Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 197254 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maipe Aprianti
"Latar Belakang : Fungsi Kognitif meliputi fungsi pemusatan perhatian, bahasa, daya ingat, motorik serta fungsi eksekutif fungsi perencanaan, pengorganisasian, pelaksannaan dan pemantauan . Postoperative Cognitive Dysfunction POCD didefinisikan sebagai gangguan fungsi kognitif yang baru muncul setelah prosedur pembedahan. POCD pascabedah jantung terbuka yang menggunakan teknologi pintas jantung paru CPB merupakan sekuele yang secara teoritis sering terjadi. Belum ada penelitian POCD serta faktor-faktor yang mempengaruhinya di Indonesia sehingga penelitian ini dirasakan perlu dilakukan.
Tujuan : Mengetahui kekerapan terjadinya penurunan fungsi kognitif pada subjek yang menjalani bedah jantung terbuka di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode : Penelitian ini adalah penelitian kohort prospektif. Dilakukan penilaian fungsi kognitif terhadap 60 pasien yang menjalani operasi bedah jantung terbuka dengan menggunakan test neuropsikologik. Hasil data pra dan pascabedah akan dibandingkan. Fungsi kognitif dikatakan turun bila terdapat penurunan 20 pada salah satu alat uji. Kriteria penerimaan adalah usia >18 tahun yang menjalani operasi bedah jantung di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, dapat berbahasa Indonesia, membaca dan menulis, bersedia menjadi subjek penelitian. Hasil penelitian diolah dengan uji bivariat dan analisis regresi logistic.
Hasil : Penurunan fungsi kognitif terjadi pada 40,7 subjek yang menjalani operasi jantung terbuka dengan menggunakan teknologi pintas jantung-paru. Faktor usia merupakan faktor yang berpengaruh melalui analisis bivariat dan regresi logistik p 0,001.
Kesimpulan : Terjadi penurunan fungsi kognitif pada subjek yang menjalani bedah jantung terbuka di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo yang dipengaruhi oleh usia, namun tidak dipengaruhi tingkat pendidikan, diabetes melitus, lama CPB dan klem silang.

Background: Cognitive functions include the function of attention, language, memory, motoric and executive functions planning, organizing, and monitoring . Postoperative Cognitive Dysfunction POCD is defined as a cognitive dysfunction that arises after a surgical procedure. POCD after open heart surgery with cardiopulmonary bypass CPB is frequent theoretically. There was no research on POCD and the factors that influence it in Indonesia so that this research was necessary to be done.
Purpose : To know the frequency of POCD in subjects underwent open heart surgery at Dr. Cipto Mangunkusumo and the factors that influence it.
Methods : This study was a prospective cohort study. Cognitive function assessment was performed in 60 patients underwent open heart surgery by using neuropsychological tests. Pre and postoperative data were compared. Cognitive decline was defined if there was a 20 decrease in cognitive function in at least one of the tests. Inclusion criteria were age 18 years old who underwent open heart surgery at Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, could speak Indonesian language, were able to read and write, and were willing to become the subject of the research. The result of this research was analyzed by bivariate test and logistic regression analysis.
Results : POCD occured in 40.7 of subjects who underwent open heart surgery using cardiopulmonary bypass. Age was the only influential factor through bivariate test and logistic regression analysis p 0.001.
Conclusion : POCD occured in subjects who underwent open heart surgery at Dr. Cipto Mangunkusumo which was influenced by age, but not by education level, diabetes, CPB and cross clamp time.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Gina Adriana
"Latar Belakang: Kecemasan praoperasi selalu menjadi perhatian bagi pasien maupun dokter anestesiologis dan dokter bedah. Pasien-pasien yang dihadapkan pada kenyataan harus menjalani operasi khususnya operasi jantung mungkin akan mengalami kecemasan yang lebih tinggi karena keadaan jantung mereka yang tidak baik, konsep operasi jantung yang menakutkan dan ketidakpastian terhadap hasilnya. Kecemasan akan mengaktifkan stres respon yang menyebabkan stimulasi sistem saraf simpatis yang kemudian akan menstimulasi kardiovaskular dengan meningkatkan jumlah katekolamin darah yang menyebabkan takikardi, hipertensi, iskemik dan infark miokardial. Respon tersebut mungkin mempunyai efek merugikan pada sirkulasi koroner, yang menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Berbagai penanganan telah dikembangkan, salah satunya adalah dengan pemberian informasi (edukasi). Dengan pemberian edukasi melalui komunikasi efektif, informatif dan empati diharapkan terjadi penurunan tingkat kecemasan pasien sebelum menjalani pembiusan dan pembedahan. Penelitian ini secara umum ingin mengetahui pengaruh edukasi pra-anestesia terhadap tingkat kecemasan pasien dewasa yang akan menjalani operasi jantung terbuka di Instalasi PJT RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Metode: Penelitian ini menggunakan uji kuasi eksperimen pada pasien dewasa yang akan menjalani operasi jantung terbuka di Instalasi PJT RSUPN Cipto Mangunkusumo. Setelah mendapatkan ijin komite medik dan informed consent, sebanyak 36 subyek didapatkan dengan consecutive sampling pada bulan Maret 2016. Sebelum dilakukan penilaian tingkat kecemasan sebelum edukasi dengan menggunakan instrumen APAIS, terlebih dahulu dilakukan pengukuran tanda vital, kemudian dilanjutkan dengan pemberian edukasi dan diskusi. Jika subyek tidak mengalami gaduh gelisah dan atau tanda bahaya kardiovaskular, maka keesokan hari sebelum subyek dibawa ke ruang operasi, akan dilakukan penilaian ulang tingkat kecemasan subyek dengan menggunakan instrumen yang sama.
