Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 220694 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
Sitanggang, Chandra Anggiat L.
"Pelanggaran HAM Berat Timor Timur yang terjadi dalam kurun waktu Januari-September 1999 pada saat pra dan pasca jajak pendapat menurut KPP HAM TIMTIM, berdasarkan fakta dokumen, keterangan dan kesaksian, dari berbagai pihak, pelanggaran tersebut tak hanya merupakan tindakan yang dapat digolongkan sebagai pelanggaran berat Hak Asasi Manusia atau gross violation of human rights yang menjadi tanggung jawab negara (states responsibilities), namun dapat dipastikan, seluruh pelanggaran berat HAM tersebut dapat digolongkan sebagai universal jurisdiction. Yaitu mencakup pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran dan pemindahan paksa serta lain-lain tindakan tidak manusiawi, terhadap penduduk sipil, ini adalah pelanggaran berat atas hak hidup (the rights to life), hak atas intregrasi jasmani (the rights to personal integrity), hak akan kebebasan (the rights to liberty), hak akan kebebasan bergerak dan bermukim (the rights of movement and to residence), serta hak milik (the rights to property).
Pemerintah atas desakan internasional akhirnya mengadakan persidangan terhadap pelaku melalui Pengadilan HAM Ad Hoc TIMTIM di Jakarta. Seperti yang sudah diperkirakan bahwa akan terjadi kekecewaan dalam vonis pengadilan tersebut. Hal ini sudah terlihat dari kerancuan definisi-definisi mengenai pelaku pelanggar HAM, tindakan pidana dan tanggung jawab komando dalam pasal-pasal di UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM serta ketidakmampuan para penegak hukum dalam membuktikan dakwaan yang dimaksudkan. Dunia Internasional kecewa terhadap vonis yang telah dikeluarkan dan melalui Komisi Ahli PBB direkomendasikan agar dilakukan pengadilan ulang atau dilakukan pengadilan tribunal. Untuk itu Indonesia harus menyikapi secara serius hal-hal tersebut dan sesegera mungkin mengubah cara pandang pespektif HAM sesuai dengan Hukum Internasional dan melaksanakan perbaikan-perbaikan terhadap perundangundangannya sehingga tidak terulang kembali pelanggaran HAM yang serupa. Dan hendaknya di kawasan Asia Tenggara di bentuk Pengadilan HAM agar HAM dapat ditegakkan, karena pada hakekatnya Penegakan HAM adalah tugas negara dan jika negara gagal melakukannya maka negara yang harus diadili sebagai bentuk tanggung jawab di dunia internasional melalui pengadilan yang tidak dibentuk oleh negara yang bersangkutan tapi merupakan pengadilan yang sesuai dengan standar internasional."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T16509
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anton Afrizal Candra
"Sejarah konfigurasi politik di Indonesia memperlihatkan pasang surut dan pasang naik secara bergantian anatara demokratis dart otoriter. Tarik menarik konfigurasi politik dengan karakter produk hukum yang berkarakter responsifpopulistik dan produk hukum yang berkarakter ortodoks-konservatif dengan kecenderungan linier yang sama. Rezim Orde Baru terutama pada 1967-1981 senantiasa curiga akan gerakan-gerakan Islam. Konfigurasi politik pada peciode ini cenderung otoriter dengan berbagai tipologi perpolitikan. Di tahun 1970-an ini lahir berbagai produk hukum seperti UU No. 14 Tahun 1970 dan UU No. 1 tahun 1974 yang berkarakter ortodoks/konservatif atau elitis. Pada saat slap akomodatif (1985-1998) antara Islam dari negara maka pada era ini lahir Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama maka karakter produk hukum ini bisa dikatakan berkarakter responsif/populistik. Era Reformasi, konfigurasi politik yang tampil adalah demolantis dengan terlibatnya seluruh komponen masyarakat dalarn pembentukan UU No. 4 tahun 2004 maka produk hukum ini berkarakter responsi populistik.
Setiap produk hukum merupakan pencerminan dari konfigurasi politik yang melahirkannya. Karakter produk hukum sangat ditentukan oleh visi politik yang berkembang dimasyarakat. Semakin demokratis suatu rezim, semakin responsif dan aspiratif produk hukum yang dihasilkan dan sebaliknya. Karena itu setiap produk hukum yang berkarakter responsif/populistik akan mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi lebih demokratis.

