Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 93574 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sulistya
"Mahkamah Konstitusi pada tanggal 26 Oktober 2016 telah mengeluarkan keputusannya nomor 69/PUU-XIII/2015 tentang Perjanjian Kawin. Pokok Permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini adalah perlindungan hukum terhadap kreditur pailit akibat perjanjian kawin dan perlindungan hukum terhadap suami atau istri debitur pailit yang beritikad baik dari kepemilikan harta bersama. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan dan penelitian kepustakaan menggunakan data sekunder. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa atas perbuatan hukum pembuatan perjanjian perkawinan yang dilakukan oleh debitur pailit, kreditur berhak mengajukan Actio Pauliana dan meskipun dengan diterbitkannya putusan MK ini, untuk melaksanakan pembuatan perjanjian kawin tetap harus mengedepankan asas itikad baik.

Constitutional Court of The Republic of Indonesia on October 26th 2016 has declare an Amandment number 69/PUU-XIII/2015 regarding postnup agreement. The main subject assessed in this paper is regarding law protection to creditors insolvency due to postnup impact and law protection to debitors insolvency spousal due to marital assets. This research is conducted in normative juridical research methods, which research is conducted by referring to the regulations and literatures using secondary data. Accordingly, writer has making conclution that creditors has rights to entitle Actio Pauliana due to postnup agreement and although Constitutional Court has declare an Amadment due to postnup agreement, each agreement shall accentuate a good faith."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48573
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Amalia Yuliani
"Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, kini perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan dapat dilakukan tanpa adanya penetapan pengadilan negeri terlebih dahulu dan dapat disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris. Pengesahan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan dilakukan dengan cara melaksanakan pencatatan perjanjian perkawinan pada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama, sedangkan pengesahan oleh Notaris dianggap membingungkan karena dianggap tidak jelas maksudnya. Hal ini menimbulkan permasalahan karena belum ada ketentuan mengenai tata cara pencatatan perjanjian perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, sehingga pegawai pencatat perkawinan menolak melakukan pencatatan terhadap perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan dan meminta adanya penetapan pengadilan negeri untuk pengesahan perjanjian perkawinan tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis normatif yang menggunakan data primer dan data sekunder sebagai sumber data, dimana penulis dalam meneliti mengkaji aturan hukum mengenai perkawinan dan perjanjian perkawinan untuk dapat menjawab permasalahan secara dekriptif analitis. Melalui penelitian ini penulis menemukan jawaban bahwa pengesahan dan pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan kini dapat dilakukan tanpa adanya penetapan pengadilan negeri terlebih dahulu dengan berpedoman kepada Surat Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil tanggal 19 Mei 2017 No. 472.2/5876/Dukcapil tentang petunjuk mengenai pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan.

With the Constitutional Court Decision Number 69 PUU XIII 2015, postnuptial agreement can be done without any approval from the district court. It can also be legitimated by the marriage officer or the notary. The legalization of postnuptial agreement by the marriage officer is done by registering the postnuptial agreement to the Office of Population and Civil Registration Agency or the Office of Religious Affairs, while the legalization done by the notary is considered confusing as its main point is not that clear. It causes problem since there is no other regulation yet about the procedure of postnuptial agreement registration beside the Constitutional Court Decision Number 69 PUU XIII 2015 so that the marriage officer refuses to accept the registration of postnuptial agreement and asks the approval from district court to legalize it. This research uses normative juridical method using primary and secondary data as the source as I examine the law of marriage and postnuptial agreement to find the descriptive and analytical answer for the problems occur. The findings reveal that the legalization and the registration of postnuptial agreement now can be done without any approval from the district court, based on the regulation on Surat Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil, May 19, 2017 No. 472.2 5876 Dukcapil about the guidance of postnuptial agreement registration."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S68822
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Natasia
"Perjanjian perkawinan menurut Pasal 29 UU Nomor 1 Tahun 1974 dapat dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan. Isi dari perjanjian perkawinan tersebut berlaku bagi pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. Skripsi ini membahas mengenai Penetapan No. 381/Pdt.P/2015/PN.Tng, yang dalam pertimbangannya terdapat pengesahan perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan dilangsungkan sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015, dan pasca adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015. Dengan menggunakan metode yuridis normatif, penulis dalam tulisan skripsi ini mengacu pada aturan-aturan hukum yang ada untuk kemudian dapat menjawab permasalahan. Bahwa hal tersebut dimungkinkan atau tidak untuk membuat perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan dilangsungkan dan akibat perjanjian tersebut bagi pihak ketiga. Dalam kesimpulannya, meskipun telah ada putusan Mahkamah Konstitusi atas Pengujian Undang-Undang No. 69/PUU-XIII/2015 yang menyatakan bahwa perjanjian perkawinan dapat dibuat pada waktu, sebelum atau selama perkawinan berlangsung, tetap memerlukan suatu peraturan pelaksana dan pengaturan khusus untuk Notaris terkait dengan mekanisme hukum pembuatan perjanjian perkawinan dengan tujuan untuk memberikan perlindungan kepada pihak ketiga agar tidak dirugikan atas pembentukan perjanjian perkawinan.

