Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 143675 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lubis, Zulkifli
"ABSTRAK
Disertasi ini membahas gejala environmentaliti friksional dalam upaya-upaya pengendalian kebakaran lahan gambut yang berulangkali terjadi sejak 1990an di areal gambut eks Proyek PLG, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Upaya-upaya pengendalian kebakaran yang sudah banyak dilakukan pemerintah dan pihak-pihak lain melalui beragam program belum berhasil menyelesaikan masalah kebakaran berulang. Studi ini berusaha mencari penjelasan mengapa program-progam yang ada belum mampu melahirkan subjek-subjek peduli lingkungan atau mengubah kultur membakar menjadi anti-membakar dalam konteks pengelolaan lahan gambut.
Suatu kajian etnografi multi-aktor menggunakan perspektif/governmentaliti environmentaliti dilakukan di desa-desa partisipan proyek KFCP (Kalimantan Forests and Climate Partnership) di kawasan Mantangai, Kabupaten Kapuas. Pengumpulan data dilakukan dalam kurun waktu 2010-2015, menggunakan metode pengamatan berpartisipasi, wawancara mendalam, dan dukungan penelaahan bahan-bahan sekunder.
Temuan kajian menunjukkan bahwa upaya kepenatakelolaan lingkungan melalui intervensi regulasi dan program rehabilitasi tidak berhasil membentuk subjek-subjek peduli perlindungan lingkungan, sebaliknya lebih cenderung melahirkan aktor-aktor yang berpandangan miopik dan bertindak pragmatik. Gejala budaya environmentaliti friksional itu menjadi hambatan bagi efektivitas upaya-upaya pengendalian kebakaran berulang di lahan gambut.

ABSTRACT
This dissertation discusses on the phenomenon of lsquo frictional environmentality rsquo in the efforts of controlling peatland fires that have repeatedly occurred since the 1990s in the peatland area of ex PLG Project in Kapuas District, Central Kalimantan. Fire control efforts that have been conducted numerously by the government and other parties through a variety of programs have not been able to solve the problem of recurrent fire events. This study aims to examine why the existing programs are still unable to create environmental subjects who care about environmental protection.
A multi actor ethnographic study by using the perspective of governmentality environmentality was conducted in the KFCP Kalimantan Forest and Climate Partnership participative villages in the region of Mantangai, Kapuas District. Data collection was done in the period of 2011 2015 using participant observation, in depth interviews and the support of secondary materials studies.
The findings of this study show that environmental management efforts through the intervention of regulations and rehabilitation programs are unsuccessful in forming environmental subjects, instead, it is more leanings to create myopic viewed and pragmatically actioned actors. The cultural phenomenon of lsquo frictional environmentality rsquo thus become a hindrance to the effectiveness of fire control efforts in peatland areas. Keywords frictional environmentality, multi actor ethnography, regulations, rehabilitation programs, ex PLG Project, Central Kalimantan.
"
2017
D2386
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Giska Adilah Sharfina Saputra
"Skripsi ini mendeskripsikan dan menganalisa dinamika praktik berladang yang dilakukan oleh peladang Desa Mantangai Hulu, Kabupaten Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah. Perladangan dengan kaitan penggunaan api menjadi fokus kajian karena berkaitan erat dengan fenomena kebakaran hutan di Indonesia. Peladang adalah pihak yang dituding sebagai pelaku pembakaran hutan dan lahan. Skripsi ini menceritakan tahap-tahap berladang dan variasi yang terjadi. Variasi terjadi pada cara berladang dan penggunaan alat teknologi. Setiap peladang memiliki tindakan yang berbeda-beda dari pengalaman dan kondisi lingkungan dan sosial yang dihadapi. Variasi tersebut telah mempengaruhi siklus tahapan berladang. Dari sekian variasi yang terjadi, tahapan pembakaran di aktivitas berladang tidak hilang dan tidak tergantikan. Skripsi ini juga memaparkan variasi praktik berladang yang rentan terhadap terjadinya kebakaran lahan dan hutan gambut.