Hasil: Uji Wilcoxon menunjukkan terdapat penurunan bermakna rerata tingkat kecemasan sebelum edukasi dibandingkan dengan sesudah edukasi (p<0,001).
Simpulan: Edukasi pra-anestesia menurunkan tingkat kecemasan pasien dewasa yang akan menjalani operasi jantung terbuka di Instalasi PJT RSUPN Cipto Mangunkusumo.

Background: Preoperative anxiety is always a concern for patients, anesthetist and surgeon. Patients are faced with the reality had to undergo surgery, especially heart surgery may experience higher anxiety because their heart condition is not good, scary concept of heart surgery and uncertainty of the results. Anxiety will activate the stress response that causes stimulation of the sympathetic nervous system, which then stimulates the cardiovascular by increasing the amount of blood catecholamines that cause tachycardia, hypertension, ischemia and myocardial infarction. The response may have detrimental effects on the coronary circulation, which leads to increase morbidity and mortality. Various handling have been developed, one of which is the provision of information (education). With the provision of education through effective and informative communication with empathy are expected to decline the level of anxiety of patients before undergoing anesthesia and surgery. The objective of this study is to determine the effect of preanesthesia education to the level of anxiety in adult patients undergoing open heart surgery in the Installation of PJT Cipto Mangunkusumo.
Methods: This study used a quasi-experimental trials of adult patients undergoing open heart surgery in the Installation of PJT Cipto Mangunkusumo. After getting permission from the medical committee and getting informed consent, a total of 36 subjects is obtained by consecutive sampling in March 2016. Prior to the assessment of the level of anxiety before education using APAIS instrument, first performed measurements of vital signs, and then continued with education and discussion. If the subject is not experiencing restless and rowdy or cardiovascular distress signal, then the next day before the subject is taken to the operating room, the level of anxiety of the subject will be reassessed using the same instrument.
Results: Wilcoxon test showed that there was a significant decrease in the average level of anxiety before education compared with after education (p<0.001).
Conclusion: Preanesthesia education lowers the level of anxiety in adult patients undergoing open heart surgery in the Installation of PJT Cipto Mangunkusumo.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Arbi
"Latar Belakang: Disfungsi kognitif pascabedah merupakan komplikasi yang cukup sering pascabedah jantung terbuka. Salah satu faktor yang dikaitkan dengan kerusakan jaringan otak adalah faktor oksigenasi jaringan yang terganggu. Selama periode pascabedah gangguan oksigenasi jaringan masih tidak dapat disingkirkan sebagai penyebab POCD. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan nilai Hb, PaO2, SaO2 dan ScvO2 pascabedah terhadap kejadian POCD pada bedah jantung terbuka di RSCM.
Metode: Penelitian ini adalah kohort prospektif dilakukan di Rumah sakit Cipto Mangunkusumo, Indonesia. Sebanyak 44 pasien bedah jantung terbuka elektif dilakukan uji neurokognisi pada 1 hari sebelum pembedahan dan hari ke 5 pascabedah. Subjek dinyatakan mengalami disfungsi kognitif pascabedah jika terjadi penurunan >20% dibandingkan dengan nilai uji prabedah, pada 2 dari 3 area kognisi. Nilai Hb, PaO2, SaO2 dan ScvO2 diambil dari kateter arteri dan kateter vena sentral pada 6 jam dan 24 jam pascabedah. Analisis data bivariat variabel numerik menggunakan Independent T-test atau Mann-Whitney dengan SPSS 20.0. Variabel dengan nilai p<0.25 pada analisis bivariat selanjutnya dimasukkan kedalam regresi logistik.
