Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 101764 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rahadjeng Pulungsari Hadi
"Di era globalisasi ini, peranan Tiongkok di dunia internasional semakin diperhitungkan. Selain muncul dengan kekuatan ekonominya, Tiongkok juga memanfaatkan kekuatan budayanya untuk mengadakan pendekatan dengan negaranegara lain. Pendekatan yang dikenal sebagai diplomasi kebudayaan ini selain dilakukan secara langsung, juga dapat melalui berbagai media sebagai perantaranya. Salah satu media yang dimanfaatkan oleh pemerintah RRT untuk melakukan diplomasi kebudayaan terhadap Indonesia adalah melalui media radio. Pada 2010, radio resmi pemerintah RRT, China Radio International CRI atau Zhongguo Guoji Guangbo Diantai bekerja sama dengan radio swasta Elshinta 90 FM untuk menyiarkan beragam topik dalam dimensi budaya, ekonomi, sosial, politik.
Siaran yang ditujukan untuk audiens Indonesia tersebut dibawakan dalam bahasa Indonesia, dan di antaranya membahas aspek-aspek terkait hubungan Tiongkok-Indonesia. Pengamatan terhadap siaran CRI program 'Lentera' periode 2011-2013 menghasilkan pemetaan 164 seratus enam puluh empat topik siaran. Setelah melakukan kategorisasi dan seleksi topik, kajian ini melakukan analisis intertekstual terhadap kata-kata kunci, konteks, tujuan eksplisit, kepentingan, konektor audiens dari siaran-siaran terseleksi tersebut. Berdasarkan hasil analisis, kajian ini menemukan strategi-strategi diplomasi kebudayaan yang dijalankan RRT untuk audiens Indonesia melalui media radio CRI.

In this era of globalization, the role of China in the international world is increasingly significant. Beside its economic power, China is also using its cultural strength to make approaches with other countries. This approach, known as cultural diplomacy, that not only done directly, but also through various media as its intermediary. One of the media used by PRC government to do cultural diplomacy to Indonesia is throughbroadcast media. In 2010, China Radio International CRI or Zhongguo Guoji Guangbo Diantai was collaborating with Elshinta 90 FM private radio to broadcast a variety of topics in cultural, economic, social, political dimensions.
The broadcasts that aimed for Indonesian audiences were in Indonesian, with topics that were related to the China Indonesia relationship. Observations of the 2011 2013 CRI program's called Lentera had resulted mappings of 164 one hundred and sixty four broadcast topics. After categorizing and selecting those topics, this study performs an intertextual analysis of key words, contexts, explicit objectives, audience connectors of the selected broadcasts. Based on the results of the analysis, this study finds cultural diplomacy strategies that China conducts for Indonesian audience through CRI.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
D2284
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laila Anggita Nurcahyani
"Penelitian ini membahas diplomasi yang digunakan oleh Jepang dalam menghadapi kebangkitan dan dominasi kekuatan ekonomi Tiongkok di kawasan Asia Tenggara, khususnya di negara Myanmar. Penelitian ini difokuskan pada periode tahun 2012 hingga 2017; pada saat Myanmar mengalami proses reformasi dan Shinzo Abe naik menjadi perdana menteri Jepang. Konsep diplomasi publik dan triangular diplomacy digunakan untuk mengidentifikasi strategi dan diplomasi yang digunakan Jepang di Myanmar dengan menganalisa hubungan antara pemerintah dengan pemerintah, pemerintah dengan perusahaan, dan perusahaan dengan perusahaan. Penelitian ini juga membahas pergerakan Tiongkok dan Jepang di Myanmar sebelum dan sesudah reformasi politik dan ekonomi Myanmar. Myanmar yang sebelumnya merupakan salah satu negara kurang berkembang di kawasan Asia Tenggara, dan bahkan di dunia, perlahan menanjak naik dan menjadi negara yang cukup potensial. Peningkatan yang dialami oleh Myanmar ini diawali oleh reformasi politik dan ekonomi di tubuh Myanmar. Tiongkok dan Jepang kemudian menggunakan Myanmar sebagai batu loncatan bagi mereka untuk menguasai kawasan Asia Tenggara. Namun Tiongkok yang sudah mendapatkan handicap awal di Myanmar, menjadikan Jepang harus bekerja ekstra dengan berbagai diplomasi dalam menempatkan pengaruhnya di Myanmar. Penelitian ini berargumen bahwa diplomasi yang digunakan Jepang belum mampu menghadapi dan menekan dominasi ekonomi Tiongkok di Myanmar.