This thesis analyzes the dynamics of cultivation practices made by a group of rice cultivators in Mantangai Hulu Village, Kuala Kapuas Regency, Central Kalimantan. Connection between cultivation and the use of fire become the focus of study in this thesis because of the forest fires in Indonesia. Cultivators are blamed as the caused of forest fires. This thesis describes the stages of farming and the variation. The variation occurs in the cultivation practices and the use of technological tools. Each cultivators have different actions depending on the experience and the social and environmental conditions encountered. The variations have affected the farming cycle stages. According to varieties, there is the use of fire stages in cultivation that cultivators never be replaced. I also present in thesis that variation in cultivator practices are vulnerable to forest fires and peat land.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S55087
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Purbayanti
"ABSTRAK
Kebakaran hutan dan lahan gambut dapat menghasilkan polutan yang mengandung senyawa karsinogen PAH pada partikulat (PM10) yang dapat berkontribusi terhadap peningkatan kerusakan oksidatif DNA. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi dini risiko kanker dengan melakukan pengukuran terhadap biomarker 8-OHdG pada sampel serum masyarakat kota Palangka Raya yang merupakan indikator kerusakan oksidatif DNA dan biomarker 1-OHP pada sampel urin untuk mengetahui paparan senyawa karsinogen PAH selama periode kabut asap tahun 2015. Hasil yang diperoleh akan dibandingkan dengan kontrol yang berasal dari masyarakat kota Batu. Jumlah sampel yang digunakan untuk analisis sebanyak 29 orang responden dari kota Palangka Raya sebagai kelompok terpapar dan 23 orang responden sebagai kelompok kontrol. Angket digunakan untuk mengumpulkan informasi terkait riwayat penyakit, merokok, pekerjaan, pola hidup dan aktivitas saat periode kabut asap.
Hasil yang diperoleh terdapat perbedaan yang signifikan pada kadar 8-OHdG kelompok terpapar dan kontrol (Pvalue = 0,0001), dengan nilai rerata kelompok terpapar sebesar 5,606 ± 1,162 ng/mL dan kelompok kontrol sebesar 4,059 ± 0,709 ng/mL. Peningkatan kadar 8- OHdG pada kelompok terpapar terdapat hubungan yang signifikan pada lama paparan (P-value = 0,03). Perbedaan yang signifikan juga teramati pada biomarker 1-OHP antara kelompok terpapar dan kontrol (P-value = 0,0001), dengan nilai rerata kelompok terpapar sebesar 4,569 ± 4,267 μmol/mol kreatinin dan kelompok kontrol sebesar 0,733 ± 0,746 μmol/mol kreatinin. Peningkatan kadar 1-OHP pada kelompok terpapar terdapat hubungan yang signifikan pada lama paparan (P-value = 0,001) dan penggunaan masker (P-value = 0,03). Penelitian ini memberikan bukti ada hubungan antara kebakaran hutan dan lahan gambut dengan peningkatan kerusakan oksidatif DNA yang berkontribusi terhadap risiko kanker.

