Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 163523 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muningtya Philiyanisa Alam
"Proses inflamasi pada kanker kepala dan leher menyebabkan peningkatan sitokin proinflamasi dan sintesis protein fase akut c-reactive protein, CRP yang kemudian menyebabkan perubahan metabolisme dan anoreksia pada penderitanya. Seng merupakan zat gizi yang memiliki peran penting dalam menekan inflamasi, namun dilaporkan sekitar 65 pasien kanker kepala dan leher mengalami kekurangan seng. Penelitian potong lintang ini bertujuan mengetahui korelasi antara asupan seng dan kadar seng serum dengan kadar c-reactive protein CRP sebagai upaya menekan inflamasi sehingga dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien kanker kepala leher. Dari 49 subyek yang dikumpulkan secara konsekutif di Poliklinik Onkologi RS Kanker Dharmais, 67,3 adalah laki-laki, rentang usia subyek 46 ndash;65 tahun. Frekuensi terbanyak 65,3 adalah kanker nasofaring dan 69,4 berada pada stadium IV. Seratus persen subyek memiliki asupan seng dibawah nilai angka kecukupan gizi. Rerata kadar seng serum subyek adalah 9,83 2,62 mol/L. Sebanyak 51 subyek memiliki kadar CRP yang meningkat. Terdapat korelasi negatif yang lemah antara kadar seng dengan kadar CRP subyek r =-0,292, p =0,042, namun tidak terdapat korelasi antara asupan seng dengan kadar CRP subyek p =0,86.

The inflammatory process of head and neck cancer leads to increase the proinflammatory cytokines and the synthesis of c reactive protein CRP , which then causes metabolic alteration and anorexia in the patients. Zinc is one of nutrient that has an important role in suppressing inflammation. It is reported that about 65 of head and neck cancer patients have zinc deficiency. The aim of this cross sectional study is to determine the correlation between zinc intake and serum zinc levels with CRP level as an effort to reduce inflammation to reduce the morbidity and mortality of head and neck cancer patients. Subjects were collected by consecutive sampling in the Oncology Polyclinic Dharmais Cancer Hospital, from 49 subjects 67,3 were men, most subjects were in the age range between 46 ndash 65 years. The highest frequency 65,3 is nasopharyngeal cancer and 69,4 are already in stage IV. All subjects in this study have a zinc intake below the recommended dietary allowance RDA in Indonesia. The mean serum zinc level of the subjects was 9.83 2.62 mol L. Most subjects have elevated CRP levels. There was a weak significant negative correlation between zinc concentration and CRP levels of subjects r 0.292, p 0.042, but there was no correlation between zinc intake and CRP levels of subjects p 0.86. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Anastasya
"Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi antara penilaian risiko malnutrisi menggunakan skor PG-SGA dengan kadar CRP serum sehingga dapat digunakan untuk memprediksi tingkat inflamasi pada pasien kanker kepala dan leher stadium I_IV guna mencegah terjadinya kaheksia. Malnutrisi hingga kaheksia pada kanker terjadi karena interaksi faktor tumor, faktor pejamu dan faktor-faktor lainnya. Faktor tumor berupa sitokin pro-inflamasi akan memicu respons pejamu untuk memproduksi protein fase akut seperti CRP. Protein fase akut memerlukan sejumlah substrat yaitu asam amino yang berasal dari otot rangka. Otot rangka akan mengalami degradasi sehingga menyebabkan wasting otot rangka. Oleh karena itu, CRP selain dapat digunakan sebagai marker inflamasi sistemik juga dapat digunakan sebagai salah satu indikator faktor risiko yang berperan dalam terjadinya malnutrisi dan kaheksia. Efek wasting otot rangka yang ditimbulkan secara tidak langsung oleh CRP dapat dinilai dengan terdapatnya penurunan BB maupun berkurangnya massa otot yang juga merupakan komponen dalam penilaian PG-SGA. Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan menggunakan consecutive sampling yang melibatkan 51 subjek kanker kepala dan leher stadium I_IV yang belum mendapatkan terapi. Hasil penelitian didapatkan rerata usia 46,6 13,9 tahun, sebanyak 76,5 berjenis kelamin laki-laki. Kanker nasofaring merupakan kanker terbanyak 80,4 , dan stadium terbanyak yaitu stadium IVA. Rerata indeks massa tubuh IMT yaitu 20,6 4,0 kg/m2, dan sebanyak 37,3 subjek berada pada IMT normal. Berdasarkan skor PG-SGA sebanyak 64,7 subjek berisiko tinggi malnutrisi dengan rerata skor PG-SGA 11,7 6,2. Nilai median CRP yaitu 6,4 0,4_170,4 . Penelitian ini memperoleh korelasi positif yang signifikan antara skor PG-SGA dengan kadar CRP serum dengan kekuatan korelasi lemah r = 0,372; p = 0,007.