Hasil: Terdapat 23 dari 44 subjek (52,3%) mengalami POCD. Nilai Hb 6 jam pascabedah lebih rendah secara signifikan pada kelompok subjek dengan POCD (9,13±1,15 vs 10,61±1,10 mg/dL, nilai p<0,001). Sama halnya dengan nilai Hb 24 jam pascabedah juga lebih rendah secara signifikan pada kelompok subjek dengan POCD (9,13±0,68 vs 10,45±0,75 mg/dL, nilai p<0,001). Nilai PaO2, SaO2, dan ScvO2 tidak berbeda bermakna pada kedua kelompok. Analisis multivariat menunjukkan nilai Hb 6 jam dan 24 jam pascabedah sebagai variabel yang paling berpengaruh dengan kejadian POCD.
Simpulan: Nilai Hb 6 jam dan 24 jam pascabedah memiliki hubungan dengan angka kejadian POCD pascabedah jantung terbuka.

Introduction. Postoperative cognitive dysfunction is a compilaction in open heart surgery. Factor that may involve is associated with impaired brain tissue oxygenation. The aim of this study is to investigate the association between postoperative value of Hb, PaO2, SaO2, and ScvO2 with POCD in open heart surgery in RSCM.
Purpose: To evaluate association between postoperative value of Hb, PaO2,and ScvO2 with POCD in open heart surgery in RSCM.
Methods. This study was prospective cohort held in Cipto Mangunkusumo Hospital, Indonesia. We included 44 elective open heart surgery patients tested forcognitive function on 1 day before surgery and postoperative day 5. Bloods were taken in 6 hours and 24 hours after surgery to measure postoperative value of Hb,PaO2, SaO2 and ScvO2. Subjects were categorized as POCD if there was decline >20% in postoperative neurocognitive test than preoperative. Data were comparedusing SPSS 20.0 software. Bivariate analysis with p-value above 0.25 were includedin logistic regression.
Results: There was 23 of 44 subjects (52.3%) became POCD. Hemoglobin value in 6 hours and 24 hours were significantly lower in POCD group [(9,13±1,15 vs10,61±1,10 mg/dL, p value<0,001) and (9,13±0,68 vs 10,45±0,75 mg/dL, p value<0,001)]. PaO2, SaO2, and ScvO2 were not significantly different between twogroups. From multivariate analysis, it was found that hemoglobin value in 6 hours and 24 hours after surgery affect POCD in open heart surgery.
Conclusion: There is an association between hemoglobin values in 6 hours and 24 hours after surgery with POCD in open heart surgery.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yoshua Baktiar
"Latar Belakang: Disfungsi kognitif pascabedah (postoperative cognitive
dysfunction/POCD) merupakan komplikasi pascabedah yang sering ditemui pada
pasien yang menjalani bedah jantung terbuka yang mengganggu fungsi sosial dan
ekonomi serta berkaitan dengan peningkatan mortalitas. Patofisiologi POCD belum
diketahui secara jelas, namun diperkirakan melibatkan hipoksia serebral.
Penurunan kandungan oksigen dan penurunan ekstraksi oksigen perioperatif
diperkirakan berkontribusi terhadap POCD. Penggunaan pemantauan nearinfrared
spectroscopy (NIRS) memungkinkan pengukuran status oksigenasi pada
jaringan otak. Protein S100B adalah penanda biologis kerusakan jaringan otak.
Penelitian ini bertujuan meneliti pengaruh kandungan oksigen dan ekstraksi
oksigen intra dan pascabedah, desaturasi serebral dan peningkatan kadar protein
S100B terhadap kejadian POCD.
