Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 191452 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sisri Rizky
"ABSTRAK
Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang diterbitkan oleh Presiden SBY pada tanggal 2 Oktober 2014 bertujuan untuk mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah dari dipilih melalui DPRD yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2014 menjadi dipilih langsung oleh rakyat. Perppu ini bertentangan dengan sikap politik Koalisi Merah Putih KMP yang semula mendukung mekanisme pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Akan tetapi, akhirnya KMP menyetujui untuk mengesahkan Perppu tersebut menjadi Undang-undang. Mengapa KMP mengubah sikap politiknya terhadap mekanisme pemilihan kepala daerah dengan menyetujui Perppu Nomor 1 Tahun 2014? Teori yang digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian ini adalah teori decision making yang dikemukakan oleh Giovanni Sartori. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara sebagai sumber data primer dan risalah serta media sebagai sumber data sekunder. Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa perubahan sikap politik KMP diakibatkan oleh adanya tekanan publik, melemahnya soliditas koalisi dan upaya menghindari kekosongan hukum yang kemudian diperkuat dengan adanya kesepakatan politik antara KMP dengan SBY dan Partai Demokrat. Kompensasi yang diterima oleh KMP dari perubahan sikap politiknya adalah berupa dukungan Partai Demokrat di DPR, yang direalisasikan dalam pembagian kursi pimpinan di DPR dan MPR serta kursi pimpinan Komisi DPR.

ABSTRACT
Perppu number 1 of 2014 on The Election of Governors, Regents, and Mayors which published by President SBY on 2nd October 2014 is an effort to restore the mechanism of local elections from elections through the DPRD as regulated in UU Number 22 of 2014 on the Election of Governor, Regent And the Mayor, becomes directly elected by the people. This Perppu is certainly contrary to the political stance of the Koalisi Merah Putih KMP which originally supported the election of regional heads through the DPRD. However, at last KMP agreed to ratify Perppu No. 1 of 2014 to become UU No. 1 of 2015 on the Election of Governors, Regents and Mayors. Why has the KMP changed their political stance on the local elections mechanism by approving the Perppu No. 1 of 2014 The decision making theory proposed by Geovani Sartori is the main theory of this research. This research uses qualitative research method, with two data collection techniques that are obtained from interviews as primary data sources and minutes and mass media as secondary data sources. The conclusion of the study is that the change over in KMP political stance is due to public pressure, weak coalition and avoiding legal gap which is then strengthened by political agreement between KMP, SBY, and Democratic Party. The compensation received by the KMP from the change of their political stance towards the electoral mechanism of the regional head by approving the Perppu No. 1 of 2014 is in the form of Democratic Party support to the KMP in the DPR, which is realized in the division of position on Head DPR and MPR and also DPR Commission positions."
2017
T47907
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Al-Amin Ihza
"Pemungutan suara ulang adalah suatu prosedur yang diambil ketika terdapat kondisi- kondisi yang diatur oleh undang-undang seperti kecurangan-kecurangan berupa beberapa pemilih menggunakan hak pilih lebih dari satu kali dan terdapat beberapa pemilih tidak terdaftar yang terbukti ikut memilih. Hal ini dapat dilaksanakan di dalam Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia. Hal ini ditujukan untuk memberikan keadilan bagi seluruh pihak di dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah namun di dalam pelaksanaannya dapat memakan waktu yang cukup lama. Di lain sisi, jabatan pemerintahan harus segera diisi untuk dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat. Dengan melihat hal tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan pemungutan ulang dapat menyebabkan terhambatnya pelantikan bagi pasangan calon terpilih yang merupakan awalan dari masa jabatan pejabat tersebut. Skripsi ini akan membahas mengenai mekanisme pemungutan suara ulang di Indonesia. Pembahasan akan dititikberatkan kepada kasus Pemilihan Kepala Daerah di Labuhanbatu pada tahun 2020 yang berujung pada dilaksanakannya pemungutan suara ulang sebanyak dua kali di daerah pemilihan tersebut. Skripsi ini dituliskan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif untuk menganalisis Pemilihan Kepala Daerah dan pemungutan suara ulang di Indonesia.