The history of political configuration in Indonesia shows the ups and downs in turns between democratic and authority. The pulling of political configuration between the law product which have the characteristics of responsive-populistic and the other Iaw product which have the characteristics of orthodoks-conservative, with the same similarity in line. The New Order regime especially in the year of 1967-1982 have suspicions settlements on the Islamic movements. Political configurations in this period tends to rule with an authoritic attitude with many political typhologies. In the year of 1970-s, were created many law products such as the UU No. I4 Year 1970 and the UU No. 1 Year 1974 which have the orthodoks conservative characteristics or clitic law products. At the time of accontridative ( 1985 - 1998 ) between Islam and the state, in this era was created the UU No. 7 Year 1989 which issues about the religic court which then this product of Iaw can be said to have the characteristic of responsive I populistic. In the Reformation Era, the political configurations that shows up is democratic which involves all the components of society inside the structuring of UU No. 4 Year 2004, and so this product of law has the characteristic of responsive 1 populistic.
Every products of law are the turner of every political configurations which creates them. The characteristic of product of law depends on the political visions which are growing inside the society. The more democratic one regime is, the more responsive and aspirative product of law they creates and it goes the same for the opposite. Because of that, every product of law which have the characteristic of responsive populistic will make the nation more democratic.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T14919
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ariawan Agustiartono
"Doktrin tanggungjawab atasan merupakan suatu mekanisme untuk menghukum para atasan sebagai akibat pombiaran yang dilakukan atas tindakan ( kejahatan) yang dilakukan bawahannya, dimana atasan tersebut mengetahui atau seharusnya mengetahui kejahatan yang dllakukan bawahannya. Dokrin tanggung jawab atasan lahir dalam dunia kemiliteran akan tetapi berlaku secara mutatis mutandis kepada atasan sipil sepanjang atasan tersebut juga memiliki kontrol sepertl seorang komandan militer. Doktrin tanggungjawab atasan telah diterapkan dalam beberapa praktek pengadilan misalnya dalam Tribunal Tokyo, Tribunal Yugoslavia ( ICTY) dan Tribunal Rwanda ( ICTR) serta Pengadilan HAM Ad.Hoc Timor-Timur.
Dalam tesis ini akan dipaparkan doktrin tanggungjawab atasan yang dihasilkan dalam praktek ICTY. Setidaknya terdapat 3 (tiga) doktrin baru yang dihasilkan dalam praktek ICTY: pertama, mengenai syarat menarik tanggungjawab atasan yang merupakan hasil dari persidangan kasus Celebici Prison Camp. Kedua, komandan territorial bertanggungjawab atas tindakan semua pasukan yang berada diwilayahnya walaupun pasukan tersebut tidak dalam kendali efektifnya. Doktrin kedua ini dihasilkan dari praktek kasus lasva Valley dengan terdakwa Brigadir Jendral Tihomir Balskic. Doktrin ketiga, adalah kewajiban menghukum bawahan melekat kepada komandan baru. Doktrin ini dihasilkan dalam kasus Enver Hazihasanovic ( Komandan Kamp Kubura).
Penelitian ini berjudul "PENERAPAN DOKTRIN TANGGUNGJAWAB ATASAN DI INTERNATIONAL CRIMINAL TRIBUNAL. FOR FORMER YUGOSLAVIA DAN PENGARUHNYA DALAM PENGADILAN HAM AD.HOC TIMOR-TIMUR".
