Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 107767 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dodo
"Merbau (Intsia bijuga) has high economic value as a source of timber, and its bark and leaves are used in traditional medicines. The survival of this species is threatened in its natural habitat. So, action has been undertaken to support its survival and to upgrade its conservation status by ex situ propagation of seedlings, and by re-planting seedlings in their natural habitat. Nevertheless, the conservation status of merbau is still threarened."
Pusat konservasi Tumbuhan Kebun Raya, 2016
580 WKR 14:2 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Margules, Chris
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2023
333.72 MAR t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Harmita
Kabandungan: Gunung Halimun - Salak National Park Management Project, 2009
R 333.72 DIN m
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Fachruddin M. Mangunjaya
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2019
333.72 FAC k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rio Kurnia Maesa
"Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Perlindungan sumber daya alam hayati pada hakikataya timbul akibat kerusakan-kerusakan yang terjadi pada sumber daya alam hayati itu sendiri. Untuk menghindari akibat-akibat yang merugikan, perlu dilakukan upaya-upaya perlindungan dan pengelolaan terhadap sumber daya alam hayati secara seksama Untuk itu ada beberapa konvensi nasional yang mengatur tentang perlindungan lingkungan, baik WHC, WCS, WCN, OCF, UNCLOS adalah sebagai landasan hukum internasional yang terhadap pelaksanaanya didelegasikan kepada negara-negara.
Sejalan dengan itu Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dalam hal ini berfungsi sebagai landasan hukum terhadap perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam hayati, kemudian juga didukung oleh UU No. 5 Tahun 1994 tentang Konvesi Keanekaragaman Hayati Tahun 1992 (pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity), lalu diundangkannya UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dikeluarkannya UU NO. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan berlakunya Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Keseluruh Undang-undang tersebut bersifat horizontal dan yang menjadi legitimasi oleh Pemerintah kota Batam untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan terumbu karang di Batam adalah UU No. 32 Tahun 2004 yang mengatur mengenai pembagian kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintah memiliki hubungan dengan Pemerintah dan Pemerintah Daerah lainnya. Hubungan tersebut meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi kewilayahan antar susunan pemerintah.
Pembagian kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 2 ayat (3), (4), (5), (6), (7), Pasal 10 ayat (1) dan (2), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), (2) dan Pasal 18 ayat (1), (2), (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan dernikian Pemerintah Kota Batam juga berwenang untuk melakukan perlindungan terhadap sumber daya alam khususnya terumbu karang yang berada dalam ruang lingkup wilayah kewenangannya. Bentuk yang mungkin dapat digunakan sebagai landasan hukum pengelolaan dan perlindungan terumbu karang di Batam yakni antara lain : pengaturan administratif; penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; yang mungkin dapat dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah sehingga dapat lebih mengatur, mengawasi, sekaligus melakukan penegakan hukum sehingga diharapkan dapat melestarikan keanekaragaman sumber daya alam hayati khususnya terumbu karang di wilayah Batam yang secara ekonomis menjadi tumpuan hidup masyarakat nelayan di Batam."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T18212
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noni Amini
"Luas daratan Indonesia hanya 1,3% dari luas daratan permukaan bumi, akan tetapi keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya sangat tinggi, meliputi 1I% spesies tumbuhan dunia, 10% spesies mamalia dan 16% spesies burung.
Sekitar 17.000 pulau di Indonesia terbentang antara kawasan Indomalaya dan Australia. Kepulauan Indonesia memiliki tujuh kawasan biogeografi utama dengan tingginya tingkat keanekaragaman tipe-tipe habitat yang ada. Banyak pulau yang terisolasi selama ribuan tahun, sehingga memiliki tingkat endemik yang tinggi (FWI/GFW, 2001).
Untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati yang ada, diperlukan upaya konservasi yang merupakan salah satu bagian penting pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Keanekaragaman Hayati, dinyatakan bahwa pengelolaan kawasan konservasi dilaksanakan oleh Pemerintah. Pengelolaan kawasan konservasi ini dirasakan tidak efektif mengingat belum ada kawasan konservasi yang berhasil menggabungkan prinsip konservasi dan ekonomi yang bukan saja menjaga keanekaragaman hayati tapi juga peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan dan memberikan pemasukan bagi negara. Kegagalan ini disebabkan oleh kurangnya SDM, minimnya dana dan teknologi.