The purpose of this study was to determine the correlation between the malnutrition risk assessment using PG SGA score with serum CRP levels so that it can be used to predict the levels of inflammation in head and neck cancer patients stage I IV to prevent cachexia. Malnutrition and cancer cachexia occurs due to the interaction of tumor factors, host factors and other factors. Tumor factors such as pro inflammatory cytokines will trigger a response of the host to produce acute phase proteins such as CRP. Acute phase protein which require a number of amino acids derived from skeletal muscle. Skeletal muscles will be degraded, causing skeletal muscle wasting. Therefore, CRP can be used as a marker of systemic inflammation and can be used as one indicator of the risk factors also that contribute to malnutrition and cachexia. Effect of skeletal muscle wasting which caused indirectly by the CRP can be assessed by the weight loss and reduced muscle mass which is a component in the assessment of PG SGA also. This study is a cross sectional study using consecutive sampling, 51 subjects head and neck cancer stage I IV who had not received treatment participated in this study. Data showed the mean age of subjects was 46.6 13,9 years, and 76 were male. Most cancer sites were as nasopharyngeal 80,4, and mostly in stage IVA. The mean body mass index BMI is 20,6 40 kg m2, with most of the BMI is normal 37,3. Based on PG SGA score 64,7 of the subjects at high risk of malnutrition, and the PG SGA mean score is 11,7 6,2. The median value of CRP is 6,4 0,4 170,4. The result of this study showed a significant positive correlation between PG SGA score with serum CRP levels with the strength of correlation is weak r 0,372 p 0,007. "
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angela
"Pasien kanker kepala leher rentan mengalami malnutrisi akibat penurunan sensitivitas indera pengecap yang sudah terjadi sejak awal diagnosis dan akan diperberat oleh terapi. Seng merupakan salah satu zat gizi yang berperan dalam proses metabolisme utama seperti regulasi siklus sel dan pembelahan sel, sintesis protein dan penyembuhan luka termasuk di antaranya sel-sel taste bud pada indera pengecap. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara asupan seng dengan kepekaan indera pengecap pada pasien kanker kepala leher sebelum menjalani kemoradiasi. Penelitian menggunakan desain potong lintang pada subyek dewasa dengan kanker kepala leher sebelum kemoradiasi di RSCM. Asupan seng dinilai menggunakan FFQ semi kuantitatif. Kepekaan indera pengecap dinilai dengan menggunakan 3-stimulus drop technique yang dikembangkan oleh Mossman dan Henkin untuk 4 kualitas rasa (asin, manis, asam, dan pahit). Sebanyak 85 subyek penelitian dengan median usia 54 tahun, mayoritas laki-laki, terdiagnosis kanker nasofaring dengan jenis karsinoma sel skuamosa dan stadium IV. Rerata subyek memiliki status gizi normal, dengan median asupan energi 28 (15-58) kkal/kgBB dan protein 1 (0-3) g/kgBB. Median asupan seng pada subyek sebesar 8 (3-24) gram dengan FFQ semi kuantitatif. Kepekaan indera pengecap subyek didapatkan paling tinggi berturut-turut adalah untuk rasa asam, pahit, asin, dan manis. Dilakukan uji korelasi antara asupan seng dengan kepekaan indera pengecap. Tidak ditemukan adanya korelasi bermakna antara asupan seng dengan kepekaan indera pengecap pada pasien kanker kepala leher praradiasi baik rasa manis (r= -0,170, p= 0,120), asin (r= -0,085, p= 0,442), asam (r= 0,080, p= 0,467), ataupun pahit (r= -0,131, p= 0,233).

