Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 147648 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sangidu
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press , 2016
410 SAN t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Oman Fathurahman, 1969-
"ABSTRAK
Penelitian yang mencoba menggabungkan pendekatan filologis dari pendekatan sejarah social intelektual- ini memfokuskan telaahnya pada upaya pemaknaan terhadap naskah-naskah keagamaan, dalam hal ini naskah tentang tarekat Syattariyyah yang muncul di Sumatra Barat. Naskah-naskah Syattariyyah yang menjadi sumber primer penelitian ini berjumlah 10 judul, karangan atau tulisan dari tiga orang ulama Syattariyyah di Sumatra Barat, yakni Imam Maulana Abdul Manaf Amin, H. K. Deram (w. 2000), dari Tuanku Bagindo Abbas Ulakan.
Selain 10 naskah versi Sumatra Barat tersebut, untuk mengukur sejauhmana dinamika yang terjadi dalam ajaran tarekat Syattariyyah di Sumatra Barat- dalam penelitian ini juga disertakan 2 sumber Arab yang berkaitan dengan tarekat Syattariyyah, dari dianggap sebagai sumber rujukan ajaran tarekat Syattariyyah di dunia Islam Melayu-Indonesia. Sumber pertama adalah al-Simf al-Majid, sebuah kitab tasawuf karangan Syaikh Ahmad al-Qusyasyi, dan Ithaf al-Zakibi Syarh al-Tuhfah al-Marsalah ila Ruhal-Nabi karangan lbrahim al-Karani.
Melalui analisis intertekstual dengan naskah-naskah Syattariyyah yang muncul sebelumnya, diketahui bahwa naskah-naskah Syattariyyah di Sumatra Barat ini jelas terhubungkan terutama melalui hubungan intelektual di antara para penulisnya, mulai dari Syaikh Ahmad al-Qusyasyi, Syaikh Ibrahim al-Kurani, Syaikh Abdurrauf al-Sinkilii, sampai kepada para penulis di Sumatra Barat yang terhubungkan melalui salah satu murid utama, al-Sinkili, yakni Syaikh Burhanuddin Ulakan.
Adapun menyangkut ajaran tarekat Syattariyyah di Sumatra Barat, seperti tampak dalam naskah-naskahnya, secara umum masih melanjutkan apa yang sudah dirumuskan sebelumnya, baik oleh tokoh Syattariyyah di Haramayn, yang dalam hal ini diwakili oleh al-Qusyasyi, maupun oleh ulama Syattariyyah di Aceh, dalam hal ini diwakili oleh Abdurrauf al-Sinkili. Ajaran yang dimaksud terutama berkaitan dengan tatacara zikir, adab dan sopan santun zikir, serta formulasi zikir.
Akan tetapi, khusus menyangkut rumusan hakikat dan tujuan akhir zikir tarekat Syattariyyah, kecenderungannya tampak berbeda. Dalam hal ini, rumusan hakikat dan tujuan akhir zikir dalam naskah-naskah Syattariyyah di Sumatra Barat tersebut cenderung lebih lunak dibanding ajaran al-Qusyasyi maupun al-Sinkili sebelumnya. Jika naskah-naskah Syattariyyah karangan al-Qusyasyi dan al-Sinkili masih mewacanakan konsep fana, yakni peniadaan diri, atau hilangnya batas-batas individual seseorang, dan menjadi satu dengan Allah, bahkan fana'an al-fana atau fana 'an fanaih, yakni fana dari fana itu sendiri, sebagai hakikat dan tujuan akhir zikir, maka naskah-naskah Syattariyyah di Sumatra Barat menegaskan bahwa hakikat dan tujuan zikir adalah "sekedar" untuk membersihkan jiwa agar memperoleh kedekatan dengan Tuhan, serta untuk membuka rasa agar memperoleh keyakinan dan kesaksian akan hakikat dan Wujud-Nya.