Re-election is the procedure that can be happened when there are some conditions which stated according to the law such as several voters used their voting right more than once and several unregistered voters using the right to vote. This thing also can be used in the election of the regional head officer in Indonesia. The purpose of this is to bring justice for everyone in the process of the election of the regional head officer but it also can consume a lot of times. On the other hand, the head of regional officer position needs to be changed in short period of time to bring the legal certainity for the people. Looking into this condition, we can conclude that this thing can impact the delay on the time of the inaugration for the elected candidate, which also the delay on the beginning of govern period. This thesis will discuss about the mechanism od the re-election in Indonesia. The discussion will be focused about the case of the regional head officer election in Labuhanbatu in 2020 which led into two times re-election in that region. This thesis is using the juridical normative method to analyze the election of the regional head officer and re-election in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Aribi
"ABSTRAK
Penelitian ini menjelaskan bagaimana Proses Pembuatan Kebijakan Rancangan Undang-Undang Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang No.22 Tahun 2014. Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota terkait dengan mekanisme pemilihan kepala daerah baik secara langsung ataupun tidak langsung yang terbagi kedalam tiga tahapan. Tahap pertama yaitu rapat Panitia Kerja Komisi II DPR-RI, tahap kedua dalam rapat pengesahan Tingkat I dan tahap ketiga dalam rapat Paripurna di DPR RI. Selain itu dalam penelitian ini juga akan menjelaskan bagaimana dinamika politik para aktor pembuat kebijakan dalam Rancangan Undang-Undang Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang No.22 Tahun 2014. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Metode kualitatif menempatkan pandangan peneliti terhadap suatu yang diteliti secara subjektif, dalam hal ini bagaimana proses tarik-menarik yang terjadi antara para pembuat kebijakan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi Undang-Undang No.22 Tahun 2014 sebagai subjek penelitian. Teknik pengumpulan data menggunakan data primer dan data sekunder. Karena penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, maka data primer yang digunakan adalah wawancara dan data sekunder menggunakan studi dokumen atau literatur.Untuk memahami bagaimana proses pembuatan kebijakan Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 yang terjadi antara pemerintah dengan DPR-RI dapat dilihat dengan proses pembuatan kebijakan dalam tahapan formulasi kebijakan menurut Thomas R Dye. Hasil penelitian menunjukan bahwa Formulasi kebijakan berkaitan dengan berbagai macam alternatif kebijakan baik dari eksekutif, legislatif, maupun kelompok kepentingan dalam menyelesaikan permasalahan sosial yang terjadi dan untuk memperbaikinya. Mereka dapat saling mempengaruhi dalam proses pembuatan kebijakan tersebut. Dalam menentukan kebijakan yang akan dipilih sangat ditentukan oleh dukungan elite politik legislatif . Hal ini terlihat dari perubahan sikap dari berbagai fraksi partai politik dalam pembuatan kebijakan tersebut. Dukungan terbesar yang diberikan oleh elite politik dalam memilih berbagai macam alternatif kebijakan tersebut akan menentukan kebijakan mana yang akan dipilih dan ditetapkan.

ABSTRACT
This research explains how The Policy Making Process of the Draft Law on Election of governors, regents and mayors become UU. No.22 of 2014. Discussion of Draft Law on the Election of the Governor, Regent, and Mayor of mechanisms related to local elections either directly or indirectly, which is divided into three phases. The first phase of the Working Committee meeting of the House of Representatives in Commission II, the second phase of the verification meeting first level and the third stage in the House of Representatives plenary meeting. And also explain how The political dynamics of the actors in policy making.The method of this research is a qualitative approach. Qualitative methods put our view of a studied subjectively, in this case how the The Policy Making Process of the Draft Law on Election of governors, regents and mayors become UU. No.22 of 2014 as a research subject. The techniques of data collection are using primary data and secondary data. Because this study used a qualitative approach, the primary data used were interviews and secondary data using documents or literature studies.To understanding how The Policy Making Process of the Draft Law on Election of governors, regents and mayors become UU. No.22 of 2014 between government and Parliament can be seen in the policy making process in the stages of policy formulation by Thomas R. Dye. The results of research showed that the Policy formulation related to a wide range of policy alternatives, both from the executive, legislative, and interest groups in solving social problems and to fix them. They can be influenced by each others in the policy making process. In determining the policies that will be selected is determined by the support of the political elite the legislature . This is evident from the change in attitude of the various factions of political parties in the policy making. The support provided by the political elite in choosing a wide range of policy alternatives that will determine which policy will be selected and specified."