This research explains Japan's diplomacy in facing China's economic rise and domination in the Southeast Asia region, especially in Myanmar. This research is focused on the 2012-2017 time period; when Myanmar was undergoing a reformation process and Shinzo Abe was made as the new Japan prime minister. The public diplomacy and triangular diplomacy concept is used to identify Japan's strategy and diplomacy in Myanmar by analyzing the relations between government to government, government to corporate, and corporate to corporate. This research also explains China and Japan movements in Myanmar before and after the political and economic reformation. Myanmar which was one of the least developed countries in the Southeast Asia region, and even in the world, is slowly rising up and becomes quite a potential country. Myanmar's improvement was started by the political and economic reformation in Myanmar's body. China and Japan then use Myanmar as their stepping stone to conquer the Southeast Asia region. However, China has already had an early handicap in Myanmar, and this makes Japan works twice harder with various diplomacies in placing its influence in Myanmar. This research argues that Japan's diplomacy has not yet able to face and contain China's economic domination in Myanmar.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T53088
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Passin, Herbert
New York: Praeger, 1962
951.05 PAS c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
M. Ganang Wira Pradana
"Penelitian ini berusaha menjawab penyebab kegagalan aksi diplomasi koersi Republik Rakyat Tiongkok terhadap Korea Selatan pasca keputusan Korea Selatan untuk menggelar sistem pertahanan udara THAAD (Terminal High Altitude Area Defense) yang dianggap mengancam keamanan nasional Tiongkok. Pihak pemerintah Tiongkok menggelar aksi retaliasi berupa sanksi informal dalam bentuk boikot tidak langsung terhadap berbagai aspek ekonomi Korea Selatan seperti pariwisata, usaha perdagangan, produk produk dan budaya Korea Selatan / Hallyu. Diplomasi koersi yang Tiongkok lakukan menggunakan strategi Try and See dan Gradual Turning of the Screw pada awal 2016 hingga 2017 agar pemerintah Korea Selatan menarik kembali sistem pertahanan THAAD tersebut. Dengan menerapkan teori efektifitas diplomasi koersi serta metode kualitatif, penelitian ini menemukan jawaban bahwa tidak berhasilnya aksi diplomasi koersi yang dijalankan Tiongkok pada periode 2016-2017 diakibatkan dari tidak terpenuhinya variabel efektifitas diplomasi koersi yakni legitimasi tujuan dan permintaan, kredibilitas ancaman, reputasi aktor, asimetri motivasi, serta insentif yang ada.

