Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 181572 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lestari Mustika Rini
"ABSTRAK
Latar Belakang: Avulsi levator ani merupakan lepasnya otot puborektalis dari insersinya pada dinding pelvis. Kejadian ini seringkali terjadi akibat trauma persalinan pervaginam dan dapat menyebabkan gejala uroginekologi beberapa tahun kemudian. Tujuan: Untuk mengetahui proporsi avulsi levator ani menggunakan ultrasonografi 3D/4D dan menentukan faktor-faktor persalinan pervaginam yang berkontribusi pada terjadinya avulsi levator ani diantara pasien dengan gejala prolaps organ panggul. Metode: Studi potong-lintang dilakukan pada pasien dengan gejala prolaps organ panggul di Poliklinik Uroginekologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Secara retrospektif dan prospektif dilakukan pengumpulan data sejak Januari 2012 hingga April 2017 dengan pemeriksaan klinis menggunakan POP-Q dan ultrasonografi 3D/4D transperineal untuk menilai otot levator ani.Hasil: Dari total 127 pasien prolaps organ panggul yang dimasukkan sebagai subjek memiliki median usia 61 26-80 tahun, median paritas 3 0-13 dengan 2 pasien nuligravida dan 2 pasien menjalani persalinan hanya dengan seksio sesarea. Sebanyak 10 subjek 7.9 , IK95 3.1-12.6 terdeteksi adanya avulsi levator ani menggunakan USG 3D/4D transperineal. Diantara kelompok avulsi tersebut dilakukan analisis dengan mengeksklusi 4 pasien tanpa persalinan pervaginam. Dari total 123 pasien, median usia pertama melahirkan adalah 26 18-31 tahun, p=0.156; median jumlah persalinan pervaginam adalah paritas 3 1-9 , p=0.19; riwayat persalinan dengan forsep hanya terdapat 1 kasus 10 , p=0.081; riwayat persalinan dengan vakum 10 , p=0.35, dari total 5 kasus vakum; dan berat lahir bayi terbesar dengan median 3470 3100-3700 gram, p=0.752.Kesimpulan: Proporsi avulsi levator ani pada pasien prolaps organ panggul di Poliklinik RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo sebesar 7.9 . Faktor risko obstetri seperti usia pertama melahirkan, jumlah persalinan pervaginam, riwayat persalinan dengan forsep, riwayat persalinan dengan vakum dan berat lahir bayi terbesar tidak dapat disimpulkan hubungannya dengan terjadinya avulsi levator ani.

ABSTRACT
Background Avulsion of levator ani could arise from detachment of puborectalis muscle form its insertion on the pelvic sidewall. This manifest is a common consequence of vaginal childbirth trauma and could represent urogynecological symptoms many years later. Objective To estimate the proportion of levator ani avulsion using 3D or 4D ultrasound and determine the vaginal birth factors that contribute to levator ani avulsion among the symptomatics of pelvic organ prolapse women. Methods Cross sectional study was conducted among women with symptomatic pelvic organ prolapse in Urogynecology Clinic RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Patients were retrospective and prospectively investigated from January 2012 until April 2017 by clinical examination using POP Q system and 3D 4D imaging of levator ani muscle.Results A total 127 women with pelvic organ prolapse were included in this study, median age was 61 26 80 years, median parity was 3 0 13 with 2 patients were nulligravid and 2 patients have giving birth by c section only. There were 10 cases 7.9, IK95 3.1 12.6 levator avulsion by transperineal 3D 4D US exam. In the group of levator avulsion, 4 cases without history vaginal birth were excluded. Of total 123 patients, first age delivery median was 26 18 31 years, p 0.156 vaginal birth parity median was 3 1 9, p 0.19 1 case forceps delivery 10, p 0.081 vacuum delivery 10, p 0.35, from total vacuum history was 5 cases and maximum birthweight median mas 3470 3100 3700 gram, p 0.752.Conclusion Proportion of levator avulsion in women with pelvic organ prolaps at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo was 7.9 . First age delivery, vaginal birth parity, forceps delivery, vacuum delivery, dan maximum birth weight as obstetric factors cannot be concluded these association to levator avulsion."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Latar Belakang :
Prolaps organ panggul adalah penurunan dari organ visera pelvik (panggul) akibat dari turunnya fungsi sistem penyokong panggul. Hal ini jarang mengakibatkan hal yang serius, tetapi menjadi faktor penting pada kualitas hidup pasien. Walaupun etiologi dan faktor risiko dari prolaps organ panggul bersifat multifaktorial, kebanyakan menerima bahwa otot dasar panggul, yaitu levator ani, berperan sangat penting dalam menyokong dasar panggul.
Penelitian-penelitian sebelumnya menyebutkan adanya hubungan antara derajat prolaps organ panggul dengan fungsi dan integritas otot levator ani yang dinilai dengan pemeriksaan USG dan perineometer. Namun saat ini di indonesia tidak ada penelitian yang secara lengkap menggambarkan hal diatas tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat perbandingan antara kekuatan otot, area hiatus, dan avulsi otot levator ani pada penderita derajat prolaps organ panggul derajat ringan dan derajat berat.
Metode:
Penelitian analitik observasional, dengan disain kasus-kontrol. subjek penelitian 60 wanita, 30 wanita dengan derajat prolaps ringan, 30 wanita prolaps derajat berat. Untuk melihat perbandingan antara kekuatan otot levator ani pada saat kontraksi dan istirahat, area hiatus dan avulsi otot levator ani pada pasien normal dan prolaps organ panggul derajat ringan dibandingkan dengan prolaps organ panggul derajat berat.