Kecenderungan melunak ini bahkan lebih jelas lagi dalam hal rumusan ajaran tasawuf filosofisnya. Seperti tampak dalam naskah-naskah karangannya, al-Kurani dan juga al-Sinkili misalnya, masih mengajarkan doktrin wahdat al-wujud, kendati rumusanya sudah lebih disesuaikan dengan dalil-dalil ortodoksi Islam, sehingga doktrin wahdat al-wujud - yang sempat mendapat penentangan keras dari para ulama ortodoks- ini, lebih dapat diterima oleh banyak kalangan. Dalam naskah-naskah Syattariyyah di Sumatra Barat, ajaran wahdat al-wujud tersebut ternyata bukan saja diperlunak, lebih dari itu bahkan dilucuti dari keseluruhan ajaran tarekat Syattariyyah, karena dianggap bertentangan dengan ajaran ahl al-sunnah wa al-jama?ah, dan menyimpang dari praktek syariat.
Olen karenanya, sepanjang menyangkut tarekat Syattariyyah di Sumatra Barat, khususnya yang terjadi sejak akhir abad ke-19, ajaran tarekat Syattariyyah tanpa doktrin wahdat al-wujud ini menjadi salah satu sifat dan kecenderungannya yang khas. Hal ini relatif berbeda dengan kesimpulan sejumlah sarjana sebelumnya, seperti B. J. O. Schrieke, Karel A. Steenbrink, Martin van Bruinessen, dan beberapa sarjana lainnya, yang menegaskan bahwa tarekat Syattariyyah di Sumatra Barat merupakan kelompok tarekat yang paling giat mengembangkan ajaran wahdat al-wujud, dan berhadap-hadapan dengan tarekat Naqsybandiyyah yang disebut sebagai pengembang doktrin wahdat al-syuhud (kesatuan kesaksian).
Hal lain yang dapat dikemukakan adalah bahwa setelah bersentuhan dengan berbagai tradisi dan budaya tokal, ekspresi ajaran tarekat Syattariyyah menjadi sarat pula dengan nuansa lokal. Ajaran tentang hubungan antara tubuh lahir dengan tubuh batin misalnya, dirumuskan dalam apa yang disebut sebagai "pengajian tubuh"; demikian halnya dengan teknik penyampaian ajaran-ajaran tarekat Syattariyyah; selain melalui bentuk-bentuk yang konvensional seperti pengajian, ajaran-ajaran tersebut juga disampaikan dalam bentuk-bentuknya yang khas dan bersifat lokal, seperti kesenian salawat dulang. Masih yang bersifat lokal, di kalangan penganut tarekat Syattariyyah di Sumatra Barat ini juga berkembang apa yang disebut sebagai "Basapa", yakai ritual tarekat Syattariyyah setiap bulan Safer di Tanjung Medan Ulakan, yang banyak dipengaruhi budaya lokal.

This research -which takes a philological and intellectual history-social approach- focuses on efforts to reveal meaning in religious manuscripts, in this case the manuscripts about Syattariyyah order that emerged in West Sumatra. Ten Syattariyyah manuscripts, written by three Syattariyyah ulama in West Sumatra - Imam Maulana Abdul Manaf Amin, H. K. Deram (w. 2000), and Tuanku Bagindo Abbas Ulakan- were primary sources for this research.
Aside from the ten manuscripts from West Sumatra mentioned above, in order to measure the dynamics of the teachings of Syattariyyah order in West Sumatra, two Arabic sources related to Syattariyyah, which are considered to be reference sources for teaching Syattariyyah order in the Malay-Indonesian Islamic world, were consulted. The first source is al-Simf al-Majid, a Islamic mystical book written by Syaikh Ahmad al-Qusyasyi, and the second is Ithaf al-Zakibi Syarh al-Tuhfah al-Marsalah ila Ruhal-Nabi karangan lbrahim al-Kurani.

