Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 103120 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ganjar Noviar
"Sampai saat ini di Indonesia belum diketahui prevalensi seropositif CMV pada darah donor sehingga belum dilakukan uji saring terhadap antibodi CMV dan analisis DNA CMV pada PRC leukodepleted secara rutin untuk kemanan darah donor.
Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan informasi efektifitas teknik leukodeplesi PRC terhadap deteksi DNA CMV, mendapatkan informasi mengenai prevalensi PRC dengan antibodi IgG CMV positif dan mendapatkan informasi mengenai prevalensi DNA CMV positif pada PRC non-leukodepleted serta PRC leukodepleted di UTD PMI Provinsi DKI Jakarta.
Metode yang digunakan desain potong lintang cross sectional dengan jumlah sampel 113 darah donor yang telah memenuhi kriteria inklusi. Uji saring antibodi IgG CMV menggunakan metode indirect chemiluminescence immunoassay ChLIA dengan alat Liason XL 10050 Chemiluminescence Analyzer dan analisis DNA CMV menggunakan metode qPCR untuk deteksi UL54 CMV dengan alat Roche Light Cycler 480 II.
Hasil penelitian menunjukkan prevalensi IgG CMV positif sebanyak 111 sampel 98,23 dan IgG CMV negatif sebanyak 2 sampel 1,77 . Prevalensi DNA CMV positif pada PRC non- leukodepleted adalah 1 sampel 0,88 dan PRC leukodepleted adalah 0 sampel 0.
Kesimpulan penelitian ini, PRC leukodepleted efektif dalam meningkatkan keamanan darah donor terhadap infeksi CMV.Kata kunci: Cytomegalovirus, PRC Leukodepleted, IgG CMV, qPCR UL54 CMV.

To date, the seropositive prevalence of CMV in blood donor is still remaining unknown. Therefore, no screening test for CMV antibody and CMV DNA analysis on leukodepleted PRC that is routinely performed in Indonesia for the safety of the blood donor.
The purpose of this study was to obtain information on the effectiveness of PRC leukodepleted techniques on CMV DNA detection, to obtain information on the prevalence of PRC with positive CMV IgG antibodies and to obtain information on the prevalence of positive CMV DNA in non leukodepleted PRC and leukodepleted PRC at UTD PMI DKI Jakarta.
Cross sectional design with total sample of 113 donor blood that has fulfilled the inclusion criteria was used as methodology. Indirect chemiluminescence immunoassay ChLIA method with Liason XL 10050 Chemiluminescence Analyzer was used for IgG CMV antibody screening test and qPCR technique with UL54 CMV by Roche light cycler 480 II was used for CMV DNA analysis.
The results showed that 111 samples 98.23 were positive to IgG CMV and 2 samples 1.77 was negative to CMV IgG. The prevalence of positive CMV DNA in PRC before leukodepleted was 1 sample 0.88 and PRC after leukodepleted was 0 sample 0.
The conclusion of this study is leukodepleted PRC effective to reduce the spread of CMV infection through blood transfusions.Key words Cytomegalovirus, PRC Leukodepleted, IgG CMV, qPCR UL54 CMV.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ibnu Agus Ariyanto
"Latar belakang: Cytomegalovirus (CMV) mempengaruhi γδ profil sel T pada individu sehat dan penerima transplantasi. Sedangkan sel NK terlibat dalam pengendalian infeksi cytomegalovirus (CMV), dan CMV dapat mengubah profil fenotipik sel NK di dalam inang. Namun, efek HIV dan CMV belum dibedakan pada pasien HIV. Koinfeksi CMV terkait dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan gangguan kognitif pada pasien HIV yang memulai ART. Di sini kami mempelajari peran profil kekebalan yang diubah oleh CMV pada pasien HIV dalam relevansinya dengan hasil klinis pada pasien HIV.
Metode: Studi dilakukan pada pasien HIV seropositif CMV (n=40) sebelum terapi ART (V0) dan setelah enam bulan (V6), bersama dengan kontrol sehat ((n=20) dengan 50% pasien yang memulai ART dengan DNA CMV terdeteksi. Profil imun di analisis dengan flow cytometry-data imunologi dihubungkan dengan database klinis studi JakCCANDO.
Hasil: Proporsi sel T Vδ2− γδ tinggi pada pasien dan menurun pada ART, sementara proporsi sel T Vδ2 + γδ secara seragam rendah dan berkorelasi terbalik dengan tingkat DNA CMV dan antibodi reaktif CMV. Residual sel-T Vδ2+ γδ diperkaya marka diferensiasi terminal, tetapi ini tidak terkait dengan metrik CMV. Pasien dengan DNA CMV pada awal ART menunjukkan korelasi langsung antara CMV reaktif-antibodi dan sel-T CD8 + γδ. Data kami konsisten dengan peran CMV dalam deplesi sel T Vδ2+ γδ pada pasien HIV yang memulai ART, dengan tidak ada bukti yang konsisten tentang peran CMV dalam aktivasi atau diferensiasi sel T γδ.
