Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 22188 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bräuchler, Birgit
"Tulisan ini membahas cyberspace dan konflik di Maluku untuk memperlihatkan sumbangan bagi cyber anthropology dan analisis mekanisme yang rumit pada situasi di Maluku. Konflik Maluku tidak cuma berlangsung pada tingkat lokal dan nasional, tetapi juga di cyberspace.Tampilan-tampilan di cyberspace sejajar dengan garis-garis agama sehingga memperkuat kesan perang agama antara umat Kristiani dan masyarakat Muslim. Internet menyediakan sarana bagi kelompok-kelompok yang bertikai untuk mengedepankan pandangan mereka mengenai konflik. Hal yang terpenting untuk kajian ini adalah paparan-paparan Internet dari kelompok-kelompok dan orang-orang yang langsung terlibat di dalam konflik, karena mereka mengakui memberikan informasi tangan pertama. Informasi itu membentuk persepsi konflik di luar Maluku dan di dunia internasional. Studi ini memfokuskan pada strategi-strategi dan argumentasi yang dipakai oleh kelompok-kelompok bertikai di Internet untuk menggambarkan pandangan mereka terhadap realitas, mengkonstruksikan komuniti-komuniti (communities) dan identitas-identitas mereka yang representatif. Lebih jauh, peran presentasi dalam konflik dan juga peran agama di dalam presentasi-presentasi itu juga diteliti. Webpage, milis dan newsletter terpilih yang mewakili pihak Kristen dan Muslim dianalisis untuk menunjukkan proses konstruksi itu. Setiap kelompok menggunakan bermacam-macam strategi-strategi dan modus-modus komunikasi Internet dan argumentasi teks dan visual untuk mengejar proyek identitas masing-masing. Materi-materi diambil baik dari cyberspace maupun dari konteks lokal Maluku, sehingga mengaburkan batas-batas antara realitas dan virtualitas."
2004
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
F Strijbosch
"Pela adalah salah satu hukum adat di Indonesia, tepatnya hukum adat yang ada di Kepulauan Maluku yang berlaku pada orang-orang Maluku. Ada dua peneliti yang telah mengadakan penyelidikan secara mendalam tentang pela ini, yaitu C. Cooley dan D. Bartels. Cooley mengemukakan bahwa pela adalah suatu ikatan yang dilembagakan mengenai persahabatan atau persaudaraan antara semua penduduk pribumi dari dua desa atau lebih, yang dibentuk oleh nenek moyang menurut keadaan tertentu dan membawa kewajiban-kewajiban tertentu untuk semua pihak yang terkait didalamnya. Kewajiban ini penting dalam definisi ini mengenai eksogami desa. Bartel meninjau pola ini dari sisi sosialnya.[...] Aplikasi dari hukum adat pela dalam masalah perkawinan (intermarriage taboo) menimbulkan persoalan di antara para generasi muda Maluku di Negeri Belanda. Hal ini selanjutnya mengakibatkan konflik antara generasi tua dengan generasi muda. Di Negeri Belanda sendiri terdapat pluralisme hukum, ialah hukum yang resmi dan hukum yang kurang resmi yang berlaku diantara berbagai subgolongan yang ada. Salah satu subgolongan yang menerapkan hukum demikian adalah golongan pendatang Maluku di Negeri Belanda yang menerapkan adat pela dalam kelompok masyarakat mereka sendiri."
1989
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Merlyna Lim
"Internet, sebagai teknologi yang melalui proses pengalihan dari tempat lahirnya ke Indonesia, mengalami proses transformasi dan lokalisasi yang terjadi dalam arena perebutan kekuasaan politik antara negara, korporasi, dan masyarakat sipil. Di dalam arena perebutan kekuasaan ini, titik utama pergulatan ini adalah pembentukan dan penegasan identitas. Berdasarkan pengalaman historis di Indonesia, tulisan ini mengungkapkan bagaimana internet bersisian dengan pergulatan identitas dan pembentukan komunitas politik yang mandiri di luar negara dan korporasi. Studi kasus di Indonesia memperlihatkan bahwa internet dapat digunakan untuk mempersenjatai masyarakat sipil dalam menghadapi kekuatan politik dan ekonomi yang hegemonis. Internet memiliki potensi untuk menciptakan 'ruang publik' yang baru-yang berdiri terpisah dari campur-tangan negara (dan korporasi)-sehingga keberadaannya dapat menciptakan perubahan politik yang bisa menggiring Indonesia untuk menjadi masyarakat yang lebih demokratis. Namun demikian, pergulatan identitas dan politik kekuasaan yang diwadahi internet ternyata tak selamanya memiliki kontribusi terhadap pembentukan masa depan yang lebih baik bagi masyarakat Indonesia. Mengetengahkan beberapa kasus yang diangkat dari penelitian empiris, tulisan ini memperlihatkan bahwa internet tidak netral terhadap kekuasaan. Dengan menempatkannya dalam segitiga negara,korporasi/bisnis dan masyarakat sipil, kajian ini lebih dari sekedar kajian sosio-teknikal yang menjelaskan bagaimana teknologi dan masyarakat saling membentuk. Kajian ini juga memperlihatkan bahwa internet sebagai teknologi juga bersifat politis. Dengan memasukkan pertanyaan mengenai demokrasi ke dalam wacana ini, kita dapat melihat internet dalam konteks politis dan juga menguji peran, pengaruh, potensi, serta artinya dalam fenomena politik, terlebih dalam pembaharuan politik sebuah negara, khususnya Indonesia."