Metode: Rancangan penelitian ini adalah kohort prospektif di unit Pelayanan Jantung
Terpadu RS dr. Cipto Mangunkusumo. Penelitian dimulai setelah mendapatkan persetujuan
komite etik dan ijin lokasi. Kriteria penerimaan adalah pasien berusia ≥18 tahun yang
dijadwalkan menjalani bedah jantung terbuka dengan menggunakan mesin
cardiopulmonary bypass (CPB), sehat secara mental, dapat membaca dan berbahasa
Indonesia. Pasien akan menjalani evaluasi kognitif menggunakan 6 tes psikometrik pada 1
hari prabedah dan diulang pada 5 hari pascabedah. POCD didefinisikan sebagai penurunan
>20% skor kognitif pascabedah dibandingkan prabedah pada 2 atau lebih tes. Sampel darah
arteri dan vena diambil untuk menilai kandungan dan ekstraksi oksigen pada 5 waktu: (1)
sebelum induksi, (2) intra-CPB, (3) pasca-CPB, (4) enam jam pascabedah, dan (5) 24 jam
pascabedah. Pemantauan saturasi serebral menggunakan NIRS dilakukan sepanjang pembedahan. Kadar protein S100B diukur pada 2 waktu: sebelum induksi dan 6 jam
pascabedah. Data dianalisis dengan uji statistik yang sesuai menggunakan piranti lunak SPSS
versi 20.
Hasil:Lima puluh lima subyek mengikuti penelitian ini. POCDditemukan pada 31 (56,4%)
subyek. Kandungan oksigen dan ekstraksi oksigen ditemukan tidak berbeda bermakna di
antara kedua kelompok pada seluruh waktu. Desaturasi serebral ditemukan lebih lama (55
[0-324] vs. 6 [0-210], p=0,03) dan nilai AUC rScO2 lebih tinggi (228 [0-4875] vs. 33 [0-
1100], p <0,01) pada pasien yang mengalami POCD dibandingkan yang tidak. Dengan
analisis ROC ditemukan nilai AUC rScO2 >80 menit% berpengaruh terhadap kejadian
POCD (RR 3,38, IK 95%: 1,68-6,79, p <0,01). Kadar protein S100Bmeningkat 1,5x lebih
tinggi pada pasien POCD, namun tidak mencapai kemaknaan statistik.
Simpulan:Desaturasi serebral yang diukur menggunakan NIRS berpengaruh pada kejadian
POCD.

Background: Postoperative cognitive dysfunction/POCD is commonly found
postoperative complication after cardiac surgery with profound social and
economic effect and also known correlated with mortality. The pathophysiology
remains unclear and multifactorial, but hipoxia have been postulated as one of the
mechanisms. Reduced arterial oxygen content (CaO2) and reduced oxygen
extraction perioperatively may contribute to POCD. Use of near-infrared
spectroscopy (NIRS) monitoring may provide oxygenation status on brain tissue.
S100B protein is known brain injury biological marker. This trial aims to
investigate effects of perioperative oxygen content and extraction, cerebral
oxygenation status and S100B protein level changes to POCD.
Methods: This prospective cohort study was conducted at Integrated Heart Service unit of
RS dr. Cipto Mangunkusumo, a tertiary teaching hospital in Jakarta, Indonesia. This study
was started after ethical approval obtained. Inclusion criteria was 18 years old or above
patients scheduled for open-heart surgery using cardiopulmonary bypass machine, healthy
mental status, and can speak/read Indonesian language. Subjects were undergone 6
psychometric evaluation on day prior to surgery and 5 days after surgery. POCDdefined as
decrease of >20% score from baseline on 2 or more tests. Arterial and venous blood samples
were taken on 5 moments: (1) before induction of anesthesia, (2) during CPB, (3) After
separation of CPB, (4) six hours after surgery, and (5) 24 hours after surgery. NIRS
monitoring was applied continously during surgery. S100B protein level was measured on
before induction of anesthesia and 6 hours after surgery.Data was analyzed with appropriate
statistical tests using SPSS 20 software.
Results: Fifty-five subjects were included in this study. POCD was found in 31 (56.4%)
subjects. Oxygen contents and extractions were found not differ in both groups at all times.
Cerebral desaturation was found more longer (55 [0-324] vs. 6 [0-210]mins, p = 0.03) and
severe (AUC rScO2 228 [0-4875] vs. 33 [0-1100] min%, p <0,01) in subjects with POCD
compared to non-POCD. Using ROC analysis, it is determined subjects with AUC rScO2
>80 min% were exposed with higher risk of POCD(RR3.38x, 95%CI: 1.68-6.79, p <0.01).
S100B protein level increased higher in subjects with POCDbut no statistical significant was
found.