Head and neck cancer patients are susceptible to malnutrition due to decreased taste sensitivity that has occurred since first diagnosed and worsened by therapy. Zinc is a nutrient that plays a role in major metabolic processes such as regulation of the cell cycle dan cell proliferation, protein synthesis and wound healing, including taste bud cells. This study aims to examine the relationship between zinc intake and taste sensitivity in head and neck cancer patients before undergoing chemoradiation. The study used a cross-sectional design on adult head and neck cancer subjects who have not been undergone chemoradiation at RSCM. Zinc intake was assessed using a semi-quantitative food frequency questionnaire. Taste sensitivity was assessed using the 3-stimulus drop technique developed by Mossman and Henkin for 4 taste qualities (salty, sweet, sour, and bitter). A total of 85 subjects with a median age of 54 years, most of them are male, diagnosed with nasopharyngeal cancer and already at stage IV. On average, the subjects had normal nutritional status, median energy intake was 28 (15-58) kcal/kgBW and protein 1 (0-3) g/kgBW. The median zinc intake in subjects was 8 (3-24) grams assessed with a semi-quantitative FFQ. The highest taste sensitivity of the subjects was sour, bitter, salty, and sweet, respectively. A correlation test was conducted between zinc intake and taste sensitivity. There was no significant correlation between zinc intake and taste sensitivity in head and neck cancer patients before chemoradiation, either sweet (r= -0.170, p= 0.120), salty (r= -0.085, p= 0.442), sour (r= 0.080), p= 0.467), or bitter (r= -0.131, p= 0.233)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nesyana Nurmadilla
"Salah satu faktor yang menentukan BB lahir bayi adalah asupan nutrisi ibu yang adekuat. Beberapa nutrien diketahui memiliki efek terhadap BB lahir bayi di antaranya adalah protein dan seng. Desain penelitian ini adalah cross-sectional dan dilakukan di 10 puskesmas kecamatan di Jakarta Timur sejak Februari hingga April 2015 dengan subjek ibu hamil berusia 19–44 tahun dengan usia kehamilan 32–37 minggu.
Data asupan protein didapatkan dengan metode 24-hour recall, sedangkan asupan seng dengan metode Semi Quantitative Food Frequency Questionnaire dan 24-hour recall. Pengambilan darah dilakukan sebelum ibu melahirkan dan diperiksa dengan metode Atomic Absorption Spectrophotometry. Berat badan lahir bayi diukur segera setelah bayi lahir. Sebanyak 116 subjek mengikuti penelitian hingga akhir.
Analisis statistik menunjukkan tidak terdapat korelasi antara asupan protein dengan kadar seng serum (r = 0,042, p = 0,653), tidak terdapat korelasi antara asupan seng dengan kadar seng serum (r = 0,155, p = 0,096), tidak terdapat korelasi antara asupan seng dengan BB lahir bayi (r = - 0,09, p = 0,303), dan tidak terdapat korelasi antara kadar seng serum dengan BB lahir bayi (r = -0,116, p = 0,215). Penelitian ini belum berhasil menemukan hubungan antara asupan protein, seng, dan kadar seng serum dengan BB lahir bayi.

One of the factors affecting birth weight is mother’s adequate nutrient intake. Several nutrients are known to its effect to birth weight, which among them are protein and zinc. A cross-sectional study was conducted in 10 district public health centres in East Jakarta since Februari until April 2015. Subjects of the study were pregnant mothers aged 19–44 years old whose gestational age between 32–37 weeks.
Protein intake was computed based on 24-hour recall method, while zinc intake was computed based on Semi Quantitative Food Frequency Questionnaire and 24-hour recall method. Blood specimens were collected before giving birth and being assesed by Atomic Absorption Spectrophotometry method. Birth weight was measured soon after the baby was born. One hundred and sixteen subjects followed the study until the end.