2016
T47419
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andriyani Dwi Astuti
"Pemilukada langsung menghasilkan kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan beragam latar belakang dan profesi yang berpengaruh terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kurangnya kemampuan kepala daerah dalam melaksanakan fungsinya berdampak pada kinerja pemerintahan daerah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa fungsi kepala daerah dalam kerangka manajemen kinerja pemerintahan daerah. Dipilihnya Kabupaten Tangerang dan Kota Tasikmalaya dikarenakan latar belakang Bupati Tangerang dan Wali Kota Tasikmalaya yang non birokrat sehingga kedua kepala daerah tersebut memiliki strategi tersendiri dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selain itu, pemilihan didasarkan pada peringkat dan status kinerja Kabupaten Tangerang dan Kota Tasikmalaya Tahun 2012-2013. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tentang kerangka manajemen kinerja pemerintahan daerah yang terdiri dari 4 kuadran. Dengan menggunakan teori ini dapat dipetakan fungsi kepala daerah yang mendominasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan metode pemilihan kasus most different cases. Hasil dari penelitian ini adalah dapat diketahui fungsi Bupati Tangerang yang mendominasi dalam kerangka manajemen kinerja Pemerintah Kabupaten Tangerang terletak pada kuadran 1 dimana bupati berfungsi dalam koordinasi dan komunikasi serta mengajak masyarakat berpartisipasi aktif. Selain itu, fungsi lain yang mendominasi terletak pada kuadran 3 dimana bupati berfungsi dalam perubahan budaya organisasi dan pola pikir pegawai. Selanjutnya pada kuadran 4 dimana bupati dapat melaksanakan fungsinya dalam pembentukan sistem pelayanan dan kepatuhan terhadap prosedur hukum. Fungsi Wali Kota Tasikmalaya yang mendominasi dalam kerangka manajemen kinerja Pemerintah Kota Tasikmalaya berada pada kuadran 1 dimana wali kota dapat membina hubungan yang baik dengan masyarakat, pegawai, dan stakeholders lainnya. Kemudian fungsi lain terletak pada kuadran 2 dimana wali kota dapa tmelakukan perencanaan dan penganggaran dengan strategi yang baik.

Direct election generates regional head and deputy regional head with diverse backgrounds and professions who influence the regional administration. The lack of ability to carry out the regional head's function has an impact on the performance of local government. This study aims to analyze the function of regional head in the local government performance management framework. The researcher has chosen Tangerang Regency and Tasikmalaya Municipality because the Tangerang Regent's and Tasikmalaya Mayor's background are non bureaucrats so that both the regional head have its own strategies in local governance. In addition, the selection is based on the ratings and performance status of Tangerang Regency and Tasikmalaya Municipality in 2012-2013. The theory used in this research is the theory of local government performance management framework that consists of four quadrants. By using this theory can be mapped the function that dominates the regional heads in local governance. The method used in this research is qualitative method with a method of case' selection is most different cases. The results of this study are the function that dominates Tangerang Regent within the performance management framework of Tangerang Regency located in quadrant 1 where the regent's function in coordination and communication, and invites the public to participate actively. In addition, other functions that dominate located in quadrant 3 where the regent's function in changing organizational culture and employee mindset. Later in the fourth quadrant where the regent can carry out its function in establishing the service system and compliance with legal procedures. The Tasikmalaya Mayor's function that dominates in the performance management framework are in quadrant 1 where the mayor can establish a good relationship with the community, employees, and other stakeholders. Then other functions located in quadrant 2 where the mayor is able to make planning and budgeting with a good strategy"
2015
T43988
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Immaculatus Djoko Marihandono
Depok: RajaGrafindo Persada, 2014
352.23 DJO p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Immaculatus Djoko Marihandono
Depok: RajaGrafindo Persada, 2014
352.23 DJO p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Sekretariat Jendral Dewan Perwakilan Rakyat RI, 2016
R 342.6 IND p
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Diffaryza Zaki Rahman
"Pada 2005, Bupati Bojonegoro menulis Surat Bupati Bojonegoro No. 050/872/412/12/2005 yang dianggap mengikat PT Asri Dharma Sejahtera untuk bekerja sama dengan PT Surya Energi Raya. Walaupun Surat a quo pada esensinya hanya merupakan surat balasan, Surat a quo dianggap sebagai suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang mengikat PT Asri Dharma Sejahtera. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kewenangan kepala daerah dalam pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), khususnya Bupati Kabupaten Bojonegoro untuk melakukan penyetujuan badan usaha sebagai rekanan kerjasama BUMD. Penelitian ini meninjau kasus Surat Bupati Bojonegoro No. 050/872/412/12/2005 yang menyetujui kerjasama pendanaan Participating Interest Blok Cepu antara PT Surya Energi Raya dengan PT Asri Dharma Sejahtera selaku BUMD serta untuk meninjau bagaimana keberlakuan serta kekuatan hukum Surat Bupati Bojonegoro No. 050/872/412/12/2005. Penelitian ini diselenggarakan dengan jenis penelitian yuridis-normatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kepala daerah khususnya Bupati Kabupaten Bojonegoro hanya dapat bertindak sebagai pemegang saham dalam pengelolaan BUMD, bukan sebagai Direksi dan Surat Bupati Bojonegoro No. 050/872/412/12/2005 tidak memiliki keberlakuan dan kekuatan hukum yang mengikat serta tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah Keputusan Tata Usaha Negara.

