Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18072 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Holt, John Caldwell, 1923-1985
Medford, MA: Holt GWS.LLC, 2013
346.013 HOL e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yeyep Mulyana
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai batas usia perkawinan Anak perempuan yang berimplikasi terhadap hak anak untuk mendapatkan pendidikan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach).
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa terdapat hubungan antara perkawinan pada usia Anak dengan hak anak untuk mendapatkan pendidikan yaitu praktik perkawinan anak merupakan usia dimana anak sedang dalam proses menempuh pendidikan/usia wajib belajar yang dijamin oleh Peraturan perundang-undangan, karena mayoritas kebijakan sekolah tidak akan menerima peserta didik dalam status sudah melakukan perkawinan dengan demikian anak tidak mendapatkan hak pendidikannya, oleh karena itu dengan ditolaknya uji materil terkait pendewasaan usia perkawinan anak dalam Putusan Perkara No 30-74/PUU-XII/2014 maka batas minimal usia perkawinan untuk perempuan tetap 16 Tahun dan tetap adanya pengaturan mengenai dispensasi untuk melakukan perkawinan dibawah usia 16 Tahun, dengan masih berlakunya ketentuan dimaksud, maka secara otomatis perkawinan pada usia anak tetap banyak dilakukan di masyarakat yang hal tersebut jelas berdampak dan berimplikasi juga terabaikannya hak anak untuk mendapatkan pendidikan
Dalam penelitian ini menyarankan perubahan terhadap ketentuan pengaturan dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan serta Perlu adanya suatu kebijakan dari pemerintah yang mengatur bahwa setiap anak terlepas dari statusnya dia sudah menikah atau apapun itu tetap berhak untuk mendapatkan pendidikan, karena pendidikan merupakan hak setiap anak yang wajib dipenuhi oleh Negara dan tentunya memperkuat sosialisasi dan penguatan kepada masyarakat secara masif sehingga terjadi dukungan tokoh adat, tokoh agama dan tokoh masyarakat yang akan mendukung dan memberi pemahaman kepada orang tua tentang dampak negatif melakukan perkawinan pada usia anak di daerah mereka masing-masing

ABSTRACT
The research showed that there is a relations between marriage at age Children with the right of children to education is the practice of child marriage is the age at which a child is in the process of education / compulsory school age are guaranteed by legislation, because the majority of the school's policy will not accept learners in marital status have done so children do not get the right education, therefore a refusal of judicial review related to the maturation of the marriage age children in the Decision on Case No. 30-74 / PUU-XII / 2014, the minimum age of marriage for women remain 16 Years and keep their arrangements regarding dispensation to perform marriages under the age of 16 years, with still stipulation in question, it is automatically age marriage still plenty to do in the community that it clearly had an effect and implication also the neglect of the rights of children to education
This study suggests amendments to arrangements in Article 7 Paragraph (1) of Law No. 1 of 1974 on the marriage as well as a need for a policy of the government which provides that every child regardless of he's married or no it still has the right to get an education, because education is the right of every child that must be met by the State and certainly strengthen the dissemination and reinforcement to the public on a massive scale, causing the support of traditional leaders, religious leaders and community leaders who will support and understanding to parents about the negative effects do age marriage in their respective areas."