Proporsi sel CD56Lo NK yang mengekspresikan NKG2C adalah sama pada pasien dan kontrol serta pada pasien dengan DNA CMV positif atau negatif. Pasien menunjukkan proporsi CD56Lo yang berkurang dan lebih banyak sel CD56Hi NK pada V0, tanpa pemulihan pada ART. Proporsi sel FcRγ-CD56Hi dan CD56Lo NK rendah pada pasien - terutama pasien dengan DNA CMV terdeteksi pada V0. Proporsi berkorelasi terbalik dengan tingkat antibodi CMV di V6 pada pasien CMV DNA. Populasi sel LIR1+ NK tidak menunjukkan efek signifikan dari penyakit HIV, dan proporsi tidak berkorelasi dengan antibodi CMV.
Temuan menarik adalah hubungan linier antara antibodi reaktif CMV, sel T Vδ2- γδ khusus untuk CMV (HLA-DR MFI+, CD16+, dan CD8+), dan tingkat cIMT pada pasien HIV. Korelasi jelas pada pasien HIV yang dikelompokkan berdasarkan status CMV DNA+ yang diamati pada enam bulan memakai ART.
Kesimpulan: Secara keseluruhan, koinfeksi CMV mepengaruhi profil kekebalan pada pasien HIV yang memulai ART dalam penelitian ini. Sel T (sel Vδ2-) terdapat pada pasien HIV dalam proporsi yang tinggi dibandingkan dengan orang yang sehat. Sel-T Vδ2- yang diekspresikan sebagai penanda terkait CMV dapat berpotensi menjadi penanda yang lebih baik untuk memprediksi peningkatan risiko penyakit kardiovaskular. Asosiasi yang diharapkan antara populasi NK dan CMV tidak terlihat.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noor Yunida Triana
"Pengalaman Ibu dalam Memberikan Stimulasi Tumbuh Kembang pada Anak yang Pernah Terinfeksi Cytomegalovirus Anak yang pernah terinfeksi Cytomegalovirus CMV dapat mengalami keterlambatan tumbuh kembang dan disabilitas. Penelitian ini bertujuan memperoleh gambaran pengalaman ibu dalam memberikan stimulasi tumbuh kembang pada anak yang pernah terinfeksi CMV. Metode penelitian adalah kualitatif dengan pendekatan fenomenologi melalui wawancara semi terstruktur pada tujuh ibu. Penelitian ini mengidentifikasi enam tema: anak saya istimewa, konflik tiada henti, perasaan tidak menentu, berjuang agar anak normal, tidak merasa sendirian, dan optimis perkembangan anak normal. Hasil penelitian ini terhadap pelayanan keperawatan adalah perawat dapat menginisiasi pembentukan peer group bagi ibu-ibu yang memiliki anak yang pernah terinfeksi CMV.

Mothers rsquo Experience in Growth and Development Stimulation in Cytomegalovirus Infected Children A child that ever infected CMV may experience delayed growth and development, as well as disability. The purpose of this research was to obtain description the mothers rsquo experience in growth and development stimulation to a child that ever infected CMV. The research methodology was qualitative using phenomenology approach with semi structured interview to seven mothers. This research identified six themes my child is special, never ending conflict, uncertain feeling, struggling for normal child, not feeling alone and optimism the child development is normal. The result of this study on nursing care is nurses can initiate the formation of peer group for mothers who have children who have been infected with CMV."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
T49274
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nina Dwi Putri
"ABSTRAK
Infeksi CMV merupakan penyebab infeksi kongenital tersering di dunia yang menyebabkan kematian maupun kecacatan permanen misalnya keterlambatan perkembangan, gangguan pendengaran dan penglihatan. Prevalensi CMV dipengaruhi oleh letak geografis, status sosial ekonomi dan etnis. Prevalensi CMV kongenital di Amerika berkisar 0,5-1 , sementara di Negara berkembang 0,6-6,1 . Di Indonesia belum terdapat data prevalensi CMV kongenital. Penelitian ini adalah penelitan potong lintang untuk mengetahui prevalensi infeksi CMV pada neonatus yang lahir di RSCM. Penelitian dilakukan dari bulan Oktober 2016 sampai April 2017. Pemilihan subjek penelitian dilakukan dengan teknik consecutive sampling tanpa randomisasi, mengikutsertakan semua neonatus berusia kurang dari 21 hari. Sampel urin dilakukan polymerase chain reaction PCR dan sequencing. Neonatus yang terinfeksi akan menjalani skrining kelainan fungsi pendengaran, penglihatan dan USG kepala serta pemantauan selama 6 bulan. Sebanyak 12 dari 205 5,9 subjek penelitian, terinfeksi CMV atas dasar pemeriksaan PCR dan sequencing CMV urin. Sebanyak 5 dari 12 bayi yang terinfeksi CMV menjalani perawatan dengan diagnosis sepsis dan prematuritas. Satu orang bayi yang terinfeksi CMV meninggal. Prevalensi infeksi CMV pada neonatus di RS Cipto Mangunkusumo adalah 5,9 . Sebanyak 2 subjek merupakan infeksi simtomatik, sementara 10 subjek asimtomatik. Manifestasi klinis yang terlihat adalah gejala sistemik berupa viral-like sepsis, kolestasis, trombositopenia, dan gejala neurologis berupa ventrikulomegali.