Hasil:
Pada penelitian ini didapatkan perbedaaan bermakna (p<0,001) antara kekuatan otot levator ani baik saat istirahat maupun kontraksi pada kelompok kasus (derajat berat) dan kelompok kontrol (derajat ringan). Nilai median dari kekuatan otot pada kelompok kasus saat istirahat dan kontraksi berturut-turut adalah 2,0 dan 5,33 mmHg sementara pada kelompok kontrol sebesar 6,0 dan 11,30 mmHg. Didapatkan perbedaaan bermakna antara area hiatal otot levator ani pada kedua kelompok (p<0,001). Nilai median kelompok derajat berat sebesar 35,07 cm2 (20,7-61,8 cm2) sementara kelompok derajat ringan sebesar 20,75 cm2 (9,04 - 41,52 cm2). Tidak didapatkan perbedaaan bermakna antara kejadian avulsi pada kedua kelompok (p = 0,162). Pada kelompok derajat berat angka kejadian avulsi sebanyak 10%.
Kesimpulan:
Terdapat perbedaan bermakna antara kekuatan otot dan area hiatus otot levator ani pada penderita prolaps organ panggul derajat berat dan ringan. tidak terdapat perbedaan bermakna pada avulsi otot levator ani pada kedua kelompok.

Pelvic organ prolapse is a herniation of visceral pelvic organ as a result of weakening of pelvic supporting system function. This rarely leads to serious health problem, however it is an important factor when it comes to patient’s quality of life. Even though the aetiology and risk factors of pelvic organ prolapse are multifactorial, levator ani muscle is believed playing substantial role in supporting pelvic system.Previous studies have shown that there was correlation between the degree of pelvic organ prolapse and levator ani muscle function and integrity assessed with USG and perineometer examination. Unfortunately, research focusing on this study is still limited in Indonesia. The aim of this study is to see comparison between muscle strength, hiatal area, anal levator muscle avulsion in mild and severe degree of pelvic organ prolapse.
Method:
This is observational comparative analytic study with case-control design. There were 60 participants involved. We devided them into two groups. Thirty participants with mild prolapse were assigned to control group and the rest with severe prolapse were assigned to second group. We compared the levator ani muscle stregth between mild prolapse with severe prolapse during contraction and relaxation, also hiatal area and avulsion.
Result:
In this study we found that there was a significant difference (p<0.001) in levator ani strentgh during contraction and relaxation between case (severe prolapse) and control group (mild prolapse). The median score of muscle strength during relaxation and contraction were 2.0 and 5.33 mmHg, respectively. Meanwhile, the score of 6.0 and 11.30 mmHg were revealed in control group. A significant difference was found between levator ani hiatal area in case and control group (p<0.001). The median score was 20.75 cm2 (9,04 – 41,52) for control group and 35,07 cm2 (20,7 – 61,8) for case group. There was no significant difference between avulsion incidence in case and control group (p=0.162). In case group, the incidence of avulsion was 10 %.
Conclusion:
There is a significant difference in muscle strength and hiatal area levator ani in pelvic organ prolapse. There is no difference in levator ani avulsion between 2 groups."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dafnil Akhir Putra
"Latar belakang : Prolaps organ panggul diketahui berkaitan dengan komplikasi berupa disfungsi seksual. Luas genitalia hiatus serta kekuatan otot dasar panggul merupakan salah satu parameter yang diketahui berkaitan dengan komplikasi tersebut. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan luas levator hiatus dan kekuatan levator ani pada kasus POP terutama terhadap masalah disfungsi seksual.
Metode : Penelitian ini menggunakan desain perbandingan potong lintang, yang dilaksanakan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada periode 1 Februari 2023 hingga Mei 2024. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan status ginekologis, termasuk POP-Q dan perineometer dan pemeriksaan USG dasar panggul. Kategori disfungsi dikelompokkan berdasarkan skor FSFI. Data yang diperoleh akan diuji secara parametrik maupun non parametrik sesuai normalitas data, dengan batas kemaknaan yaitu alpha 5%. Penentuan titik potong diukur dengan metoda ROC dan analisa AUC serta penghitungan nilai sensitivitas maupun spesifisitasnya. Selanjutnya, dilakukan uji korelasi untuk mendapatkan signifikansi (p) serta kekuatan korelasi (r) pada setiap variabel yang akan diperiksa.
Hasil: Pengambilan data secara consecutive sampling pada seluruh pasien baru POP yang datang ke Poli Uroginekologi, terdapat 40 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dalam populasi dengan kategori 20 sample disfungsi seksual dan 20 sampel tidak disfungsi seksual. Tidak terdapat perbedaan karakteristik yang bermakna pada sampel prolaps organ panggul pada kelompok disfungsi seksual maupun tidak disfungsi seksual. Dari uji T-tidak berpasangan didapatkan hubungan yang bermakna pada maksimal levator hiatus dengan kejadian disfungsi seksual (p=0,000). Terdapat hubungan kekuatan levator hiatus saat kontraksi dengan kejadian disfungsi seksual pada perempuan dengan prolaps organ panggul oleh uji Mann-Whitney (p=0,005). Pada luas levator hiatus didapatkan titik potong yaitu 30.865 cm2 (sensitivitas 85%, spesitifitas 80%), kemudian untuk titik potong kekuatan otot levator ani yaitu 20.5 cmH2O (sensitivitas 80%, sensitifitas 70%). Berdasarkan korelasi Pearson antara luas levator hiatus dengan skor FSFI yang bermakna pada domain rangsangan (p=0,000, r=-0,531) serta domain orgasme (p= 0,000, r=-0,581). Berdasarkan hasil uji korelasi spearman pada kekuatan otot levator ani didapatkan hasil yang bermakna pada domain tingkatan rangsangan (p=0,015, r=0,383) dan pada domain orgasme yaitu (p=0.002, r=0,478).
Kesimpulan : Pemeriksaan luas levator hiatus dengan USG dasar panggul dan pengukuran kekuatan otot dasar panggul dengan perineometer dapat menjadi alternatif untuk membantu mengevaluasi resiko kejadian disfungsi seksual pada perempuan POP postmenopause.