2016
T46101
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratih Pancaringdyah
"Kasus pelanggaran terhadap hak atas privasi anak rentan terjadi akibat pengaksesan layanan, produk, dan fitur yang disediakan oleh penyelenggara sistem elektronik, terkhususnya di lingkup privat, tidak sesuai dengan usia mereka. Konsep jaminan usia merupakan langkah alternatif untuk melindungi hak atas privasi anak dengan mengidentifikasi usia pengguna melalui deklarasi diri, estimasi usia, dan/atau verifikasi usia. Penerapan jaminan usia juga harus memperhatikan risiko pengguna sesuai dengan ketentuan pelindungan privasi, termasuk data pribadi. Melalui penelitian doktrinal, penelitian ini menganalisis penerapan jaminan usia dalam penyelenggaraan sistem elektronik lingkup privat di Indonesia. Saat ini, jaminan usia telah diterapkan di luar negeri, seperti Inggris, Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Australia. Di Indonesia, Pasal 16A UU ITE mengatur jaminan usia sebagai salah satu kewajiban penyelenggara sistem elektronik lingkup privat dalam melindungi anak. Selain itu, pasal tersebut juga berkaitan dengan ketentuan yang diatur dalam UU PDP. Namun, saat ini belum ada pengesahan terhadap peraturan pelaksanaan dari kedua peraturan tersebut sehingga penerapannya belum efektif. Akibat kekosongan hukum tersebut, maka perlu adanya pengesahan peraturan pelaksanaan dari UU ITE dan UU PDP mengenai mekanisme, batasan, sanksi dari jaminan usia dan persetujuan orang tua dan/atau wali terverifikasi secara jelas. Selain itu, pemerintah, penyelenggara sistem elektronik lingkup privat, orang tua dan/atau wali juga perlu meningkatkan peran dan tanggung jawabnya untuk melindungi hak atas privasi anak dalam penyelenggaraan sistem elektronik di lingkup privat di Indonesia.

Violations of children’s privacy rights are vulnerable due to access to services, products, and features provided by electronic system providers, especially in the private sector, which are not in accordance with their age. The concept of age assurance is one of the alternative measures to protect children’s privacy rights by identifying the age of users through self-declaration, age estimation, and/or age verification. The application of age assurance must also consider the risks to users by the provisions on the protection of privacy rights, including personal data. Through doctrinal legal research, this research analyzes the application of age assurance in the implementation of private electronic systems in Indonesia. Currently, age assurance is also applied overseas, such as the United Kingdom, the European Union, the United States, and Australia. In Indonesia, Article 16A of the ITE Law regulates age assurance as one of the obligations of private sector electronic system providers to protect children. This provision is also linked to the regulations under the PDP Law. However, the absence of implementing regulations for both regulations has hindered effective enforcement. Therefore, there is an urgent need to enact implementing regulations for ITE Law and PDP Law to establish mechanisms, limitations, and sanctions related to age assurance as well as verified parental and/or guardian consent. In addition, the government, private sector electronic system providers, parents and/or guardians also need to improve their roles and responsibilities to protect children’s privacy rights in private sector electronic systems in Indonesia. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Surya Kurniadi
"Penulisan ini menganalisis bagaimana bentuk tanggung jawab negara dan perlindungan yang dapat diberikan kepada penghayat kepercayaan khususnya bagi anak yang termasuk dalam keluarga penghayat kepercayaan berdasarkan konvensi HAM internasional. Termasuk mengetahui tata kelola pengawasan terhadap setiap aliran kepercayaan yang ada di sekitar masyarakat Indonesia. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Anak ialah “seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Selaras dengan aturan hukum Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014. Pengaturan perlindungan anak tidak hanya terjadi di Indonesia bahkan terjadi secara Internasional. PBB telah mengesahkan perlindungan hak anak pada Konvensi Anak (CRC) pada tahun 1989. Selain itu, Pasal 1 ayat ke-2 pada UU No 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, bahwa “Perlindungan anak adalah segala bentuk kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak- haknya agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”, termasuk diskriminasi kepercayaan. Kebebebasan beragama merupakan bagian dari inti HAM yang harus dihormati, dilindungi dan dijunjung tinggi pelaksanannya sebagaimana dalam Pasal 28E ayat (1) dan ketentuan yang diatur Pasal 29 yang mana telah mengatur terhadap hak atas kebebasan yang beragama dan beribadah. Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, bahwasanya Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Bagian yang terlanggar adalah bagian perlindungan yang seharusnya diberikan kepada kelompok anak penghayat kepercayaan agar tidak terkena tindakan diskriminasi dari pemerintah dan masyarakat sekitar. Tindakan yang paling tepat adalah negara dan pemerintah mengimplementasikan sesuai Pasal 18 ayat (1) ICCPR tentang kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama, namun tetap memerlukan batasan sesuai dengan Pasal 18 ayat (3) kaedah-kaedah yang mana berlandaskan pada ketentuan hukum, dan yang diperlukan dalam melakukan perlindungan, keamanan, ketertiban, kesehatan, sampai pada moral masyarakat.