In 2005, the Regent of Bojonegoro release the BojonegoroĆ¢??s Regent Letter No. 050/872/412/12/2005 which is presumed to binds PT Asri Dharma Sejahtera to partner with PT Surya Energi Raya. Though the letter was only meant as a reply note, the letter still presumed by many as a State Administrative Decree that binds PT Asri Dharma Sejahtera. This study was conducted to determine the existence of the authority of the regional head regarding the management of Regional Owned Enterprises (ROE), especially the Regent of Bojonegoro to make approval of business entities as partners in the cooperation with Regional Owned Enterprises (ROE). This study examines the case of BojonegoroĆ¢??s Regent Letter No. 050/872/412/12/2005 which approved the cooperation in funding the Blok Cepu Participating Interest between PT Surya Energi Raya and PT Asri Dharma Sejahtera as ROE and to examine how is the legal strength of the Bojonegoro Regent Letter No. 050/872/412/12/2005. This study was conducted with a juridical normative research type. The results of this study indicate that the regional head, especially the Regent of Bojonegoro can only act as a shareholder in the management of the ROE, not as the Board of Directors and the Bojonegoro Regent Letter No. 050/872/412/12/2005 has no binding legal force and cannot be categorized as a State Administrative Decree."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Budi Eko Wardani
"Perubahan partai politik setelah rezim Orde Baru membawa konsekuensi serius bagi peran partai politik. Pertama, adanya pergeseran peran partai politik dari aktor di pinggiran kekuasaan menjadi aktor utama yang berperan membentuk kekuasaan politik. Kedua, adanya keharusan partai politik melakuka reformasi internal untuk tujuan memenangkan kekuasaan politik sekaligus menjawab tuntutan publik. Ketiga, terkait keterlibatan partai politik dalam pemilihan untuk mengisi jabatan politik dan jabatan politik.
Partai politik lalu dihadapkan pada paradigma baru yaitu bekerja profesional, memiliki kemampuan bekerjasama atau bernegosiasi dengan partai lain dalam meraih kemenangan, serta melihat konstituen sebagai aset atau kapital yang harus terus dikumpulkan dan dipelihara. Salah satu strategi memenangkan pemilihan umum adafah melalui koalisi politik. Koalisi partai politik membentuk pemerintahan dan untuk memperkuat posisi tawar dalam proses politik di parlemen atau kabinet, menjadi hal tak terhindarkan dalam kehidupan partai di era reformasi ini. Fenomena tersebut dianggap wajar mengingat hasil Pemilu 2004 menghasilkan kekuatan partai yang terfragmentasi secara berimbang. Hal ini membuat keputusan membentuk koalisi menjadi tak terhindarkan. Salah satunya yang terjadil dalam pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada).
Pilkada yang dimuiai pada Juni 2005 menjadi arena politik baru bagi partai-partai politik. Dari 211 Pilkada pada 2005, ada 126 Pilkada yang dimenangkan oleh pasangan yang diusung koalisi partai. Sedang 85 lainnya dimenangkan oleh pasangan salon yang didukung partai tanpa koalisi. Bagi partai, koalisi dalam Pilkada memiliki kekhasan yang patut dicatat, yaitu: (1) secara kuantitas formasi koalisi bisa sangat banyak yang disebabkan oleh banyaknya pemilihan; (2) adanya kebutuhan pemetaan yang memungkinkan pengurus pusat partai memberikan kebebasan relatif pada pengurus daerahnya untuk memutuskan koalisi; dan (3) kecenderungan pofa koalisi dalam Pilkada yang sangat menyebar dan nyaris sulit untuk diramalkan. Salah satu kasus yang diamati untuk menunjukkan kecenderungan tersebut adalah Pilkada Provinsi Banten pada 26
Tesis ini menggunakan tiga kerangka teori untuk menjawab pertanyaan penelitian. Pertama adalah teori koalisi politik dari William Riker yang menekankan prinsip ukuran (Minimal Winning Coalitions) dan Robert Axelrod yang menekankan prinsip kedekatan preferensi kebijakan (Minimal Connected Winning). Kedua, teori pilihan rasional untuk melihat kontestasi pilihan-pilihan kepentingan yang menjadi dasar pengambilan keputusan para aktor untuk berkoalisi. Keputusan berkoalisi adalah sebuah pilihan rasional dalam rangka memaksimalkan kepentingan atau keuntungan yang dapat diraih. Ketiga, adalah teori oligarki dari Robert Michels. Teori ini digunakan untuk melihat pengaruh struktur partai dalam mempengaruhi pembentukan koalisi partai.