ABSTRACT
CMV infection is the commonest cause of congenital infection, causing death or permanent disability such as delayed growth, hearing and sight problems. Prevalence of CMV infection is influenced by geographical location, socio economic status, and ethnicity. Prevalence of CMV infection in the US is around 0.5 1 , while in the developing countries varies from 0.6 6.1 . In Indonesia the prevalence of congenital CMV infection is unknown. This study is a cross sectional study to determine the prevalence of congenital CMV infection among neonates in Cipto Mangunkusumo hospital, held from October 2016 to April 2017. Subjects were recruited through consecutive sampling without randomization, from all neonates below 21 days old. Urine sample are collected for polymerase chain reaction PCR and sequencing of CMV. Infected neonates were screened for hearing and sight problems, brain ultrasound, and given a follow up program for 6 months. Twelve out of 205 subjects 5.9 were infected with CMV according to urine PCR and sequencing results. Five of them underwent hospitalization in the NICU due to sepsis and prematurity. One died during follow up. Prevalence of congenital CMV infection in Cipto Mangunkusumo hospital is 5.9 . Two subjects were considered as symptomatic infection, while the other ten asymptomatic. Clinical manifestation were systemic symptoms such as viral like sepsis, cholestasis, thrombocytopenia, and ventriculomegaly."
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amrina Rasyada
"Latar Belakang: Infeksi sitomegalovirus (CMV) telah menjadi masalah besar secara global dengan prevalens yang tinggi. Demam neutropenia merupakan kegawatdaruratan anak di bidang onkologi karena dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas, salah satu penyebabnya yaitu infeksi CMV. Mengingat tingginya seroprevalens CMV di Indonesia yang dapat meningkatkan angka kematian pasien keganasan, maka penting untuk memahami profil klinis, laboratoris, dan tata laksana infeksi CMV pada demam neutropenia. Tujuan: Untuk mengetahui prevalens, karakteristik klinis, laboratoris dan tata laksana infeksi CMV pada pasien anak dengan demam neutropenia karena keganasan. Metode: Penelitian ini merupakan uji observasional secara prospektif. Subyek yang diteliti adalah seluruh pasien demam neutropenia usia 1 bulan-18 tahun yang dirawat di bangsal anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada bulan Januari sampai dengan Mei 2024. Hasil: Terdapat 89 episode demam neutropenia yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, yang terjadi pada 71 pasien anak dengan median usia 6 tahun (5 bulan-16 tahun), lelaki 56,3%, dan tumor padat 53,5%. Kultur steril terbanyak yaitu darah (78,3%) dan urin (65,2%), dengan kultur positif terbanyak yaitu feses (100%), darah (21,7%), urin (34,8%), dan sputum (100%). Dari kultur yang positif, proporsi kuman terbanyak adalah Klebsiella pneumoniae (29%) dengan sensitivitas antibiotik tertinggi yaitu lini 1 gentamisin (50%), lini 2 sefoperazon sulbaktam (55,5%), dan lini 3 imipenem (72,2%). Terdapat 2 subyek dengan infeksi CMV berdasarkan PCR CMV dan peningkatan IgG 4 kali lipat dalam 4 minggu. Karekteristik klinis yang ditemukan yaitu demam neutropenia episode kedua, durasi demam 1,5 hari, suhu puncak demam 39,45oC, diare, muntah, pucat, dan perdarahan. Kedua subyek dengan status gizi baik. Karakteristik laboratoris yang ditemukan yaitu pansitopenia, peningkatan CRP, dan kultur yang negatif. Karakteristik tata laksana yang ditemukan yaitu pemberian antibiotik empiris, antijamur, dan antivirus valgansiklovir selama 14 hari. Kesimpulan: Prevalens infeksi CMV pada anak dengan demam neutropenia karena keganasan di RSCM sebesar 2,2%, dengan karakteristik klinis demam neutropenia episode kedua, durasi demam 1,5 hari, suhu puncak 39,45oC, gejala diare, muntah, pucat, dan perdarahan. Tidak terdapat karakteristik laboratoris dan tata laksana, tetapi ditemukan pansitopenia, peningkatan CRP, kultur negatif, dan pemberian valgansiklovir selama 14 hari. Hasil tambahan berupa proporsi kuman tertinggi pada pasien demam neutropenia yaitu Klebsiella pneumoniae dengan sensitivitas antibiotik tertinggi yaitu sefoperazon sulbaktam.