ABSTRACT
This research -which takes a philological and intellectual history-social approach- focuses on efforts to reveal meaning in religious manuscripts, in this case the manuscripts about Syattariyyah order that emerged in West Sumatra. Ten Syattariyyah manuscripts, written by three Syattariyyah ulama in West Sumatra - Imam Maulana Abdul Manaf Amin, H. K. Deram (w. 2000), and Tuanku Bagindo Abbas Ulakan- were primary sources for this research.
Aside from the ten manuscripts from West Sumatra mentioned above, in order to measure the dynamics of the teachings of Syattariyyah order in West Sumatra, two Arabic sources related to Syattariyyah, which are considered to be reference sources for teaching Syattariyyah order in the Malay-Indonesian Islamic world, were consulted. The first source is al-Simf al-Majid, a Islamic mystical book written by Syaikh Ahmad al-Qusyasyi, and the second is Ithaf al-Zakibi Syarh al-Tuhfah al-Marsalah ila Ruhal-Nabi karangan lbrahim al-Kurani.
As a result of an intellectual analysis of the early Syattariyyah manuscripts, we know that the Syattariyyah manuscripts in West Sumatra were an important intellectual link between the writers, starting with Syaikh Ahmad al-Qusyasyi, Syaikh Ibrahim al-Kurani, Syaikh Abdurrauf al Sinkili, and reaching the writers in West Sumatra by way of Syaikh Burhanuddin Ulakan, an eminent student of al-Sinkili.
As can be seen from the manuscripts, the teachings of Syattariyyah order in West Sumatra generally carried on the traditions that had been previously formulated by prominent figures of Syattariyyah in Hararnayn, represented by al-Qusyasyi, and also by the ulama of Syattariyyah in Aceh, in this instance represented by Abdurrauf al-Sinkili. These teachings are mainly related to the practices of zikir (religious recitation), behavior and good manners in zikir, and the formulation of zikir.
However, there are noticeable differences, particularly in relation to the concepts of hakikat (religious truth) and the ultimate objectives of zikir in Syattariyyah order. In Syattariyyah in West Sumatra, the formulation of these concepts was more moderate than in the earlier teachings of al-Qusyasyi and al-Sinkili. The Syaltariyyah manuscripts of al-Qusyfisyi and al-Sinkili discuss the concept of fana - the negation of self or the loss of individual limitations, and becoming one with Allah, fana'an al fana or fana 'an fanaih, that is fana from fana itself- as religious truth and the ultimate objective of zikir. The Syattariyyah manuscripts of West Sumatra explain that religious truth and zikir are "sufficient" to cleanse the soul, which allows nearness with God, and to produce the feelings that allow for certainty and evidence of religious truth and His Being (Wujud).
This inclination towards moderation is even clearer in the formulation of mystic-philosophy doctrine. As is evident in the manuscripts written by al Kurani and al-Sinkili, they were still teaching the wahdat al-wujud doctrine, though it was adapted to theories of orthodox Islam, and thus this doctrine -which met with strong opposition from the orthodox ulama was more widely accepted. In the Syattariyyah manuscripts of West Sumatra, the teachings of wahdat al-wujud were not just more flexible, they were in fact removed from all the teachings of Syaltariyyah order, as they were considered to be in conflict with the teachings of ahlussunnah wal jama'ah, and a deviation from the practices of syari'at.
As a result, particularly since the 19th century, the teaching of Syaltariyyah order in West Sumatra without the wahdat al-wujud doctrine is just one of this order's unique characteristics and tendencies. This is relatively different from the conclusions drawn by scholars in the past, such as B. J. D. Schrieke, Karel A. Steenbrink, Martin van Bruinessen, and several others, who argued that followers of Syattariyyah order in West Sumatra were the group most active in developing wa'hdat al-wujud, and clashed with _Naqsybandiyyah order adherents who developed the wahdat al-syuhud doctrine.