Prenuptial Agreement based on Article 29 Law Number 1 of 1974 can be made during the marriage period or before the marriage take place that will be legalized by the officer of marriage registration. The content of the prenuptial agreement apply to the third party as long as the third party is involved. This Final Assignment discuss the Court Decision No. 381 Pdt. P 2015 PN. Tng, which in it rsquo s consideration legalized the prenuptial agreement, where agreement is made after the marriage is legalized before Constitutional Court Decision Number 69 PUU XIII 2015, and after Constitutional Court Decision Number 69 PUU XIII 2015. By using Normative Jurisdiction Method, the writer in this final assignment strictly follow to the existing rules of law to then be able to answer whether is it possible or not to make the prenuptial agreement after the marriage is being legalized and what are the consequences for the third party. In conclusion eventhough there rsquo s a constitutional court decision on Judicial Review No. 69 PUU XIII 2015 which stated that the prenuptial agreement can be made before the marriage take place or during the marriage period, still needs of a legal guidelines for the related field Notary which involve law mechanism for the creation of a prenuptial agreement that will provide more legal protection for the third party in order not to the harmed due the creation of the Prenuptial Agreement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Nugroho Tantry
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang akibat hukum dan kedudukan suami istri yang telah
bercerai, kemudian satu sama lain melakukan perkawinan ulang berdasarkan Pasal
232a KUHPerdata. Pasal 232a KUHPerdata mengatur bahwa, apabila suami dan
istri yang telah dicerai, satu sama lain melakukan perkawinan ulang, maka demi
hukum hiduplah kembali segala akibat perkawinan seolah-olah tak pernah ada
perceraian, namun hal itu tidak boleh mengurangi akan terus berlakunya
perbuatan-perbuatan perdata terhadap pihak ketiga yang telah dilakukan kiranya
dalam tenggang antara perceraian dan perkawinan ulang. Kemudian cara
menghitung pembagian harta peninggalan suami/istri (pewaris) dalam perkawinan
ulang. Serta akibat hukum terhadap harta benda perkawinan dalam perkawinan
ulang.

ABSTRACT
This thesis study about the legal consequences and status of divorced spouses,
who remarried to each other based on Indonesian Civil Code Verse 232a.
