Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 189012 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Sitinjak, Robert Parlindungan
"Konsensus nasional Political Will dari DPR untuk penyelenggaran negara yang bersih dan bebas dari korupsi kolusi dan nepotisme, telah diundangkan melalui TAP XI/MPR/1998 tanggal 13 Nopember 1998 dan diatur lebih lanjut dengan UU No. 28/1999 tanggal 19 Mei 1999 dan UU No. 31/1999 tanggal 16 Agustus tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menggantikan UU No. 3/1971 yang lama. Hal ini merupakan babak baru dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia dengan memanfaatkan momentum era reformasi.
Upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi (anti corruption strategy) secara sistematis di Indonesia_ telah sejak lama dilakukan, karena dirasakan korupsi sudah sangat membahayakan pembangunan. yaitu sejak tahun 1957 mulai dengan peraturan penguasa militer, penguasa perang pusat, TPK, Komisi 4, Opstib, sampai era reformasi dengan dibentuknya Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) pada tanggal 13 Oktober 1999 dan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) pada tanggal 23 Mei 2000.
Kejaksaan Agung sebagai lembaga penuntutan satu-satunya di Indonesia (legal monopoly) mempunyai tanggung-jawab moral dan hukum untuk berjuang memberantas korupsi dan menegakkan supremasi hukum yang responsif dengan rasa keadilan masyarakat. Tuntutan dan harapan masyarakat sangat besar diletakkan di pundak Kejaksaan Agung, untuk mengusut tuntas dugaan adanya korupsi yang merugikan keuangan negara, dan mulai mengadili kasus-kasus korupsi besar, dan yang menarik perhatian masyarakat (catchs some big fishes) seperti Kasus Soeharto mantan Presiden RI berkuasa 32 tahun, yang mulai disidangkan tanggal 31-8-2000.
Kinerja Kejaksaan Agung dalam pemberantasan korupsi selama 5 tahun (1993/1994 s/d 1997/1998) pada tahap penyelidikan penyelesaiannya hanya 40% (34 kasus) dan sisa tunggakan 60% (50 kasus), tahap penyidikan penyelesaiannya hanya 38% (9 kasus) dan sisa tunggakan 62% (15 kasus), dan tahap penuntutan untuk seluruh Indonesia tingkat penyelesaiannya hanya 19% (115 kasus) dan sisa tunggakan 81% (479 kasus). Rata-rata sisa tunggakan kasus sekitar 60%-81%.
Pendapat para ahli tentang sebab-sebab terjadinya korupsi dan hambatan pemberantasan korupsi, dijadikan sasaran analisis yang mendasari perumusan strategi pemberantasan korupsi (anti corruption strategy) selanjutnya. Strategi secara sistematis itu diharapkan dapat mengendalikan faktor-faktor penyebab korupsi tersebut.
Bertolak dari kenyataan tersebut diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan pemberantasan korupsi oleh Kejaksaan Agung, sejauh mana tingkat efektifitas Kejaksaan Agung dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, (apakah telah memberikan hasil/akibat yang maksimal, taxis dari pertimbangan efisiensi) dan berupaya untuk dapat memberikan strategi alternatif/prioritas yang dapat meningkatkan efektifitas pemberantasan korupsi (anti corruption strategy).
Hasil penelitian penulis ini menunjukkan, bahwa Kejaksaan Agung berada pada kondisi di dua lingkungan yaitu lingkungan internal dan eksternal. Hal mana telah memberikan pengaruh terhadap kinerjanya. Pengaruh sebagai faktor pendukung dan faktor penghambat bisa berasal dari internal maupun eksternal. Yang berasal dari faktor internal berupa faktor kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness), dan yang berasal dari faktor eksternal berupa faktor peluang (opportunity) dan ancaman (threat). Pendekatan analisis SWOT berupaya untuk merumuskan strategi yang sesuai (best solution) untuk diterapkan dalam upaya mencapai sasaran dan goal yang diinginkan. Ada beberapa strategi alternatif yang dirumuskan, namun berdasarkan urgensi penanganannyalskala prioritas kepentingannya, maka direkomendasikan untuk memakai strategi WO untuk strategi jangka pendek dan strategi SO untuk strategi jangka panjang.