Background: Cytomegalovirus (CMV) infection has become a major problem globally with high prevalence. Neutropenic fever is a pediatric oncology emergency, increasing morbidity and mortality. CMV infection should be considered as a cause of neutropenic fever. Given the high CMV seroprevalence in Indonesia, which can increase cancer patient mortality, it is crucial to understand the clinical profile, laboratory findings, and management of CMV infection in neutropenic fever. Objective: To determine the prevalence, clinical, laboratory, and management characteristics of cytomegalovirus infection in pediatric patients with neutropenic fever due to malignancy. Methods: This research was an observational study prospectively. The subjects were all neutropenic fever patients aged 1 month-18 years who were hospitalized in the Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH) pediatric wards from January to Mei 2024. Results: There were 89 episodes of neutropenic fever that met the inclusion and exclusion criteria, found in 71 pediatric patients, with median age was 6 years old (5 months-16 years old), male 56.3%, and solid tumor 53.5%. Sterile results were found in blood (78.3%) and urine (65.2%) cultures. Positive cultures were found in feces (100%), blood (21.7%), urine (34.8%), and sputum (100%). Klebsiella pneumoniae (29%) was the highest proportion of positive cultures with the highest sensitivity antibiotic in the first line was gentamicin (50%), second line cefoperazone sulbactam (55.5%), and third line imipenem (72.2%). Two subjects were CMV infection based on PCR CMV and IgG increasing 4 times in 4 weeks. Clinical characteristics were second episode of neutropenic fever, duration of fever 1.5 days, peak temperature 39.45oC, diarrhea, vomiting, pale, bleeding, and both had good nutritional status. Laboratory characteristics showed pancytopenia, increasing CRP, and negative culture. Management characteristics included empirical antibiotic, antifungal, and antiviral valganciclovir for 14 days. Conclusion: The prevalence of CMV infection in neutropenic fever at CMH was 2.2%. Clinical characteristics were second episode of neutropenic fever, duration of fever 1.5 days, peak temperature 39.45oC, diarrhea, vomiting, pale, and bleeding. There is no laboratory and management characteristics, but found pancytopenia, increased CRP, negative culture, and administering valganciclovir for 14 days. The additional result was Klebsiella pneumoniae as the highest microbe with the highest antibiotic sensitivity was cefoperazone sulbactam."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Subekti
"Latar Belakang. Infeksi sitomegalovirus (CMV) merupakan infeksi oportunistik tersering yang menjadi penyulit pascatransplantasi hati anak. Infeksi CMV aktif pascatransplantasi hati diperkirakan terjadi tidak hanya karena faktor serologi donor dan resipien, tetapi juga karena nilai Pediatric End-stage Liver Disease (PELD) atau Model for End-stage Liver Disease (MELD), penggunaan kombinasi imunosupresan, dan klinis rejeksi yang pernah dialami.
Metode. Penelitian ini menggunakan desain kasus kontrol pada pasien anak yang telah menjalani transplantasi hati selama satu tahun atau lebih sejak tahun 2010 hingga tahun 2022di RSCM dengan stratifikasi risiko menengah. Sumber data diperoleh dari rekam medis dan hasil pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) CMV di Laboratorium Mikrobiologi Klinik FKUI. Hubungan antarvariabel dianalisis dengan menggunakan Fisher’s exact test dan t-test untuk dua populasi independen. Nilai p < 0,05 dianggap bermakna secara statistik pada analisis bivariat.