Indonesian Civil Code Verse 232a states that, if the divorced spouses, who
remaried to each other, then by virtue of the law all results of the marriage will be
revived as if there had been no divorce, but such cannot withstand the validity of
the civil actions on the third party that has been performed between the period of
the divorce and the remarry. Furthermore, it also encompasses the method of
calculating the division of material possessions as well as calculating the
inheritance from the remarried husband/wife (heir). Moreover, the legal
consequences towards marital material possessions in remarriage"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42249
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winengku Rahajeng
"Dalam pengikatan perjanjian jaminan, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para pihak, salah satunya adalah mengenai status perkawinan debitur. Jika debitur telah terikat dalam suatu perkawinan maka akan berakibat adanya beberapa kelompok harta kekayaan. Jika yang dijadikan jaminan adalah harta bersama maka diperlukan persetujuan bersama dari suami dan istri. Tetapi sering terjadi suami atau istri tidak dimintai persetujuan terlebih dahulu dalam pengikatan perjanjian jaminan atas harta bersama oleh pasangannya. Suami atau istri yang merasa keberatan dapat meminta pembatalan perjanjian jaminan tersebut ke pengadilan. Hakim berdasarkan fakta-fakta yang ada akan memberikan penilaian terhadap keabsahan perjanjian jaminan tersebut, bisa saja tetap dinyatakan sah atau dinyatakan batal. Skripsi ini disertai dua putusan pengadilan yang terdapat pertimbangan hakim dalam menilai keabsahan suatu perjanjian jaminan atas harta bersama tanpa persetujuan suami atau istri. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan library research yang bersifat yuridis normatif. Hasil peneilitian ini menyatakan bahwa dalam pengikatan jaminan atas harta bersama memang perlu persetujuan bersama dari suami dan istri. Tetapi dalam keadaan-keadaan tertentu suami atau istri bisa dianggap telah memberikan persetujuan diam-diam yang artinya secara tidak langsung telah menyetujui pengikatan jaminan tersebut. Keadaan tersebut antara lain adalah suami atau istri telah ikut menikmati hasil dari perjanjian pokoknya yaitu perjanjian hutang piutang, atau suami atau istri dianggap telah mengetahui perjanjian jaminan yang telah dibuat sejak lama dan sebelumnya tidak mengajukan keberatan.

In making security agreement, there are some things that need to be considered by the parties, one of those things is about the marital status of the debtor. If the debtor has been bound in a marriage, there will be some form of wealth. If joint wealth are used for the objects of security agreement, it would be require a mutual consent from husband and wife. But often, the husband or wife is not asked for consent from his partner in making the security agreement on joint wealth. Husband or wife who is objected can be appeal for the cancellation of the security agreement to the court. The judge based on the facts, will provide an assessment of the validity of the security agreement, it might be declared invalid or declared void. This thesis is accompanied by two court decisions that are considered judges in assessing the validity of a security agreement on joint wealth without the consent from husband or wife. This research uses library research that are normative. The outputs of this researched stated that the security agreement on joint wealth does need consentience from husband and wife. But in certain circumstances a husband or wife can be considered have given tacit consent, which means indirectly has consent the security agreement. There circumstances are husband or wife has come to enjoy the results of the credit agreement, or husband or wife is deemed to have been aware that the security agreement has been made for a long time and had not objected.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S66233
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rita Leowan
"Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 yang memaknai Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 memperbolehkan pembuatan perjanjian perkawinan selama dalam ikatan perkawinan postnuptial agreement serta pencabutan perjanjian perkawinan. Ketentuan tersebut menimbulkan permasalahan yaitu keberlakuan perjanjian perkawinan yang dibuat selama dalam ikatan perkawinan serta akibat hukum pencabutan perjanjian perkawinan. Metode penelitian yang digunakan bersifat yuridis normatif dengan menelaah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 dan menganalisanya dengan teori untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menyatakan bahwa perjanjian perkawinan berlaku sejak perkawinan dilangsungkan kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Dapat disimpulkan, berlaku surutnya postnuptial agreement sejak perkawinan dilangsungkan akan mengakibatkan perubahan kedudukan harta perkawinan yang berpotensi merugikan pihak ketiga. Selain itu, perubahan kedudukan harta perkawinan dari harta bersama menjadi harta pribadi menyebabkan harta bersama yang telah ada harus dilakukan pemisahan dan pembagian padahal harta bersama merupakan pemilikan bersama yang terikat yang hanya dapat diakhiri karena berakhirnya perkawinan. Pencabutan perjanjian perkawinan berpotensi merugikan pihak ketiga karena itu akta pencabutan perjanjian perkawinan sebaiknya diberitahukan dan diumumkan serta dicatatkan agar dapat diketahui pihak ketiga. Akibat hukum pencabutan perjanjian perkawinan terhadap harta perkawinan adalah kedudukan harta perkawinan kembali pada kedudukan semula sehingga berlaku ketentuan Pasal 35 dan 36 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, sedangkan akibat hukum terhadap pihak ketiga tidak berlaku mutlak, tetap berlaku kedudukan harta perkawinan sebelum pencabutan perjanjian perkawinan.