This study seeks analyze the causes of the failure of the People's Republic of China's coercive diplomacy against South Korea after South Korea's decision to deploy the THAAD (Terminal High Altitude Area Defense) air defense system which is considered a threat to China's national security. The Chinese government held a retaliation act in the form of informal sanctions of various aspects of the South Korean economy such as tourism, trade businesses, products and South Korean Hallyu culture. China's coercive diplomacy uses the Try and See and Gradual Turning of the Screw strategies in early 2016 to 2017 to get the South Korean government to withdraw the THAAD defense system. By using the theory of the coercive diplomacy effectiveness and qualitative methods, this study finds the answer that the failed coercive diplomacy attempt carried out by China in the 2016-2017 period resulted from the unfulfilled variables of the coercive diplomacy effectiveness, namely the legitimacy of goals and demands, credibility of threats, actor reputation, asymmetry of motivation, as well the incentives."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Amiratania Bastari
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana penerima beasiswa sebagai salah satu stakeholder kebijakan luar negeri Tiongkok mempersepsikan diplomasi publik dan citra negara Tiongkok selama pandemi COVID-19. Pertama, diplomasi publik yang dilakukan Tiongkok dalam kerangka informasional dan relasional diidentifikasikan. Diplomasi publik yang dilakukan Tiongkok sebagai alat komunikasi krisis juga akan dilihat melalui Image Repair Theory. Selanjutnya, wawancara mendalam dengan tiga penerima beasiswa dan narasumber ahli dilakukan untuk menganalisis persepsi mereka terkait diplomasi publik dan citra negara Tiongkok selama pandemi COVID-19, di mana citra negara terdiri dari empat aspek; fungsional, estetik, normatif, dan emosional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tiongkok telah melakukan networking, messaging, bolstering dan corrective action. Secara informasional, selain dari sumber informasi domestik Tiongkok, informan juga mencari informasi pada media sosial Kedutaan Tiongkok di Indonesia. Secara relasional, vaccine diplomacy dinilai efektif untuk memperbaiki citra negara Tiongkok, walaupun belum dieksploitasi secara maksimal. Dalam persepsi citra negara, hanya tiga aspek yang teridentifikasikan, di mana aspek normative merupakan aspek yang paling menonjol.

This study aims to analyze how scholarship recipients as one of China's foreign policy stakeholders perceive public diplomacy and the country image of China during the COVID-19 pandemic. First, China's public diplomacy in an informational and relational framework is identified. China's public diplomacy as a crisis communication tool will also be seen through the Image Repair Theory. Furthermore, in-depth interviews with three scholarship recipients and expert resource person were conducted to analyze their perceptions regarding public diplomacy and the China’s country image during the COVID-19 pandemic, where country image consists of four aspects; functional, aesthetic, normative, and emotional. The results showed that China had carried out networking, messaging, bolstering, and corrective action. Informationally, apart from Chinese domestic sources of information, informants also seek information on social media of the Chinese Embassy in Indonesia. Relationally, vaccine diplomacy is considered effective in improving the image of the Chinese state, although it has not been exploited to its full potential. Regarding perception of China’s country image, only three aspects were identified, of which the normative aspect is the most prominent aspect"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anissa Sherly Rahma
"Diplomasi vaksin adalah bagian dari diplomasi kesehatan global mengacu pada penggunaan maupun pengiriman vaksin dengan keterlibatan berbagai macam aktor. Diplomasi vaksin menyasar ancaman paling dasar manusia, yakni kesehatan. Momentum besar diplomasi vaksin ketika COVID-19 menelan korban jiwa daripada yang dilaporkan secara resmi. Merefleksikan peristiwa tersebut, kepemimpinan dan tata kelola kesehatan global menjadi momok yang dipertanyakan dalam penanganan wabah. Tulisan ini menggunakan 27 literatur dengan metode taksonomi yang dibagi dalam empat segmen (1) Konseptualisasi Diplomasi Vaksin, (2) Motivasi Diplomasi Vaksin, (3) Tujuan Diplomasi Vaksin, (4) Tantangan Diplomasi Vaksin. Temuan tulisan ini berupa tiga poin. Pertama, diplomasi vaksin menghasilkan praktik diplomasi konkret berupa pola persaingan dan ketergantungan. Kedua, diplomasi vaksin dipersepsikan sebagai medium pemenuhan kepentingan politik. Ketiga, vaksin sebagai barang primer karena sifatnya yang preventif menjadi medium unik serta efektif di tengah konflik dan kontestasi politik termasuk penggunaanya oleh rising power untuk menantang posisi hegemoni. Saat Covid-19, sifat alamiah vaksin didorong dengan serangkaian fragmentasi antara negara Barat dan Selatan menciptakan diplomasi vaksin yang timpang maupun berdampak pada adanya relasi kuasa antara negara produsen atau pendonor dengan penerima. Penimbunan vaksin Covid-19 marak dilakukan oleh negara Barat maupun produsen kawasan Selatan yang mengikat penerima donor di kawasan Asia, Eropa, dan Afrika dengan intensi politiknya.