2004
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriele Weichart
"The geographic area I will focus on is the Minahasa region in North Sulawesi. There, in the eighteenth century the eight 'tribes' inhabiting the area were united into a single 'ethnic group' known as 'Minahasa' until today. Not only the Dutch colonial government but also the Protestant church put great efforts into this unifying and homogenizing process that was supposed to create a common identity for all Minahasan people. The effectiveness of those efforts can hardly be denied. Nevertheless, internal differences have continued to exist and they are based not only on 'traditional' concepts that divided the 'original' Minahasan tribes but also on the local population's experiences with immigrants from other parts of Indonesia and overseas (e.g. the Philippines and China). Although this is not a recent phenomenon, political and socio-economic developments during the last few years have had further impacts on demographic conditions and relations between different ethnic and religious 'groups'. Thus, the Minahasa-like other 'ethnic groups' in Indonesia-are confronted with a double binding of supposed needs and requests for diversity under a unifying umbrella-on the regional as well as national level. The paper will address the 'problem' from the perspective of a rural community in the south-eastern part of the region. Hence, local concepts of identity, their constructions and markers in everyday life, as being manifested in food and clothing for instance, will be given special consideration. It will also be taken into account that the media (esp. television) plays an important role in the formation and representation of ethnic and religious identity. The paper aims at showing how 'unity' and 'diversity' in this context are produced and reproduced on the village level and its relation to the national discourse."
2004
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Bubandt, Nils
"The intention of this article is to discuss the relationship between the processes of fiscal and political decentralization, the outbreak of communal violence, and what I call 'the new politics of tradition' in Indonesia. In 1999 under the President Jusuf Habibie, the Indonesian parliament (DPR) voted in favour of two laws, No. 22 and 25 of 1999, which promised to leave a significant share of state revenues in the hands of the regional governments. Strongly supported by the liberal ideologues of the IMF and the World Bank, the two laws were envisaged within Indonesia as a necessary step towards devolving the centralized power of New Order patrimonialism and as a way of curbing separatism and demands for autonomy by giving the regional governments the constitutional and financial wherewithal to maintain a considerable degree of self-determination. Decentralization was in other words touted as the anti-dote to communal violence and separatist tendencies-an anti-dote administered or at least prescribed by multi-national development agencies in most conflict-prone areas of the world. This paper wishes to probe this idea by looking at the conflict and post-conflict situation in North Maluku. The conflict illustrates how local elites began jockeying for political control in anticipation of decentralization. The process of decentralization is in other words not merely an anti-dote but in some cases an implicated part in the production of violence. One reason for this is simply that the decentralization of financial and political control after three decades of centralization entails a significant shift in the parameters of hegemony-a shift towards which local political entrepreneurs in the regions are bound to react. The new 'politics of tradition' currently emerging in Indonesia is the combined result of changes in global forms of governance, a strong political focus on ethnic and religious identity in the 'era reformasi' and a local willingness to employ these identities to garner support in the new political landscape of decentralization."