Pada tahun 1995, Pemerintah RI memberikan hak pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) kepada Yayasan Leuser Internasional (YLI) dengan dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No.227/Kpts-II/1995. Pelimpahan pengelolaan meliputi kawasan seluas 1.790.000 hektar yang terdiri dari Taman Nasional Gunung Leuser (905.000 ha), Hutan Lindung (505.000 ha) dan Hutan Produksi (380.000 ha), yang keseluruhannya di DI. Aceh (80%), (sekarang Nanggroe Aceh Darusalam) dan 20% di Propinsi Sumatera Utara. Surat Keputusan ini kemudian dicabut dengan ditetapkannya Keppres No. 33 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Dalam pengelolaan KEL ini, pemerintah menjalin kerjasama pengelolaan dengan Yayasan Leuser Internasional (YLI) selama 30 tahun. Pemerintah juga bekerjasama dengan Uni Eropa dalam pendanaan dan pengelolaan dengan membentuk Unit Managemen Leuser (UML) sebagai lembaga operasional pengelolaan kawasan untuk mernpersiapkan saran dan prasarana menuju pengelolaan yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat.
Keberadaan UML sebagaimana diatur dalam financial Memorandum (FM) antara Indonesia dan Uni Eropa yaitu sebagai penerima mandat operasional pengelolaan KEL. Tim operasional pengelolaan tersebut terdiri dari ahli-ahli konservasi dan kehutanan Uni Eropa dan Indonesia yang mempunyai masa kerja selama tujuh tahun pada tahap I, dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan pengelolaan serta menjalankan Program Pengelolaan Leuser (PPL) yang teiah ditetapkan oleh Leuser Steering Committe (LSC). Kerjasama ini diharapkan dapat mengatasi permasalahan konservasi di wilayah ekosistem Leuser dan merupakan transfer ilmu dan teknologi bagi pengelola kawasan tersebut di masa yang akan datang.
Penetapan KEL ini merupakan paradigma baru dalam pemberian ataupun menjalin kerjasama pengelolaan pada sebuah yayasan. Selama ini hak konsesi hanya diberikan berupa HPH yang mengekploitasi hasil hutan bukan untuk keperluan konservasi. Manajemen pengelolaan kawasan yang tercantum dalam FM antara Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa tersebut menggabungkan antara kepentingan konservasi sumberdaya alam hayati dengan peningkatan nilai ekonomi kawasan yang berpegang pada prinsip penyerapan aspirasi masyarakat (bottom up) (Masterplan, I995). Melalui prinsip pengelolaan dirnaksud diharapkan konservasi dapat bermanfaat bagi masyarakat sekitar dan pemerintah baik dari segi ekonomi maupun kelestarian kawasan.
Kawasan ekosistem Leuser juga terdiri dari beberapa kawasan pelestarian alam yang ditetapkan sebelumnya seperti Taman Nasional Gunung Leaser (TNGL), Suaka Margasatwa, Cagar Alam dan Hutan Produksi dan sesuai dengan namanya, kawasan ini merupakan gabungan dari sistem alami satu sama lain yang merupakan keterkaitan erat yang membentuk bentang alam yang sangat luas serta sangat penting bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Kawasan ini mencakup berbagai tipe ekosistem, mulai dari ekosistem pantai, rawa, danau, dataran rendah dan dataran tinggi hingga pegunungan dengan ketinggian 3.500 m dari permukaan laut.
Penelitian ini dilaksanakan untuk melihat kebijakan dan peraturan pemerintah dalam pengelolaan dan bentuk kerjasama pengelolaan kawasan konservasi di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) serta pengaruh pelaksanaan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah terhadap pengelolaan KEL tersebut.