Hasil. Insidens CMV aktif pascatransplantasi hati pada periode satu tahun pertama adalah 26,7%. Kesintasan kumulatif bebas infeksi CMV aktif pada bulan ke-12 adalah 73,3% dan incidence rate tertinggi pada bulan ke-3. Tidak ditemukan perbedaan yang bermakna secara statistik pada nilai PELD/MELD antara kelompok CMV aktif dan kelompok non-CMV aktif (IK 95% -5,24-3,14, p = 0,61). Penggunaan kombinasi imunosupresan dan klinis rejeksi yang pernah dialami sebelumnya tidak berhubungan dengan terjadinya infeksi CMV aktif (RO 1,50, IK 95% 0,33-6,68, p = 0,72; dan RO 1,36, IK 95% 0,36-5,10, p = 0,65). Post-hoc power dari masing-masing uji hipotesis yang digunakan adalah 50-76%.
Kesimpulan. Insidens infeksi CMV aktif pascatransplantasi hati anak pada periode satu tahun pertama pada subjek dengan stratifikasi risiko menengah adalah 26,7%. Nilai PELD/MELD, penggunaan kombinasi imunosupresan, dan klinis rejeksi yang pernah dialami tidak berhubungan dengan risiko infeksi CMV aktif pascatransplantasi hati. Namun, power penelitian ini rendah sehingga dibutuhkan penelitian lanjutan dengan desain prospektif dan mengikutsertakan subjek yang lebih besar.

Background. Cytomegalovirus (CMV) infection is the most common opportunistic infection after pediatric liver transplantation. Active CMV infection after liver transplantation was considered to be affected not only by serology status of recipient and donor, but also by Pediatric End-stage Liver Disease (PELD) score or Model for End-stage Liver Disease (MELD) score, combination of immunosuppressive agents, and previous clinically rejection.
Method. Case control study was designed in this study, and children who experienced liver transplantation beyond one year from 2010 to 2022 at RSCM with moderate risk stratification were included in this study. Source data was obtained from medical record and polymerase chain reaction (PCR) CMV in Clinical Microbiology Laboratory Faculty of Medicine University of Indonesia. Analysis of two variables was explained using Fisher’s exact test and t-test for two independent population. A p value < 0.05 was considered to be statistically significant in bivariate analysis.
Result. Incidence of active CMV infection after liver transplantation within first one year was 26.7%. Cumulative survival of free CMV infection at 12th month was 73.3% and the highest incidence rate was in the first 3 months. There was no statistically significant difference between PELD/MELD score in active CMV group and not-active-CMV group (CI 95% -5.24-3.14, p = 0.61). Combination of immunosuppressive agents and previous cellular rejection were not associated with active CMV infection (OR 1.50, CI 95% 0.33-6.68, p = 0.72; and OR 1.36, CI 95% 0.36-5.10, p = 0.65). Post-hoc power of each hypothesis test was 50-76%.
Conclusion. Incidence of active CMV infection within first year after pediatric liver transplantation among moderate risk stratification group was 26.7%. PELD/MELD score, combination of immunosuppressive agents, and previous clinically rejection were not associated with risk of active CMV infection. However, this study was underpower that further studies need to be conducted with a prospective design and enrolled more participants.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lukman Edwar
"Latar belakang: Pasien HIV yang mendapatkan terapi antiretroviral (ARV) memiliki risiko yang besar terhadap infeksi CMV dan mencerminkan adanya perubahan kardiovaskular secara sistemik. Genotip dari sel Natural Killer (NK) dan sel imunitas berperan penting terhadap reaktivasi CMV. Namun, polimorfisme dari genotip sel NK dan sel imun pada populasi Indonesia belum banyak diketahui. Peneliti melakukan analisis penilaian terhadap kaliber arteri retina (RAC) sebagai pengukuran non-invasif untuk mengetahui perubahan patologis vaskular dari pasien HIV yang baru menjalani terapi ARV dengan risiko tinggi terhadap reaktivasi CMV serta hubungan antara genotip dari sel NK dan sel imunitas pada pasien HIV dengan seropositif CMV pada populasi Indonesia
Tujuan: Untuk mengetahui perubahan dari kaliber arteri retina dan hubungannya terhadap faktor risiko tradisional, faktor inflamasi dan juga pengaruh genotip dari sel NK dan sel imunitas pada pasien HIV dengan seropositif CMV pada populasi Indonesia
Metode: Peneliti melakukan pemeriksaan terhadap 79 pasien HIV yang baru memulai terapi ARV di Jakarta, Indonesia dengan median (rentang) usia 31 (19-48) tahun. RAC diukur menggunakan perangkat lunak Image J dari foto fundus kedua mata, sebelum ART (V0) dan setelah 3-12 bulan (V3-V12). Pemeriksaan juga dilakukan terhadap IgG dan IgG IE anti-CMV. Model multivariabel digunakan untuk menentukan variabel terbaik sebagai prediktor dari RAC pada V12. Pemeriksaan genotip dilakukan menggunakan metode Taqman SNP genotyping assay.