Statistical analysis showed there were no correlation between protein intake and maternal zinc serum (r = 0,042, p = 0,653), no correlation between zinc intake and maternal zinc serum (r = 0,155, p = 0,096), no correlation between zinc intake and birth weight (r = -0,09, p = 0,303), and no correlation between maternal zinc serum and birth weight (r = - 0,116, p = 0,215). This study has not been able to prove any relationship between maternal intake of protein, zinc, zinc serum and birth weight.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58684
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patricia Amanda
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara asupan karbohidrat, protein dan lemak dengan kadar C-Reactive Protein pada pasien kanker paru stadium IIIB-IV. Progresivitas kanker paru dipengaruhi oleh sistem kekebalan tubuh, faktor genetik dan respon inflamasi. CRP sebagai salah satu marker inflamasi dapat diandalkan sebagai salah satu parameter untuk memprediksi perkembangan kanker. Subjek didapatkan melalui consecutive sampling yang melibatkan 49 subjek kanker paru stadium IIIB ndash; IV yang tidak sedang menjalani terapi di RS Kanker 'Dharmais'. Hasil penelitian didapatkan rerata usia 55,82 12,26 tahun, sebanyak 63,3 berjenis kelamin laki-laki. Nilai median CRP yaitu 23,82 0,30 - 207,29 mg/L. Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya korelasi yang bermakna antara asupan karbohidrat dengan kadar CRP serum p = 0,919 , asupan protein dengan kadar CRP serum p = 0,257 dan asupan lemak dengan kadar CRP serum p = 0,986 . Kesimpulan: pada penelitian ini tidak didapatkan korelasi antara asupan karbohidrat, protein dan lemak dengan kadar CRP serum sebagai penanda perkembangan kanker.

The aim of the study was to determine the correlation between carbohydrate, fat and protein intake with the serum C Reactive Protein level in lung cancer patients stage IIIB ndash IV. The progression of lung cancer is influenced by immune system, genetic factors and inflammatory response, therefore CRP can be relied as one of the parameters for predicting cancer cell growth. Subjects were recruited by consecutive sampling, 49 subjects with lung cancer stage IIIB IV who currently not receving any treatment in Dharmais Cancer Hospital participating in this study. The mean age of subject was 55,82 12,26 years old and 63,3 were male. The median value of CRP was 23,82 0,30 207,29 mg L. This study did not showed significant correlation between carbohydate, protein and fat intake with serum CRP value p 0,919 p 0,257 p 0,986, respectively. In conclusion, there is no correlation between carbohydrate, protein and fat intake with serum CRP level in lung cancer stage IIIB ndash IV."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ester Candrawati Musa
"Kadar CRP serum dapat digunakan sebagai prediktor penurunan berat badan dan indikator prognostik inflamasi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi kadar CRP serum dengan penurunan berat badan dan mukositis oral pada pasien kanker kepala leher yang menjalani radioterapi. Penelitian ini adalah penelitian observasional dengan desain potong lintang pada pasien kanker kepala leher yang telah menjalani terapi radiasi minimal 25 kali di Departeman Radioterapi RSUPNCM Jakarta dengan usia ge;18 ndash;65 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar subyek 71,2 memiliki kadar CRP serum normal, mengalami penurunan berat badan ge;5 dalam waktu sebulan 76,9 dengan rerata penurunan berat badan -9,42 7,76 , dan juga mengalami mukositis oral 65,4 dengan persentase terbanyak yaitu derajat 1 59,6 . Tidak terdapat mukositis oral derajat 3 dan 4. Tidak terdapat korelasi antara kadar CRP serum dengan penurunan berat r=0,166; p=0,239 , dan mukositis oral r=0,137; p=0,331 . Kesimpulan adalah kadar CRP serum saat radioterapi tidak memengaruhi penurunan berat badan dan mukositis oral. Sebagian besar subyek tetap mengalami penurunan berat badan selama menjalani radioterapi sehingga pemasangan NGT yang lebih awal yaitu sebelum terapi radiasi dimulai NGT profilaksis perlu dilakukan, namun hal ini membutuhkan penelitian lebih lanjut.