Penelitian ini diharapkan akan sangat membantu dalam upaya pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser di masa akan datang, khususnya dalam upaya pengelolaan kawasan yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat. Di samping itu, melalui penelitian ini nantinya diharapkan menjadi masukan bagi pengelolaan kawasan konservasi lainnya sehingga dapat menjamin pelestarian sumberdaya alam yang ada dengan tanpa mengenyampingkan aspek pemanfaatan sumberdaya alam yang dengan sendirinya akan dapat memberdayakan masyarakat sekitar kawasan konservasi pada khususnya, dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Kebijakan dan peraturan pemerintah tentang pengelolaan KEL masih belum mendukung ke arah pengelolaan kawasan yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat sebab Keppres No. 33 Tahun 1998 tentang Kawasan Ekosistem Leuser belum mengakomodir kepentingan para pihak yang terkait dalam pengelolaan kawasan terutama hak-hak masyarakat adat dan lokal yang bergantung pada hutan dan peraturan ini masih bemuansa sentralistik dalam menetapkan kerja sama pengelolaan. Dengan menggunakan analisis SWOT untuk mengkaji fait-or-War internal dan eksternal yang mempengaruhi kinerja UML dalam menjaiankan PPL maka ditetapkan beberapa skala prioritas yaitu mengupayakan perbaikan sikap mental masyarakat yang tidak mendukung pengelolaan dan mewujudkan penegakan hukum yang tegas dan menjamin kepastian hukum serta mewujudkan struktur organisasi yang kuat dengan peningkatan kerja sama para pihak terkait dan meningkatkan kemampuan SDM untuk merebut pasar global di bidang ekowisata. Sehingga bentuk kerjasama pengelolaan kawasan konservasi di KEL yang mendukung ke arah tujuan peruntukan kawasan adalah Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat.
Konsep pengelolaan ini menerapkan mekanisme yang transparansi, partispasi dan akuntabilitas publik sebagai langkah membangun "good governance" dan pelaksanan "rule of law", yang memperkuat dan mengakui hak kelola masyarakat adat, pendanaan jangka panjang, serta memperkuat desentralisasi fiskal daerah dalam pengelolaan Leuser. Pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah memberikan peluang bagi penyerapan aspirasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan di wilayahnya, sesuai dengan kebutuhannya dengan penetapan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Walaupun dalam UUPD ini pengelolaan kawasan konservasi masih berada di bawah pengelolaan Pemerintah Pusat, dalam haI ini Dirjen PHKA-Depatemen Kehutanan, tetapi diharapkan dengan manajemen pengelolaan bersama KEL ini kepentingan pemerintah, baik itu Pemerintah Pusat maupun Daerah, serta pihak swasta, LSM dan masyarakat adat disekitar kawasan akan terwakili.
Daftar Kepustakaan : 37 buku (tahun 1986-2001)

Indonesia's land surface is only 1.3% of the total earth's Land surface, but it has a vast diversity of nature. In this land surface alone, there are 11% of the world's total plants species, 10% of the total mammal's species and 16% of the total bird's species. There are around 17,000 islands in the Indonesian archipelago stretching from the Indomalayan to the Austrasia. The archipelago has seven main biogeography areas; with each one of them has a highly varied types of habitat. Many of these islands have been isolated for thousands of years; thus they have a high endemic level. Three main locations that have always been known to have a vast variety of species are the Papua, with its high level of species variety and they are highly endemic. There's also Kalimantan, which also has a high level of species variety but they are moderately endemic, and Sulawesi, that has moderate Ievel of species variety but highly endemic (FWI/GFW, 2001).
To sustain the variety of species, a conservation act has to be done. This act is also an important part of the sustainable development. According to the UU No.5, which is issued in the year 1990, about nature's conservation and diversity of nature, it is stated that the government should manage the conservation areas. So far, the management of these conservation areas is considered ineffective, considering that there's still no conservation area, which is successfully combined the principal of conservation and economics. The idea is not only keeping the species variety alive but also enhancing the welfare of the people that live in the surrounding area and also contributing to the country's income. This flaw is due to the lack of human resources, funding and technology.