Hasil: Pasien HIV memiliki kaliber arteri retina yang lebih sempit dan titer antibodi CMV yang lebih tinggi dibandingkan kontrol sehat. RAC mengecil setelah 12 bulan menggunakan ARV (p<0.0001). RAC kanan berkorelasi dengan IgG IE anti-CMV, sedangkan RAC kiri berkorelasi pada setiap waktu dengan cIMT. Model multivariabel menghubungkan RAC pada V12 dengan HIV Viral load pada V12 dan riwayat mengkonsumsi minuman beralkohol, sementara merokok memiliki sifat protektif. Alel homozigot IL-1A penanda inflamasi berhubungan dengan kaliber arteri retina yang lebih sempit pada mata kanan dibandingkan alel heterozigot sebelum mengkonsumsi ARV. Alel homozigot TNF-308 berhubungan dengan rendahnya IgG IE anti-CMV dibanding heterozigot secara konstan sebelum terapi ARV sampai 12 bulan setelah terapi ARV. Kaliber arteri retina mata kanan pada bulan ke-12 berhubungan dengan subset CD56lo sebelum terapi ARV. CD56lo LIR1 sebelum terapi ARV berkorelasi dengan RAC kiri pada bulan ke-12 terapi ARV.
Kesimpulan: Penyempitan dari kaliber arteri retina pada pasien HIV dengan seropositif CMV sudah dibuktikan pada penelitian ini, dimana kaliber arteri retina menjadi lebih sempit dibanding kontrol sehat, dan semakin mengecil setelah 12 bulan penggunaan ARV. Faktor risiko tradisional dan infeksi oportunistik tidak berkorelasi dengan perubahan kaliber arteri retina. Penyempitan dari RAC kiri berkorelasi terbalik dengan kadar C-Reactive Protein (CRP) dan cIMT kiri. Pada analisis multivariat, peneliti menemukan bahwa pasien dengan riwayat merokok memiliki RAC yang lebih lebar sementara pasien dengan riwayat mengkonsumsi minuman alkohol memiliki RAC yang lebih sempit. Penyempitan dari RAC kemungkinan disebabkan karena adanya rekativasi CMV dibandingkan infeksi HIV. Genotip dari sel NK dan sel imun tidak berkorelasi dengan RAC, hanya alel homozigot dari IL-1A yang menunjukkan RAC yang lebih sempit dibandingkan alel lain. Penelitian ini juga menunjukkan alel homozigot dari TNF-308 memiliki titer IgG and IgG IE anti-CMV yang lebih rendah.

Background: HIV patients responding to antiretroviral therapy (ART) have a high burden of Cytomegalovirus (CMV) and display accelerated cardiovascular change assessed systemically. Genotype of Natural Killer (NK) cells and immune-related cells are important in CMV reactivation. However, polymorphism in genotype of NK cells and immune-related cells in Indonesia population was not well defined. Hereby, we assessed retinal arteries calibers (RAC) as a non-invasive measure of vascular pathology in HIV patients beginning ART with a high burden of CMV and the relationship between genotype of NK cells and immune-related cells in Seropositive CMV HIV patients in Indonesian population.
Objective: To observe changing of retinal artery caliber and its relation with traditional risk factor, inflammatory risk factor and genotype of NK cells and immune-related cells in Seropositive CMV HIV patients in Indonesian population.
Method: We analyzed 79 HIV patients beginning ART in Jakarta, Indonesia, with a median (range) age of 31 (19-48) years. RAC was assessed using Image J software from fundus photos of both eyes, before ART (V0) and after 3-12 months (V3-V12). CMV DNA and antibodies were assessed. Multivariable models assessed which variables best predicted RAC values at V12. Genotype were assessed used Taqman SNP genotyping assay method.
Result: HIV patients had narrower retinal arteries and higher levels of CMV antibodies than healthy controls. RAC decreased over 12 months of ART (p<0.0001). Right RAC correlated with CMV IE-1 antibody, whilst the left RAC at V# correlated with cIMT. Multivariable models linked RAC at V12 with detectable HIV RNA at V12 and declared use of alcoholic drinks, whilst a smoking habit was protective. Homozygous allele of IL-1A inflammatory marker associated with narrower retinal artery caliber in right eye compared to heterozygous before ART but similar association was not found in the left eye. Homozygous allele of TNF-308 associated with lower CMV-IE1 compared to its heterozygous constantly before ART until 12 months of ART. Right retinal artery caliber in 12 months was correlated with CD56lo subset before ART. CD56lo LIR1 before ART was correlated with left retinal artery caliber in 12 months of ART.