Depok: Jurnal Antropologi Indonesia, 2004
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jamilah Nuh
"Dalam kurun waktu dua tahun terakhir, wilayah Sumatera Selatan telah menjadi ajang meningkatnya protes-protes para petani desa dataran rendah sehubungan dengan hilangnya hak-hak menyangkut tanah dan akses sumberdaya hutan. Protes-protes ini menjelma dalam bentuk kekerasan fisik dan perusakan kepemilikan para pemegang konsesi hutan,perkebunan kelapa sawit, tambak udang, pulp dan kertas. Makalah ini memfokus pada dua kasus konflik. Pertama, antara penduduk desa di Kundi, Bangka dengan PT Gunung Sawit Bina Lestari, perusahaan pemegang konsesi sawit. Konflik kedua berlangsung antara PT Musi Hutan Persada yang menguasai hampir 300.000 hektar lahan hutan di Sumatera Selatan dengan penduduk desa di Kabupaten Muara Enim. Kasus-kasus di kantung permukiman ini memberikan pemahaman tentang dampak serta hambatan dalam proses demokratisasi dan transisi menuju otonomi daerah."
2001
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Lugina Setyawati Setiono
"This paper explained the issue of inequality which appears in the process of democratization through the analysis of contestation, negotiation, and the reconstruction of Riau?s identity. Ideally, democratic principles respect equality; however, identity expresses inequality because it defines who is dominant and subordinate in a certain social group through ethnic category and gender identity. It separates the insiders and outsiders with different rights through cultural idioms. Moreover, the identity is not merely applied in the private domain, but also in the public sphere. This paper resulted from research conducted in Riau Province in a periode of decentralization process. The findings shown that In daily practice the collective sentiments manifested in the notion of ?Putra Daerah? may create problems, as this notion is not only used as a social category to define collective boundaries, but also as a strategic tool to control access to political and economic power in Riau. Quoting Worsley, Cultural traits are not absolute or simply intellectual categories, but are invoked to provide identities which legitimize claims to rights. They are strategies or weapons in competitions over scarce social goods Worsley (1994)."
2011
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nuria W. Soeharto
"
Kepercayaan yang diberikan informan pada etnografer, dan sebaliknya, merupakan dasar utama sebuah penulisan etnografi. Dalam antropologi 'tradisional,' kepercayaan ini dibangun lewat interaksi tatap mata yang berlangsung lama dan konstan. Dalam antropologi cyberspace, interaksi terjadi di tengah identitas-identitas anonim di dunia maya. Lalu, apakah kepercayaan bisa diperoleh bila anonimiti menjadi dasar interaksi? Tulisan ini membahas pentingnya kepercayaan untuk melengkapi rangkaian puzzle permasalahan etnografi. Dalam mencapai hal ini, etnografer 'tradisional' atau etnografer cyberspace, tidak banyak melakukan perbedaan. Dengan kata lain, secara metodologi, antropologi 'tradisional' dan antropologi cyberspace tidak perlu banyak dibedakan."
2004
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
David Hakken
"Artikel ini berupaya menyimpulkan implikasi terhadap penelitian-penelitian antropologi terkini tentang identitas di dunia cyberspace, di luar Barat. Penelitian-penelitian ini, sebagian besar di antaranya berfokus pada formasi sosial di luar Indonesia, dikelompokkan berdasarkan pada: yang relatif telah terbentuk, yang lebih marjinal atau dunia 'keempat', dan diaspora. Dinamika yang dilaporkan dalam penelitian-penelitian ini dibandingkan dan dipertentangkan dengan dinamika Barat dalam 'Introduction'. Ketidakhadiran identitas personal dalam penelitian identitas-cyber di dunia Barat juga ditampilkan, dengan beberapa kewaspadaan. Ditempatkan dalam konteks isu yang akhir-akhir ini diberi label 'globalization' dan 'manifesto' antropologi cyberspace dari Arturo Escobar, permasalahan teoritis ini kemudian dihubungkan dengan pemunculan penting open computing pada bangsa-bangsa di luar Barat seperti Indonesia."
2004
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Penelope Graham
"Berdasarkaan telaah atas edisi khusus Antropologi Indonesia no.56, penulis menyarankan agar Flores tidak dipandang sebagai suatu entitas tersendiri, tetapi sebagai suatu pulau yang terkait dalam suatu kepulauan. Lautan yang menghubungkan gugusan pulau-pulau itu memungkinkan terwujudnya hubungan-hubungan melalui perdagangan dan migrasi yang direfleksikan dalam mitos dan sejarah. 'ikatan-ikatan bahasa ' (linguistic linkages) dan hubungan-hubungan sejarah wilayah Flores Timur diacu oleh penulis untuk menunjang pandangan ini...[...] Penulis menyarankan agar kasus-kasus etnografi yang disajikan, dan kerangka-kerangka analisis yang dikaji dalam edisi khusus Antropologi Indonesia tentang Flores ini disimak oleh para pemerhati masalah bahasa, identitas, dan pembangunan di Indonesia."
1999
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>