Latar belakang : Prolaps organ panggul diketahui berkaitan dengan komplikasi berupa disfungsi seksual. Luas genitalia hiatus serta kekuatan otot dasar panggul merupakan salah satu parameter yang diketahui berkaitan dengan komplikasi tersebut. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan luas levator hiatus dan kekuatan levator ani pada kasus POP terutama terhadap masalah disfungsi seksual.
Metode : Penelitian ini menggunakan desain perbandingan potong lintang, yang dilaksanakan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada periode 1 Februari 2023 hingga Mei 2024. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan status ginekologis, termasuk POP-Q dan perineometer dan pemeriksaan USG dasar panggul. Kategori disfungsi dikelompokkan berdasarkan skor FSFI. Data yang diperoleh akan diuji secara parametrik maupun non parametrik sesuai normalitas data, dengan batas kemaknaan yaitu alpha 5%. Penentuan titik potong diukur dengan metoda ROC dan analisa AUC serta penghitungan nilai sensitivitas maupun spesifisitasnya. Selanjutnya, dilakukan uji korelasi untuk mendapatkan signifikansi (p) serta kekuatan korelasi (r) pada setiap variabel yang akan diperiksa.
Hasil: Pengambilan data secara consecutive sampling pada seluruh pasien baru POP yang datang ke Poli Uroginekologi, terdapat 40 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dalam populasi dengan kategori 20 sample disfungsi seksual dan 20 sampel tidak disfungsi seksual. Tidak terdapat perbedaan karakteristik yang bermakna pada sampel prolaps organ panggul pada kelompok disfungsi seksual maupun tidak disfungsi seksual. Dari uji T-tidak berpasangan didapatkan hubungan yang bermakna pada maksimal levator hiatus dengan kejadian disfungsi seksual (p=0,000). Terdapat hubungan kekuatan levator hiatus saat kontraksi dengan kejadian disfungsi seksual pada perempuan dengan prolaps organ panggul oleh uji Mann-Whitney (p=0,005). Pada luas levator hiatus didapatkan titik potong yaitu 30.865 cm2 (sensitivitas 85%, spesitifitas 80%), kemudian untuk titik potong kekuatan otot levator ani yaitu 20.5 cmH2O (sensitivitas 80%, sensitifitas 70%). Berdasarkan korelasi Pearson antara luas levator hiatus dengan skor FSFI yang bermakna pada domain rangsangan (p=0,000, r=-0,531) serta domain orgasme (p= 0,000, r=-0,581). Berdasarkan hasil uji korelasi spearman pada kekuatan otot levator ani didapatkan hasil yang bermakna pada domain tingkatan rangsangan (p=0,015, r=0,383) dan pada domain orgasme yaitu (p=0.002, r=0,478).
Kesimpulan : Pemeriksaan luas levator hiatus dengan USG dasar panggul dan pengukuran kekuatan otot dasar panggul dengan perineometer dapat menjadi alternatif untuk membantu mengevaluasi resiko kejadian disfungsi seksual pada perempuan POP postmenopause.

Introduction : Pelvic organ prolapse is known to be related to complications in the form of sexual dysfunction. The area of hiatus genitalia and the strength of pelvic floor muscles are one of the known parameters related to these complications. The aim of this study is to determine the association between the hiatus levator area and the strength of the levator ani in POP cases, specifically focusing on sexual dysfunction issues.
Methods : This study uses a cross-sectional comparison design, which was carried out at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo in the period from February 2023 to May 2024. A gynecological status check, including POP-Q, perineometer, and pelvic floor ultrasound examination, is performed. The categories of dysfunction are grouped based on FSFI scores. The data obtained is then tested in a parametric or non-parametric test according to the normality of the data, with an efficiency limit of alpha 5%. The determination of the cut-off point is measured by the ROC method, the AUC analysis, and the calculation of the sensitivity and specificity values. Then a correlation test is performed to obtain the significance (p) as well as the strength of the correlation (r) on each variable to be examined.
Result : The data was collected on consecutive samples of all new POP patients who came to Uroginecology Polyclinic. There was 40 patients who met the inclusion criteria in the population had 20 sexual dysfunction samples and 20 non-sexual dysfunction samples. There were no significant characteristic differences in the pelvic organ prolapse sample in the sexual dysfunction group or non-sexual dysfunction group. From the T-unpaired test, a meaningful relationship was found between the maximum levator hiatus and the incidence of sexual dysfunction (p=0,000). There was a relationship between the strength of the hiatus levator during contraction and the incidence of sexual dysfunction in women with pelvic organ prolapse, as determined by the Mann-Whitney test (p=0.005). The area of the hiatus levator is obtained at a cutting point of 30,865 cm2 (sensitivity 85%, specificity 80%), and for the cutting point, the strength of the levator ani muscle is 20.5 cmH2O (sensitivity 80%, sensitivity 70%). Based on Pearson's correlation between the area of the hiatus levator and a meaningful FSFI score on the stimulatory domain (p=0,000, r=0.531) and the orgasm domain (p=0,000, r=0.581). Based on the results of the spearman correlation test on the strength of the levator ani muscle, meaningful results were obtained in the stimulus level domain (p=0.015, r=0.383) and in the orgasm domain (p=0.002, r=0.478).