Conclusion: Narrowing of retinal artery caliber in HIV patients with CMV seropositive has been demonstrated in this study, which retinal artery caliber was narrower than healthy controls, and still narrowing until 12 months of ART. Traditional risk factors and opportunistic infections did not show any correlation with retinal artery caliber changes. Narrowing of left retinal artery caliber had inverse correlation with CRP level and left cIMT. On multivariable analysis, we found that those who admitted smoking had larger retinal artery caliber whilst those who consumed alcohol had narrower retinal artery caliber. Narrowing of retinal artery caliber was more likely occur as a result of CMV reactivation than HIV infection itself. The NK-related genotypes and immune-mediate genotypes did not correlate with retinal artery caliber, only homozygous allele of IL1A had a narrower retinal artery caliber than other alleles. This study also found that homozygous allele of TNF-308 had lower CMV lysate antibody and CMV IE antibody level."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Singh, Gurmeet
"Cytomegalovirus (CMV) merupakan suatu virus DNA rantai ganda, yang termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi CMV merupakan salah satu penyebab penting mortalitas dan morbiditas pada pasien-pasien imunokompromais. Tulisan ini melaporkan kasus seorang pasien pria imunokompromais berusia 72 tahun dengan batuk yang semakin memburuk hingga perlu dilakukan intubasi, meskipun sebelumnya telah diberikan terapi antibiotik yang adekuat. Pemeriksaan lebih lanjut menunjukkan adanya positif infeksi CMV. Pasien menunjukkan adanya perbaikan setelah pemberian ganciclovir."
Jakarta: Department of Internal Medicine. Faculty of Medicine Universitas Indonesia, 2016
616 UI-IJCHEST 3:4 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Budiana Tanurahardja
"Infeksi Helicobacter pylori (H. pylori) masih merupakan masalah kesehatan yang serius, karena infeksi ini dihubungkan dengan serangkaian kelainan gastrointestinal seperti gastritis kronik, ulkus ventrikulus, ulkus duodenum, karsinoma gaster, hiperplasia folikel limfoid dan limfoma malignum (maltoma). Prevalensi H. pylori pada gastritis kronik dengan ulkus bervariasi antara 40% - 90% (1), sedangkan pada gastritis kronik tanpa ulkus antara 30% - 60% (2). Walaupun prevalensi cukup tinggi, tetapi terdapat kelompok yang menderita infeksi H. pylori tanpa menunjukkan gejala klinik yang bermakna (3,4).
Mekanisme terjadinya kerusakan epitel mukosa lambung pada infeksi H. pylori masih diperdebatkan oleh para ahli apakah oleh efek langsung H. pylori terhadap sel epitel mukosa larnbung atau oleh reaksi inflamasi yang ditimbulkan, Chan (5) dan Hui (6) berpendapat bahwa kerusakan mukosa lambung merupakan akibat langsung dari H. pylori, dan tidak berhubungan dengan reaksi inflamasi, Genta (7,8) menemukan bahwa jumlah folikel limfoid dan limfosit pada lamina propria berhubungan dengan kerusakan epitel., sedangkan sebukan sel radang akut dan normalisasi epitel permukaan sejalan dengan densitas H. pylori.
Hubungan antara atrofi kelenjar, metaplasia intestinalis dan kerusakan epitel permukaan lambung belum banyak dibicarakan, tetapi ada pendapat (9) bahwa: atrofi mukosa gaster ialah hilangnya jaringan kelenjar, sehingga menyebabkan tipisnya mukosa dan menyebabkan kerusakan keras mukosa. Hilangnya jaringan kelenjar ini dapat karena proses inflamasi yang lama dan digantikan oleh fibrosis. Pergantian epitel antrum dengan epitel intestinal disebut metaplasia intestinal yang menimbulkan kesan adanya atrofi kelenjar secara mikroskopik, walaupun metaplasia sebenarnya adalah proses yang berdiri sandhi.