Vaccine diplomacy is part of global health diplomacy, referring to the use and delivery of vaccines with the involvement of various actors. Vaccine diplomacy targets the basic human threat, namely health. Momentum of vaccine diplomacy reach when COVID-19 claimed more lives than officially reported, thus leadership and global health governance are questionable in handling the outbreak. This paper uses 27 literatures with a taxonomy method divided into four segments (1) Conceptualization, (2) Motivation, (3) Objectives, (4) Challenges. The findings of this paper are three points. First, vaccine diplomacy produces concrete diplomatic practices in the form of competition and dependency patterns. Second, vaccine diplomacy is perceived as a medium for fulfilling political interests. Third, vaccines as primary goods become unique and effective medium for settling conflict due to their preventive nature, including the usage by rising powers to challenge hegemonic positions. During Covid-19, the nature of vaccines was driven by a series of fragmentation between Western and Southern countries creating unequal vaccine diplomacy and impacting on the power relations between producer or donor countries and recipients. Hoarding of Covid-19 vaccines is rampant by Western countries and Southern producers who bind donor recipients in Asia, Europe and Africa with their political intentions."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mahardhika Wida Putra
"Negara dapat mengadopsi bentuk dan metode baru dari suatu diplomasi tergantung dari keadaan dan strategi yang diadopsi untuk mencapai kepentingan nasional negara tersebut. Salah satu bentuk perubahan metode dan bentuk diplomasi tersebut adalah hadirnya konsep diplomasi pertahanan. Konsep diplomasi pertahanan dipandang sebagai bentuk diplomasi yang terlahir kembali pasca Perang Dingin untuk membangun keadaan internasional yang lebih baik dan damai, yang mana relevansi dari konsep tersebut terus berkembang. Tinjauan ini mencakup 29 literatur dan terbagi atas tujuh tema utama yakni: (1) reformasi sektor keamanan, (2) membentuk lingkungan keamanan, (3) membangun kapasitas, (4) keterlibatan strategis dan menghindari konflik, (5) penyebaran nilai, (6) menjaga perdamaian, dan (7) persaingan dan kompetisi. Ketujuh tema tersebut terbagi atas 1 tema yang membahas mengenai perkembangan diplomasi pertahanan berdasarkan konsep dan 6 tema berdasarkan peran diplomasi pertahanan dalam HI. Tinjauan ini juga akan kembali mengidentifikasi konsensus, perdebatan, tren, dan kesenjangan penelitan yang ada. Tulisan ini menemukan bahwa peran membentuk lingkungan keamanan merupakan peran yang dominan dibahas dan kawasan Asia Tenggara mendominasi fokus kajian literatur diplomasi pertahanan. Tinjauan kepustakaan ini juga erat pembahasannya dengan persaingan great powers, dinamika kawasan, dan usaha negara untuk memengaruhi pihak lain.