In the year 1995, the Indonesian government gave the right to manage the Leuser Ecosystem Area (KEL) to The Leuser International Foundation (YLI) by issuing a mandatory letter by the minister of forestry, No.227/Kpts-II/1995. The right covering the area of 1,790,000 hectares, which consists of The Leuser National Park (905,000 hectares), conservatory forest (505,000 hectares) and productive forest (380,000 hectares). Most of the area, 80%, is located in The Province of Nangroe Aceh Darusalam and 20 % of it, is located in The Province of North Sumatra. This mandatory letter is then withdrawn and replaced by Keppres No.33 tahun 1999, about The Leuser Ecosystem Area (KEL) management. Through this management system the government is working together with The Leuser International Foundation in managing the area for 30 years. The government is also cooperating with The European Union in the matter of funding and forming The Leuser Management Unit (UML). This unit will act as the operating area manager and has to prepare all that is needed towards a sustainable and people-based management.
The unit as stated in The Financial Memorandum (FM) between Indonesia and The European Union, will receive the mandate to manage The KEL. This operational management team consists of experts in conservation and forestry from Indonesia and The European Union. They will have a seven-year working period for the first phase, and can be extended to cater to the need of keeping The Leuser Management Program running. This program is made by The Leuser Steering Committee (LSC). This cooperation is hoped to be able to solve problems found in conserving The Leuser ecosystem and also provides the transfer of knowledge and technology to the next management team.
The management of KEL is a new paradigm in giving the right or cooperating to manage a conservation area to/with a foundation. In the past, the concession right has always been given in the form of HPH, which in the end is only giving them the right to exploit and not conserving the forest. The area management as stated in The FM, which is mentioned earlier, is combining the need to conserve the natural resources with the need to raise the economic value of the area, which is based on the bottom up principal. This way of managing the area is expected to be useful to the people who live in the surrounding area and also the government in both the economic aspect as well as in the conservation aspects. The Leuser Ecosystem Area is consists of several natural reservation area that has already been setup. These areas are The Mountain Leuser National Park (TNGL), zoological reservation area, botanical reservation area and productive forest. The areas are naturally intertwined, where each component is closely connected to form a vast natural community, which is very important for the life of human beings and other living creatures. This area has various types of ecosystem, varying from shore, swamp, lake, lower plain, highland and also mountain that can reach up to 3,500 m from the sea surface.
This research is done to review decisions and Laws that the government has made in managing and cooperating in the act of conserving the KEL, also to see the impact in implementing the UU No.22 Tahun 1999, about the role of the Local government in managing the KEL. This research is expected to be helpful in the act of conserving the Leuser Ecosystem Area, especially in trying to implement a sustainable and people-based conservation. This research is also expected to be able to provide inputs for other conservation areas. In the end, the conservation of natural resources can be done without setting aside the usage of those natural resources that can be useful for the people that live in the surrounding area and the people of Indonesia as a whole.
Decisions and laws that have been made in managing KEL so far have not been supporting the sustainable and people-based conservation, which is the ultimate goal of the conservation act. This is due to the fact that Keppres No.33 Tahun 1998, about The Lauser Ecosystem Area, has not been able to accommodate the interest of related parties, especially the right of the local people, which are very dependent to the forest. The Laws is also very centralistic in making decisions in making the cooperation agreement. Using the SWOT analysis enable us to evaluate both internal and external factors that are affecting the work of UML in implementing the PPL. Priorities then can be set, first of all is to change the mental attitude that is shown by the people that is against the management of the reservation area. Next is to ensure the implementation of a stern law. Setting a strong organizational structure is also important; this can be done by making necessary cooperation with related parties, enhancing the quality of the human resources in order to dwell in the global market of Eco-tourism. Thus the kind of management cooperation necessary in order to reach that goal is through the sustainable and people-based Management of the Leuser Ecosystem Area.