Conclusion : An extensive examination of the hiatus levator with a pelvic floor ultrasound and measurement of pelvic floor muscle strength with a perineometer may be an alternative to help evaluate the risk of sexual dysfunction incidence in postmenopausal POP women.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raihan Fikri Ali Akbar
"Latar Belakang Prolaps organ panggul (POP) merupakan perubahan posisi organ-organ penyusun panggul dari posisi normal. Ballooning atau distensi otot levator ani dinilai menjadi penyebab POP. Penentuan balloning sejauh ini masih menggunakan USG 3D/4D yang tidak banyak ada di Indonesia. Diperlukan penelitian perbandingan ballooning dan non-ballooning dengan USG 2D untuk menentukan ballooning dengan panjang antero-posterior (AP) hiatus levator ani. Metode Digunakan metode deskriptif analitik menggunakan perbandingan rerata dengan desain penelitian potong lintang retrospektif dan pemilihan sampel penelitian secara konsekutif. Didapatkan sebanyak 72 subjek dengan 37 orang berada pada kelompok ballooning. Hasil Usia kelompok ballooning dan non-ballooning berada pada usia dewasa tua (60.35 ± 11.06 vs 56.54 ± 11.14 tahun, p=0.096), obesitas (26.73 ± 3.94 vs 24.53 ± 2.88 kg/m2, p=0.015), aktivitas berat (51.3% vs 65.7%, p=0.217), pekerjaan ibu rumah tangga (64.8% vs 65.7%, p=0.893), multiparitas (72.9% vs 60.0%, p=0.210), menopause (75.6% vs 74.2%, p=0.892), bayi lahir terberat ≥ 3500 gram (56.7% vs 45.7%, p=0.349), dan persalinan normal (83.7% vs 88.5%, p=0.420). Rerata anteroposterior ballooning lebih besar dibandingkan non-ballooning (7.09 ± 0.63 vs 5.56 ± 0.64 cm) dengan seluruh subjek ballooning memiliki panjang AP di atas 6 cm (<0.001). Kesimpulan Obesitas dan berat badan berhubungan dengan adanya ballooning pada pasien POP. Perbandingan AP hiatus levator ani menunjukkan perbedaan sehingga skrining ballooning berdasarkan panjang AP hiatus dapat dilakukan untuk membedakan kedua kelompok.

Introduction Pelvic organ prolapse (POP) is a change in the position of the organs that make up the pelvis from their normal position. Ballooning or distension of the levator ani muscle is considered to cause POP. This determination of ballooning still uses 3D/4D ultrasound, which is not widely available in Indonesia. Comparative research between ballooning and non-ballooning with 2D ultrasound is needed to determine the ballooning through anteroposterior (AP) length of the levator ani hiatus. Method The analytical descriptive method was used using mean comparisons with a retrospective cross-sectional research design and consecutive research sample selection. There were 72 subjects with 37 people in the ballooning group. Results The ages of the ballooning and non-ballooning groups were older adults (60.35 ± 11.06 vs 56.54 ± 11.14 years, p=0.096), obesity (26.73 ± 3.94 vs 24.53 ± 2.88 kg/m2, p=0.015), heavy activity (51.3% vs 65.7%, p=0.217), housewife work (64.8% vs 65.7%, p=0.893), multiparity (72.9% vs 60.0%, p=0.210), after menopause (75.6% vs 74.2%, p=0.892) , the heaviest baby born ≥ 3500 grams (56.7% vs 45.7%, p=0.349), and normal delivery (83.7% vs 88.5%, p=0.420). The mean anteroposterior ballooning was greater than non-ballooning (7.09 ± 0.63 vs 5.56 ± 0.64 cm) with all ballooning subjects having an AP length above 6 cm (<0.001). Conclusion Obesity and body weight are associated with ballooning in POP patients. Comparison of the AP hiatus of the levator ani shows differences so that ballooning screening based on the length of the AP hiatus can be performed to differentiate the two groups."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Finish Fernando
"Latar Belakang: Prolaps Organ Panggul (POP) dikelompokkan menjadi prolaps dinding anterior, posterior dan puncak vagina. 40% wanita dengan POP dinding anterior vagina memiliki elongasio serviks yang akan mempengaruhi tatalaksana pembedahan POP. Terdapat beberapa alat untuk mengukur panjang serviks, diantaranya Pelvic Organ Prolapse Quantifications System (POP-Q), dengan mengukur perbedaan titik C dan D. Sampai saat ini belum terdapat penelitian yang menguji sensitivitas, spesifisitas dan akurasi pemeriksaan POP-Q dalam mengukur panjang serviks untuk mendiagnosis elongasio serviks pada pasien POP. Tujuan: Diketahuinya nilai sensitivitas, spesifisitas dan akurasi POP-Q untuk menilai panjang serviks sebagai diagnosis elongasio serviks pada pasien POP dengan baku emas pengukuran anatomi serviks dari hasil histerektomi. Metode: Uji diagnosis, potong lintang, consecutive sampling. Data diambil dari pemeriksaan POP-Q dan pengukuran anatomi serviks dari hasil histerektomi.
Hasil: 66 subjek, 1.5% POP derajat 2, 45.5% POP derajat 3 dan 53.0 % POP derajat 4. Rerata (± sb) usia dan indeks massa tubuh (IMT) berturut-turut 59.88 tahun (± 9.347) dan 24.41 (± 3.67) kg/m2. Median (min-maks) PS POPQ dan PS Anatomi berturut-turut 4 cm (1-12) dan 5 cm (3-10). Sensitivitas, Spesifisitas dan Akurasi POP-Q berturut-turut 79%, 58% dan 68%.
Kesimpulan: Pemeriksaan POPQ memiliki spesifitas yang baik (79%) tetapi dengan sensitivitas yang kurang baik (58%) dan akurasi 68% untuk diagnosis elongasio serviks pada prolaps organ panggul.

Background: Pelvic Organ Prolapse (POP) categorized as anterior, posterior and apical prolapse. 40% women with anterior POP have cervical elongation. Cervical elongation will make difference in surgical POP treatment. There are several tool for measure cervical length, one of them is Pelvic Organ Prolapse Quantifications System (POP-Q), by measure difference in point C and D. Until now, there is no research to measure sensitivity, specificity and accuracy of POP-Q to measure cervical length for cervical elongation diagnose in POP patients. Objective: To know sensitivity, specificity and accuracy of POP-Q to measure cervical length for cervical elongation diagnose in POP patients with gold standard was anatomical cervical length from hysterectomy result.