After having contact with several local traditions and cultures, the teaching style of Syattariyyah order was laden with local nuances. Teachings about the relationship between the external body and the internal self, for example, were formulated in what was known as " pengajian tubuh" (teachings of body). Syattariyyah teachings, apart from via conventional methods such as the recitation of al-Qur'an, were also delivered through traditions that included local characteristics, such as salawat dulang. Followers of Syattariyyah order in West Sumatra also developed what is known as "Basapa", a Syattariyyah order ritual in Ulakan each Safar month (2n, month of the Arabic calendar), a tradition that was strongly influenced by local culture.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
D492
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kuala Lumpur: Sarjana Enterprise, 1980
499.328 BAH
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Titik Pudjiastuti
"ABSTRAK
Dalam usaha untuk mengetahui keberadaan, jumlah, dan keadaan naskah-naskah di Cirebon yang sebenarnya, penelitian ini diadakan Hal ini karena naskah-naskah Cirebon tidak hanya terdapat di perpustakaan Keraton (ada empat keraton di Cirebon, yaitu: Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan dan Keprabonan) tetapi juga banyak tersebar di masyarakat yang disimpan sebagai benda keramat yang merupakan warisan leluhurnya Sampai sejauh ini para pakar sastra dan budaya, khususnya yang bergelut dalam bidang filologi dan ilmu pernaskahan belum banyak yang mengetahui hal ini.
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk melakukan pencatatan, penginventarisasian, dan pendokumentasian naskah-naskah Cirebon, balk yang tersimpan di keraton maupun yang tersebar di masyarakat. Selain itu, juga berupaya memberikan saran kepada para pemilik naskah di masyarakat agar menyimpan dan meravat naskah mereka dengan sebaik-baiknya, supaya naskah-naskah tersebut tidak rusak karena ketidakmengertian mereka.
Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu: penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan berupa pengumpulan bahan-bahan referensi, khususnya rnengenai hal yang berkaitan dengan masalah 'kecirebonan' untuk dipakai sebagai bahan acuan dan contoh dalam penyusunan laporan. Adapun penelitian lapangan adalah penelitian dengan melakukan survey lapangan untuk memperoleh data dan mencatat berbagai hal, seperti alat, lokasi penyimpanan, dan keadaan naskahnya. Dalam penelitian lapangan tersebut perpustakaan-perpustakaan keempat keraton dan para pemilik naskah di masyarakat dikunjungi. Semua data yang diperoleh kemudian akan dianalisis secara sederhana.
Hasil dari penelitian ini membuktikan bahva naskah-naskah di Cirebon bukan saja banyak jumlahnya tetapi isinya juga terdiri dari berbagai macam. Dari 30% naskah yang berhasil di data, kami mencatat beberapa hal, yaitu: anak koleksi (keraton atau masyarakat), nomor kode (bila ada), judul, jenis, bahasa, bentuk, aksara, bahan, ukuran halaman, ukuran teks, jumlah halaman yang ditulis, jumlah baris per halaman, jarak antar baris, wrana tinta, rubrikasi, ilustrasi (gambar), penanggalan, dan keterangan lain yang terdapat pada naskahnya.
Kedua ratus naskah yang telah didata tersebut kemudian diklasifikasikan secara sederhana dalam beberapa kategori, yakni: sejarah (bated), silsilah, pelajaran again; dongeng/legenda/mitologi, doa-doa, wayang, sastra wayang, sastra, cerita Islam, primbon, hukum, adat istiadat, dan lain lain.
Selain itu, juga diketahui bahwa bahan dan tulisan pada naskah juga ada beberapa macam. Bahan naskah umpamanya, ada yang berupa kertas daur ulang, kertas Eropa, kertas bergaris, dan juga kertas polos. Adapun tulisannya, selain tulisan Jawa. juga ada tulisan pagan dan Arab.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahva naskah-naskah Cirebon bukan saja banyak jumlahnya tetapi juga menarik untuk dikaji lebih jauh. Bila dibaca lebih teliti, kebanyakan naskah Cirebon isinya menyuarakan nafas-nafas Islami, hal ini menunjukkan bahwa Cirebon memang patut disebut sebagai pusat penyebaran Islam di Jawa Barat yang kuat dan besar pada masanya.