ABSTRACT
Forest and peatland fires can produce pollutants that contain carcinogenic PAH compounds in particulate matter (PM10), which contribute to increased oxidative DNA damage. This study aims to detect early cancer risk by measuring the biomarker 8-OHdG in serum samples urban of Palangkaraya which is an indicator of oxidative damage to DNA and biomarkers of 1-OHP in urine samples to determine exposure to carcinogenic compounds of PAH during periods of smoke haze in 2015. The results obtained were compared with the control group. The samples used for the analysis were 29 participants from Palangkaraya as the exposed group and 23 participants from Kota Batu as the control group. The questionnaire used to collect information related to medical history, smoking, occupation, lifestyle and activity during the smoke haze period.
The results obtained are significant differences of 8-OHdG levels in exposed group than control group (P-value = 0.0001), with the mean of the exposed group of 5,606 ± 1,162 ng/mL and a control group 4.059 ± 0.709 ng/mL. Increased levels of 8- OHdG in the exposed group there is significantly associated with long exposure (P-value = 0.03). Significant differences were also observed at 1-OHP biomarkers between exposed group than control (P-value = 0.0001), with the mean of the exposed group of 4,569 ± 4,267 μmol/mol kreatinin and a control group 0,733 ± 0,746 μmol/mol kreatinin. Increased levels of 1-OHP in the exposed group there is significantly associated with long exposure of smoke (P-value = 0.001) and the use of masks (P-value = 0.03). This study provides evidence of the correlation between forest and peatland fires with increased oxidative DNA damage that contribute to cancer risk.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T45182
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wigna Winantri
"Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kerentanan kebakaran permukiman perkotaan yang berada di lahan gambut di kota Kasongan Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Variabel dalam penelitian terdiri atas: penggunaan lahan, kepadatan bangunan, pola bangunan, bahan bangunan, sebaran hotspot kebakaran, jenis tanah dan kedalaman gambut. Pengumpulan data dilakukan dengan pengumpulan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan lapangan untuk memperoleh data bahan bangunan dan identifikasi penggunaan lahan di lokasi penelitian. Data sekunder diperoleh dari data yang sudah tersedia di instansi di Kabupaten Katingan. Citra satelit digunakan untuk mendapatkan data spasial penggunaan lahan, kepadatan bangunan dan pola bangunan. Analisis spasial kerentanan kebakaran dilakukan dengan SIG (Sistem infomasi Geografis) dengan teknik analisis grid. Dari luas permukiman di lokasi penelitian seluas 1.667,57 hektar, yang berada di tingkat kerentanan rendah seluas 66,86 hektar atau 4,01%, tingkat kerentanan sedang seluas 529,76 hektar atau 31,77% dan tingkat kerentanan tinggi seluas 1.070,95 hektar atau 62,44%. Sebaran permukiman dengan tingkat kerentanan tinggi sebagian besar berada pada kedalaman gambut antara 100-200 cm.

The study is aim to urban settlement fire hazard vulnerability in peatland urban area Kasongan, Katingan District, Center of Kalimantan. Variable of study: land use, housing density, housing pattern, housing material, hotspot distribution, soil type and deep of peat land. Data collection using primery and sekundery data collection. Field observation data acquisition: material of housing and land use identification in area study. The other data (soil type and deep of peat land, collecting from some institution in Katingan District. Interpretation of sattellite imagery (WorldView 2010), will be produce landuse, housing density and housing pattern.
For analisis data using GIS (Geographic Information System) grid analysis system and from area of settlement in urban area Kasongan, in position low vulnerability area 66,86 hectare or 4,01%, medium vulnerability 529,76 hectare or 31,77% and high vulnerability 1.070,95 hektar atau 62,44%. High vulnerability distribution, located in area deep peatland 100-200cm.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bintang Farhan Muhammad
"Lahan gambut menjadi salah satu penyumbang emisi terbesar diantara kebakaran biomassa lainnya. Pada tahun 1997 sendiri, +2.57 Gt spesies karbon dilepaskan ke udara karena kebakaran lahan gambut di Indonesia yang berdampak pada 100 juta orang dengan estimasi kerugian 4.5 miliar USD (Heil & Goldammer, 2001). Meski dampak negatifnya yang besar, pengukuran emisi lahan gambut masih bervariasi. Selain itu, kuantifikasi emisi di lapangan sulit dilakukan karena alat yang akurat untuk kuantifikasi tidak cocok dioperasikan di lapangan. Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk membentuk korelasi dan model prediksi antara kedalaman bakar dengan emission factor (EF). Kedalaman bakar rata-rata dinilai dapat mengaproksimasi volume tanah gambut yang terbakar yang berhubungan baik dengan massa yang hilang. Karena penyebut dari EF merupakan laju hilangnya massa, kedalaman bakar rata-rata memiliki hubungan dengan EF. Eksperimen kebakaran membara tanah gambut skala laboratorium pada instrumen buoyancy calorimeter, dengan integrasi alat ukur kedalaman bakar berupa sensor jarak infrared (IR) dengan akuisisi data berbasis mikrokontroler 8-bit. Sensor IR memiliki akurasi yang cukup pada rentang pengukuran sampai 80 cm dan tidak terpengaruh oleh asap dari pembakaran. Sensor diletakkan 20 cm diatas tanah gambut dan mengukur secara vertikal. Data emisi gas dan partikulat masing-masing dideteksi dengan sensor gas elektrokimia dan sensor partikulat berbasis light scattering. Konsentrasi emisi kemudian diubah menjadi EF dengan data laju aliran massa masing-masing spesies emisi dengan densitas udara sebagai fungsi temperatur dan laju kehilangan massa yang direkam melalui anemometer dan load cell. Korelasi kemudian dibentuk dengan model tiga variabel, yakni laju pertambahan kedalaman bakar (SR), kedalaman bakar (DoB) dan waktu (t), dengan EF yang telah dilinearisasi secara logaritmik. Dari model tersebut diperoleh nilai R2 sebesar 0.968 untuk model prediksi CO2, 0.965 untuk CO, dan 0.969 untuk prediksi PM2.5. Untuk meningkatkan kemampuan prediksi model, diperlukan eksperimen dengan jumlah titik ukur per unit area yang lebih besar ataupun pembentukan point cloud, serta eksperimen di kondisi kebakaran dan komposisi tanah yang berbeda-beda di riset-riset yang akan datang.