Constitutional Court Decision Number 69 PUU XII 2015 which interprets article 29 of The 1974 Marriage Law Law No. 1 of 1974 allows execution of postnuptial agreement, an agreement entered into after a marriage has taken place, as well as to repeal marriage agreement prenuptial, postnuptial. The Decision raised the question on the validity of an existing postnuptial agreement and what would be the impact of the repeal of marriage agreement. The method used in this research is normative juridical by reviewing and analyzing theorically The Decision of The Constitutional Court Number 69 PUU XIII 2015 to answer the question. The Decision of The Constitutional Court stipulates that ldquo The agreement valid since the wedding took place, unless otherwise specified in marriage agreement. rdquo The conclusion from this study is that the retroactive validity of postnuptial agreement caused changes in the status of marital property which may cause disadvantage to any third party. In addition, the change in the status of marital property from joint property to private property causes existing joint property to be split and division whereas joint property is a bonded joint ownership that can only be terminated due to the end of marriage. The repeal of marriage agreement potentially has a negative impact to third parties, hence should be notified, announced and registered. The law impact of marital property due to the repeal of marriage agreement is the fact that joint property will be reinstated, matters relating thereto shall be afforded the same status as that applicable prior to repealed, therefore article 35 and 36 of The 1974 Marriage Law applied, whereas impact on third parties shall not apply absolute, retain the status of the marital property prior to repealed."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48402
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indira Maya Audina
"Perkawinan merupakan hubungan pria dan wanita untuk hidup bersama yang mana hubungan itu bersifat kekal dan diakui negara. Selama masa perkawinan terkumpul harta yang menjadi milik bersama. Namun, ada dorongan untuk dapat mengelola sendiri harta yang diperoleh selama masa perkawinan, adapun upaya yang dapat ditempuh untuk pemisahan harta benda dalam perkawinan yaitu dengan membuat perjanjian perkawinan. Dengan ini penulis ingin membuat penelitian dengan rumusan masalah sebagai berikut : 1) Bagaimana mekanisme dalam pembuatan perjanjian perkawinan yang berlaku surut dengan adanya Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 818/Pdt.P/2018/PN.Jkt.Sel 2) Bagaimana ketentuan untuk melindungi kepentingan pihak ketiga dalam perjanjian perkawinan yang berlaku surut? 3) Bagaimana peran Notaris dalam pembuatan perjanjian perkawinan pasca Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015?; Penelitian ini dibuat dengan metode penelitian Yuridis Normatif. UU Perkawinan mengatur perjanjian perkawinan dibuat sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung. Sejalan dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhan hukum, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang mengubah perjanjian perkawinan dapat dibuat selama dalam masa perkawinan. Di sisi lain. Adanya perubahan berdasarkan putusan tersebut membuat potensi bagi pasangan suami istri ingin mengatur harta bersama yang telah diperoleh selama perkawinannya. Perjanjian perkawinan tersebut dapat dibuat dengan cara pasangan suami istri terlebih dahulu meminta penetapan pengadilan untuk harta benda apa saja yang akan diatur pemisahannya, dengan begitu Notaris dapat membuat akta perjanjian perkawinan berdasarkan penetapan pengadilan tersebut.