This concept is using the mechanism that is transparent, involving the public to participate and to be accountable for the implementation of good governance. Implementing the rule of law is also needed to strengthen and to admit the right of the local people to participate in the managing activities, long-range funding and also empower the decentralization of the state fiscal in managing the Leuser. The UU No.22 Tahun 1999 about the local government has given the chance to absorb the people aspiration in the matter of managing their own environment in a way that suited their need best, by using the sustainable development. Although in this UUPD the management of the reservation area is still done by the central government, in this case by The Ditjend PHKA, Department of forestry, but through IKEL the interests of the central government, local government, private sector, NGOs and the local people can be catered.
References : 37 books (1986-2001)
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T687
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuli
"Hutan Tesso Nilo di Propinsi Riau adalah salah satu hutan dataran rendah yang masih ada di Sumatra. Hutan ini merupakan salah satu hutan yang memiliki level keragaman tanaman yang tertinggi yang pernah diteliti di dunia, yang mencapai 218 keragaman spesies sementara keragaman. Keragaman ini lebih tinggi dari Hutan Amazon sekalipun dan hutan tropis lainnya di Indonesia. Selain jasa ekosistemnya, hutan ini merupakan kawasan ideal sebagai pendukung populasi gajah dan harimau sumatra yang terancam. Hutan ini juga mendukung perekonomian masyarakat lokal dari adanya akses ke Hutan Tesso Nilo untuk memperoleh madu, kayu bakar, dan ikan selais. Hutan ini sangat potensial untuk dikonservasi karena merupakan High Conservation Value Forest. Hutan Tesso Nilo ini berada diantara 4 kawasan lindung lain, sehingga apabila usaha konservasi hutan ini terwujud maka akan tercipta area konservasi dengan 3 juta hektar yang memiliki multi fungsi meliputi 5 kawasan lindung. Sayangnya hutan seluas 158.000 hektar ini berada di bawah konsesi 4 HPH. Juga terdapat banyak hal yang mengancam eksistensi hutan ini terutama penebangan illegal yang dilakukan secara besar-besaran. Diperkirakan dengan level penebangan illegal seperti sekarang ini, hutan akan habis dalam waktu 8 tahun. Penulis berusaha memonetarisasi manfaat intangible dari konservasi Hutan Tesso Nilo, mengingat begitu banyak tekanan dan ancaman terhadap hutan ini yang motifnya mengacu pada eksploitasi manfaat-manfaat yang memberikan keuntungan finansial. Untuk mengetahui nilai dari konservasi Hutan Tesso Nilo dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan valuasi ekonomi, baik metode primer maupun metode sekunder. Dari hasil yang diperoleh terlihat bahwa manfaat hutan bila dikonservasi sangat besar yaitu 33,9 trilyun rupiah. Nilai ini sebagian besar berasal dan manfaat tidak langsung yang disediakan hutan secara gratis bagi kesejahteraan manusia. Rasio dari manfaat biaya memperlihatkan nilai sebesar 55,4. Rasio yang lebih dari satu ini menunjukkan bahwa kegiatan konservasi Hutan Tesso Nilo layak untuk dilakukan karena nilai ekonomi totalnya sangat besar. Konservasi Hutan Tesso Nilo akan berdampak bagi kelangsungan kelestarian Hutan Tesso Nilo dan keanekaragaman hayati yang hidup di dalamnya. Selain itu konservasi Hutan Tesso Nilo juga akan meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup manusia tanpa merugikan alam dan kehidupan di dalamnya."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
S19415
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fadhli Tenrigangka
"Penelitian dilakukan untuk mengetahui struktur komunitas dari kima di Taman Nasional Kepulauan Seribu pada zona inti dan zona perlindungan meliputi kelimpahan kima, keanekaragaman kima, keseragaman kima dan dominansi kima, dan menganalisis perilaku sosial masyarakat terhadap kima di zona inti dan perlindungan. Pengambilan data kondisi habitat kima dilakukan pada 5 lokasi, yaitu Pulau Jagung, Belanda, Kayu Angin Bira, Nyamplung dan Penajliran Barat. Pengambilan data menggunakan metode bell transect dengan modifikasi under water visual census (UVC). Penilaian kondisi habitat mengacu pada parameter salinitas, kecerahan, derajat keasaman dan suhu. Hasil Penelitian menunjukan bahwa perairan zona inti dan perlindungan pada 5 lokasi tersebut terdapat 2 jenis kima, yaitu Tridacna squamosa dan Tridacna crocea. Secara keseluruhan pada lokasi pengamatan memiliki nilai keanekaragaman, kelimpahan dan keseragaman yang rendah. Dominasi Tridacna crocea memiliki nilai yang tinggi dan pada Tridacna squamosa memiliki nilai dominansi yang rendah. Pengambilan data sosial perilaku masyarakat di TNKpS dilakukan dengan metode wawancara mendalam dengan Teknik snowball sampling pada masyarakat TNKpS. Hasil dari analisis perilaku sosial masyarakat TNKpS menunjukan bahwa Tridacna squamosa masih diburu untuk diambil dagingnya untuk dikonsumsi terutama pada hari raya lebaran. Rekomendasi yang diberikan bagi Pengelola Kawasan adalah pembentukan daerah konservasi kima yang lebih terfokus pada zona inti dan perlindungan berdasarkan struktur komunitas dari kima.