Dari hasil perumusan alternatif strategi SWOT tersebut dengan pendekatan ternyata untuk sasaran strategi kebijakan prioritas jangka pendek adalah memanfaatkan TGPTPK (Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) (0.408), memperbaiki sarana prasarana/penggajian/fas. kesejahteraan SDM kejaksaan (0,239), melakukan pengawasan intensif terhadap moralitas, etika profesi/sikap perilaku terhadap SDM kejaksaan (0,130), mengusulkan independensi kejaksaan/ (Independent Prosecution System) (0,116), dan memperbaiki/reorientasi sistem manajemen pembinaan (rekrutmen, promosi dan penempatan) SDM kejaksaan yang profesional dan rasional (0,106). Untuk sasaran strategi kebijakan prioritas jangka panjang adalah memanfaatkan lembaga ICAC (Independent Commission Anti Corruption)/ Komisi Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KGPTPK) (0,415), menetapkan target penyidikan dan penuntutan (0,366) dan mengusulkan independensi kejaksaan/(Independent Prosecution System) (0,219).
Dalam penelitian ini, ternyata dalam strategi jangka pendek maupun strategi jangka panjang memiliki sensitifitas yang sangat kecil. Artinya, walaupun terjadi perubahan dalam urutan prioritas, temyata urutan prioritas faktor endogen (strategi kebijakan) tidak mengalami perubahan, hanya perubahan dalam bobot prioritasnya.
Strategi Kebijakan periode jangka pendek dan jangka panjang yang dominan adalah dengan memanfaatkan keberadaan TGPTPK dan lembaga baru ICAC (Independent Commission Anti Corruption)IKGPTPK, sehingga diharapkan tercapainya peningkatan efektifitas strategi pemberantasan korupsi (anti corruption strategy) di Indonesia. Untuk ICAC, disarankan agar konsistensi terhadap sifat komisi yang harus independenlmandiri kepas dari carnpur tangan pemerintah, melibatkan peranan LSM/masyarakat dalam penanganan pemberantasan korupsi di Indonesia. Disarankan, ICAC mempunyai kewenangan terbatas hanya pada tahap penyelidikan dan penyidikan korupsi saja, sedangkan tahap penuntutan tetap sebagai wewenang Kejaksaan Agung. Perlu dirumuskan sinkronisasi susunan perundang-undangannya, agar tidak tumpang-tindih atau menabrak tata tertib hukum positif yang sudah ada."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2000
T7939
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Berdita
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2010
S26535
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Pusparini
"Life table multivariat merupakan salah satu metode pada analisis ketahanan yang dapat digunakan untuk rnenggambarkan ketahanan individu yang memperhatikan karakteristik-karakteristik dari individu tersebut. Tugas akhir ini membahas suatu metode pembentukan model yang sesuai untuk penaksiran life table multivariat. Metode ini menggunakan data ketahanan dan disebut metode hazard dengan pendekatan tabel kontngensi. Model yang didapat disebut model hazard. Metode hazard ini dapat menangani masalah sensor dan dapat menganalisis waktu ketahanan yang terdistribusi secara eksponensial sepotong-sepotong. Karena nlenggunakan pendekatan tabel kontingensi, variabel-variabel yang diamati harus diperlakukan secara kategorik. Penaksiran parameter-parameter model hazard menggunakan metode likelihood. Sedang pengujian hipotesis untuk pemilihan model yang tepat menggunakan metode rasio likelihood. Penerapan metode hazard dengan pendekatan tabel kontingensi ini digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruh kematian bayi dan anak, berdasarkan data Survei Prevalensi Kotrasepsi Indonesia tahun 1987. Faktor-faktor yang diamati sebagai kovariat-kovariatnya, antaral ain: lingkungan rumah tangga, usia ibu waktu melahirkan, urutan dan jarak kelahiran, tempat dan penolong persalinan, status ekonomi keluarga, pendidikan ibu, dan keterpaparan terhadap informasi.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1992
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Frenky
Jakarta: Transparecncy International, 2008
R 364.132 3 SIM m
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Frenky
Jakarta: Transparency International, 2008
364.132 3 SIM m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Upriyadi
"Penelitian ini dilatar belakangi adanya perbedaan pendapat tentang efektivitas diklat fungsional pustakawan atau diklat penyetaraan yang merupakan salah satu persyaratan pengangkatan pertama dalam jabatan fungsional pustakawan, dengan alasan bahwa diklat ini hanya diselenggarakan dalam waktu relatif singkat bila dibandingkan melalui pendidikan formal bidang ilmu perpustakaan, dokumentasi dan informasi.