Marriage is a relationship between a man and a woman to live together in which such a relationship is eternal and recognized by the state. Throughout the marriage period, the jointly owned assets are collected. However, there is an urge to be able to manage the assets acquired during the marriage period personally, as for the efforts that can be taken for the separation of property in marriage, namely by making a marriage agreement. Based on the description above, the writer desires to make a research with the formulation of the problem as follows: 1) What are the provisions for making a marriage agreement in Indonesia? 2) What is the mechanism for making a retroactive marriage agreement? 3) What are the roles of the Notary in making a marriage agreement after the Judgment of the Constitutional Court No. 69/PUU-XIII/2015?. This research was made by applying a normative juridical research method. Marriage Law stipulates that a marriage agreement shall be made before or at the time of the marriage. In line with the development of society and legal needs, the Constitutional Court issued Judgment Number 69/PUU-XIII/2015 which amends that the marriage agreement can be made during the marriage period. Besides, the changes based on such judgment create the potential for married couples wanting to regulate joint assets that have been obtained during their marriage. The marriage agreement can be made by the marriage couple first requesting a court order for any property to be separated, so that the notary can make a marriage agreement deed based on the court's judgment."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Lenggo Sari
"Tesis ini membahas mengenai perjanjian kawin yang dibuat sepasang suami istri sepanjang perkawinan saat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 69/PUU-XIII/2015 (Putusan MK) belum diputuskan. Perjanjian kawin yang tujuan utamanya untuk mengatur harta benda perkawinan wajib dibuat secara tertulis oleh suami istri sebelum atau saat dilangsungkannya perkawinan serta disahkan ke Pegawai Pencatat Perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU 1/1974). Perihal inilah yang dibahas dalam penelitian ini, dengan berdasarkan pada kasus dalam Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah Nomor 534/PDT/2019/PT SMG, dengan permasalahan yang ditemukan yaitu keabsahan dan pertanggungjawaban Notaris terkait dengan legalisasi perjanjian kawin bawah tangan, keabsahan perjanjian kawin yang dibuat sepanjang masa perkawinan dan tidak disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, dan keabsahan pembagian hutang bersama dan harta bersama oleh Majelis Hakim dengan berdasarkan pada perjanjian kawin yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) UU 1/1974. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, Penulis melakukan penelitian dengan bahan pustaka berupa peraturan dan literatur terkait. Dan setelah dilakukan penelitian tersebut, Penulis menyimpulkan bahwa perjanjian kawin dapat berupa akta bawah tangan yang dilegalisasi Notaris, karena Pasal 29 ayat (1) UU 1/1974 hanya mensyaratkan perjanjian kawin dibuat secara tertulis. Penulis menyimpulkan bahwa membuat perjanjian kawin sepanjang masa perkawinan bertentangan dengan Pasal 29 ayat (1) UU 1/1974 dan mengakibatkan perjanjian kawin menjadi batal demi hukum, sedangkan ketidakpatuhan untuk mengesahkannya ke Pegawai Pencatat Perkawinan mengakibatkan perjanjian kawin hanya mengikat diantara para pihak dan tidak kepada pihak ketiga. Lebih lanjut, penggunaan perjanjian kawin yang bertentangan dengan Pasal 29 ayat (1) UU 1/1974 sebagai dasar membagi harta dan hutang bersama dirasa kurang tepat, sekalipun perjanjian kawin tersebut dapat dibuat pada masa perkawinan sebagaimana tafsir Putusan MK, suatu perjanjian kawin tidaklah diperbolehkan untuk merugikan pihak ketiga. 

This thesis analyzes marriage agreement between husband and wife during the marriage in times where the Verdict of the Constitutional Court of Republic of Indonesia Number 69/PUU-XIII/2015 have not been sentenced yet. Objective of marriage agreement is to regulate wealth and property between husband and wife during their marriage. Marriage agreement can only be made before or while marriage and must be registered to Marriage Registrar Official as regulated by Article 29 Law Number 1 Year 1974 regarding to Marriage (UU 1/1974). In a case in Central Java as documented in Central Java’s High Court Verdict Number 534/PDT/2019/PT SMG, several issues were found which are the validity of the notary regarding authorization of marriage agreement, validity of marriage agreement which did not authorized by Marriage Registrar Official and validity of  joint wealth and debt sharing which did not comply with Article 29  paragraph (1) Law 1/1974. Using normative juridical method, the writer did this research using reference to related regulations and literature. After conducting the research, the writer concluded that a marriage agreement can be authorized through legalization in front of a notary because Article 29 paragraph (1) Law 1/1974 only requires a marriage agreement to be made in written form. The writer also concluded that a marriage agreement which was made during the times of marriage did not comply with Article 29 paragraph (1) UU 1/1974 hence null and void in front of the law. Meanwhile, marriage agreement that had not been authorized by Marriage Registrar Official will only binding between the parties, not binding the third party.  