This paper analyzes the form of state responsibility and protection that can be given to believers, especially for children who belong to families of believers based on international human rights conventions. Including knowing the governance of supervision of every school of belief around Indonesian society. This paper is prepared using doctrinal research methods. A child is "someone who is not yet 18 years old, including a child who is still in the womb." In line with the law on Child Protection Number 35 of 2014. Child protection arrangements do not only occur in Indonesia but also internationally. The UN ratified the protection of children's rights in the Convention on the Child (CRC) in 1989. In addition, Article 1 paragraph 2 of Law No. 35 of 2014 concerning Child Protection, that "Child protection is all forms of activities to guarantee and protect children and their rights so that they can live, grow and develop, and participate optimally in accordance with the dignity and dignity of humanity, as well as receive protection from violence and discrimination", including discrimination of belief. Freedom of religion is part of the core of human rights that must be respected, protected and upheld in accordance with Article 28E paragraph (1) and the provisions regulated by Article 29 which regulates the right to freedom of religion and worship. Article 28I paragraph (4) of the 1945 Constitution, that the protection, promotion, enforcement, and fulfillment of human rights is the responsibility of the state, especially the government. The part that is violated is the part of protection that should be given to the group of children who believe in the faith so that they are not exposed to discriminatory actions from the government and the surrounding community. The most appropriate action is for the state and the government to implement in accordance with Article 18 paragraph (1) of the ICCPR on freedom of thought, belief and religion, but still require restrictions in accordance with Article 18 paragraph (3) of the rules which are based on the provisions of the law, and which are necessary in carrying out protection, security, order, health, and public morals."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
New York: Unicef, 2002
323.4 HUM
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Philadelphia : Temple University Press, 1973
362.7 RIG
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Wulan Desya Maharani
"Skripsi ini membahas implementasi dari pelayanan sosial yang diberikan oleh Yayasan Peduli Anak dalam rangka berpartisipasi mengupayakan pemenuhan hak anak terlantar. Penelitian ini didasari karena tingginya jumlah anak terlantar, khususnya di Nusa Tenggara Barat. Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Pemilihan informan dilakukan dengan teknik purposive sampling, dimana informan yang dipilih didasarkan pada kriteria tertentu, dalam hal ini informan pada penelitian ini adalah pengurus dan pelaksana layanan serta penerima manfaat yang merupakaan binaan dari lembaga. Adapun jumlah informan yang diteliti adalah 13 orang. Kemudian, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan studi dokumen, wawancara mendalam, dan observasi. Setelah pengumpulan data, proses kategorisasi dilakukan dalam rangka melakukan analisis pada data, proses tersebut diantaranya berupa open coding, axial coding, dan selective coding. Hasil dari penelitian ini menggambarkan layanan yang diberikan oleh lembaga, yaitu layanan pengasuhan seperti keluarga yang diberikan di dalam lembaga, layanan pendidikan akademik dan non-akademik, serta layanan kesehatan. Target sasaran dari pemberian layanan adalah anak terlantar, anak jalanan, dan anak korban kekerasan, namun saat ini target sasaran didominasi oleh anak terlantar. Lembaga menyelenggarakan layanan dengan tujuan untuk memperjuangkan hak anak dan mencegah kasus pernikahan dini yang kerap terjadi di Nusa Tenggara Barat. Dengan demikian, melalui upaya pemberian layanan tersebut, lembaga telah mengupayakan pemenuhan 10 hak anak terlantar yang merupakan penerima manfaat pada lembaga. Hak tersebut diantaranya adalah hak atas nama dan status kebangsaan, hak atas persamaan dan non-diskriminasi, hak atas perlindungan, hak pendidikan, hak bermain dan berekreasi, hak makanan, hak kesehatan, dan hak berpartisipasi dalam pembangunan. Namun dalam pengimplementasian layanan sosial yang diselenggarakan oleh lembaga, terdapat beberapa hak anak yang belum dapat terpenuhi secara maksimal, diantaranya adalah hak persamaan dan non-diskriminasi khususnya dalam hal pemberian layanan pada ABK, hak kesehatan khususnya kesehatan mental, dan hak berpartisipasi dalam pembangunan khususnya kesempatan bagi penerima manfaat dalam berpartisipasi pada kegiatan sosial yang diselenggarakan oleh pihak desa dimana lembaga berada. Lembaga dalam meneyelenggarakan layanan yang juga ditujukan sebagai pemenuhan hak anak terlantar telah mengedepankan prinsip yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak, prinsip tersebut diantaranya prinsip non-diskriminasi, prinsip yang terbaik bagi anak, prinsip atas hak (hidup, kelangsungan, dan perkembangan), serta prinsip penghargaan terhadap pendapat anak.