Conclusion: Cerebral desaturation measured by NIRSmonitoring contributes to POCD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nita Azka Nadhira
"Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh modifikasi standar diet diabetes melitus terhadap penurunan sisa makanan lunak pasien diabetes melitus. Sisa makanan diukur dengan metode food weighing, sedangkan karakteristik dan penilaian pasien terhadap kualitas makanan RS diukur dengan wawancara dan pengisian kuesioner. Desain studi yang digunakan adalah eksperimental kuasi serial waktu. Sebanyak 12 orang pasien diabetes melitus yang dirawat di kelas III Gedung A RSCM diamati sisa makanan, selera makan, dan penilaiannya terhadap kualitas makanan RS selama tiga hari. Pada hari pertama pasien diberikan makanan sesuai standar diet diabetes melitus RSCM. Pada hari kedua hingga ketiga pasien diberikan intervensi berupa makanan sesuai standar diet diabetes melitus RSCM modifikasi untuk makanan lunak, kemudian sisa makanan pasien hari pertama dan rata-rata hari kedua dan ketiga akan dibandingkan.
Hasil menunjukkan bahwa sisa makanan pasien sesudah intervensi mengalami penurunan yang signifikan (p=0,001). Rata-rata total berat sisa makanan lunak sesudah intervensi (571+381,6 gr) 31,9% lebih sedikit dibanding saat sebelum intervensi (839+471 gr). Usia dan lama masa rawat inap diketahui menjadi variabel perancu dalam intervensi. Penerapan standar diet diabetes melitus modifikasi untuk makanan lunak ini dapat dijadikan alternatif untuk meminimalisasi kejadian sisa makanan pada pasien. Selain itu, diharapkan ahli gizi dapat mengoptimalikan edukasi kepada pasien terutama pasien lansia dan/atau yang baru masuk rumah sakit agar lebih termotivasi untuk menghabiskan makanan yang diberikan RS.

The objective of this study was to examine the effect of diabetes mellitus diet standard modification on diabetic patients decreased plate waste on soft food. Patients plate waste measured by food weighing method. Moreover, patients characteristics, appetite, and evaluation towards the quality of hospital food measured by interview and questionnaire. A time series quasi experimental study was conducted on twelve subjects in third class wards on RSCM A building. Subjects plate waste, appetite, and evaluation towards the quality of hospital food were observed for three days. On the 1st day, patients were given foods based on RSCM?s diabetes mellitus diet standard. After that, intervention were given to patients; food based on RSCM?s diabetes mellitus diet standard modified for soft food on the 2nd up to 3rd day. The plate waste before and after intervention were compared afterwards.
The results showed that patients plate waste after intervention were significantly less than those before intervention (p=0,001). The overall mean plate waste after intervention (571+381,6 gr) was 31,9% lower than before intervention (839+471 gr). Age and length of stay are shown as a confounding variables in the intervention. The implementation of diabetes mellitus diet standard modified for soft food can be an alternative to minimze plate waste on diabetic patients with soft food diet. In addition, dietitian should optimalize the education for the patients especially older and/or newly hospitalized patients, so that they can be more motivated in finishing the food given.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
S63723
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifda Hanun Shalihah
"Latar belakang: Selulitis merupakan infeksi kulit oleh bakteri atau pioderma yang relatif umum terjadi. Angka kejadian selulitis adalah 24,6 per 1000 penduduk per tahun dengan insiden lebih tinggi pada orang berusia 45-65 tahun, di mana selain usia paruh baya, selulitis juga sering terjadi pada lansia. Selain peningkatan usia, jenis kelamin dan diabetes melitus juga dapat meningkatkan risiko selulitis. Tujuan penelitian ini teranalisisnya hubungan antara usia, jenis kelamin, diabetes mellitus dan selulitis pada pasien rawat inap dan rawat jalan RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Meskipun telah ada penelitian yang meneliti hubungan antara faktor risiko selulitis dan selulitis di negara lain, jumlah penelitian mengenai hubungan tersebut masih terbatas. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang meneliti hubungan antara usia, jenis kelamin dan diabetes mellitus dengan kejadian selulitis. Metode: Studi cross sectional dilakukan dengan total 131 subyek. Data yang digunakan merupakan data sekunder berupa rekam medis pasien. Hasil: Hasil menunjukkan bahwa ada hubungan antara usia dan kejadian selulitis (p-value = 0,044), namun tidak ada hubungan antara kejadian selulitis dan jenis kelamin (p-value = 0,433). Selain itu, ada hubungan antara diabetes mellitus dengan kejadian selulitis (p-value = 0,035). Kesimpulan: Penelitian ini menegaskan bahwa ada hubungan antara usia dan diabetes mellitus dengan kejadian selulitis.

