vessels, and more complicated anatomy with more visual capacity than the previous generation. The rotating nature of image acquisition with suspected high radiation dose requires dose estimation. This study was aimed to measure radiation dose in 3DRA and compare it to the thresholds for deterministic risks. Measurement using TLDs were carried out on female Rando phantom in two angiography suites with different device types, with the organ of interest being eyes, thyroid, spinal cord, breast and gonad. Different preset modes for head and abdomen were employed for comparison.
The result for device 1 showed that dose on 5sDR Head mode ranged from 1,17 mGy 3.68 mGy and in 5sDR Head Care mode ranged from 0,58 mGy 1,15 mGy while the measured dose on the body in 5sDR Body mode ranged from 0,50 mGy 0,85 mGy and in 5sDR Body Care mode ranged from 0,55 mGy 0.79 mGy. On device 2, the result showed the measured dose on the head in carotid prop scan mode ranged from 2,20 mGy 3.71 mGy and in carotid roll scan mode ranged from 2,02 mGy 4,59 mGy while the measured dose on the body in abdomen prop scan mode ranged from 0,44 mGy 2,34 mGy and in abdomen roll scan mode ranged from 0,43 mGy 1,30 mGy. The study presents that all preset modes do not deliver near threshold doses for each measurement point.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
S68072
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elia Soediatmoko
"Pemeriksaan CT scan kepala sudah menjadi pemeriksaan rutin untuk kasus sakit kepala. Namun informasi dosis radiasi pemeriksaan CT scan kepala belum banyak diketahui. Informasi akan dosis ini sangatlah penting karena adanya organ yang sensitif terhadap radiasi seperti kelenjar thyroid, kelenjar air ludah, lensa mata dan otak kepala. Untuk mengetahui estimasi nilai dosis di organ kepala tersebut digunakan software ImPACT CT patient Dosimetry Calculator yang mengunakan nilai nCTDIw yang diperoleh dari hasil pengukuran menggunakan detektor bilik ionisasi pensil berukuran 100 mm dengan obyek phantom CTDI berukuran 160 mm sebagai salah satu faktor penghitungan. Dari 15 pasien diestimasi dosis ekivalen untuk dosis ekivalen thyroid 0.072 mSv - 0.33 mSv, Kelenjar air ludah berkisar 0.66 mSv - 0.8 mSv, otak kepala 0.66 mSv -0.8 mSv, Sedang untuk lensa mata dinyatakan dalam dosis organ karena alasan deterministik kemungkinan terjadinya katarak pada lensa mata karena radiasi, yakni sebesar 75 mGy - 91 mGy, serta total dosis efektif 3 mSv - 3.7 mSv, pada parameter uji 120 kV 300 mAs. Besar nilai dosis dipengaruhi oleh mAs, panjang scan dan pitch, sehingga proteksi radiasi terhadap organ thyroid harus dilakukan.

Head CT scan has become a rutin procedure to rule out headache symptoms, but dose radiation influences is yet to be known . Information dose of head CT scan is very important because there are organ at risk such thyroid, saliva glands,brain and eye lens. Using nCTDIw values obtained from the measurement of 100 mm pencil ionization chamber on 16 cm CTDI phantom, combined with 15 patient data obtained from DICOM data patient, and estimated dose using imPACT CT patient dose calculator, estimated equivalent dose are, for thyroid 0.072 mSv - 0.33 mSv, saliva glands 0.66 mSv - 0.8 mSv, brain 0.66 mSv-0.8 mSv and the eye lens are mention in organ dose because of deterministic reason of cataract formation rather than for effective dose calculation are 75 mGy - 91 mGy and estimated total dose effective are 3 mSv - 3.71 mSv at 120 kV 300mAs. The dose value is influenced by mAs, lenght of scan and pitch, for futher attention of radiation protection for thyroid gland area must be done."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
S947
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2004
S29011
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanungkalit, Erlin Ingrina
"Telah dilakukan kalibrasi film Gafchromic XR-RV3 yang dilakukan di Secondary Standard Dosimetry Laboratory (SSDL) BATAN untuk pengukuran dosis kulit pasien selama prosedur intervensional dipandu fluoroskopi. Film dikalibrasi di udara dan di fantom dengan dosis penyinaran 1, 5, 10, 15, 50, 100, 200, dan 300 cGy pada kualitas berkas 70, 80, 90 dan 100 kV. Persamaan faktor kalibrasi dihasilkan dari grafik hubungan nilai kerapatan optik (OD) dengan dosis. Hasil dari pengukuran faktor kalibrasi di udara dan di fantom merupakan persamaan polinomial orde kelima dengan R=1. Dalam penelitian ini juga dilakukan komisioning scanner Perfection V700 di Laboratorium Fisika Medis dan Biofisika yang bertujuan untuk menguji konsistensi scanner, homogenitas scanner, homogenitas film dan suhu ruang penyimpanan film, serta menentukan faktor fading film.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa film memiliki komposisi yang tersebar merata pada setiap lapisannya. Berdasarkan respon scanner disarankan untuk melakukan pemindaian pada bagian pusat bedscanner namun tidak disarankan untuk melakukan pemindaian secara berulang. Selama penyimpanan dan proses pembacaan film sebaiknya suhu ruangan dijaga konstan. Berdasarkan lama waktu pemindaian film selama 72 hari, diperoleh laju penurunan nilai pixel film yaitu 314.3 pixel/pekan serta dihasilkan faktor koreksi fading y = -0.002x + 4.701 dengan R2=0.997, sebagai kompensasi waktu pemindaian yang berbeda.

Calibration of Gafchromic XR-RV3 film has been done at Secondary Standard Dosimetry Laboratory (SSDL) BATAN for measurement of patient skin dose during fluoroscopically guided interventional procedures. The film was calibrated free-in-air and on-phantom with exposure doses of 1, 5, 10, 15, 50, 100, 200 and 300 cGy at four x-ray beam qualities of 70, 80, 90 and 100 kV. Calibration factor function was generated from the graph equation between the optical density (OD) and doses. The resulted calibration factor free-in-air and on-phantom were defined in fifth order polynomial function with R=1. In this study commissioning perfection V700 scanner at the Laboratory of Medical Physics and Biophysics which aimed for consistency testing of scanner, the homogeneity of scanner, the homogeneity of film, and the temperature during storage, as well as determined the fading factor of film, was also performed.
The results shows that the composition of film layer was spread equally. Based on the response of scanner, it is recommended scan at center of flatbed but not recommended to perform repeatedly scanning. The room temperature during storage and the process of film reading should be kept constantly. Based on 72 days of the film scanning time, the decrease rate of film pixel value is 314.3 pixel/week and fading correction factor is in term of y = -0.002x + 4.701 with R2=0.997 to compensate reading time variation.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2013
S53482
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>