Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 203874 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sartono Kartodirdjo, 1921-2007
Depok: Komunitas Bambu, 2015
959.823 SAR p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Syamsu A. Kamaruddin
"Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan, latar belakang, kondisi, dan faktor-faktor penyebab terjadinya pemberontakan petani Unra pada masa pemerintahan pendudukan Jepang di Sulawesi Selatan pada 1943. Dalam menganalisis pemberontakan petani Unra sebagai gerakan sosial ditelusuri faktor, kondisi, dan struktur sosial masyarakat yang menjadi basis lahirnya pemberontakan. Faktor ideologi dan peran kepemimpinan juga dikaji untuk mengetahui dan memahami seberapa besar kontribusinya dalam memotivasi terjadinya pemberontakan. Demikian juga, fokus kajian diarahkan pada penelusuran latar belakang kultural keagamaan dalam konteks historis dari pemberontakan petani Unra, dengan kondisi-kondisi sosial, ekonomi, dan politik di Unra pada masa pemerintahan pendudukan Jepang. Untuk merekonstruksi peristiwa sejarah pemberontakan petani Unra, sebagai sebuah gerakan sosial, penelitian dilakukan dengan metode penelitian kualitatif dalam perspektif historis. Metode historis digunakan untuk menganalisis proses, dan tahap-tahap perkembangan menurut urutan waktunya secara kronologis. Analisis historis dilakukan dengan menggunakan pendekatan terhadap disiplin ilmu-ilmu sosial lain, seperti sosiologi, antropologi, dan politik untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang peristiwa pemberontakan. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa, ketika pemerintahan pendudukan Jepang berkuasa di Indonesia, khususnya di Unra pada 1943, telah terjadi sebuah perubahan sosial yang cepat,dan dipaksakan dalam bentuk kebijakan ekonomi perang yang membawa penderitaan bagi rakyat. Hal inilah yang kemudian menjadi faktor pendorong lahirnya pemberontakan petani sebagai gerakan sosial.

The research aims to describe the beckground, condition, and factors leading to the uprising of peasants in Unra during the era of Japanese occupation in South Sulawesi in the year 1943. In the analysis of the revolt of Unra peasants as a social movement, I examine the factors, conditions, and community structures that served as the bases of the uprising. Factors such as ideologies and leadershipare also considered in order to know the extent to which they motivated and contributed to the event. In the same way, the study also focuses on the cultural and religious backgrounds within the historical context of the revolt, along with the social, economic, and political climates in Unra during the Japanese occupation. In order to reconstruct this historic movement, a qualitative research method is employed from a historical perspective. A historical method is used to analyze the process and developmental stages in a chronological fashion. Historical analysis was done using approaches from other disciplines such as sociology, anthropology, and political science in order to obtain a broader understanding of the revolt. The goal of this approach is to discover the processes of social change and other social indications that may have been involved such as social conflict, disorganization, and lack of integration among rural communities. Research results showthat during the time of Japanese rule in Indonesia, particularly in the year 1943 in Unra, a rapid social change occurred and a wartime economic policy was forced upon the people. This then became the motivating factor behind the uprising of peasants as a social movement."
Universitas Veteran Republik Indonesia. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, 2012
Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Suharto
"ABSTRAK
Banten, yang terletak di bagian paling barat dari pulau Jawa terkenal karena di samping merupakan tempat yang pertama kali dikunjungi Belanda, juga di daerah ini sering terjadi pemberontakan. Pada abad ke-19 terjadi serangkaian pemberontakan yang berpuncak pada pemberontakan petani Banten pada tahun 1888. Kemudian pada tahun 1926 Banten menjadi panggung pemberontakan komunis yang cukup mencemaskan pemerintah kolonial. Pemberontakan yang mempunyai semangat kuat anti Belanda dan priyayi dapat ditumpas, namun kebencian mereka tidak pernah hilang.
Setelah Indonesia merdeka, di daerah yang paling barat dari pulau Jawa ini sekali lagi menunjukkan sikapnya yang agresif. Setelah berita proklamasi kemerdekaan sampai di sana para pemuda dan tokoh masyarakat melakukan aksi penurunan bendera Jepang dari kantor-kantor pemerintah dan lain sebagainya. K.H. Tubagus Akhmad Khatib diangkat sebagai residen Banten dan K.H. Syam'un sebagai pimpinan BKR. Untuk mempersenjatai badan itu diseranglah markas kempeitai di Serang setelah cara damai yang ingin ditempuh tidak disepakati oleh Jepang. Setelah itu, diseranglah rumah penjara di Serang, dibebaskan orang-orang yang ditahan di dalamnya, dan ditempat lain ditangkap beberapa orang yang tidak disenangi karena sikap mereka di masa lalu, dan didudukinya jabatan-jabatan pemerintah khususnya kepamongprajaan oleh para utama dan kyai. Beberapa hari berikutnya pemerintah setempat hampir hancur sama sekali. Di beberapa tempat penggantian kekuasaan itu disertai kekejaman.