This research was conducted to determine the community structure of giant clams in the Thousand Islands National Park in the core zone and protection zone including giant clam abundance, giant clam diversity, giant clam uniformity and clam dominance, and analyze the social behavior of the community towards giant clams in the core and protection zones. Data collection on clam habitat conditions was carried out at 5 locations, namely Corn Island, The Netherlands, Kayu Angin Bira, Nyamplung and West Penajliran. Data retrieval using the bell transect method with modified under water visual census (UVC). Assessment of habitat conditions refers to the parameters of salinity, brightness, acidity and temperature. The results showed that the waters of the core and protection zones at the 5 locations contained 2 types of clams, namely Tridacna squamosa and Tridacna crocea. Overall, the observation sites have low diversity, abundance and uniformity values. The dominance of Tridacna crocea has a high value and that of Tridacna squamosa has a low dominance value. Social behavior data collection in TNKpS was carried out by in-depth interview method with snowball sampling technique in TNKpS community. The results of the analysis of the social behavior of the TNKpS community show that Tridacna squamosa is still being hunted for its meat for consumption, especially on Eid holidays. The recommendation given to the Area Manager is the establishment of a clam conservation area that is more focused on the core zone and protection based on the community structure of the clam."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Handriatno Waseso
"Penelitian ini hendak menerangkan hubungan antara orientasi religius dengan sikap terhadap konservasi alam. Penelitian ini berangkat dari pertanyaan tentang apakah halhal religius di masa kini memiliki makna fungsional dalam menjawab persoalanpersoalan jaman modem. Pertanyaan tersebut menggugah peneliti untuk mempersoalkan arti agama dalam kaitannya dengan kehidupan masa kini. Tema yang diangkat di sini adalah mengenai lingkungan hidup atau ekologi. Tema ini menjadi penting mengingat kondisi alam yang semakin hari semakin banyak mengalami kerusakan di sana-sini. Sementara ketergantungan manusia terhadap alam sulit dihilangkan karena bagaimana pun manusia adalah bagian dari proses evolusi alam (Wackemagel, 1997).
Dengan latar belakan yang demikian, dirumuskan masalah sebagai berikut: (1) Apakah ada hubungan antara orientasi intrinsik dalam beragama dengan sikap terhadap konservasi alam? Dan (2) Apakah ada hubungan antara orientasi ekstrinsik dalam beragama dengan sikap terhadap konservasi alam? Untuk menjawab masalah tersebut diajukan hipotesa: (1) Ada korelasi yang signifikan antara orientasi intrinsik dalam beragama dengan sikap terhadap konservasi alam; dan (2) Ada korelasi yang signifikan antara orientasi ekstrinsik dalam beragama dengan sikap terhadap konservasi alam.