Peatlands are one of the biggest emitters among other biomass burning cases. In 1997 alone, +2.57 Gt of carbon species was released into the air due to peatland fires in Indonesia which affected 100 million people with an estimated loss of 4.5 billion USD (Heil & Goldammer, 2001). Despite this significant negative impact, measurements of peatland emissions still vary among researchers. In addition, emission quantification in the field is difficult because accurate tools for quantification are not suitable for operation in the field. For this reason, this study aims to establish correlations and prediction models between depth of burn and emission factor (EF). The average burn depth is considered to be an approximation of the volume of burnt peat soil which correlates well with the mass loss. Since the denominator of EF is the mass loss rate, the average depth of burn has a relationship with EF. Laboratory-scale smoldering peat fire experiment is conducted on a buoyancy calorimeter, with the integration of a depth-of-burn measurement instrument in the form of an infrared (IR) proximity sensor with 8-bit microcontroller-based data acquisition. The IR sensor has sufficient accuracy over a measurement range of up to 80 cm and is not affected by smoke from the burning experiment. The sensor is placed 20 cm above the peat soil and measured vertically. Gas and particulate emission data are detected by electrochemical gas sensors and particulate sensors based on light scattering, respectively. The emission concentration is then converted to EF with data on the mass flow rate of the smoke, with density as a function of temperature, and the rate of peat mass loss recorded through the anemometer and load cell. Correlation was then formed using a three-variable model, namely the rate of increase in the depth of combustion (SR), depth of combustion (DoB) and time (t), with EF that is linearized logarithmically. From this model, the R2 value is 0.968 for the CO2 prediction model, 0.965 for the CO, and 0.969 for the PM2.5 prediction. To improve the predictive ability of the model, experiments with a larger number of measuring points per unit area or the formation of point cloud of the peat surface are needed, as well as experiments in different fire conditions and peat composition in future research."
Depok: Fakultas Teknik, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elias
Selangor, Malaysia: Projek Hutan Paya Gambut UNDP/GEF, Jabatan Perhutanan Pahang, 2008
634.92 ELI p (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mila Soraya
"

Tesis ini bertujuan untuk menginvestigasi lokasi dan luasan dari kebakaran berulang dengan informasi spasial. Penelitian ini mengunakan data lokasi kebakaran, lahan gambut dan perusahaan IUPHHK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu), kawasan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dari tahun 2015 sampai 2018. Analis data menggunakan probit dan tobit dengan menghasilkan keterkaitan positip (negatip) antara lokasi dan luasan dengan kebakaran berulang (atau tidak) dan hubunganya dengan kawasan hutan, lahan gambut dan perusahaan IUPHHK. Hasil kedua adalah luasan dari lahan terbakar akan berkurang saat berulang. Temuan ini mengindikasikan bahwa lokasi dan luasaan kebakaran berulang erat hubungannya dengan IUPHHK dan karakteristik area sehingga Indonesia harus merumuskan kebijakan tentang perusahaan yang memanfaatkan hasil hutan untuk memimalisir kebakaran hutan. 