Kaum komunis setempat membiarkan para ulama dan kyai menduduki jabatan-jabatan itu, namun sebagai gantinya mereka memusatkan perhatiannya pada pembentukan Dewan Rakyat di bawah pimpinan Ce Mamat. Dewan melaksanakan fungsinya sebagai badan eksekutif utama. Dewan membentuk pasukan kepolisian sendiri dan Dewan Ekonomi.
Gejolak sosial yang terjadi sejak bulan Oktober itu mendorong pemerintah pusat meninjau daerah itu. Pada tanggal 9-11 Desember 1945 Presiden dan Wakil Presiden disertai rombongan datang ke Banten. Dalam kesempatan itu Presiden antara lain menyatakan bahwa RI bukan milik satu daerah, melakukan milik seluruh rakyat Indonesia. Hatta menyatakan bahwa Dewan Rakyat itu tidak perlu dan agar dibubarkan.
Dewan Rakyat akhirnya dapat ditumpas pada tanggal 8 Januari 1946. Setelah itu, radikalisme di daerah itu mereda. 'Melihat perkembangan di Banten, pemerintah pusat berusaha meningkatkan daerah ini dengan mendatangkan tenaga-tenaga profesional. Tenaga-tenaga yang sesuai dengan suasana daerah itu sungguh diharapkan rakyat Banten. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1996
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Effendi Wahyono
"Tulisan ini merupakan studi pendahuluan mengenai pemberontakan yang terjadi di Tegal pada tanggal 28 Okto_ber 1864, yang merupakan periode di mama di Jawa terjadi perubahan besar, yaitu mundurnya lembaga pemerintahan tradisional akibat semakin intensif campur tangan pemerin_tahan kolonial. disamping itu, munculnya perkebunan-per_kebunan besar yang dikelola pemerintah kolonial, menimbul_kan terjadinya perubahan struktur agraris pada masyarakat petani di kabupaten Tegal. Sebelum membicarakan lebih.ja_uh masalah ini dan sebelum membicarakan alasan pemilihan judul dari skripsi ini, penulis ingin terlebih dahulu membicarakan batasan istilah yang digunakan dalam judul skrip_si ini.
Ada dua istilah yang harus dijelaskan pergertiannya dalam judul skripsi ini. Pertama adalah pengertian tentang istilah pemberontakan. Mengapa penulis menggunakan istilah pemberontakan, bukan kerusuhan (onlusten), atau brandal (deugniet, muiter) sebagaimana yang terdapat dalam sumber-_sumber arsip yang dipakai dalam penelitian."
Depok: Universitas Indonesia, 1984
S12299
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Ifyani
"ABSTRAK
Pada tanggal 29 januari 1907, sekitar 41 orang yang dipimpin Asisten Residen C.C.M Henny berangkat menuju desa Beron, tepatnya ke kediaman Darmojoyo selaku pemimpin kerusuhan. Asisten Residen kemudian memerintahkan agar Darmojoyo meletakkan senjata dan menyerahkan diri. Seruan tersebut tidak dijawab bahkan mereka bergelombang menyerang rombongan Asisten Residen tersebut. Pertempuran terjadi. Akhirnya pihak Assisten Residen dapat dicerai beraikan oleh kaum perusuh, hingga keluar dari desa Baron.
Rombongan kedua yang dipimpin oleh Wedana Werujayeng dan Wedana Berbek ketika mendengar tembakan dari arah rumah Darmojoyo, segera menuju ke rumah Darmojoyo untuk memberikan bantuan kepada rombongan Assiten Residen. Namun rombongan yang berjumlah sekitar 29 orang ini dapat dihalau pula dari desa Baron. Dengan demikian usaha menangkap Darmojoyo pada pagi hari tersebut dapatlah dikatakan gagal. Pada sore harinya datang bala bantuan militer dari Surabaya yang dipimpin Letnan satu Hardenberg, dan langsung menuju ke tempat kejadian. Setelah seruan Residen yang diulangi oleh Bupati Berbek untuk meletakkan senjata dan menyerah tidak dihiraukan, maka pasukan bersenjata mulai menembaki kaum perusuh yang terkepung di dalam rumah Darmojoyo.