Serum CRP levels can be used as a predictor of weight loss and prognostic indicator of inflammation. This study was conducted to determine the correlation of serum CRP levels with weight loss and oral mucositis in patients with head and neck cancer undergoing radiotherapy. This study was an observational study in the head and neck cancer patients who have undergone radiation therapy at least 25 times at the Department of Radiotherapy RSUPNCM Jakarta with aged ge 18 ndash 65 years old. Our study results showed that most of the subjects 71,2 had normal serum CRP levels, weight loss of ge 5 in one month 76,9 , and also experienced oral mucositis 65,4 . Mostly had grade 1 oral mucositis 59,6 . There were no grade 3 and 4 oral mucositis.There were no correlation between serum CRP levels with weight loss r 0,166 p 0,239 , and oral mucositis r 0,137 p 0.331 . In conclusion, serum CRP levels did not influence weight loss and oral mucositis in patients with head and neck cancer undergoing radiotherapy. Most of the subjects still experienced weight loss during radiotherapy. Therefore, NGT prophylaxis is needed, but this requires further study."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Aini Djunet
"Latar belakang. Bedah kanker kolorektal (KKR) adalah kasus terbany1k di Divisi Bedah Digestif RSUPNCM, di mana 46% di antaranya adalah karena kanker rektum I (K.R). Trauma pembedahan menimbulkan inflamasi, respon fase akut (RFA), dan stres metabolik. C- reactive protein (CRP) adalah protein fuse akut (PFA) dengan peningkatan tertinggi di antara PFA lainnya dan telah digunakan secara luas sebagai penanda inflamasi. Stres metabolik menyebabkan perubahan metabolisme zat gizi yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah sewaktu (GDS) plasma. Secara tidak langsung, pemberian terapi gizi adekuat dapat menekan laju inflamasi dan mempercepat proses penyembuhan pasca bedah.
Tujuan. Untuk mengetahui peran terapi gizi adekuat selama tujuh hari terhadap perubahan kadar CRP serum dan GDS plasma pasien pasca bedah KR pada hari ke satu dan ke tujuh pengamatan.
Metode. Penelitian ini adalah studi eksperimental dengan desain paralel, acak, dan tidak tersamar. Penelitian dilaksanakan di ruang rawat bedah kelas Ill RSUPNCM, pengumpulan data dilaksanakan pada bulan April- Agustus 2009. .9erdasarkan kriteria penelitian didapatkan 24 subyek yang dibagi menjadi dua, kelompok perlakuan (P) dan kontrol (K). Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara, pengukuran antropometri, dan pemeriksaan laboratorium.
Hasil. Karakteristik awal kedua kelompok adalah sebanding pada HI. Rerata asupan energi kelompok P adalah 1 211 ,23 ± 161 ,95 kkallh ari (82,86 ± 9,91 % kebutuhan energi total atau KET), adekuat, dan lebih tinggi bermakna (p< 0,001) dibandingkan kelompok K yaitu 831,93 ± 129,58 kkal/hari (55,75 ± 9,48% KET). Rerata asupan protein subyek tidak adekuat meskipun asupan protein kelompok P lebih tinggi bennakna (p< 0,001). Kelompok P mengalami peningkatan berat badan (BB) 0,71 ± 0,79 kg sedangkan kelompok K mengalami penurunan BB 0,85 ± 1,06 kg. Penurunan kadar CRP serum kelompok P (7,13 ± 1,43 mg/L) berbeda bermakna (p=0,005) dengan kelompok K (5,20 ± 1,58 mg/L). Peningkatan kadar GDS plasma kelompok P (26,00 ± 29,67 mg/dL) cenderung lebih tinggi dari kelompok K (10,00 ± 24,40 mg/dL), sejalan dengan peningkatan asupan energi yang lebih tinggi. Kadar CRP serum memiliki korelasi positif derajat rendah (r-0,266) dan tidak bennakna (p=0,358) dengan kadar ODS plasma.
Kesimpulan. Pemberian terapi gizi adekuat selama tujuh hari berperan untuk mempercepat penurunan kadar CRP serum pasien pasca bedah KR. "
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T20988
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Kuntjoro Harimurti
"Latar Belakang. Hipoalbuminemia sudah diketahui merupakan faktor prediktor morbiditas dan mortalitas pada pasien usia lanjut dengan pneumonia dan CRP merupakan petanda klinis yang penting pada pneumonia. Namun hubungan antara kadar CRP dengan penurunan kadar albumin, sebagai protein fase akut negatif, saat infeksi akut belum pernah diteliti sebelumnya.
Tujuan. Mendapatkan: (1) perbedaan kadar CRP awal perawatan antara pasien dengan daa tanpa penurunan albumin, (2) perbedaan risiko teradinya penurunan albumin antara pasien dengan kadar CRP awal tinggi dan rendah, dan (3) korelasi antara kadar CRP dan albumin saat awal perawatan pada pasien-pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang dirawat di rumah sakit.