Meskipun hasil penelitian ini belum cukup memadai tetapi diharapkan para peneliti berikut dapat memanfaatkan hasilnya dan dapat mengembangkannya untuk langkah-langkah selanjutnya.

ABSTRACT
In the effort to know the real existence, total and condition of the manuscripts, this research is held. This is caused as teh Cirebon manuscripts are not only found in the library of keraton (Kasepuhan, Kanoman, Keprabonan and Kacirebonan) but there are also many which are widespread in the community, kept as holy objects which constitute an inheritance of their ancestors. Until so far, the experts in literature and culture, particularly those who are deeply involved in philology and the science of manuscripts have not known much yet about this matter.
The aim in this research is to conduct notations, to take inventory and the documentation of Cirebon manuscripts, both which are kept in the keraton and those which are videspeard in the community.
Apart from that, due to their ignorance, efforts are made to give recommendations / suggestions to the collectors in the community in order to keep and to take care of their manuscripts as good as possible, so that those manuscripts become unimpaired.
This research consists of two phases, namely the research on libraries and field research. The research on libraries consititute the collection of reference materials particularly concerning matters which are lingked with the matter of
kecirebonan" to be used as reference material and samples in the composition of reports. Whereas the field research shall be the research by conducting a field survey to obtain data and to record various matters as the total, location of storage and the libraries of the four keratons and the owners of manuscripts in the community are visited. All data obtained afterwards will be analyzed in a simple manner.
The result of this research proves that the manuscripts in Cirebon are not only large in number but their content also consists of various kinds. From 188 manuscripts which succeed to be taken their data, we record several matters, namely the collection of origin, code, title, type, language, form, letter, material, size of page, measurment of text, total written pages, number of lines per page, inter line distance, colour of ink, rubrication, illustration, drawing up of a calender and other informations which are found in their manuscripts.
That manuscripts which have been dated, shall be classified through a simple procedure in several categories namely chronicle, genealogy, teaching on religion, tales/legends/mitology, prayers, wayang, literature of wayang, Islamic stories, primbon, law, custom of and traditions and others.
Beside that, it is known that the material and ritings in manuscripts also consists of various kinds. The manuscripts materials for instance, there are some which uses deluvang paper, European paper, papaer in lines, also plain paper. Whereas its writings beside Javanese writings, some are in pegon, Arabic, and Java letter.
From the results of this research it may be concluded that Cirebon manuscript are not only large in number but also attractive to be researched furthermore. If they are read more throughly, most of the contents of the Cirebon manuscripts pronounce Islamic teachings, this shoes that Cirebon indeed should be mentioned as the center of the spreading of Islam in West Java which vas strong and large in its period.
"
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Andriyati Rahayu
"Tesis ini membahas tentang variasi bentuk dan pola perkembangan aksara Buda dalam empat naskah Merapi Merbabu.dan dikaitkan dengan penanggalan naskah. Penelitian ini memakai metode dinamis yang menganalisis aksara berdasarkan bentuk, ukuran, kemiringan, ketebalan, dan duktus dari aksara yang bersangkutan.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa:
1. Aksara Merapi Merbabu mempunyai bentuk yang bervariasi
2. Semakin mutakhir usia naskah, jumlah duktusnya semakin sedikit
3. Semakin mutakhir usia naskah, jarak antar aksara semakin renggang
4. Semakin mutakhir usia naskah, penulisan aksaranya semakin tegak .
5. Semakin mutakhir usia naskah, garis pada aksara semakin tipis.

This thesis is discussing about the variation of forms and patterns of development in Buda alphabetical letters. It consists of four dated manuscripts of Merapi Merbabu collection. This research analyzed the manuscripts according to its date. This research applies dynamic method in analyzing letters based on the letter?s form, size, inclination, thickness and ductus.