Tujuannya untuk mengetahui persepsi peserta diklat fungsional pustakawan terhadap kesesuaian kurikulum, kemampuan pengajar dan metode diklat yang digunakan serta mengetahui keefektifan penyelenggaraannya dengan indikator adanya peningkatan keterampilan, pengetahuan dan perubahan sikap peserta setelah mengikuti diklat, serta untuk mengetahui hubungan antara kurikulum, pengajar dan metode dengan peningkatan pengetahuan, keterampilan dan perubahan sikap.
Populasi penelitian adalah lulusan diklat fungsional pustakawan dari tahun 1999 - 2003 yang bekerja pada Perpustakaan Nasional RI, Perpustakaan Khusus, Perpustakaan Perguruan Tinggi, Perpustakaan Sekolah dan Perpustakaan Umum yang ada di DKI Jakarta. Populasi tersebut berjumlah 110 orang dan sampel ditetapkan sebanyak 50 responden.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang hasilnya disajikan dalam bentuk deskripsi menggunakan statistik. Metode yang digunakan adalah metode survey dengan kuesioner sebagai instrumen utama untuk mengumpulkan data.
Penelitian ini membahas tiga variabel bebas yakni kurikulum, pengajar dan metode diklat serta satu variabel terikat yaitu tentang efektivitas diklat yang terdiri dari tiga sub variabel yakni peningkatan pengetahuan, peningkatan keterampilan dan perubahan sikap.
Hasil penelitian tentang penyelenggaraan diklat fungsional pustakawan yang dilakukan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan, Perpustakaan Nasional RI di DKI Jakarta mendapat kategori positif, dan memperoleh nilai rata-rata tinggi, dengan rincian nilai, untuk kesesuaian kurikulum (3,88), kemampuan pengajar (3,8075) dan metode diklat (3,8866). Sedangkan efektivitasnya dengan indikator peningkatan pengetahuan, peningkatan ketrampilan dan perubahan sikap mendapat kategori efektif dan memperoleh nilai rata-rata tinggi, masing-masing indikator mendapat nilai 4,0475 untuk peningkatan pengetahuan, 4,042 untuk peningkatan ketrampilan, dan 3,95 untuk perubahan sikap. Sedangkan hubungan variabel antara variabel X dan Y secara keseluruhan terdapat korelasi dengan arah korelasi positif dan harga korelasi sangat signifikan.
Implikasi dari penelitian ini yaitu dapat menjawab tentang perbedaan pendapat tentang efektivitas penyelenggaraan diklat fungsional pustakawan dan sekaligus sebagai bahan pertimbangan bahwa diklat ini dapat dijadikan salah satu alternatif dalam menyiasati kekurangan tenaga perpustakaan yang profesional.
This research is based on the existing arguments on the effectiveness of the Functional Education and Training for Librarian, or accredited Education and Training which is one of the first appointment requirement in the librarian functional position. Based on the arguments that this Education and Training are only performed in a very short period of time , when compared with the period of that it takes through formal education in the study field of Library, documentation and information.
This is targeted at finding out the Librarian functional Education and Training participants perception on the issue of syllabus relevancy, the competence of the lecturer, and the Education and Training method applied, and to evaluate the effectiveness of the program through the indicators of improved skill, science, and a change of attitude of the participant after completing the education and training, as well as to find out the correlation of the syllabus, lecturer, and method with the improvement of scientific, skill, and attitude's change.
The population under research are the graduates of the 1999- 2003 Librarian Functional Education and Training, who are working at National Library of the Republic of Indonesia, Special Library, University Library, School Library and Public Library existing around the Capital city of Jakarta.
The population figure is 110 persons, and the samples are taken from 50 respondents. This research is based on a quantitative approach and the result is in a Statistical Description form . The method used is Survey Method based on the questionnaire as the main instrument for collecting data.
This research is digging into three independent variables including syllabus, lecturer, and the program's method and covering one dependent variable regarding the effectiveness of the Education and Training comprising of three sub-variables , the improvement of science, skill, and attitude's change.