Metodalogi. Stuart potong-lintang dan kohort-prospektif dilakukan pada pasien-pasien usia lanjut (>60 tahun) dengan diagnosis pneumonia komunitas yang dirawat di RSCM, untuk diamati penurunan kadar albuminnya selama 5 hari perawatan. Pasien-pasien dengan keadaan-keadaan yang dapat mempengaruhi kadar albumin dan CRP, serta infeksi selain pn nimcnia komunitas dieksklusi dari penelitian. Penilaian kadar CRP dilakukan pada hari pertama perawatan (cut-off 20 mg/L), sementara penurunan albumin ditentukan dari perubahan kadar albumin selama 5 hari perawatan (cut-off 10%). Analisis statistik dilakukan dengan uji-t independen, uji chi-square, dan uji korelasi sesuai dengan tujuan penelitian.
Hasil Utama. Selama periode April-Juni 2005 terkumpul 26 pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang masuk perawatan di RSCM. Hanya 23 pasien yang menyelesaikan penelitian sampai 5 hari dengan 17 pasien memiliki kadar CRP awal tinggi, dan didapatkan penurunan albumin >10% pada 7 pasien setelah 5 hari perawatan. Terdapat perbedaan rerata kadar CRP hari-1 diantara kedua kelompok (175,36 mgfL vs 75,67 mg/L; P = 0,026; 1K95% 13,25-186,13 mgfL). Namun tidak didapatkan perbedaan risiko bermakna antara pasien dengan kadar CRP tinggi dengan pasien dengan kadar CRP rendah scat awal dengan terjadinya penurunan albumin saat awal perawatan (RR = 2,12; P = 0,621; 11(95% 0,256-29,07). Tidak didapatkan pula korelasi antara kadar CRP dan albumin saat awal perawatan (r = 0,205, P = 0,314)
Kesimpulan. Tingginya kadar CRP awal perawatan berhubungan dengan terjadinya penurunan kadar albumin selama perawatan, namun tidak ada perbedaan risiko terjadinya penurunan albumin selama perawatan antara pasien dengan CRP awal tinggi dan CRP awal rendah, serta tidak ada korelasi antara kadar CRP dan albumin scat awal perawatan pada pasien-pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang dirawat di rumah sakit.

Backgrounds. Hypoalbuminemia widely known as a predictive factor for increasing morbidity and mortality in elderly patients, including with pneumonia; while CRP has known as a clinical marker for pneumonia. But relationship between CRP level with decrease of serum albumin level, as a negative acute-phase protein, during acute infection has never been studied before.
Objectives. To found: (1) CRP level difference between patient with and without decreased of serum albumin level, (2) risk for developing decreased of serum albumin level in patients with high CRP compared to patients with low CRP level, and (3) correlation between CRP and albumin level on admission in hospitalized elderly patients with community-acquired pneumonia.
Methods. Cross-sectional and prospective-cohort studies was conducted in hospitalized elderly patients with community-acquired pneumonia that admitted to RSCM, to observed the decreased of serum albumin level in five days of hospitalization. Conditions that known could influence CRP and albumin consentration have been excluded, and other infections as well. CRP level was determined on admission (cut-off 20 mgfL), while decreased of serum albumin was observed for 5 days of hospitalization (cu[-off 10%). Statistical analysis was done by using independent t-test, chi-square test, and correlation test appropriately accord-ing to the objectives of the study.