The result of this research was concluded as below:
1. The letters of Merapi Merbabu have many variations in it?s form.
2. The more recent manuscript has less ductus than the older one.
3. The more recent manuscript has more spaces between letters than the older one.
4. The more recent manuscript has less inclination letters than the older one.
5. The more recent manuscript has thinner letters than the older one."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009
T25307
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Harapandi Dahri
Jakarta: Balai Penelitian Dan Pengembangan Agama Jakarta , 2011
011.31 HAR k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ahmad Alfan Rizka Al Hamami
"Skriptorium Paheman Radyapustaka memiliki enam naskah beriluminasi yang dibuat pada abad XVIII-XX. Enam naskah beriluminasi ini adalah Serat Babad Prambanan RP 9 (1902), Serat Tuturing Para Raja ing Tanah Jawi RP 10 A (1869), Kekawin Ramayana RP 272 (1783), Serat Yusup RP 349 (1729), Serat Iskandar RP 350 (1729), Serat Rengganis RP 355 (1891). Hiasan pada iluminasi enam naskah abad XVIII-XX koleksi Skriptorium Paheman Radyapustaka terdiri dari iluminasi wadana (bingkai), pepadan (kanto), dan pupuh (pembatas tembang). Penelitian ini membahas nama dan makna motif iluminasi enam naskah abad XVIII-XX tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kodikologi dan semiotika Umberto Eco. Pendekatan kodikologi digunakan untuk mengetahui sejarah koleksi enam naskah beriluminasi abad XVIII-XX dalam Skriptorium Paheman Radyapustaka. Adapun Pendekatan semiotika Umberto Eco digunakan untuk memahami nama dan makna iluminasi naskah melalui unit-unit kultural asal iluminasi itu tercipta. Metode penelitian yang dipakai adalah metode kualitatif-deskriptif. Hasil penelitian ini adalah nama motif yang digunakan dalam enam naskah beriluminasi koleksi Skriptorium Paheman Radyapustaka diambil dari tradisi rupa lain yang berupa seni batik, seni tatah-sungging wayang kulit, dan seni ukir kayu di Keraton Surakarta. Adapun makna motif iluminasi melambangkan pengetahuan lokal yang terdapat dalam dimensi pemikiran masyarakat Jawa, khususnya Keraton Surakarta.

The Paheman Radyapustaka script has six illuminated texts made in the XVIII-XX century. The six illuminated manuscripts are Serat Babad Prambanan RP 9 (1902), Serat Tuturing Raja ing Tanah Jawi RP 10 A (1869), Kekawin Ramayana RP 272 (1783), Serat Yusup RP 349 (1729), Serat Iskandar RP 350 (1729), Serat Rengganis RP 355 (1891). The illumination of six manuscripts in the Paheman Radyapustaka Scripttorium collection consists of wadana illumination (frame), pepadan (kanto), pupuh (tembang‟s barrier). This study discusses the name and meaning of illumination motifs of the six manuscripts of the XVIII-XX century. The approach used in this study is the codikological and semiotic approach of Umberto Eco. A codicological approach is used to determine the history of the collection of six XVIII-XX century illuminated manuscripts in the Paheman Radyapustaka Scriptorium. The semiotic approach of Umberto Eco is used to understand the name and meaning of the illumination of the manuscript through the cultural units from which the illumination was created. The research method used is qualitative-descriptive method. The result of this research is the name of the motif used in six illuminated manuscripts of the collection of Paheman Radyapustaka Scripttorium taken from other fine traditions in the form of batik art, tatah-sungging leather puppet art, and wood carving art in Keraton Surakarta. The meaning of illumination motifs symbolizes has a local knowledge contained in the dimension of Javanese people's thinking, especially Keraton Surakarta."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Akbar