Akhirnya kerusuhan dapat dipadamkan dengan meninggalkan korban sebanyak 19 perusuh tewas diantaranya Darmojoyo serta menawan lebih dari 66 perusuh. Sedangkan dari pihak pemerintah tercatat 5 orang tewas dan sekitar 10 orang luka-luka. Pada dasarnya untuk melihat kerusuhan petani yang terjadi di desa Baron, kekecewaan-kekecewaan yang dialami pada diri Darmojoyo menempati faktor yang sangat penting. Selain itu ketidakpuasan pra petani terhadap pabrik gula Baron dan Kujonmanis serta menyebarnya kepercayaan bahwa Darmojoyo sebagai Ratu Adil, ikut pula mendukung kerusuhan tersebut muncul kepermukaan. Dengan kata lain bahwa kepentingan pribadi berhasil digeser ke kepentingan sosial melalui Darmojoyo. Penelitian ini membuktikan keberhasilan penyelarasan pemanfaatan kepentingan pribadi dengan kepentingan sosial yaitu ketidakpuasan Darmojoyo dalam usahanya meraih jabatan formal desa (lurah dan kamituwa) dan tuduhan serta hukuman yang ditimpakan kepadanya, kemudian berhasil memobilisasi pengikut-pengikutnya dalam meletuskan aksi. Walaupun aksi sosial ini berhasil ditumpas oleh pemerintah kolonial, namun penelitian ini membuktikan betapa besar pengaruh seorang pemimpin desa.

"
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1995
S12268
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Said Alhasanain
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
S5862
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maftukhi
"Dalam dua dasa warsa pertama abad ke-20, golambang radikalisme membersihkan corak dalam pergerakan partai-partai politik di Hindia Belanda. Dua kekuatan yang dominan dan berpengaruh ketika itu adalah Serikat Islam dan Partai Komunis Indonesia (PK1). Dalam merekrut anggotanya, PKI rrnggunakan strategi Block Withia ke dalam tubuh SI yang menyebabkan perpecahan di kubu SI yang kemudian menetapkan disiplin partai tahun 1523. Dampaknva adalah SI-merah tersingkir keanggotaannya dari Sl dan berafiliasi dengan PKI yang dalam porkembangan selaniutnya menjadi Sarekat Rakyat, sebagai organisasi massa utama PKI untuk menandingi Sl yang masih loyal dengan ideologi lslamya. Sebagai organisasi massa di bawah naungan Sarekat Rakyat mulai menanamkan pengaruhnya ke daerah-daerah pedesaan melalui agitasi dan propaganda serta cara-cara yang tidak konvensional. Karena memasukkan unsur Islam. Propagandis-Propagandis SR mamadukan antara Marxisme dan islam yang dinilai sejalan. Proses; ini yang dikenal dengan konvergensi yang kiranya dapat merekrut anggota dalam jumlah yang sukup banyak di daerah Tegal. Dalam bulan Januari 1926, Jumlah anggota SR sekitar 3.500 orang. Jumlah yang cukup besar untuk ukuran partai cabang, yang umumnya tersebar di daerah Tegal bagian selatan Dalam tahun 1923, VSTP (Vereniging van Spoor en Tramweg Personel atau Serikat Buruh Angkatan Darat, Kereta Api dan Trem) melancarkan aksi pemogokan yang berakibat penekanan terhadap gerakan-gerakan politik oleh Pemerintah, khususnya gerakan revolusioner PKI dan ormas-ormasnya. Aktivitas partai politik dibatasi, rapat-rapat dilarang, tokoh-tokoh sentral ditahan. Hal ini menyebabkan laju pertumbuhan SR ikut terhambat. Dengan kemampuan agitasinya, SR mendorong petani untuk melakukan aksi protes terhadap pemberlakuan peraturan-peraturan pemerintah yang dirasakan cukup memberatkan kaum tani. Kondisi sosial ekonomi petani yang buruk di Jawa pada umumnya, dan daerah Tegal khususnya, diangkat sebagai isyu yang paling tepat oleh Sarekat Rakyat. Adanya beban pajak, wajib kerja dan dominasi pabrik gula dianggap sebagai penyebab utama timbulnya keresahan di kalangan petani. Di sinilah Sarekat Rakyat manfaatkan kondisi yang dialami petani deagan menghasut mereka untuk berontak dengan cara memprotes dan menentang peraturan-peraturan yang memberatkan petani. Isyu pembebasan pajak bagi petani dan pengambil-alihan tanah--tanah garapan petani dari pabrik gula, terus diangkat oleh pemimpin-pemimpin SR agar petani mau bergabung dengannya untuk menjalankan aksi-aksi yang telah direncanakan Protes terhadap beban pajak dan mogok tidak mau melaksanakan kewajiban denda merupakan awal retorika