The focus of this study is implementation of social services provided by Peduli Anak Foundation in order to participate in seeking the fulfillment of the rights of neglected children. This study was conducted due to high number of neglected children, especially in West Nusa Tenggara. Afterward, this study used a qualitative approach with a descriptive type of research. The selection of informants was carried out by using a purposive sampling technique, selected informants were based on certain criteria, the informants in this study were management and service implementers, also beneficiaries who were assisted by the institution. The number of researched informants were 13 people. The data collected by using document study, in-depth interview, and observation. After the data collected, several categorization processes were carried out in order to analyze the data, the processes include open coding, axial coding, and selective coding. The results of this study describe the services provided by the institution, namely Family-like Care services that given in the institution, academic and non-academic education services, and health services. Target of these services are neglected children, street children, and children who are victims of violence, but currently the target are dominated by neglected children. Services that provided by the institution aim to promote children’s rights and prevent cases of early marriage that often occur in West Nusa Tenggara. Through these efforts, the institution had sought to fulfill the 10 rights of neglected children. The rights that are fulfilled include the right of name and national status, the right ef equality and non-discrimination, the right of protection, the right of education, the right of play and recreation, the right of food, the right of health, and the right of participate in development. However, in the implementation of social services that provided by institution, there are several rights that have not been fully fulfilled, including the right of equality and non-discrimination especially in terms of provide services to children with special needs, the right of health especially for mental health, and the right of participate in development especially opportuinities for beneficiaries to participate in social activities that organized by the village where the institution’s located. Institutions in providing services that are also intended to fulfill the rights of neglected children have put forward the principle contained in the Convention on the Rights of the Child, these principles include the principle of non-discrimination, principle of the best interest of child, principle of the rights to life, survival, and development, also principle respect for the views of the child."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fariznaldi
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas tentang “HAK DAN KEDUDUKAN ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN SETELAH PERCERAIAN”. Yang dilatarbelakangi banyaknya kasus perkawinan campuran yang berujung perceraian dan berujung pada perebutan hak asuh anak atau juga penyangkalan status anak. Permasalahan yang akan dilihat dalam penelitian ini adalah bagaimana status dan kedudukan dan juga hak anak hasil perkawinan campuran, berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku yakni UU No 12 tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan, UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan, Kompilasi hukum Islam, Kitab Undang Undang Hukum Perdata ( B.W ), dan juga analisa mengenai putusan mahkamah agung mengenai perebutan hak asuh anak hasil perkawinan campuran. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat eksplanatif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa peraturan perundang undangan dan juga pengadilan di Indonesia telah cukup memadai dalam hal melindungi hak dan kedudukan anak hasil perkawinan campuran setelah perceraian kedua orang tuanya.