Setidaknya ada lima faktor yang diuji dalam tesis ini - mengacu pada kasus Pilkada Banten- untuk melihat pengaruhnya dalam pembentukan koalisi partai. Pertama adalah pemetaan kekuatan politik di DPRD. Tingkat pengaruh faktor ini sedang karena diperlukan untuk memenuhi persyaratan pencalonan 15% suara atau kursi. Tetapi calon dapat saja membentuk koalisi dengan partai-partai non parlemen jika diperlukan. Kedua, pertimbangan platform partai dalam pembentukan koalisi, apakah sifatnya ideologis atau pragmatis. Tingkat pengaruh faktor ini rendah karena partai pada dasarnya dapat membangun koalisi dengan partai manapun tergantung pemaksimalan kepentingan yang dapat diraih.
Faktor ketiga adalah mekanisme internal penjaringan oleh partai politik. Tingkat pengaruh faktor ini rendah karena tidak ada keharusan partai melakukan penjaringan internal, dan kalaupun dilakukan, hasilnya tidak mengikat atau dapat dibatalkan oleh pengurus pusat. Keempat adalah peran dewan pengurus pusat (DPP) partai. Tingkat pengaruh faktor ini tinggi karena rekomendasi atau persetujuan DPP bersifat mutlak sehingga tidak ada alternatif lain bagi pengurus daerah selain mengikuti petunjuk DPP. Dan kelima adalah peran figur bakal calon kepala daerah. Tingkat pengaruh faktor ini tinggi dalam pembentukan koalisi karena figur yang mendanai penggalangan dukungan selama pencalonan. Partai politik secara institusi biasanya tidak rnengeluarkan materi untuk mendukung pencalonan kepala daerah.

The post new order change within political parties brought serious consequences towards their role: These include: the shift within the political parties' role from being marginal actors in the national power sphere, towards assuming a main role in the formation of political power; political parties being obliged to conduct internal reforms for the sake of winning the contested political power and in order to answer public demands; political parties' involvements in elections dedicated towards filling political position slots.
Political parties were then introduced to a new paradigm which encompassed virtues such as professionalism, ability to cooperate and negotiate with other parties in the attempt of winning the election, and in how they were to view constituents as valuable assets of which supports must always be gathered and preserved. One of the strategies in winning political elections is by creating political coalition(s). Political coalitions in building a new government and in order to create a better bargaining power in the parliamentary or cabinet political processes have become an inevitable phenomenon in this post-reform era. This phenomenon was considered as an obvious one due to the fact that the 2004 election had bred out a fragmentated and balanced political party power configuration. Such configuration later induced many parties to form coalitions as a necessity to anticipate the situation in other elections, as can be seen in the direct regional leader election ("Pemilihan Kepala Daerah Langsung" - PiLKADA).
The Pilkada, which began on June 2005, became a new arena for political parties. From over 211 Pilkada held in 2005, 126 of them were won by candidates supported by party coalitions, while another 85 were won by candidates supported by parties not engaging in coalitions. For many parties, the coalitions made during the Pilkada had certain features: (1) Quantitatively, the abundance of coalitions was made possible due to the many elections held; (2) mapping requirements made many central party officials to allow greater freedom for their local agents to decide coalitions; (3) the tendency within Pilkada coalition patterns exhibited a divergent and unpredictable trend. One of the examined which showed such tendency was the Banten Province Pilkada held on November 26, 2006 in which 4 candidate pairs who participated in this event were all supported by political party coalitions.
This thesis applies three theoretical frameworks in order to answer its research question. The first one is political coalitions theory by William Riker, which emphasizes the measurement principle (Minimal Winning Coalitions), and Robert Axelrod, which emphasizes the policy preference connectedness principle (Minimal Connected Winning). The second one is the rational choice theory which will be used to analyze the contestation of interest choices, which serves as a basis for actors' decision making to form coalitions. Such decision can be seen as a rational choice in order to maximize an actor's interest and benefits. The third theoretical framework applied here is oligrarchic theory by Robert Michels. This theory will be used to view how party structures influence the decision to form coalitions.