"Tesis ini mengkaji kaligrafi dalam mushaf kuno Nusantara berdasarkan sebelas naskah Al-Qur'an koleksi Perpustakaan Nasional RI, yaitu A.47, A.49, A.50, A.51, A.52, A.53, A.54, W.728, A.221, A.694, dan 13r.204. Kaligrafi dalam mushaf terdiri atas empat bagian: (1) kaligrafi teks Al-Qur'an, (2) kaligrafi nama-nama surah (`unworn), (3) kaligrafi teks pias (pinggir halaman), berupa tulisan juz', hizb, nisf hizb, rubu', sumun, gira'at sab `ah, atau catatan-catatan lain yang biasanya ditulis di bagian pinggir naskah, dan (4) kaligrafi teks-teks sebelum dan sesudah teks mushaf, terutama berupa doa dan kolofon. Kaligrafi pada masing-masing bagian tersebut memiliki ciri khas penulisan tersendiri, dan gaya yang dipakai berbeda-beda. Para penyalin mushaf Nusantara mengembangkan kreativitasnya sesuai dengan fungsi masing-masing bagian tersebut. Gaya-gaya kaligrafi yang digunakan adalah Naskhi, "kaligrafi floral", Sulus, dan Farisi, suatu gaya yang sering dipakai masyarakat Nusantara dalam menulis Jawi. Sesuatu yang unik dalam kaligrafi mushaf Nusantara adalah gejala "kaligrafi floral". Kaligrafi floral adalah suatu komposisi kaligrafi yang hurufnya distilisasi menyerupai bentuk floral, sesuai dengan motif iluminasi yang mengitarinya. Di samping untuk kepala surah, kaligrafi tersebut juga digunakan untuk tanda-tanda pembacaan Al-Qur'an, seperti juz', ruku `, ni;sf, rubu', dan sumun, yang biasanya ditampilkan di tengah medalion. Karakter kaligrafi tersebut dibuat dan dikembangkan oleh para iluminator mushaf, yang dikerjakan bersamaan dengan pembuatan iluminasinya. Selain kaligrafi floral, ada pula kecenderungan penggayaan lain, seperti tampak dalam mushaf dari Aceh, dengan ekspresi huruf yang bersifat bebas. Pengembang corak ini pun adalah para iluminator mushaf. Dengan keunikannya sendiri, meskipun masih belum dapat dikatakan sampai ke tingkat seni tulis yang tinggi, kekayaan bentuk kaligrafi Nusantara merupakan bagian yang penting dari khazanah kaligrafi dunia Islam.

This thesis investigates calligraphy found in Nusantara manuscripts on the basis of eleven Al Qur'an texts from the collection of the National Library of Indonesia, including A.47, A.49, A.50, A.51, A.52, A.53, A.54, W.728, A.221, A.694, and Br.204. The calligraphy in the Al-Qur'an consists of four parts: (1) calligraphy of the text of the Al-Qur'an, (2) calligraphy stating the names of the surah ('unwan), (3) calligraphy in the margins (along the edge of the page), forming the juz' text, hizh, nisf hizb, rubu sumun, gira'at sab 'ah, or other notes usually written on the edge of a manuscript, and (4) the calligraphy inscribed before or after the main text, especially being prayers and the colophon. Each of these types of calligraphy has their own unique characteristics and varies in style. Nusantara copyists developed a creative tradition of calligraphy in accordance with each of these sections in a manuscript. The styles of wript that they used were Naskhi, `floral calligraphy', Sulus, and Farisi, a particular style popularly used for writing Jawi. One unique form of Nusantara manuscript calligraphy is the style described as `floral calligraphy.' Floral calligraphy is calligraphic composition where the letters are stylised to create floral forms in harmony with the illuminated decoration that surrounds it. This form of calligraphy is used for the headings of surah, as well as the Al-Qur'an recitation indicators such as juz', ruku', nisf, rubu', and sumun, which usually appears in the medallion. This style of calligraphy was developed by copyists working together with the illumination artists. Apart from floral calligraphy, there was also several other characteristic tendencies, such as found in the manuscript from Aceh, where the letters are inscribed in a free manner. This feature was developed by manuscript illuminators too. These unique qualities, although not sufficient to be described as achieving the highest artistic levels, form a rich tradition of Nusantara calligraphy that is an important part of the treasures of calligraphy from the world of Islam."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2005
T37393
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>