Masalah dalam penelitian ini dijawab dengan menggunakan pendekatan teori ekiektik humasnistik dari Gordon W. Allport (1950) dipadu dengan teori sikap dari Krech, Crutchfield dan Ballachey (1962). Dari sisi metodeologi, penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kuantitatif. Pendekatan ini dipilih karena peneliti hendak membuat generalisasi tentang hubungan kedua ide tersebut di atas (religiusitas dan sikap terhadap konservasi alam). Instrumen yang digunakan untuk mendapatkan data adalah kuesioner skala sikap dan sebuah kuesioneryang diskala dengan metode paired comparison judgment (Guilford, 1954).Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan koefisien korelasi yang merupakan indeks untuk mengukur kekuatan hubungan antara dua variabel (Guilford & Fruchter, 1978).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) orientasi religius intrinksik tidak berkorelasi dengan sikap terhadap konservasi alam; dan (2) orientasi ekstinksik berkorelasi positif dengan sikap terhadap konservasi alam. Hasil ini tidak sejalan dengan apa yang dikemukakan Allport Ketidaksesuaian ini dibahas dalam diskusi. Salah satu penjelasan tentang hal ini adalah rendahnya sosialisasi tentang pelestarian lingkungan dalam praktek ajaran agama. Hal lain yang berpengaruh terhadap hasil adalah restricted range karena sampel yang homogen menyebabkan skor-skor yang diperoleh tidak menghasilkan korelasi yang sejalan dengan teori Allport."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
S2828
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Supri Hanjono
"Salah satu setu yang dimiliki Kota Depok adalah Setu Rawa Besar yang berlokasi di pusat Kota. Kondisi kawasan Setu Rawa Besar dari tahun ke tahun semakin menurun kondisi fisiknya, misalnya luas perairannya menyusut akibat pengurugan, pembangunan tempat pemukiman dan tingginya tingkat pencemaran, baik yang dihasilkan oleh masyarakat sekitarnya maupun industri skala rumahan yang berlokasi disekitar setu.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode deskriptif untuk menghasilkan data tentang partisipasi masyarakat sekitar setu dalam pelaksanaan konservasi beserta hambatan atau faktor-faktor yang mempengaruhinya, yang diperoleh melalui para informan. Pemilihan informan dilakukan dengan "purposif" yang terdiri atas pengurus lembaga, tokoh masyarakat dan wakil yang bermukim di tiga RW, masing-masing RW 14, 20 dan 13. Kegiatan pengumpulan data menggunakan teknik "in-depth interview" dan studi dokumentasi, sehingga saling melengkapi dan dapat menangkap fenomena sosial sebagai bentuk jawaban yang diberikan informan.
Upaya "pelestarian lingkungan" yang pernah dan telah dilakukan berbagai pihak dengan berbagai kegiatan melalui penyadaran masyarakat akan arti penting konservasi, namun disayangkan dalam prakteknya kegiatan yang diklaim sebagai kegiatan "pelestarian lingkungan" tersebut hanya sebatas pada kegiatan proyek padat karya dan pelaksanaan bakti sosial pembersihan setu yang hanya bersifat seremonial saja tanpa adanya kegiatan yang berkelanjutan. Akibatnya pelaksanaan kegiatan "konservasi" tersebut disinyalir kurang mendapat respon dan partisipasi aktif secara penuh dari masyarakat.
Hasil penelitian menunjukan bahwa rangkaian partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan konservasi secara umum dapat digolongkan menjadi dua bentuk. Bentuk pertama bersifat edukatif, yaitu kegiatan sosialisasi, kampanye, aksi bersih kawasan, penghijauan, pelatihan konservasi untuk anak usia sekolah dan pembenahan TPA sampah. Kegiatan yang bersifat edukatif mempunyai tujuan memberikan proses pembelajaran kepada masyarakat akan tujuan diselenggarakannya kegiatan konservasi lingkungan di Setu Rawa Besar. Partisipasi yang dapat diberikan masyarakat dalam kegiatan ini masih terbilang minim, sedangkan bentuknya berupa sumbangan tenaga, pemikiran dan materi, mengingat sasaran dari kegiatan ini adalah warga yang berasal dari golongan ekonomi lemah yang bermukim di sekitar setu . Para partisipan diberi layanan berdasarkan rancangan dan aturan kegiatan yang diselenggarakan. Jumlah peserta yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini Iebib didominasi oleh generasi muda, alasannya mereka lebih mudah menerima pemikiran dan masukan dari pihak Iuar. Dibandingkan dengan warga maupun generasi orang tuanya yang secara umum lebih sulit rnenerima pemikiran dari luar, atau biasa disebut "primitif ' atau kampungan. Kaum muda yang ikut berpartisipasi dibentuk agar dapat mempengaruhi pola pikir keluarga maupun lingkungan di sekitar tempat tinggalnya berdasarkan pengetahuan yang didapat setelah mengikuti kegiatan konservasi.