This research addresses the reoccurrence of forest fires and their size with regional-spatial information. To this end, Probit and Tobit regression analyses are applied to the regional-spatial panel data from 2015 to 2018 in Indonesia with the observations of forest-fire events, peatland, and concession on the annual bases, characterizing the possible determinants for reoccurrence of forest fires as well as their sizes.  The regression results reveal the following outcomes. The first outcome is whether forest fires repeat or not is positively (negatively) associated with peatland and forest areas (concession). Second, the size of forest fires tends to decrease with the repetition of past forest fires but increases with concession, peatland, and forest areas. Overall, these results imply that the reoccurrence of forest fires and their sizes are highly concerned with concession and types of areas, suggesting that Indonesia should be able to organize the policies regarding forest concession and areas for further reduction of forest fires and the associated damage.

 

 

"
Depok: Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andy Indradjad
"Kebakaran hutan dan lahan merupakan bencana alam yang terjadi berulang hampir setiap tahun di Indonesia, dan mengakibatkan kerugian ekonomi yang besar maupun bagi lingkungan. Penggunaan data satelit penginderaan jauh dalam menurunkan informasi fire hotspot dapat digunakan untuk melakukan pemantauan kebakaran lahan gambut (peat) dan tanah mineral (non-peat) di Indonesia. Sistem pemantauan harian sangat diperlukan untuk membantu pemangku kepentingan di lapangan dalam mengambil tindakan mitigasi bencana. Tujuan penelitian ini adalah membangun sebuah model filtering dan clustering untuk deteksi dini kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dengan data sensor Visible Infrared Imaging Radiometer Suite (VIIRS) dari satelit Suomi NPP dan NOAA-20 menggunakan metode Euclidean distance. Model filtering dan clustering digunakan untuk menyederhanakan jumlah fire hotspot yang sangat bermanfaat bagi kepentingan di lapangan ketika terjadi kebakaran hutan dan lahan. Model filtering dilakukan dengan cara membangun peta hotspot per tahun dengan kejadian pengulangan melebihi suatu ambang batas, dan peta tersebut akan digunakan sebagai filter dari data fire hotspot yang dihasilkan. Model clustering dilakukan dengan menggunakan menghitung jarak Euclidean antar titik fire hotspot yang dihasilkan, jika jaraknya memenuhi 1,5 kali ukuran piksel maka titik fire hotspot tersebut akan dikelompokkan menjadi satu cluster. Nilai akurasi dievaluasi berdasarkan estimasi luas kebakaran, peta burned area, dan peta lahan gambut dari setiap kejadian kebakaran yang dilaporkan petugas lapangan. Hasil pengolahan dan analisis menunjukkan bahwa akurasi efektif pada data VIIRS yaitu pada jarak 1,5 km atau empat kali ukuran pikselnya dari pusat kebakaran. Akurasi deteksi secara umum untuk cluster hotspot (cluster-HS) dan titik hotspot (titik-HS) masing-masing sebesar 52% dan 53%. Untuk wilayah yang luasnya lebih dari 14 ha, akurasinya menjadi sangat baik yaitu sampai dengan sebesar 83%. Analisis dengan pemilahan lahan gambut dan tanah mineral menunjukkan cluster-HS berkinerja lebih baik di lahan gambut dengan akurasi sebesar 62% dibandingkan di lahan tanah mineral sebesar 57%. Tanpa mengurangi ketepatan pengamatan titik api, penelitian ini menunjukkan bahwa model dapat diandalkan untuk membantu pemangku kepentingan di lapangan dalam mengambil tindakan. Oleh karena itu, model ini dapat diimplementasikan ke dalam pemantauan hotspot harian di Indonesia.