Atrofi mukosa oxyntic berhubungan dengan hilangnya sekresi asam lambung dan terjadinya metaplasia intestinal. Atrofi keras mukosa antrum biasanya dihubungkan dengan metaplasia intestinal dan meninggikan resiko terjadinya keganasan. Atrofi dapat juga ditemukan tanpa adanya metaplasia intestinal terutama pada gastritis autoimun. Penilaian derajat infeksi H. pylori dan perubahan patologi mukosa lambung yang meliputi sebukan sel radang mendadak dan menahun, metaplasia intestinal dan atrofi kelenjar pada sediaan biopsi lambung dapat juga untuk memprediksi prognosis gastritis kronik."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Fariani Syahrul
"Infeksi luka operasi nosokomial (ILO ) merupakan salah satu masalah yang sering terjadi di negara berkembang maupun di negara industri , termasuk Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran penderita ILO dan faktor-faktor risiko terjadinya ILO di RSUD Dr_Soetomo Surabaya. Faktor risiko yang diteliti adalah umur, jenis kelamin, lama perawatan sebelum operasi, ronde operasi, jenis operasi, lama operasi, tingkat kontaminasi luka dan pemakaian antibiotik. Disain penelitian adalah kasus kontrol, sampel sebanyak 662 orang, dengan perbandingan kasus dan kontrol adalah 1 : 1. Populasi adalah penderita yang dirawat dan menjalani operasi terencana pada tahun 1994 - 1996. Kasus dan kontrol berpasangan menurut seksi dan tahun. Analisa yang dilakukan meliputi analisa univariat, bivariat dan multivariat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi ILO pada tahun 1994 - 1996 berturut-turut adalah 5,15% ; 5,94% ; dan 5,85%. Risiko ILO pada penderita berumur45 tahun 2,23 kali (95% CI=1,43-3,56) dibandingkan yang berumur 15-44 tahun. Risiko ILO pada penderita dengan lama rawat≥ 14 hari sebelum operasi 3,38 kali (95% CI=1,9-6,32) dibandingkan dengan dirawat 5 6 hari. Risiko ILO pada penderita dengan ronde operasi ke-z3 sebesar 3,9 kali (95% CI=1,91-8,76) dibandingan ronde operasi ke-1. Risiko ILO pada penderita operasi besar/khusus 1,65 kali (95% CI=1,14-2,41) dibandingkan operasi kecil/sedang. Risiko ILO pada penderita dengan lama operasi≥2 jam 2,18 kali (95% C1=1,55-0,11) dibandingan lama operasi < 2 jam. Risiko ILO pada penderita dengan luka operasi bersih kontaminasi 8,1 kali (95% C1=4,19-17,53) dibandingkan Iuka operasi bersih. Risiko ILO pada penderita dengan luka operasi kotor 19,67 kali (95% Cl=6,41-98,09) dibandingkan luka operasi bersih. Risiko ILO pada penderita yang tidak dapat antibiotik profilaktik 0,1 kali (95% CI=0,05-0,21) dibandingkan yang mendapat antibiotik profilaktik.
Analisa stratifikasi dengan variabel independen utama lama rawat sebelum operasi menunjukkan lama operasi dan pemakaian antibiotik merupakan variabel konfounding, dan tidak ada interaksi. Model terbaik dari analisa regresi logistik adalah faktor risiko lama rawat sebelum operasi, tingkat kontaminasi luka, lama operasi, pemakaian antibiotik, umur, dan ronde operasi_ Faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap terjadinya ILO adalah tingkat kontaminasi luka.

The objectives of this study were to describe the patients (cases) and their risk factors for postoperative wound infections in Dr.Soetomo Hospital Surabaya during the period 1994-1996. Design of the study was case control using 331 cases and their paired control with the ratio of one to one. Samples were patients hospitalized for elective operation from 1994 to 1996. Controls were matched to case based on the year of hospitalization and its sub department.
Results showed that prevalence of postoperative wound infections in 1994-1996 were 5,15% ; 5,94% and 5,85%. Risk of postoperative wound infections on patients≥ 45 years was 2.23 times (95% CI=1.43-3.56) compared with patients 15-44 years. Risk of postoperative wound infections on patients with a preoperative stay of≥14 days was 3.38 times (95%CI=1.9-6.32) compared with a preoperative stay of≤ 6 days. Risk of postoperative wound infections on patients operated the 3rd or more on the theater operations was 1.65 times (95%CI=1.91-8.76) compared the first running number of operations. Risk of postoperative wound infections on patients with large operations was 1.65 times (95% C1=1.14-2.41) compared with small/middle operations. Risk of postoperative wound infections on patients with operations of long duration ( ≥ 2 hours) was 2.18 times (95% CI-1.55-3.11) compared with operations of < 2 hours. Compare with clean operations, the risk of postoperative wound infections on patients with clean-contaminated operations was 8.1 times (95% Cl=4.19-17.53) and on patients with dirty operations was 19.67 times (95% CI= 6.41-98.09). Risk of postoperative wound infections on patients without prophylactic antibiotics was 0.1 times (95% Cl= 0.05-0.21) compared with prophylactic antibiotics.
Stratified analysis with main independent variables is duration of preoperative hospitalization shows that confounding variables are duration of operations and use of antibiotics; and no interaction variables. The fit models from conditional logistic regression analysis are duration of preoperative hospitalization, classification of surgical wounds, duration of operations, use of antibiotic, age and running number of operations. The most important risk factor for postoperative wound infections is classification of surgical wounds.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T8344
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>