Countries can adopt and new methods of diplomacy depending on the circumstances and strategies adopted to achieve the country's national interests. One of the changes in the method and form of diplomacy is the presence of the concept of defense diplomacy. The concept of diplomacy is seen as a form of diplomacy that re-emerged after the Cold War to build a better and more peaceful international situation, whose relevance this concept continues to grow. This literature review covers 29 literatures and is divided into seven main themes, namely: (1) security sector change, (2) building a security environment, (3) capacity building, (4) strategy engagement and conflict avoidance, (5) value sharing, (6 ) peacekeeping efforts, and (7) competition and swaggering. The seven themes are divided into one theme which discusses the development of defense diplomacy concepts and six themes based on the role of defense diplomacy in IR. This review will also uncover existing discoveries, trends and research gaps. This paper finds that the role of shaping security environment is the dominant role discussed and the Southeast Asia region dominates the focus of the defense diplomacy literature review. This literature review is also closely related to big power competition, regional dynamics, and state efforts to influence other parties."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adlian Mulki Hartantyo
"Makanan memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan manusia, termasuk di antaranya dalam konteks diplomasi. Dalam hubungan internasional, relevansi makanan telah berkembang dari semata-mata sebagai sumber daya kekuatan tradisional menjadi sumber pengaruh yang berbasis unsur budaya. Meningkatnya kesadaran akan pentingnya soft power lantas mendorong aktor negara untuk menerapkan diplomasi publik guna mencapai kepentingan nasionalnya. Hal tersebut lantas mendorong kemunculan dan berkembangnya narasi diplomasi makanan dalam tataran akademis. Tinjauan literatur ini berupaya untuk memetakan literatur akademis mengenai diplomasi makanan dan menggambarkan ragam pandangan yang terlihat dari poin-poin perdebatan dan konsensus. Pemetaan literatur dilakukan dengan metode taksonomi yang membagi pokok bahasan menjadi tiga tema besar, yakni konseptualisasi, inisiatif aktor masyarakat transnasional, dan peran aktor negara dalam diplomasi makanan. Penulis memperoleh kesimpulan bahwa diplomasi makanan merupakan instrumen penyebaran pengaruh yang cukup signifikan baik diinisiasi oleh aktor transnasional maupun aktor negara. Penggunaan diplomasi makanan diprediksi akan terus berkembang pada tahun-tahun berikutnya dan menjadi instrumen yang semakin relevan dalam kebijakan luar negeri serta upaya pembangunan citra di level internasional.

Food has always played an essential role in human life, and this is no less true in the context of diplomacy. In International Relations, the relevance of food has evolved from being solely a source of traditional power to a source of influence based on cultural elements. The growing awareness of the importance of soft power has encouraged state actors to implement public diplomacy in order to achieve their national interests. This has led to the emergence and development of food diplomacy narratives at the academic level. This literature review seeks to map the academic literature on food diplomacy and illustrate the range of views that emerge from points of debate and consensus. Literature mapping was carried out using a taxonomic method which divided the subject matter into three major themes: conceptualization, initiatives by transnational actors, and the role of state actors in food diplomacy. The author concludes that food diplomacy is a significant instrument for spreading influence, both initiated by transnational actors and state actors. The use of food diplomacy is predicted to continue to grow in the following years and become an increasingly relevant instrument in foreign policy as well as attempts to build image at the international level."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dias Sukmarini
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan menganalisis interaksi antar aktor dalam diplomasi energi China di Indonesia dengan menggunakan aktor negara dan aktor non-negara yang didasarkan pada kebijakan energi nasional masing-masing negara. Dalam tulisan ini, penulis menganalisis aktor negara dan aktor non-negara yang terlibat, peran aktor tersebut serta interaksi yang terbentuk di dalam kegiatan diplomasi, khususnya diplomasi energi China di Indonesia dalam usaha untuk mendapatkan sumber daya energi fosil. Aktor negara diwakilkan oleh pejabat-pejabat pemerintah, sedangkan aktor non-negara diwakilkan oleh perusahaan-perusahaan energi milik negara atau State Owned Enterprises SOEs China dan Indonesia. Penulis menguraikan dan menjelaskan interaksi yang dilakukan oleh para aktor tersebut berdasarkan tiga bentuk interaksi diplomasi menurut teori Stopford dan Susan Strange, yaitu diplomasi antara negara-negara, diplomasi antara negara-perusahaan, dan diplomasi antara perusahaan-perusahaan. Penulis menggunakan metode kualitatif dengan mengambil data melalui studi kepustakaan. Penelitian ini menemukan bahwa ketiga bentuk interaksi diplomasi antara aktor negara dan aktor non-negara memiliki hubungan satu sama lain. Keterkaitan interaksi yang terbentuk di setiap bentuk diplomasi tersebut memperlihatkan hubungan politik dan ekonomi yang mempengaruhi efektivitas perjanjian energi antar negara.