In Indonesia, forest and land fires are frequent natural catastrophes that do significant damage to the environment and economy. The use of remote sensing satellite data to derive fire hotspot information can be used to monitor peat and non-peat land fires in Indonesia. A daily monitoring system is very necessary to assist stakeholders in the field in taking disaster mitigation actions. The aim of this research is to build a filtering and clustering model for early detection of forest and land fires in Indonesia using Visible Infrared Imaging Radiometer Suite (VIIRS) sensor data from the Suomi NPP and NOAA-20 satellites using the Euclidean distance method. The filtering and clustering model is used to simplify the number of fire hotspots which is very useful for interests in the field when forest and land fires occur. The filtering model is carried out by building a persistent hotspot map per year with repeated events exceeding a threshold, and this map will be used as a filter for the resulting fire hotspot data. The clustering model is carried out by calculating the Euclidean distance between the resulting fire hotspot points. If the distance is 1.5 times the pixel size, the fire hotspot points will be grouped into one cluster. Accuracy values ​​are evaluated based on estimates of fire area, burned area maps, and peatland maps for each fire incident reported by field officers. The results of processing and analysis show that the effective accuracy of VIIRS data is at a distance of 1.5 km or four times the pixel size from the center of the fire. The general detection accuracy for hotspot clusters (cluster-HS) and hotspot points (point-HS) is 52% and 53%, respectively. For areas larger than 14 ha, the accuracy is very good, namely up to 83%. Analysis by separating peat and non-peat land shows that the HS-cluster performs better on peat land with an accuracy of 62% compared to 57% on non-peat land. Without reducing the accuracy of hotspot observations, this research shows that the model can be relied on to assist stakeholders in the field in taking action. Therefore, this model can be implemented into daily hotspot monitoring in Indonesia."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mukhammad Bahtiar
"Penelitian ini tentang pengelolaan sumber daya madu hutan yang dilakukan oleh masyarakat di desa Keliling Semulung, Kecamatan Embaloh Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu, Propinsi Kalimantan Barat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk mendapatkan deskripsi tentang pengelolaan sumber daya madu hutan. Pengumpulan data dilakukan dengan metode studi pustaka, pengamatan partisipasi dan wawancara. Penelitian saya menunjukkan bahwa terdapat tiga sumber daya madu hutan yaitu repak, lalau dan tikung. Pada ketiga sumber daya madu hutan tersebut terdapat tiga unsur sumber daya yaitu, tanah, pohon dan sarang lebah. Pengelolaan pohon dan tanah dan sarang lebah pada repak, lalau, dan tikung, dilakukan dengan cara berbeda. Adapun hak kepemilikan sarang lebah pada repak, lalau, tikung adalah sama yaitu sebagai pemilik, sedangkan hak kepemilikan pada tanah dan pohon berbeda. Pengelolaan tanah, pohon dan sarang lebah pada ketiga sumber daya madu tersebut dilaksanakan sesuai dengan pranata yang berlaku di masyarakat dan pranata yang berlaku merupakan aturan adat. Pranata ini memegang peranan penting dalam pengelolaan sumber daya maduhutan.