Main Results. During study period (April to June, 2005) 26 hospitalized elderly patients with community-acquired pneumonia had been included into study, but only 23 of them that finished the study for 5 days. There were 17 patients that have high level of CRP on admission, and 7 patiens that developing decreased of serum albumin level more than 10% in fifth day compared to their serum albumin level on admission. There was significant mean CRP difference among 2 groups (175,36 mgfL vs 75,67 mg/L; P = 0,026; 95%CI 13,25-186,13 mgfL), but there was no risk difference between patients with high and low CRP level on admission for developing decreased albumin level on fifth day of hospitalization (RR = 2,12; P = 0,621; 95%CI 0,256-29,07). And there was no correlation between CRP and albumin level on admission (r = 0,205, P = 0,314)
Conclusions. Patients with high CRP level on admission tend to have decreased of serum albumin level during hospitalization, but there was no risk difference for developing decreased of serum albumin level between patients with high and low CRP level, and there was no correlation between CRP and albumin level on admission in hospitalized elderly patients with community-acquired pneumonia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21310
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marsella Dervina Amisi
"Albumin serum, berat badan dan kekuatan genggaman merupakan parameter penilaian status gizi yang berhubungan dengan kadar protein tubuh. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi antara kadar albumin serum terhadap persentase penurunan berat badan dan kekuatan genggaman. Penelitian dengan desain potong lintang pada pasien kanker kepala leher dengan usia ≥18–65 tahun yang telah menjalani radiasi ≥25 kali di Departemen Radioterapi RSUPNCM. Hasil penelitian menunjukkan sekitar 55,76% subjek memiliki kadar albumin <3,4 g/dL. Rerata penurunan berat badan selama radiasi – 9,42 ± 7,76%, dengan 79,6% subyek mengalami penurunan berat badan ≥5%. Rerata kekuatan genggaman tangan dominan 39,48 ± 9,15 kg. Tidak terdapat korelasi antara kadar albumin serum dengan persentase penurunan berat badan (r = - 0,129; p = 0,364) dan kekuatan genggaman tangan (r = 0,048; p = 0,733). Kesimpulan, kadar albumin serum tidak memengaruhi penurunan berat badan dan kekuatan genggaman selama radiasi. Sangat penting untuk mempertahankan status gizi selama menjalani radioterapi salah satunya dengan pemakaian NGT di awal radiasi. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan desain kohort prospektif untuk mendapatkan data yang lebih konklusif.

Serum albumin, body weight and hand grip strength is a parameter of assessment of nutritional status related to body protein. This study was conducted to determine the correlation between serum albumin levels with the percentage of weight loss and hand grip strength. A cross sectional study design in the head neck cancer patients with ge 18 65 years of age who have undergone radiation at least 25 times in the Department of Radiotherapy RSUPNCM. The results showed approximately 55,76 of the subjects had levels of albumin below 3,4 g dL. Mean weight loss during radiation ndash 9,42 7,76 , with 79,6 of subjects experienced weight loss ge 5 . Mean dominant hand grip strength 39,48 9,15 kg. There is no correlation between serum albumin levels with percentage of body weight loss r 0,129 p 0,364 and hand grip strength r 0,048 p 0,733 . Conclussion, serum albumin levels did not affect body weight loss and handgrip strength during radiation. It is essential for head and neck cancer patients undergoing radiotherapy to maintain nutritional status with NGT in the initial radiation. Further research with prospective cohort design is needed to obtain more conclusive data. Keywords Serum albumin, weight loss percentage, handgrip strength, head and neck cancer, radiotherapy "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55687
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Erni
"ABSTRACT
Objective : To study the eH`ect of vitamin C 1000 mg i.v and E 400 mg oral supplementation on serum c-reactive protein level as parameter of inflammation in burn patients.
Methods: This study was a one group pre post test that gave i.v 1000 mg vitamin C and oral 400 mg vitamin E supplementations to thirteen moderate-severe burn patients, with percentage of burn less than 60%, in burn unit Cipto Mangunkusumo Hospital. Data were collected using questionnaire, medical record, anthropometric measurement, dietary assessment using four consecutive days food record. Laboratory test for serum vitamin C, E and serum c-reactive protein levels- were evaluated before and after supplementations. Differences in mean values were assessed by Wilcoxon for the not normal distribution.
Results: Among thirteen subjects, Seven (53.80%) Subjects were female, median of age 35 (18-55) years. Body mass index in most subjects (69.2%) were categorized as normal. The median percentages of burn injury 22 (5~57)%, and the frequency of severe burn was 6l.50%, while the most cause of burn was flame (76.9%). Level of vitamin C after treatment was increased, but not significant. Level of vitamin E after treatment was significantly increased (p=0,016). Level of CRP after supplementation significantly increased (p=0.04).
Conclussion: There was significantly reduced of level serum CRP after four days vitamin C1000 mg i.v dan E 400 mg oral supplementations.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T32877
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>