Introduction: Cellulitis is a relatively common bacterial skin infection or pyoderma. The incidence of cellulitis is 24.6 per 1000 population per year with a higher incidence in people aged 45-65 years, where apart from middle age, cellulitis also often occurs in the elderly. In addition to increasing age, gender and diabetes mellitus may also increase the risk of cellulitis. The purpose of this study is to analyze the relationship between age, gender, diabetes mellitus and cellulitis in inpatients and outpatients at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Although there have been studies examining the relationship between risk factors for cellulitis and cellulitis in other countries, the number of studies regarding this relationship is still limited. Therefore, further research is needed to examine the relationship between age, gender and diabetes mellitus with the incidence of cellulitis. Methods: A cross-sectional study was conducted with a total of 131 subjects. The data used is secondary data in the form of patient medical records. Results: Our result shows that there is a relationship between age and the incidence of cellulitis (p-value = 0.044), but there is no relationship between the incidence of cellulitis and gender (p-value = 0.433). In addition, there is a relationship between diabetes mellitus and the incidence of cellulitis (p-value = 0.035). Conclusion: This study confirms that there is a relationship between age and diabetes mellitus with the incidence of cellulitis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yenny Kumalawati Santosoatmodjo
"Tetralogi Fallot (TF) merupakan penyakit jantung bawaan (PJB) sianotik terbanyak. Terapi definitifnya berupa koreksi total melalui operasi jantung terbuka, namun usia terbaik koreksi masih menjadi perdebatan. Operasi saat usia < 3 tahun disebut koreksi dini. Angka kesintasan jangka panjang pasien TF pasca-operasi mencapai 90%. Masalah baru yang muncul adalah gangguan neurodevelopmental yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien.
Tujuan: Mengetahui sebaran pasien TF pasca-operasi jantung terbuka, serta membandingkan perkembangan, kognitif dan kualitas hidup pasien TF pasca-operasi jantung terbuka yang menjalani koreksi dini dibandingkan koreksi terlambat.
Metode: 29 subjek kelompok koreksi dini dan 34 subjek kelompok koreksi terlambat dipilih secara konsekutif. Penilaian perkembangan menggunakan Denver II. Tingkat kognitif dinilai dengan the Capute scales dan uji intelegensi Wechsler. Kualitas hidup dinilai dengan laporan PedsQLTM. Perbedaan antar kedua kelompok subjek dianalisis dengan menggunakan uji Kai kuadrat, uji Fischer, dan uji t tidak berpasangan.
Hasil: Median usia operasi kelompok koreksi dini adalah 1,8 tahun dan kelompok koreksi terlambat adalah 5,3 tahun. Sebesar 54% subjek menjalani koreksi terlambat. Mikrosefal terjadi pada 15% keseluruhan subjek. Pada kedua kelompok subjek ditemukan masalah perkembangan. Sebesar 75% subjek kelompok koreksi dini memiliki developmental quotient normal. Kelompok koreksi dini memiliki nilai verbal intelligence quotient (IQ) (p 0,002; IK 95% 5,8-24,6) dan full-scale IQ (p0,003; IK 95% 4,7-21,3) yang lebih tinggi dibandingkan kelompok koreksi terlambat. Laporan PedsQLTM anak menunjukkan rendahnya kualitas hidup pada fungsi emosi (p=0,02) dan sekolah (p=0,03) pada kelompok koreksi terlambat.
Simpulan: Pasien TF yang menjalani koreksi dini memiliki dan kualitas hidup yang lebih tinggi dibandingkan kelompok koreksi terlambat, sehingga diperlukan sosialisasi usia operasi koreksi dini.

Background: Tetralogy of Fallot (TF) is the most common cyanotic congenital heart disease. The definitive treatment is complete repair thru open heart surgery. At present, the most effective age category for repair is still being debated. Complete repair for children who are younger than 3 years is called early repair. Recent technological advancement has allowed the early repair to be performed earlier and improve the survival rate of the patients. However, these survivors risk having neurodevelopmental disorder which affect their health-related quality of life.
Objective: To describe the characteristics of post open heart surgery TF patients and compare the TF patients who undergo early correction to ones who undergo late correction within the aspects of development, cognitive outcomes, and health-related quality of life.
Design : Twenty nine subjects from early correction group and 34 subjects from late correction group were compared in development (Denver development screening II), cognitive outcomes (The Capute scales and Wechsler test), and health-related quality of life (PedsQLTM).
Result : Median age of the subjects in early correction group is 1,8 years and in late correction group is 5,3 years. Fifty five percent undergo late correction. The prevalence of microcephaly is 15%. Developmental delay is found in both group. Seventy five percent of subject who undergo early correction have normal developmental quotient. Early correction group have higher verbal intelligence quotient (IQ) (p=0.002; CI 95% 5.8-24.6) and full scale IQ (p=0.003; CI 95% 4.7-21.3). Child report PedsQLTM showed lower quality of life in late correction group.