This research is about the management of forest honey resources in Keliling Semulung. This study used a qualitative approach to get a description of forest honey resource management. The data was collected by the method of literature, participation observations and interviews. My research shows that there are three resources of forest honey that are repak, lalau and tikung. On the third of the forest honey resource, there are three elements of resources, that are land, trees and honeycomb. Management of land and trees and honeycomb on repak, lalau, and tikung, carried in a different way. The ownership rights honeycomb on repak, lalau, tikung are the same being as the owner, while the land and tree tenure is different, Management of the soil, tree and honeycomb on all three honey forest resources is implemented according with the institutions who prevailing in society and institutions which applicable constitute customary rules. This instituions holds an important role in the management of forest honey resources.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S46533
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laily Nurizza Adelia
"Kebakaran hutan dan lahan merupakan peristiwa akibat proses alam dan manusia. Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat merupakan salah satu kabupaten yang sering dilanda kebakaran hutan dan lahan. Umumnya, kebakaran hutan dan lahan di kabupaten ini disebabkan oleh aktivitas manusia yang meningkatkan kepadatan penduduk dan pembukaan lahan dengan membakar lahan. Kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kubu Raya telah menimbulkan kerusakan lingkungan dan ekonomi sehingga diperlukan adanya identifikasi wilayah bahaya untuk membangun sistem manajemen yang efektif guna mengendalikan kebakaran hutan dan lahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi wilayah bahaya kebakaran hutan dan lahan dan mengetahui hubungan antara wilayah bahaya kebakaran hutan dan wilayah konsesi di Kabupaten Kubu Raya. Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) digunakan untuk mendapatkan bobot tiap variabel yang digunakan. Terdapat tiga kriteria yang mempengaruhi wilayah bahaya kebakaran hutan yaitu topografi, meteorologi, dan aktivitas manusia yang teridiri atas delapan variabel yaitu ketinggian, lereng, aspect, suhu, curah hujan, kecepatan angin, kepadatan penduduk, dan jarak dari permukiman. Berdasarkan hasil perhitungan AHP, didapatkan bobot kriteria topografi 0,11; meteorologi 0,28; dan aktivitas manusia 0,62. Wilayah bahaya kebakaran hutan dan lahan di kabupaten ini dibagi menjadi tiga kelas yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Setelah dilakukan analisis weighted overlay berdasarkan bobot akhir, didapatkan bahwa Kabupaten Kubu Raya didominasi oleh wilayah bahaya kebakaran hutan dan lahan sedang yaitu seluas 433.654,34 hektar atau 50,7% dari total wilayah kabupaten. Wilayah bahaya kebakaran terluas kedua adalah pada tingkat tinggi dengan luas 244.282,41 hektar atau 28,6% dari total luas wilayah. Wilayah bahaya kebakaran rendah memiliki 177.624,25 hektar atau 20,8% dari total luas wilayah. Sedangkan untuk bahaya sangat rendah dan sangat tinggi tidak ada di kabupaten ini. Hasil wilayah bahaya kebakaran hutan dan lahan divalidasi dengan titik panas tahun 2021 menggunakan kurva AUC/ROC dan didapatkan area di bawah nilai kurva ROC 0,76 yang menandakan skor model ini dalam kategori baik. Hasil uji chi-square wilayah bahaya dengan wilayah konsesi menghasilkan nilai signifikan kurang dari 0,05 dengan koefisien kontingensi 0,312 maka dapat diartikan bahwa terdapat hubungan yang lemah antara wilayah bahaya kebakaran hutan dengan wilayah konsesi.

Forest and land fires are events that are caused by natural and human processes. Kubu Raya Regency, West Kalimantan is one of the districts that often experience forest and land fires. Generally, forest and land fires in this district are caused by human activities that resulted in increased population density and land clearing through burning land. Forest and land fires in Kubu Raya Regency have caused environmental and economic damage, therefore it is necessary to identify the hazard areas for an effective management system to control and prevent forest and land fires. This research aims to identify fire and land fire hazard areas and determine the relationship between the hazard areas and concession areas in Kubu Raya Regency. The Analytical Hierarchy Process (AHP) method is used to obtain the weight of each variable used. There are three criteria that affect the forest and land fire hazard area: topography, meteorology, and human activities, which consist of eight variables: altitude, slope, aspect, temperature, rainfall, wind speed, population density, and distance from the settlements. Based on the AHP calculation, the final weight of the topographic criteria is 0.11; meteorology 0.28; and human activity 0.62. The forest and land fire hazard areas in this district are divided into three classes, which are low, medium, and high. The weighted overlay result found that Kubu Raya Regency is dominated by moderate forest and land fire areas, covering an area of 433.654,34 hectares or 50.7% of the total regency area. The second-largest forest and land fire hazard area are at a high level with an area of 244.282,41 hectares or 28.6% of the total area. The low forest and land fire hazard area have 177.624,25 hectares or 28.6% of the total area. The results of forest and land fire hazards area were validated by hotspot data 2021 using the AUC/ROC curve and obtained an area under the ROC curve value of 0.76, which indicates the score of this model is in a moderate category. The results of the statistic test of the hazard area with the concession area yielded a significant value of less than 0.05 with a contingency coefficient of 0.470, which means that there is a moderate relationship between the forest hazard area and the concession area."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>