The result of the research on the implementation of the Librarian functional Education and Training which is performed by the Center of Education and Training, the National Library of the Republic Of Indonesia, in the capital city of Jakarta, earns positive category and scores high in the average ,with scores brake-downs as follows : Syllabus relevancy (3.88), Lecture's competence (3.8075), and program's method (3.8866), while it's effectiveness shown in the indicators of the improvement of science, skill, and attitude's change earn effective category and hit the average high figures, each indicator achieve 4.0475 in the improvement of science, 4.042 for the improvement of skill, and 3.95 for the attitude's change. While the correlation of X variable and Y variable as a whole stands at positive correlation course. And the value of the correlation is quite significant.
The implication of this research can find the answer to the arguments regarding the effectiveness of the Librarian Functional Education and Training as well as a consideration point that the program is one of alternatives to meet the lack of professional Librarian.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11628
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eddy Rifai
"Korupsi sebagai white-collar crime merupakan kejahatan yang tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga perekonomian masyarakat secara Iuas (extraordinary crime). Pendekatan integral kebijakan kriminal pemberantasan tindak pidana korupsi mengunakan upaya penal (hukum pidana) dan non-penal (di luar hukum pidana), Serta keterlibatan elemerl-elemen lain di luar aparat penegak hukum pidana, yaitu masyarakat dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Dalam upaya penal, Kejaksaan sebagai the key administration office in processing of case dalm criminal justice system mempunyai tugas dan fungsi penyidikan dan penuntutan perkara korupsi dan dalam upaya non-penal melakukan gugatan keperdataan dan alternative dispute resolution (ADR), seharusnya berperan secara ideal sesuai dengan ketentuan normatif yang ada, tetapi karena kendala dari segi substansi, struktur dan kultur hanya mewujudkan peran faktual.
Hasil penelitian rnenunjuklcan kelemahan-kelemahan ketentuan normatif dalam upaya penal peran Kejaksaan adalah masalah penyidikan, mekanisme kontrol, ketentuan khusus UUTPK dan UU pidana yang terkait dengan korupsi serta UU Kejaksaan, sedangkarl kelemahan dalam upaya non-penal adalah tugas dan fungsi Kejaksaan sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN) yang bersifat ?fakultatif". Pelaksanaan peran Kejaksaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu mengadakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan eksekusi putusan Pengadilan Serta melaksanakan fungsi dan tugas sebagai JPN dalam perkara perdata dan ADR. Untuk melaksanakan peran tersebut diperlukan adanya faktor-faktor pendul-Lung lainnya seperti peraturan pelaksanaan, manajemen penyelesaian perkara, sumber daya manusia yang profesional, biaya dan fasilitas yang mencukupi. Peran aktual Kejaksaan melakukan penegakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana kenyataan adanya, yaitu Kejaksaan hanya dapat memproses sebagian penyelidikan ke tahap penyidikan, sebagian penyidikan ke tahap penuntutan, dan hanya sebagian saja yang berhasil dijatuhi sanksi pidna oleh Pengadilan. Demikian pula dalam pelaksanaan tugas dan fungsi JPN kurang berjalan sebagaimana mestinya karena adanya ketidaktahuan dan ?keengganan" instansi pemerintah menyerahkan penanganan masalah-masalah hukumnya kepada Kejaksaan. Profesionalisme jaksa terkait dengan keahlian dan keterampilan (expertise), kesejawatan (partnership), budaya kerja dan tujuan. Peran serta masyarakat untuk membantu upaya pemberantasan tindak pidana korupsi telah cukup baik, hal itu tampak dari adanya laporan dan pengaduan masyarakat. Perspektif eksistensi KPTPK mempunyai tugas dan wewenang dalam melakukan koordinasi dan supervisi terhadap aparat penegak hukum dan lembaga dinas instansi Serta melakukan penyelidilcan, penyidilcan dan penuntutan perkara tindak pidana kompsi. Tugas dan fungsi KPTPK bersama-sama dengan Kejaksaan yang cukup penting adalah dalam bidang ?pencegahan? tindak pidana korupsi, yaitu melalui upaya mewujudkan good governance dan good corporate governance, budaya ?anti korupsi? di kalangan aparat pemerintah dan masyarakat.