Conclusions : Tetralogy of Fallot patients who undergo early correction have higher IQ and better health-related quality of life compared to late correction group. The age of early complete repair (< 3 years) needs to be disseminated.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yenny Kumalawati Santosoatmodjo
"Latar Belakang: Tetralogi Fallot (TF) merupakan penyakit jantung bawaan (PJB) sianotik terbanyak. Terapi definitifnya berupa koreksi total melalui operasi jantung terbuka, namun usia terbaik koreksi masih menjadi perdebatan. Operasi saat usia < 3 tahun disebut koreksi dini. Angka kesintasan jangka panjang pasien TF pasca-operasi mencapai 90%. Masalah baru yang muncul adalah gangguan neurodevelopmental yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien.
Tujuan: Mengetahui sebaran pasien TF pasca-operasi jantung terbuka, serta membandingkan perkembangan, kognitif dan kualitas hidup pasien TF pasca-operasi jantung terbuka yang menjalani koreksi dini dibandingkan koreksi terlambat.
Metode: 29 subjek kelompok koreksi dini dan 34 subjek kelompok koreksi terlambat dipilih secara konsekutif. Penilaian perkembangan menggunakan Denver II. Tingkat kognitif dinilai dengan the Capute scales dan uji intelegensi Wechsler. Kualitas hidup dinilai dengan laporan PedsQLTM. Perbedaan antar kedua kelompok subjek dianalisis dengan menggunakan uji Kai kuadrat, uji Fischer, dan uji t tidak berpasangan.
Hasil: Median usia operasi kelompok koreksi dini adalah 1,8 tahun dan kelompok koreksi terlambat adalah 5,3 tahun. Sebesar 54% subjek menjalani koreksi terlambat. Mikrosefal terjadi pada 15% keseluruhan subjek. Pada kedua kelompok subjek ditemukan masalah perkembangan. Sebesar 75% subjek kelompok koreksi dini memiliki developmental quotient normal. Kelompok koreksi dini memiliki nilai verbal intelligence quotient (IQ) (p 0,002; IK 95% 5,8-24,6) dan full-scale IQ (p0,003; IK 95% 4,7-21,3) yang lebih tinggi dibandingkan kelompok koreksi terlambat. Laporan PedsQLTM anak menunjukkan rendahnya kualitas hidup pada fungsi emosi (p=0,02) dan sekolah (p=0,03) pada kelompok koreksi terlambat.
Simpulan: Pasien TF yang menjalani koreksi dini memiliki dan kualitas hidup yang lebih tinggi dibandingkan kelompok koreksi terlambat, sehingga diperlukan sosialisasi usia operasi koreksi dini.

Background: Tetralogy of Fallot (TF) is the most common cyanotic congenital heart disease. The definitive treatment is complete repair thru open heart surgery. At present, the most effective age category for repair is still being debated. Complete repair for children who are younger than 3 years is called early repair. Recent technological advancement has allowed the early repair to be performed earlier and improve the survival rate of the patients. However, these survivors risk having neurodevelopmental disorder which affect their health-related quality of life.
Objective: To describe the characteristics of post open heart surgery TF patients and compare the TF patients who undergo early correction to ones who undergo late correction within the aspects of development, cognitive outcomes, and health-related quality of life.
Design : Twenty nine subjects from early correction group and 34 subjects from late correction group were compared in development (Denver development screening II), cognitive outcomes (The Capute scales and Wechsler test), and health-related quality of life (PedsQLTM).
Result : Median age of the subjects in early correction group is 1,8 years and in late correction group is 5,3 years. Fifty five percent undergo late correction. The prevalence of microcephaly is 15%. Developmental delay is found in both group. Seventy five percent of subject who undergo early correction have normal developmental quotient. Early correction group have higher verbal intelligence quotient (IQ) (p=0.002; CI 95% 5.8-24.6) and full scale IQ (p=0.003; CI 95% 4.7-21.3). Child report PedsQLTM showed lower quality of life in late correction group.