ABSTRACT
This research discusses ""The RIGHTS and POSITION of CHILDREN of MIXED MARRIAGES AFTER DIVORCE RESULTS"". That is backed by the large number of cases of mixed marriages that led to divorce and resulted in the seizure of custody of the child or the child's denial of state as well. Problems will be seen in the study is how the status and position of the rights of the child and also the result of mixed marriages, based upon the applicable laws, i.e. Law No. 12 year 2006 about citizenship, Act No. 1 of 1974 about marriage, compilation of Islamic law, The Law of civil law (B.W.), and also the analysis of the Supreme Court ruling on child custody struggle results in mixed marriages. This research is qualitative research which is explanative. Results of the study concluded that the regulations and the Court of Law in Indonesia has been quite adequate in terms of protecting the rights and position of children of mixed marriages result after the parents divorce."
Universitas Indonesia, 2014
S53490
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vidya Pradipta
"Adanya perbedaan antara peraturan perundang-undangan yang berlaku, di mana anak luar kawin yang diakui sah dapat mewaris bersama golongan ahli waris lain sebagaimana diatur dalam Pasal 863 Kitab undang-undang Hukum Perdata, dalam hal anak luar kawin yang diakui sah mewaris bersama golongan satu berhak mewaris 1/3 bagian dari mereka yang sedianya harus mendapat seandainya mereka adalah anak sah dengan putusan hakim. Perlunya memperhatikan perbedaan konteks mengenai perkawinan yang sah dan pengakuan anak luar kawin dalam KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Permasalahan dalam penulisan ini adalah pergeseran terhadap nilai terhadap anak luar kawin yang diakui sah dalam hal mewaris bersama ahli waris lainnya dan akibat hukumnya. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif menggunakan data sekunder melalui studi dokumen dan wawancara secara sistematis dan kualitatif. Hasil penelitian menjelaskan bahwa peraturan perundang-undangan dapat disimpangi dan dapat terjadi pergeseran nilai hak waris atas anak luar kawin yang diakui sah. di mana anak luar kawin yang diakui sah “dianggap sama” dengan anak sah didukung dengan nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, perkembangan di Belanda di mana Nieuw Burgerlijk Wetboek sudah tidak membedakan anak luar kawin yang diakui sah dan memberikan bagian yang sama dengan anak sah, argumentum per analogiam, teori tujuan hukum yang lebih mengutamakan keadilan dan kemanfaatan dengan memperhatikan prinsip kebebasan dan prinsip persamaan atas kesempatan, teori sistem hukum yang yang tidak hanya mengacu pada substansi hukum, tetapi juga melihat kultur hukum. Akibat hukum yang ditimbulkan dari pergeseran nilai ini adalah memberikan hak dan kewajiban kepada anak luar kawin yang diakui sah sama dengan anak sah, khususnya dalam hal pewarisan

Indicating a distinction between applicable legislation where illegitimate children that has been acknowledged officially are recognized as heirs attach themselves to other heirs class according to article 863 of the civil code law, outsiders are admitted to inheritance along with first heirs class is entitled to inherit 1/3 of those who should have been granted if they were legitimate children and verdict. It is necessary to pay attention to different contexts regarding legal marriages and recognition of illegitimate children in the Civil Code and Act Number 1 of 1974 on Marriage. The problem in this paper is the shifting value in inheritance rights to illegitimate children that has been acknowledged officially in terms of co-inheriting with other heirs and legal consequences. The research method used is juridical normative by means of secondary data by data study and interview which is systematic and qualitative. The results of the research explain that applicable legislation may be ruled out and there can be shifting value of inheritance rights to illegitimate children that has been acknowledged officially where is recognized ‘equal’ as a legitimate child supported by development of values ​​living in the community, development in Netherlands where Nieuw Burgelijk Wetboek is no longer differentiate illegitimate children that has been acknowledged officially and give equal portion of the estate with their legitimate children, argumentum per analogiam, legal objectives that prioritizes justice by observing the principle of fair equality of opportunity, the theory of the legal system which not only refers to the substance of the law, but also see the legal culture. The legal consequences of this shifting value is illegitimate children that has been acknowledged officially have equal rights and obligations with legitimate children, especially in inheritance"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>