Abstract
Corruption as a white-collar crime is a crime which inflicts not only on state financial loss, but also largely public economic interest (extra-ordinary crime). The integral approach of criminal policy for tighting corruption criminal act has applied penal and non-penal legal action and the participation of other non-penal upholder elements besides legal enforcers and Commission for Fighting Corruption Criminal Act. In the penal action, office ofthe attomey as the key administration office in processing criminal cases in criminal justice systems has duty and function for doing investigation and prosecution against corruption cases. In the non-penal action, public prosecutor doing a civil suit and altemative dispute resolution should have an ideal role according to the normative mle of law in force, nevertheless factual role is created because of substantial, structural, and cultural problems.
The results of research showed that the weaknesses of normative rules in penal action for the public executor?s role were in cases investigation, control mechanism, specific rules of corruption, mles of criminal code related to corruption cases, and public prosecution law. While the weaknesses of non-penal action where the duty and fimction of public prosecutor acted as a ?facultative? state legal adviser. The application of the role of public prosecution in fighting corruption criminal cases was in line with criminal rule of legislations: doing investigation, examination, criminal indictment, and execution of criminal court verdict and implementing the duty and limction of public prosecutor in civil case and alternative dispute resolution. To implement the roles, it was needed some supporting factors, like the the rule of implementation of the law, the management of solving cases, professional
human resources development, enough fiind and complete facilities. The actual role of public prosecutor was to enforce the law in fighting corruption criminal cases, but only a sum of investigations where proceeded into examination phase, a few of them where into criminal indictment phase, and only some cases where success into criminal sentence phase. In implementing the duty and function, public prosecutor was less in success because of ignorance and unwillingness of the government institutions to deliver the cormption cases for handling. The public prosecutors professionalism was matched with skill and expertise, partnership, work culture and goal-oriented. The participation of non-govemment organization in society for help fighting corruption criminal cases was done well. It was proved by the report and claim of community member. The perspective existence of Commission for Fighting Corruption Criminal Action (KPTPK) had duty, iimction, and the authority in coordination with and supervision to the law enforcers, institutions, departements officials, to do investigation, examination, and criminal indictment for corruption criminal cases. The duty and fimctions of KPTPK which worked together with public prosecution where prevention against corruption criminal cases by creating a good govemance and good corporate governance, and ?anti-corruption? culture in government officials and community."
2002
D1101
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eddy Rifai
"Korupsi sebagai white-collar crime merupakan kejahatan yang tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga perekonomian masyarakat secara Iuas (extraordinary crime). Pendekatan integral kebijakan kriminal pemberantasan tindak pidana korupsi mengunakan upaya penal (hukum pidana) dan non-penal (di luar hukum pidana), Serta keterlibatan elemerl-elemen lain di luar aparat penegak hukum pidana, yaitu masyarakat dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Dalam upaya penal, Kejaksaan sebagai the key administration office in processing of case dalm criminal justice system mempunyai tugas dan fungsi penyidikan dan penuntutan perkara korupsi dan dalam upaya non-penal melakukan gugatan keperdataan dan alternative dispute resolution (ADR), seharusnya berperan secara ideal sesuai dengan ketentuan normatif yang ada, tetapi karena kendala dari segi substansi, struktur dan kultur hanya mewujudkan peran faktual.
Hasil penelitian rnenunjuklcan kelemahan-kelemahan ketentuan normatif dalam upaya penal peran Kejaksaan adalah masalah penyidikan, mekanisme kontrol, ketentuan khusus UUTPK dan UU pidana yang terkait dengan korupsi serta UU Kejaksaan, sedangkarl kelemahan dalam upaya non-penal adalah tugas dan fungsi Kejaksaan sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN) yang bersifat ?fakultatif". Pelaksanaan peran Kejaksaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu mengadakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan eksekusi putusan Pengadilan Serta melaksanakan fungsi dan tugas sebagai JPN dalam perkara perdata dan ADR. Untuk melaksanakan peran tersebut diperlukan adanya faktor-faktor pendul-Lung lainnya seperti peraturan pelaksanaan, manajemen penyelesaian perkara, sumber daya manusia yang profesional, biaya dan fasilitas yang mencukupi. Peran aktual Kejaksaan melakukan penegakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana kenyataan adanya, yaitu Kejaksaan hanya dapat memproses sebagian penyelidikan ke tahap penyidikan, sebagian penyidikan ke tahap penuntutan, dan hanya sebagian saja yang berhasil dijatuhi sanksi pidna oleh Pengadilan. Demikian pula dalam pelaksanaan tugas dan fungsi JPN kurang berjalan sebagaimana mestinya karena adanya ketidaktahuan dan ?keengganan" instansi pemerintah menyerahkan penanganan masalah-masalah hukumnya kepada Kejaksaan. Profesionalisme jaksa terkait dengan keahlian dan keterampilan (expertise), kesejawatan (partnership), budaya kerja dan tujuan. Peran serta masyarakat untuk membantu upaya pemberantasan tindak pidana korupsi telah cukup baik, hal itu tampak dari adanya laporan dan pengaduan masyarakat. Perspektif eksistensi KPTPK mempunyai tugas dan wewenang dalam melakukan koordinasi dan supervisi terhadap aparat penegak hukum dan lembaga dinas instansi Serta melakukan penyelidilcan, penyidilcan dan penuntutan perkara tindak pidana kompsi. Tugas dan fungsi KPTPK bersama-sama dengan Kejaksaan yang cukup penting adalah dalam bidang ?pencegahan? tindak pidana korupsi, yaitu melalui upaya mewujudkan good governance dan good corporate governance, budaya ?anti korupsi? di kalangan aparat pemerintah dan masyarakat.