Lastly, the use of unlawful agreement as the base of wealth and debt sharing between husband and wife is not rightly did by Council of the Judges, because although the marriage agreement can be made during the marriage as interpreted in the Verdict of the Constitutional Court of Republic of Indonesia Number 69/PUUXIII/2015, a marriage agreement made is not allowed to harm the third party. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamdi Haykal Miswar
"Pada tanggal 27 Oktober 2016, MK RI telah mengeluarkan putusan nomor 69/PUU-XIII/2015 yang merubah bunyi Pasal 29 ayat (1), (3), dan (4) UU Perkawinan. Namun, sampai saat ini belum ada ketentuan yang mengatur tentang pelaksanaan perjanjian perkawinan pasca Putusan MK tersebut sehingga menimbulkan permasalahan. Salah satu permasalahan yang muncul ke permukaan adalah tentang penerapan asas publisitas terhadap perubahan perjanjian perkawinan pasca Putusan MK. Penelitian skripsi ini mengungkap tentang bagaimana pengaturan perubahan perjanjian perkawinan dan bagaimana penerapan asas publisitas terhadap perubahan perjanjian perkawinan pasca putusan MK tersebut. Untuk itu, digunakan metode penelitian hukum yuridis normatif dengan fokus kajian pada bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Untuk memperkuat bahan hukum tersebut dilakukan wawancara dengan beberapa narasumber terkait. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan, perubahan pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan pasca Putusan MK ini membawa pengaruh kepada pengaturan perubahan perjanjian perkawinan, sedangkan prosedur dan tata cara pelaksanaannya belum diatur sehingga dapat menimbulkan kerugian terhadap pihak ketiga. Selain itu, mengenai penerapan asas publisitas terhadap perubahan perjanjian perkawinan di dalam pasal 29 ayat (1) pasca Putusan MK hanya ditentukan untuk disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris sebelum berlaku kepada pihak ketiga sehingga asas publisitasnya belum terpenuhi karena dengan pengesahan tidak berarti telah diumumkan, sehingga pihak ketiga dapat dirugikan. Atas dasar itu, penulis merekomendasikan agar segera dilakukan revisi khususnya pasal 29 ayat (1), (3), dan (4) UU Perkawinan diikuti dengan penambahan penjelasan dalam PP terkait prosedur dan tata cara perubahan perjanjian perkawinan supaya memberikan dasar hukum yang kuat bagi notaris dalam melaksanakan Putusan MK tersebut.

On October 27, 2016, the Constitutional Court of the Republic of Indonesia issued a decision number 69 / PUU-XIII / 2015 which changed the sound of article 29 paragraph (1), (3), and (4) of Marriage Law. However, until now there is no provision that regulates the implementation of marriage after the Constitutional Court's decision so that cause problems. One of the problems that arise is about the application of the principle of publicity to the change of marriage agreement after the Constitutional Court Decision. This thesis research reveals how the arrangement of change of marriage agreement and how the application of publicity principle to change of marriage agreement after the Constitutional Court decision. For that, the researcher use the juridical normative methods focusing the analysis on the the primary, secondary, and tertiary legal materials. To strengthen the legal material is done with several relevant sources. Based on the results of the review, the amendment of Article 29 paragraph (1) of the Marriage Law after the Constitutional Court's Decision has had an effect on the arrangement of amendments to the marriage agreement, while the procedures and procedures for implementation are not yet reliable for third parties. In addition, concerning the application of the principle of publicity to the amendment of the marriage agreement in article 29 paragraph (1) after the Constitutional Court Decision is only determined to be approved by the marriage or notary before applying to a third party so that the publicity principle has not been fulfilled because with no validation has been announced, third parties can be harmed. On that basis, the author suggest to promptly revise in particular Article 29 paragraphs (1), (3), and (4) of the Marriage Law with additional explanation in the Implementing regulation relating to the procedures and procedures for amending the marriage agreement which provide a firm legal basis for the notary in carry out the Constitutional Court Decision."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amini, Ibrahim
Bogor: Cahaya , 2004
306.8 IBR nt
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>