Fokus pembahasan tesis ini pada penerapan doktrin tanggungjawab atasan di ICTY dan doktrin hukum yang dihasilkan dalam praktek ICTY. Disamping itu tesis ini juga memaparkan pembahasan tentang penggunaan doktrin tanggungjawab atasan yang dihasilkan dalam praktek ICTY serta pengaruhnya dalam Pengadilan HAM Ad.Hoc Timor-Timur. Untuk menjawab permasalahan tersebut menggunakan metode penlitian Yuridis Nonnatii dan pendekatan kualitatif dalam melakukan analisa permasalahan. Disamping itu juga dipaparkan tentang penerapan doktrin tanggungjawab atasan yang dihasilkan ICTY dalam Pengadilan HAM Ad.Hoc Timor-Timur serta pengaruhnya. Dalam pembahasan akan dipaparkan tentang kasus-kasus yang ditangani oleh Pengadilan HAM Ad.Hoc Timor-Timur yang menggunakan doktrin tanggungjawab atasan hasil dari ICTY. Doktrin yang paling banyak digunakan adalah doktrin tanggungjawab atasan yang dihasilkan dari kasus Ceiebici Prison Camp. Disamping banyak digunakan putusan kasus Celebici juga memberikan pengaruh yang besar dalam praktek Pengadilan HAM Ad.Hoc Timor-Timur."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16415
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ario Priojati
"Kemajuan tehnologi berkembang dengan amat pesat dan tidak dapat dihindari oleh siapapun dan negara manapun. Seiring dengan perkembangan tehnologi tersebut menimbulkan permasalahan dengan Hukum Acara yang berlaku disuatu negara terutama negara berkembang seperti: Indonesia. Salah satu produk kemajuan tehnologi yang menimbulkan polemik adalah pemeriksaan saksi melalui media teleconference dengan Hukum Acara Pidana maupun Hukum Acara Peradilan Hak Asasi Manusia yang dalam Pasal 10 masih mengacu pada Hukum Acara Pidana yang berlaku di Indonesia dalam hal ini Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana terutama Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang berbunyi "keterangan saksi sebagai alat bukti adalah keterangan saksi yang saksi nyatakan didepan sidang pengadilan".
Sudah seharusnya Hukum Acara Pengadilan Hak Asasi Manusia tidaklah tepat mengacu pada Hukum Acara Pidana meiigingat pelaku pelanggaran berat Hak Asasi Manusia merupakan Extra Ordinary Crimes sehingga tidak dapat disamakan dengan kejahatan biasa (Ordinary Crimes) Sehingga menimbulkan perdebatan dalam hal kehadiran saksi apakah mutlak hadir secara fisik di muka persidangan tanpa terkecuali, sedangkan penggunaan teleconference dengan berbagai alasan seperti sakit atau keamanannya tidak terjamin bila memberikan kesaksian dimuka persidangan karena terdakwanya adalah seorang yang mempunyai kekuasaan dan kekuatan untuk mengancam keselamatan saksi. Meskipun tidak hadir secara langsung kernuka persidangan keterangan saksi melalui media teleconference telah "hadir" dengan dapat dilihat langsung oleh aparat penegak hukum maupun pengunjung sidang melalui Iayar kaca yang ada dan dapat di check secara silang persesuaiannya oleh hakim pada kedua belah pihak yang bersengketa.
Penggunaan keterangan saksi melalui media teleconference adalah sangat penting terutama untuk kasus pelanggaran berat terhadap Hak Asasi Manusia, terorisme, pencucian uang, obat - obatan terlarang dan sebagainya. Berkaitan dengan permasalahan di bidang hukum tersebut maka tujuan penulisan ini adalah membahas serta memecahkan permasalahan mengenai teleconference sebagai salah satu alat bukti dalam memeriksa keterangan saksi dengan jarak jauh dan saksi tidak hadir secara Iangsung ke muka persidangan.

Progress of technology expand very fast and cannot avoided by anyone and any countries. Along with growth of the technology generate problems of Criminal Code that effected in a country especially developing countries like: Indonesia. One of the product of technology progress which generate polemic is interrogation of witness through teleconference media in Criminal Code and Human Rights Judicature Code which in Section 10 still refer to Criminal Code that effected in Indonesia in this case Criminal Code especially Section 185 sentence (1) KUHAP sounding " eyewitness description as a means of evidence is eyewitness description which is eyewitness state in front of court".
It Have ought to Human Rights Court Code is not precisely refer to Criminal Code remember perpetrator of heavy violation of Human right is Extra Ordinary Crimes so that not earn to be compared to badness of habit ( Ordinary Crimes) Causing debate in the case of attendance of eyewitness do absolute attend by physically in the face of conference without aside from, while usage of teleconference by various reason like the security or pain of not well guaranteed if/when giving witness in the face of conference because the defendant of is a having strength and power to menace safety of eyewitness. Absent though directly conference of eyewitness description through media of teleconference have " attended" earned direct vision by enforcers government officer punish and visitor of conference through existing glass screen and earn in check cross the concord of by judge at both parties which was have dispute.
Usage of eyewitness description through media of teleconference is of vital importance especially for the case of heavy collision to Human right, terrorism, wash of money, forbidden drug etcetera. Problems relating to in the law area hence this writing target is to study and also solve problems concerning teleconference as one of the evidence appliance in checking eyewitness description with long distance and absent eyewitness directly to conference face.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15085
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: Galang Press, 2003
303.6 JEM
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kesusastraan, 1994
499.221 SUR
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>