Methode: Diagnosis research, cross sectional, consecutive sampling. POP-Q was taken before operation and anatomi cervical length was from hysterectomy result.
Result: 66 subject, 1.5% 2nd degree POP, 45.5% 3rd degree POP, and 53.0 % 4th degree POP. Mean (± sd) age and body mass index consecutively 59.88 years (± 9.347) and 24.41 (± 3.67) kg/m2. Median (min-max) cervical length POP-Q and anatomy consecutively 4 cm (1-12) and 5 cm (3-10). Sensitivity, Spesifisity dan Accuracy POP-Q consecutively 79%, 58% dan 68%.
Conclussion: POPQ has good specificity (79%) but with less sensitivity (58%) with accuracy 68% to diagnose cervical elongation in POP.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anthonyus Natanael
"Latar belakang: Prolaps organ panggul (POP) didefinisikan sebagai turunnya visera pelvis (uterus, kandung kemih, uretra, dan rektum) dari posisi normal. Otot levator ani merupakan penopang panggul yang berperan penting dalam patogenesis POP. Studi sebelumnya menunjukkan terdapat perbedaan luas area hiatus dan panjang anteroposterior hiatus levator ani pada setiap derajat keparahan POP. Diagnosis POP dapat ditegakkan dengan POP-Q, namun pelaksanannya masih terbatas sehingga dibutuhkan alat pemeriksaan lain untuk skrining pasien.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian potong lintang dengan metode consecutive sampling. Peneliti mengidentifikasi subjek POP dengan dan tanpa keluhan benjolan. Subjek yang bersedia ikut serta dalam penelitian ini menjalani pemeriksaan POP-Q, panjang genital hiatus (Gh) dan perineal body (Pb), dan pemeriksaan USG translabial 3D/4D. Data dianalisis menggunakan SPSS Statistics 20 dengan uji T tidak berpasangan untuk membandingkan rerata parameter luas area hiatus dan panjang anteroposterior levator ani. Selanjutnya dilakukan analisa ROC untuk mendapatkan nilai titik potong dengan estimasi sensitifitas dan spesifisitas terbaik untuk membedakan prolaps bergejala dan tidak bergejala benjolan. Hasil: Sebanyak 109 subjek ikut serta dalam penelitian ini. Terdapat perbedaan bermakna luas hiatus (28,9+5,59 vs 19,6+4,63, p < 0,05 saat valsalva, 15,2+4,08 vs 12,5+3,15, p <0,005 saat kontraksi) dan panjang anteroposterior levator ani (8,6+1,06 vs 6,8+1.13, p<0,05) antara kelompok dengan keluhan benjolan dan kelompok tanpa keluhan benjolan. Titik potong luas area hiatus dan panjang anteroposterior levator ani untuk membedakan subjek dengan keluhan benjolan dan tanpa keluhan benjolan adalah 25,1 cm2 [sensitifitas 84,6%, spesifisitas 92,9%, AUC 0,925 (0,864-0,986)] dan 7,75 cm [sensitifitas 87,2%, spesifisitas 77,1%, AUC 0,859 (0,787-0,932)].
Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna luas hiatus dan panjang anteroposterior levator ani antara kelompok dengan keluhan benjolan dan tanpa keluhan benjolan. Titik potong luas hiatus 25,1 cm dan panjang anteroposterior 7,75 cm memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang baik untuk membedakan kedua kelompok.

Introduction: Pelvic organ prolapse (POP) is defined as descent of the pelvic viscera (uterus, bladder, urethra, and rectum) from its normal position. Levator ani muscle is the largest component of pelvic floor that plays an important part in POP pathogenesis. Previous study showed that there was difference in levator hiatus area and anteroposterior length on every grade of POP. The diagnosis of POP can be established from POP-Q tool, however its use is still very limited within its subspecialist practice causing the need of a new screening tool.
Methods: This was a cross-sectional study with consecutive sampling method. We classified POP subject with bulge symptom and without bulge symptom. Subjects that were willing to participate in this study under underwent POP-Q examination and 3D/4D transperineal ultrasonography. Data were analyzed using SPSS Statistics 20 with student’s t-test to compare levator hiatus area and anteroposterior length mean between 2 group.
Results: A total of 109 subjects were included in this study. There was a significance difference in levator hiatus area (28.9+5.59 cm2 vs 19.6+4.63 cm2, p < 0/05 during valsalva maneuver, 15.2+4.08 cm2 vs 12.5+3.15 cm2, p <0.05 during contraction) and anteroposterior length (8.6+1.06 c, vs 6.8+1.13 cm, p<0,05) between group with bulge symptom and without bulge symptom. Levator hiatus area and anteroposterior length cutoff to differentiate between subject with and without bulge symtoms was respectively 25,1 cm2 [sensitivity 84,6%, specificity 92,9%, AUC 0,925 (0,864-0,986)] and 7,75 cm [sensitivity 87,2%, specificity 77,1%, AUC 0,859 (0,787-0,932)].