ABSTRACT
This study aims to analyze the interaction between actors in China rsquo s energy diplomacy in Indonesia by using state actor and non state actors based on their national energy policy. In this paper, the author analyzes the involvement of the state actors and non state actors, their role, as well as the interactions that are formed in the diplomatic activities, especially Chinese energy diplomacy in Indonesia in an effort to obtain energy fossil resources. State actors are represented by government officials, while non state actors are represented by Chinese and Indonesian State Owned Enterprises SOEs in energy sector. The author describes and explains the interactions of actors based on three forms of interaction by Susan Strange rsquo s theory of diplomacy. First is diplomacy between countries or state state diplomacy, second is diplomacy between the firm and state or state firm diplomacy, and third is diplomacy between companies or firm firm diplomacy. Qualitative method is applied in this research, by taking data through literature studies. The study found that the three forms of interaction in diplomacy between state actors and non state actors are related to each other. The connection of interactions in each diplomacy shows the political and economic relations that affect the effectiveness of energy rsquo s agreements between countries. "
2018
T51618
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herald Andre Yunius
"Pertumbuhan ekonomi China yang yang mengalami perkembangan pesat dengan GDP ke-2 terbesar di dunia setelah Amerika Serikat, mendorong China untuk ikut serta dalam melakukan pembiayaan berbagai proyek infrastuktur di negara-negara berkembang. Hal tersebut ditandai dengan didirikannya lembaga-lembaga keuangan oleh China sebagai solusi keterbatasan pendanaan pembangunan infrastuktur yang dialami negara berkembang. Ekspansi industri kereta cepat China pada tingkat global erat kaitannya dengan kebrhasilan transfer teknologi yang dilakukan. Hingga saat ini, kereta cepat merupakan salah satu inti utama China untuk mendukung inisasi jalur sutera modern. Hal itu dilakukan dengan membangun keterhubungan/konektivitas China diseluruh kawasan. Indonesia dibawah kepemimpinan presiden Joko Widodo memiliki fokus pada pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan konektivitas dan pertumbuhan ekonomi. Meskipun tidak tercantum dalam RPJMN 2014-2019 namun proyek kereta api cepat Indonesia-China menjadi salah satu proyek strategis nasional. Dalam konteks politik internasional, pembangunan kereta cepat di Indonesia oleh China merupakan proyek percontohan bagi komunitas ASEAN untuk menunjukan keberhasilan teknologi kereta cepat China. Proyek ini dilakukan dengan skema B to B tanpa menggunakan APBN. Mengingat hampir di seluruh dunia pembangunan kereta cepat tidak bersifat profitable, penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana efektifitas pembangunan proyek kereta api cepat Indonesia-China terhadap aspek sosial-ekonomi Indonesia dalam konteks ketahanan nasional. Melalui pendekatan scenario planning, penelitian ini mencoba menelaah Apakah Diplomasi Infrastruktur kereta api cepat oleh China mendistribusikan pembangunan yang positif bagi Indonesia.

China's economic growth which is experiencing rapid development with the second largest GDP in the world after the United States, prompted China to participate in financing various infrastructure projects in developing countries. This was marked by the establishment of financial institutions by China as a solution to the limited funding of infrastructure development experienced by developing countries. The expansion of the Chinese high-speed railroad industry at a global level is closely related to the success of technology transfer. Until now, the fast train has been one of China's main core to support the initiation of modern silk lines. This was done by building China connectivity throughout the region. Indonesia under the leadership of President Joko Widodo has a focus on infrastructure development to improve connectivity and economic growth. Although it is not listed in the 2014-2019 RPJMN, the Indonesia-China fast train project is one of the national strategic projects. In the context of international politics, the construction of fast trains in Indonesia by China is a pilot project for the ASEAN community to demonstrate the success of China's fast train technology. This project is carried out with the B to B scheme without using the APBN. Considering that almost all of the world of fast train development is not profitable, this research aims to see the effectiveness of the Indonesia-China fast train development project on the socio-economic aspects of Indonesia in the context of national resilience. Through a scenario planning approach, this research tries to examine whether diplomacy of the fast railroad infrastructure by China distributes positive development for Indonesia."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>