Conclusions : Tetralogy of Fallot patients who undergo early correction have higher IQ and better health-related quality of life compared to late correction group. The age of early complete repair (< 3 years) needs to be disseminated.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Martin Aurelius
"Bedah jantung terbuka merupakan salah satu tindakan untuk memperbaiki kondisi kelainan anatomis pada pasien dengan berbagai kelainan jantung yang pasti menggunakan mesin CPB (Cardiopulmonary bypass). Penggunaan mesin ini menimbulkan hemodilusi yang berakibat pada penurunan kadar hemoglobin darah pascabedah. Pada pasien pediatrik, efek hemodilusi yang terjadi lebih besar dibandingkan dengan pasien dewasa. Penelitian sebelumnya berhasil mengidentifikasi bahwa sebagian besar pasien mengalami komplikasi pascabedah, dengan mortalitas sebesar 13,6%. Hemoglobin pascabedah dihipotesiskan menjadi faktor yang kuat dalam mortalitas pasien. Penelitian kohort retrospektif ini menghimpun data hemoglobin pascabedah dari rekam medik elektronik pasien yang menjalani bedah jantung terbuka di Pelayanan Jantung Terpadu Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo pada Januari 2021 hingga Desember 2022 dilanjutkan dengan uji komparatif pada kelompok dengan dan tanpa mortalitas. Total 317 pasien diikutkan dalam penelitian ini. Mortalitas secara umum sebesar 11,7%. Hemodilusi teramati pada populasi pasien. Tidak ditemukan perbedaan signifikan dari hemoglobin pascabedah pada kelompok pasien dengan dan tanpa mortality (p=0,249). Didapatkan pula besar penurunan Hb prabedah ke pascabedah berbeda secara signifikan pada kedua kelompok tersebut (p<0,05). Hemoglobin pascabedah tidak berhubungan dengan mortalitas pasien pediatrik.

Open heart surgery is a procedure aimed to correct anatomical abnormalities in patients with various heart conditions, invariably employing the use of a Cardiopulmonary Bypass machine. The use of this machine induces hemodilution, resulting in a decrease in postoperative blood hemoglobin levels. In pediatric patients, the hemodilution effect is more pronounced compared to adult patients. Previous study showed that a significant proportion of patients experience postoperative complications, with a mortality rate of 13.6%. Postoperative hemoglobin is hypothesized to be an important factor in patient mortality. In this study, a retrospective cohort observational study was conducted to compare postoperative hemoglobin levels in patients with and without mortality. The data were obtained from the medical records of patients undergoing open heart surgery at the Integrated Cardiac Services at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2021 to December 2022. Total of 317 patients included in this study and overall patient mortality was 11,7%. There was no significant difference in postoperative hemoglobin in the groups of patients with and without mortality (p=0,249). This study also found that the decrease in Hb from pre-surgery to post-surgery was significantly different between the two groups (p<0,05). Postoperative hemoglobin is not associated with mortality in pediatric patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Mansjoer
"Latar Belakang. Lama rawat intensif pasien pascabedah jantung yang memanjang mempengaruhi alur pasien bedah jantung berikutnya. Pengaturan pasien berdasarkan lama rawat diperlukan agar alur pasien lancar.
Tujuan. Membuat prediksi lama rawat intensif 48 jam berdasarkan nilai skor dari model EuroSCORE dan model yang dimodifikasi dari faktor-faktor EuroSCORE.
Metode. Penelitian restrospektif dilakukan pada Januari 2012 - Desember 2013 pada 249 pasien yang menjalani bedah jantung di Unit Pelayanan Jantung RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta. Analisis survival dan regresi Cox dilakukan untuk membuat prediksi lama rawat intensif 48 jam.
Hasil. Median kesintasan lama rawat intensif 43 jam. Nilai skor EuroSCORE tidak memenuhi asumsi hazard proporsional. Model baru telah dibuat dari 7 variabel EuroSCORE yang secara substansi berhubungan dengan lama rawat intensif (AUC 0,67).
Kesimpulan. Model baru dari tujuh faktor EuroSCORE cukup dapat memprediksi lama rawat intensif 48 jam.

Background. Prolonged intensive care unit length of stay (ICU-LOS) in a postcardiac surgery may shortage of ICU beds due to clog of patient flow. Improving ICU-LOS may lead to better patient flow.
Objectives. To predict 48-hour ICU-LOS based on EuroSCORE model and to create a modified EuroSCORE factors model.
Methods. A retrospective study was conducted from January 2012 to December 2013 among 249 patients who underwent cardiac surgery at Integrated Cardiac Services, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Survival analysis and Cox?s regression were performed to make a prediction model for 48-hour ICU-LOS.
Results. Median survival of ICU-LOS was 43-hour. The EuroSCORE model did not meet the proporsional hazard assumption. A new substantial model from 7- EuroSCORE factors was created to predict 48 hours ICU-LOS (AUC 0.67).
Conclusions. Seven EuroSCORE factors was sufficient as a new model to predict the 48-hour ICU-LOS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>