There at least five factors which this thesis seeks to analyze, referring to the Banten Pilkada case, in order to see their effect to party coalition formations. The first factor is the political power mapping in DPRD level. This factor's level of influence is medium, due to its function to fulfill the 15% vote or chair requirement. However, candidates may likely form coalitions with non-parliamentary parties if necessary. The second factor is the party platform considerations in coalition formations, whether they include the involvement of ideological preferences or more pragmatic stances. The influence level of this factor can bee deemed low due to the fact that most parties are likely to build coalitions with any party depending on the interest maximization which can be gained.
The third factor is the internal networking mechanisms by political parties. This factor's level of influence is low due to the inexistence of requirements by parties to conduct internal networkings. However, if such mechanism is to occur, the results would likely to be non-bounding or cancellable according to the decision of central organizers. The fourth factor is the role of party's central organizing board (Dewan Pengurus Pusat - DPP). This factor has a high level of influence due to the absolute recommendation or agreement made by the DPP which in turn negates all other alternatives for local organizers to follow except the ones established by the DPP. The fifth factor is the role of local leader candidates. This factor is highly influential in determining the coalition formation due to the role of certain figures who financially support the candidates. Political parties are normally refrained from committing material supports during the local leader elections."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T19281
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adam Mulya Bunga Mayang
"Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 mengamanatkan bahwa penyelesaian perselisihan hasil Pilkada diselesaikan oleh Badan Peradilan Khusus, namun Mahkamah Konstitusi berwenang menyelesaikan perselisihan hasil Pilkada apabila belum terbentuknya badan tersebut. Dalam penyelesaian perselisihan hasil Pilkada terdapat ketentuan ambang batas selisih suara antara pemohon dengan peraih suara terbanyak sebesar 0,5% hingga 2% suara yang ditentukan dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU.
Pada dasarnya pembentuk undang-undang mengatur ambang batas selisih suara sebagai bentuk upaya penyederhanaan serta membatasi banyaknya jumlah sengketa yang akan masuk ke lembaga penyelesaian perselisihan hasil Pilkada (Mahkamah Konstitusi). Ketentuan tersebut mengakibatkan tidak terpenuhinya hak konstitusional pemohon, karena berdasarkan desain penegakan hukum Pilkada, Mahkamah Konstitusi hanya melihat terkait perselisihan penetapan perolehan suara yang signifikan, sehinga tidak mempertimbangkan peristiwa lainnya seperti tindak pidana Pilkada apabila ketentuan ambang batas selisih suaranya sudah tidak terpenuhi.
Guna menjamin hak konstitusional pemohon, perlu segera membentuk Badan Peradilan Khusus sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 serta menghapuskan ketentuan ambang batas selisih suara, selama Badan belum terbentuk maka Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan perselisihan hasil Pilkada tetap memperhatikan substansi pokok permohonan pemohon tanpa mengesampingkan ambang batas selisih suara.

Law Number 10 of 2016 mandates the decision on the resolution of the Regional Head Election results by the Special Judiciary Body, but the Constitutional Court authorized the dispute settlement on the result of Regional Heads Election before the Special Judiciary Body formed. In dispute settlement on the result of Regional Heads Election, the margin threshold of the difference votes between the petitioners and the winner of the Regional Heads Election is 0.5% to 2% determined from the decision of the vote result by the General Election Commission.
Basiclly the legislator stipulation of margin threshold as a form of simplification and to limit the number of disputes that be registered to dispute settlement on the result of Regional Heads Election institution (the Constitutional Court). This stipulation does not guarantee the petitioners constitutional rights, because based on the design of law enforcement in the Regional Head Election, the Constitutional Court only sees the significant dispute over the determination of votes, so that it does not consider other events such as the Regional Head Election criminal offense if the stipulation on the margin threshold is not fulfilled
In order to guarantee the petitioners constitutional rights, the government needs to establish immediately the Special Judiciary Body mandated by Law Number 10 of 2016 and abolish stipulation of margin threshold in the dispute settlement on the result of Regional Heads Election, as long as the Special Judiciary Body has not been formed, the Constitutional Court in settle disputes on the results of the Regional Head Election still considers the main substance of the petition of the petitioners without prejudice to the margin threshold.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T55070
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>