Bentuk kedua bersifat rekreatif, yaitu lomba dayung perahu atau kano. Kegiatan yang bersifat hiburan selalu ramai diikuti oleh peserta yang ikut berpartisipasi, hal ini sesuai dengan asumsi bahwa hiburan dan rekreasi berlaku bagi segala kelas dan golongan masyarakat. Minat warga yang ingin mengikuti kegiatan tersebut terlihat semenjak penyusunan rencana kegiatan lomba tersebut baru dirancang, mereka turut serta semenjak penyusunan acara lomba, pelaksanaan dan penutupannya. Partisipasi yang terjalin melebihi partisipasi pada kegiatan yang bersifat edukatif (bentuk pertama). Kualitas partisipasi yang lebih baik terlihat dari cara berpartisipasi, partisipan yang dapat menyumbangkan pemikiran maupun dana terutarna dari warga yang tergolong mampu, lebih tinggi tingkatannya dibandingkan dengan partisipan yang hanya dapat memberikan sumbangan tenaga saja.
Pelaksanaan kegiatan yang mengandalkan partisipasi masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan konservasi di Setu Rawa Besar, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhinya, meliputi faktor komunikasi, faktor kepemimpinan dan faktor pendidikan. Penjabarannya adalah sebagai berikut : (a) Faktor komunikasi, kurangnya komitmen dalam menjaga kelestarian Iingkungan setu dapat pula disebabkan oleh adanya kecemburuan antar warga sekitar setu terhadap usaha "pengaplingan" wilayah perairan setu untuk budidaya perikanan yang dilakukan oleh warga yang tergolong mampu namun berdomisili jauh dari Setu. (b) Faktor kepemimpinan, masyarakat sekitar setu didominasi oleh pendatang sehingga sangat heterogen Dalam kondisi demikian akan sulit memunculkan sosok pemimpin yang dapat dijadikan panutan karena sebagian dari mereka tidak mau mengakui pemimpin yang tidak berasal dari golongannya walau telah mempunyai kemampuan dan dedikasi terhadap masyarakat Iuas sekalipun. (c) Faktor pendidikan, pendidikan formal yang rendah masih mendominasi masyarakat di sekitar Setu Rawa Besar. Kondisi yang demikian mengakibatkan mereka mempunyai pengetahuan yang minim mengenai pentingnya kegiatan pelestarian Iingkungan, sehingga didikan para orang tua kepada anak- anaknya sedikit sekali menjangkau nilai-nilai pelestarian lingkungan hidup.
Berdasarkan ringkasan hasil penelitian tersebut, maka disarankan untuk mencoba membangun relasi dan bekerja sama dengan berbagai instansi yang terkait dengan program pelestarian lingkungan, misalnya Dinas Pertanian, PU Pengairan, Lingkungan Hidup dan Iainnya, sehingga diharapkan pemerintah Kota Depok akan Iebih peduli terhadap upaya perlindungan aset-aset lingkungan yang dimilikinya. Kegiatan konservasi harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, karena kegiatan apapun yang diselenggarakan dilingkungan masyarakat sekitar setu haruslah sedapat mungkin memiliki nilai ekonomis jika ingin melibatkan atau partisipasi dari masyarakat setempat. Hal yang mendasarinya adalah kondisi masyarakat yang masih serba kekurangan dan dilator belakangi pula oleh pola hidup yang kurang peduli, baik terhadap sesama warganya maupun terhadap kelestarian lingkungan hidupnya sendiri."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T2400
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>