Conclusion: There was a significant difference in levator hiatus area and anteroposterior length between group with and without bulge symptom. Levator hiatus area cut off at 25,1 cm2 anteroposterior length cut off at 7.75 cm showed good sensitivity and specificity to differentiate between 2 group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Indah Lestari
"ABSTRAK
Latar Belakang: Prolaps Organ panggul POP adalah tonjolan atau penonjolan organ panggul dan segmen yang terkait vagina ke dalam atau melalui vagina.1 POP Sering dijumpai pada wanita dewasa dan usia lanjut.1-3 Umumnya wanita yang menderita POP datang dengan keluhan adanya benjolan pada vaginanya.9,10 Gangguan pada fungsi seksual jarang dikeluhkan, namun dari kepustakaan diketahui bahwa pasien prolaps stage 3-4 terkait dengan sulitnya pencapaian orgasme.13 Sedangkan Roovers dkk melaporkan prevalensi disfungsi seksual sebesar 68 pada pasien POP. Sayangnya, Di Indonesia sendiri penelitian mengenai disfungsi seksual pada penderita POP cukup jarang, bahkan peneliti sendiri belum mendapatkan datanya. Oleh karena itu penting dilakukan penelitian mengenai prevalensi disfungsi seksual pada pasien prolaps organ panggul.Tujuan : Mengetahui prevalensi disfungsi seksual pada penderita prolaps organ panggulMetode: Dengan desain potong lintang, di dua rumah sakit pusat rujukan di Jakarta RSUPN Ciptomangunkusumo dan RSUP Fatmawati . Semua pasien POP yang memenuhi kriteria inklusi mengisi kuesioner indeks fungsi seksual FSFI-19 , kemudian dilakukan analisis data univariat untuk karakteristik data subjek, dan bivariat untuk mengetahui hubungan antara variable dependen dan independen.Hasil: Dari 82 data yang dianalisis, prevalensi disfungsi seksual pada pasien POP mencapai 57,3 . Sedangkan sebagian besar pasien POP juga sudah mengalami menopause dengan prevalensi sebesar 76.8 . Prevalensi disfungsi seksual pada pasien POP yang sudah menopause sebesar 66,7 . Dari hasil analisis bivariat, usia, menopause, obesitas dan stadium prolaps adalah faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian disfungsi seksual pada pasien POP. Variabel usia, merokok, menopause, obesitas dan stadium prolaps, memiliki nilai p 60 dengan OR 8 IK95 2,45- 26,12 , dan obesitas IMT 30 kg/m2 dengan OR 0,30 IK 95 0,09-0,98 .Kata kunci : prolapse organ panggul, disfungsi seksual, fungsi seksual, seksual aktif

ABSTRACT
AbstractBackground Pelvic Organ Prolapse POP is a bulge or protrusion of pelvic organs and related segments into or through the vagina vagina.1 POP often be found in adult women and older people.1 3 Generally, women who suffer from POP present with a lump vaginal .9,10 Disturbances in sexual function rarely complained, but from the literature it is known that patients with stage 3 4 prolapse associated with difficulty in achieving a orgasme.13 While Roovers et al reported the prevalence of sexual dysfunction was 68 in patients with POP. Unfortunately, in Indonesia, research on sexual dysfunction in patients with POP quite rare, even the researchers themselves do not get the data. It is therefore important to do research on the prevalence of sexual dysfunction in patients with pelvic organ prolapse and factors associated with sexual dysfungtion among them.Objective To determine the prevalence of sexual dysfunction in patients with pelvic organ prolapse and factors associated with sexual dysfungtion among them.Methods A cross sectional design, in two referral hospitals in Jakarta RSUPN Ciptomangunkusumo and Fatmawati Hospital All patients who met the inclusion criteria POP fill out a questionnaire of sexual function index FSFI 19 , then performed univariate analysis of data on the characteristics of the data subject, bivariate and multivariate analysis to know the relationship between the dependent and independent variablesResults Of the 82 analyzed data, the prevalence of sexual dysfunction in patients with POP reached 57.3 . While most of the patients had experienced menopause POP also with a prevalence of 76.8 The prevalence of sexual dysfunction in patients who are menopausal POP by 66.7 . From the results of the bivariate analysis, age, menopause, obesity and stage of prolapse is a significant risk factor on the incidence of sexual dysfunction in patients with POP. The variables of age, smoking, menopause, obesity and stage of prolapse, p 60 with an OR 8 IK95 2,45 26.12 , and obesity BMI 30 kg m2 with an OR of 0.30 CI 95 0.09 to 0.98 . Keywords pelvic organ prolapse, sexual dysfunction, sexual function, sexually active"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58898
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kukuh Wibowo K
"ABSTRAK
Latar Belakang: Dimensi dari hiatus levator merupakan tempat atau portal yang berpotensi tinggi untuk terjadinya prolaps organ panggul POP dan memiliki hubungan statistik yang sangat kuat dengan gejala klinis POP. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan data mengenai korelasi pengukuran area hiatus levator pada POP simtomatik mengunakan Ultrasonografi 3D/4D dengan pemeriksaan klinis yaitu panjang Gh, panjang Pb dan penjumlahannya.
Metode: Analisa data sekunder sebanyak 160 pasien POP yang diperiksa dari Januari 2012 hingga April 2017 di poliklinik Uroginekologi RSCM, Jakarta. Diambil data karakteristik pasien, pengukuran Ultrasonografi 3D/4D maksimal Area Hiatal Levator, dan hasil pengukuran secara klinis dengan menggunakan pelvic organ prolapse quantification system (POP-Q).
Hasil: Terdapat korelasi positif antara pemeriksaan klinis dengan pengukuran luas area hiatal menggunakan USG dengan r = 0,43 untuk panjang Gh, dan korelasi pada penjumlahan Gh dan Pb dengan r=0,51 termasuk kategori sedang, sedangkan untuk panjang Pb dengan r = 0,23 tidak didapatkan adanya korelasi. Didapatkan titik potong optimal untuk membedakan derajat 2 dengan derajat 3 adalah 7,5 cm/29,7 cm2 dan derajat 3 dan derajat 4 adalah 8,3 cm/32,1 cm2.
Kesimpulan: Pemeriksaan klinis dengan menjumlahkan panjang Gh dan panjang Pb dapat dipertimbangkan untuk mencerminkan pemeriksaan area hiatal dengan mengunakan USG 3/4 dimensi transperineal pada daerah dengan sarana terbatas untuk melihat regangan pada levator ani atau yang disebut sebagai "ballooning"

ABSTRACT
Background: The dimension of levator hiatal is a site or portal that high potentially for pelvic organ prolapse POP and has a very strong statistical relationship with clinical symptoms of POP. This study aims to provide data on the correlation of levator hiatus area measurements in symptomatic POP using 3D/4D Ultrasound with clinical examination of Gh, Pb and summation Gh Pb.