Abstract
Corruption as a white-collar crime is a crime which inflicts not only on state financial loss, but also largely public economic interest (extra-ordinary crime). The integral approach of criminal policy for tighting corruption criminal act has applied penal and non-penal legal action and the participation of other non-penal upholder elements besides legal enforcers and Commission for Fighting Corruption Criminal Act. In the penal action, office ofthe attomey as the key administration office in processing criminal cases in criminal justice systems has duty and function for doing investigation and prosecution against corruption cases. In the non-penal action, public prosecutor doing a civil suit and altemative dispute resolution should have an ideal role according to the normative mle of law in force, nevertheless factual role is created because of substantial, structural, and cultural problems.
The results of research showed that the weaknesses of normative rules in penal action for the public executor?s role were in cases investigation, control mechanism, specific rules of corruption, mles of criminal code related to corruption cases, and public prosecution law. While the weaknesses of non-penal action where the duty and fimction of public prosecutor acted as a ?facultative? state legal adviser. The application of the role of public prosecution in fighting corruption criminal cases was in line with criminal rule of legislations: doing investigation, examination, criminal indictment, and execution of criminal court verdict and implementing the duty and limction of public prosecutor in civil case and alternative dispute resolution. To implement the roles, it was needed some supporting factors, like the the rule of implementation of the law, the management of solving cases, professional
human resources development, enough fiind and complete facilities. The actual role of public prosecutor was to enforce the law in fighting corruption criminal cases, but only a sum of investigations where proceeded into examination phase, a few of them where into criminal indictment phase, and only some cases where success into criminal sentence phase. In implementing the duty and function, public prosecutor was less in success because of ignorance and unwillingness of the government institutions to deliver the cormption cases for handling. The public prosecutors professionalism was matched with skill and expertise, partnership, work culture and goal-oriented. The participation of non-govemment organization in society for help fighting corruption criminal cases was done well. It was proved by the report and claim of community member. The perspective existence of Commission for Fighting Corruption Criminal Action (KPTPK) had duty, iimction, and the authority in coordination with and supervision to the law enforcers, institutions, departements officials, to do investigation, examination, and criminal indictment for corruption criminal cases. The duty and fimctions of KPTPK which worked together with public prosecution where prevention against corruption criminal cases by creating a good govemance and good corporate governance, and ?anti-corruption? culture in government officials and community."
2002
D1104
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hariadi Kartodihardjo
"Sumber terjadinya korupsi sepanjang menyangkut kekayaan negara selalu terkait dengan kinerja birokrasi dan kebijakan lembaga yang keduanya masuk dalam lingkup kelembagaan dimana korupsi itu terjadi. Dalam evaluasi lima tahun pelaksanaan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditemukan bahwa lemahnya kelembagaan menjadi penyebab utama, dan situasi itu juga dipengaruhi oleh adanya tekanan kekuasaan baik dari dalam maupun luar organisasi. Persoalan korupsi sumber dayaalam itu berjalan dalam suatu arena aksi yang dapat dikenali melalui pendekatan institutional analysis development(IAD). Hasil tinjauan ini menunjukkan bahwa penguatan pencegahan korupsi perlu pendekatan politik yang diterapkan sesuai dengan tipologi yang berbeda-beda."
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2019
364 INTG 5:2-2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>