Methods: Secondary data analysis of 160 POP patients examined from January 2012 to April 2017 at the Uroginekologi Clinic RSCM, Jakarta. Taken data on patient characteristics, maximum 3D 4D Ultrasound measurement of Levator Hiatus Area, and clinical measurement results using pelvic organ prolapse quantification system POP Q.
Results: There was a positive correlation between clinical examination and measurement of hiatal area area using ultrasound with r=0.43 for Gh length, and the medium correlation on the sum of Gh and Pb with r=0,51. No correlation for Pb length with r 0.23. The optimal cut to differentiate degrees 2 by 3 is 7.5 cm/29.7 cm2 and degree 3 by 4 is 8.3 cm/32.1 cm2.
Conclusion: Clinical examination by summing the lengths of Gh and Pb may be consider reflects the examination of the hiatal area by using transperineal ultrasound to see the strain on levator ani called ballooning in an area with limited resources. "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Mohammad Fachry
"Fraktur pelvis kompleks merupakan fraktur yang tidak stabil pada lingkar pelvis yang disertai dengan cedera jaringan lunak sekitarnya dan dapat disertai dengan gangguan hemodinamik. Fraktur ini terdapat pada 10% fraktur pelvis. Tingkat mortalitas pada fraktur pelvis kompleks mencapai 33%. Menurut data di RSCM pada tahun 2011, insidensi terjadinya fraktur pelvis sebesar tiga persen. Manajemen utama pada pasien dengan fraktur pelvis kompleks ialah manajemen perdarahan, restorasi hemodinamik, diagnosis, stabilisasi lingkar pelvis, serta penanganan yang sesegera mungkin. Hasil terbaik dicapai dengan fiksasi interna sesegera mungkin pada segmen anterior dan posterior pelvis. Morbiditas yang ditemukan ialah nyeri kronis, disfungsi seksual, infeksi, dan nonunion fraktur. Penting sekali dilakukan penelitian mengenai luaran fraktur pelvis kompleks di RSCM untuk menilai keberhasilan terapi, sehingga dapat meyempurnakan tatalaksana fraktur pelvis dan mengurangi tingkat morbiditas dan mortalitas.
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain cross sectional. Sampel adalah semua pasien dengan fraktur pelvis kompleks yang sudah diterapi dengan ORIF pada tahun 2011-2014, kriteria inklusi penelitian ini ialah pasien dengan fraktur pelvis terbuka atau fraktur pelvis Tile tipe B atau C yang telah menjalani operasi ORIF dengan follow up lebih dari 6 bulan. Setelah itu dilakukan evaluasi morbiditas yang ditemui dan dinilai dengan skor Majeed dan Hannover. Untuk analisa univariat hubungan fraktur pelvis kompleks dengan morbidatas yang terjadi dan skor fungsionalnya dilakukan dengan menggunakan uji Fischer, sedangkan uji multivariate dengan menggunakan uji regresi logistik.
Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 26 pasien. Rerata umur pasien ialah 30,54 tahun, rerata Injury Severity Score (ISS) ialah 27,2, rerata lama follow up ialah 25 bulan. Sembilan pasien merupakan pasien politrauma. Fraktur pelvis terbuka ditemukan pada tujuh pasien, sedangkan 19 pasien merupakan fraktur pelvis tertutup. Fraktur pelvis Tile tipe B ditemukan pada 15 pasien dan dengan Tile tipe C sebanyak 11 pasien. Berdasarkan skor majeed pada Tile tipe B, skor excellent ditemukan pada 73,3% kasus, skor good ditemukan pada 20 % kasus, dan skor fair ditemukan pada 6,7% kasus. Pada Tile tipe C, skor excellent hanya sebanyak 45,5%, skor good ditemukan juga sebanyak 45,5 %, dan skor fair ditemukan sebanyak pada 9% kasus. Berdasarkan skor Hannover, pada Tile tipe B skor very good ditemukan sebanyak 33.3% kasus, skor good ditemukan pada 53,3% kasus dan skor fair ditemukan pada sebanyak 6,67% kasus. Pada Tile tipe C, skor very good ditemukan pada 18,2 % kasus, skor good ditemukan pada 72,7% kasus, dan skor fair ditemukan pada 9 % kasus. Infeksi lebih sering ditemukan pada fraktur pelvis terbuka (42,9%) dari kasus fraktur pelvis terbuka. Dengan uji regresi didapatkan bahwa tipe fraktur tidak berhubungan dengan disfungsi seksual yang timbul (p>0,05), tetapi ditemukan hubungan cedera urogenital pada fraktur pelvis kompleks dengan disfungsi seksual (p=0,005). Melalui studi ini juga ditemukan hubungan tipe fraktur pelvis Tile tipe B dan C dengan terjadinya nyeri kronis (p=0,017)
Luaran fraktur pelvis kompleks di RSCM baik karena lebih dari 90% pasien memiliki skor fungsional excellent dan good (Majeed) dan skor very good dan good (Hannover). Rerata skor Majeed pada studi ini ialah 85.9. Infeksi lebih banyak ditemukan pada fraktur pelvis terbuka. Tipe fraktur tidak memiliki hubungan dengan terjadinya disfungsi seksual. Namun, tipe fraktur pelvis memiliki hubungan dengan timbulnya nyeri kronis.

Complex pelvic fracture is unstable pelvic fracture associated with soft tissue injury in pelvic region and with haemodynamic instability. This fractures only represent 10% of pelvic fracture. In 2011, the incidence of pelvic fracture in Cipto Mangunkusumo hospital is 3 %. Main management of complex pelvic fracture is bleeding management, haemodynamic restoration, pelvic ring stabilization, and early treatment. Best outcome can be achieved by performing early internal fixation of anterior dan posterior part of the pelvis. It is very important to evaluate the outcome of this type of fracture to evaluate the effectiveness of the management and to reduce the mortality and morbidity rates.
This is an analitical study with cross sectional design. The inclusion criteria are patients with open pelvic fracture, unstable Tile type B or C pelvic fracture that had already undergone ORIF between 2011-2014 and had been followed for minimum 6 months. Then mobidities and functional score were evaluated. The functional score was evaluated using Majeed and Hannover pelvic score. This study was analyzed using Fischer test and logistic regression test.
There were 26 samples with mean age 30.54, mean ISS score was 27.2, mean follow up was 25 months. Nine patients were polytrauma patients. There were seven open pelvic fractures and 19 closed pelvic fractures. There were 15 Tile Type B and 11 Tile type C pelvic fractures. According to majeed pelvic score, In type B, there was 73.3% excellent score, 20% good score, and only 6.7% fair score. In type C, there were lower patients with excellent. There was 45,5% excellent score, 45.5% good score, and 9 % fair score. According to Hannover pelvic score, in type B there was 33.3 % very good score, 53.3% good score, and only 6.67% fair score. In Tile type C, there were 18.2 % very good score, 72.7% good score, and 9% fair score. Infection occur higher in open pelvic fracture (42.9%). There was association between chronic pain and fracture type (p=0.017). There was no association between fracture type and sexual dysfunction (p>0.05), but there was association between urogenital injury and sexual dysfunction (p<0.005).
The functional outcome of complex pelvic fracture after ORIF in Cipto Mangunkusumo hospital are satisfying. There were more than 90% patients that have excellent and good score (Majeed) and very good and good (Hannover). Mean majeed score was 85.9. Infection occurred higher in open pelvic fracture. There was no association between fracture type and sexual dysfunction, but there was association between fracture type and chronic pain.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Thomas Chayadi
"ABSTRAK
Latar Belakang: Nyeri panggul kronik merupakan suatu gejala yang dialami oleh perempuan terutama di usia reproduksi. Kondisi ini menggangu aktivitas harian dan menurunkan kualitas hidup hingga membuat penderita mengalami depresi. Prevalensi nyeri panggul kronis pada perempuan berkisar 3,8 ndash; 40 di seluruh dunia. Kondisi ini merupakan suatu entitas yang masih belum dipelajari dengan baik dan dapat menyebabkan morbiditas yang serius. Proses inflamasi juga berperan dalam mencipatakan rasa nyeri. Hs ndash; CRP merupakan sebuah penanda inflamasi yang nilainya meningkat pada saat terjadi reaksi tersebut.Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan berbagai aspek yang berhubungan dengan nyeri panggul kronik pada perempuan di RSUP Cipto Mangunkusumo.Metode: Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang di poliklinik rawat jalan ginekologi dan laboratorium di RSCM selama Januari ndash; Maret 2016. Pasien yang mengeluh nyeri panggul lebih dari 6 bulan dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dan pemeriksaan hs ndash; CRP serum. Dilakukan penghitungan prevalensi dan deskripsi karakteristik klinis dan diagnosis pasien. Kualitas hidup dan kadar hs ndash; CRP dibandingkan antara kelompok derajat nyeri ringan dan berat.Hasil: Didapatkan prevalensi sebesar 9,78 dari total pasien di poliklinik ginekologi RSCM. Ditemukan 96,9 kelainan ginekologi, 1 kelainan urologi, dan 2,1 kelainan muskulo-skeletal. Diagnosis tersering adalah endometriosis. Karakteristik klinis pasien yang ditemukan adalah 62,9 menderita lama nyeri selama 6 bulan ndash; 1 tahun dengan intensitas nyeri VAS 7 ndash; 10 sebanyak 51,5 . Kadar hs ndash; CRP serum sebesar 1,99 0,00 ndash; 404, 53 . Terjadi penurunan kualitas hidup dari domain fisik 56 38 - 81 ; domain psikologi 56 31 - 100 ; domain hubungan sosial 25 - 75 ; domain lingkungan 56 31 - 94 .Kesimpulan: Nyeri panggul kronik pada perempuan dijumpai pada usia reproduksi dengan penyebab tersering endometriosis. Nyeri tersebut menyebabkan penurunan kualitas hidup.

ABSTRACT
Background Chronic pelvic pain is a symptom which experienced by women, especially in the reproductive age. These condition interferes with daily activities and decreses quality of life from the patient who suffers it. The prevalences of chronic pelvic pain in women range from 3.8 to 40 worldwide. This condition is an entity that has not been studied well and can cause serious morbidity. Inflammatory process also plays a role in the creation of pain. Hs CRP is a marker of inflammation that increases in value in the event of such reactions.Purpose This study aimed to determine the prevalence and various aspects that associated with female chronic pelvic pain at Cipto Mangunkusumo hospital. Methods The study was conducted with a cross sectional design in gynecology outpatient polyclinic and laboratory at RSCM during January to March 2016. Patients who complain pelvic pain for more than 6 months. We take the history and was performed physical examination and investigations including hs CRP serum examination. We calculate the prevalence and describe the clinical characteristics and diagnosis of the patient. Quality of life and levels of hs CRP were compared between the group of mild and severe pain. Results The prevalence was 9.78 from the total patients in the RSCM gynecology outpatient clinic. We found 96.9 of gynecological disorders, 1 of urological disorders, and 2.1 of musculo skeletal disorders. The most common diagnosis is endometriosis. The Clinical characteristics of patients were found 62.9 suffer for 6 months 1 year with the intensity of pain VAS 7 10 as much as 51.5 . Levels of hs CRP serum was around 1.99 0.00 404, 53 . We found a decreased in the quality of life of the patient. The physical domain score was 56 38 81 the psychology domain score was 56 31 100 the domain of social relationships was 59 25 75 and the environmental domain score was 56 31 94 . Conclusion Endometriosis is the most common diagnosis in female chronic pelvic pain of reproductive age. The Pain causes a decreased in quality of life who suffer from it. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58902
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>