pemberontakan karangcegak 1926, yang disusul dengan perlawanan terhadap polisi patroli dan penyerbuan-penyerbuan ke pabri gula, yang berlangsung salami 10 (sepuluh) hari mulai 24 Fehruari sampai 4 Maret 1926. Dengan bantuan polisi dari Semarang, Kudus dan Sukabumi, pemberontakan Karangcegak dapat ditumpas pada akhir Maret 1926. Dampaknya adalah penangkapan dan penahanan tokoh-tokoh pemberontakan dipenjarakan di Tegal, Pekalongan, Glodok (Jakarta) dan Cipinang (Jakarta), serta ada yang dibuang ke Boven Digul. Daerah Karangcegak dinyatakan sebagai daerah rawan yang setiap malam harus diadakan tugas ronda bagi penduduk, tidak terkecuali bagi wanita, karena jumlah peronda laki-laki berkurang. Sebagian besar ditawan karena teriibat dalam pemberontakan. Gejala akhir dari keadaan i.ni adalah munculnya sentimen anti-Sarekat Rakyat di kaiangan penduduk karena SR tidak dapat berbuat banyak untuk mencegah diberlakukannya ketentuan ronda bagi wanita."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1993
S12445
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Yudha Gama Corporation, 1983
320.959 8 LEM r
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Syukur
"Pada tahun 1986 beberapa mantan aktifis gerakan usroh Abdullah Sungkar dan kota Solo, Jawa Tengah, melarikan diri ke Lampung untuk menghindari operasi penangkapan oleh Pangdam Diponegoro Mayjen Harsudiono Hartas. Mereka bergabung dengan kelompok pengajian Warsidi yang berada di Desa Labuhan Ratu, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Tengah. Pada tahun 1987 kelompok pengajian Warsidi pindah ke Umbul Cihideung, Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Tengah, setelah memperoleh tanah seluas 1 ½ hektar dari Jayus, seorang penduduk Umbul Cihideung.
Warsidi mempunyai cita-cita mendirikan pondok pesantren. la meminta bantuan mantan aktifis gerakan usroh Abdullah Sungkar untuk mencari murid dan sekaligus menyediakan tenaga pengajar dengan memanfaatkan jaringan gerakan usroh Abdullah Sungkar di Solo dan Jakarta.
Aktifis gerakan usroh Abdullah Sungkar Jakarta disatukan kembali pada tahun 1987 oleh Nur Hidayat, mantan Komandan Tim Pencari Harta Fa'i gerakan usroh Abdullah Sungkar Jakarta Selatan yang dicari aparat keamanan sejak tahun 1986. Kelompok pengajian Nur Hidayat mempunyai program kerja membangun islamic village (kampung Islam) agar dapat menerapkan syari'ah Islam dalam kehidupan sehari-hari. Mereka bekerja sama dengan kelompok pengajian Warsidi untuk menggabungkan program kerja membangun islamic village dan rencana mendirikan pondok pesantren di Umbul Cihideung. Kesepakatan kerjasama tercapai pada 12 Desember 1988 di Cibinong, Jawa Barat. Sejak Januari 1989 anggota kelompok pengajian Nur Hidayat 1hijrah ke Umbul Cihideung. Ternyata aktifitas mereka dipermasalahkan pejabat lokal di Lampung, baik sipil maupun militer, sehingga terjadi ketegangan yang mencapai klimak pada 7 Februari 1989 dengan penghancuran lokasi pemukiman kelompok pengajian Warsidi dan Nur Hidayat di Umbul Cihideung oleh Danrem 041 Gatam Kolonel Hendropriyono. Serangan 7 Februari 1989 dikenang dengan empat nama, yaitu; Peristiwa Talangsari, Peristiwa Way Jepara, Peristiwa Lampung dan Gerakan Pengacau Keamanan Warsidi.
Penelitian membuktikan bahwa kelompok pengajian Warsidi dan Nur Hidayat bukan sebuah gerakan Ratu Adil sebagaimana diyakini sejarawan Prof Dr Sartono Kartodirdjo dalam dua tulisan singkatnya di Majalah Editor dan Harian Kompas. Pada dasarnya kelompok pengajian Warsidi dan Nur Hidayat merupakan kelanjutan dari gerakan usroh Abdullah Sungkar yang mempunyai pemahaman agama dan sikap politik berbeda dengan mayoritas kalangan Islam. Sejak tahun 1985 mayoritas kalangan Islam telah mengubah sikap politik konfrontatif menjadi akomodatif terhadap kepentingan Pemerintah Orde Baru, sedangkan kelompok pengajian Warsidi dan Nur Hidayat tetap bersikap konfrontatif yang mempertentangkan antara keharusan menghayati dan mengamalkan Pancasila dengan kewajiban menerapkan syari'ah Islam dalam kehidupan sehari-hari yang pernah menjadi sumber ketegangan antara kalangan Islam dengan Pemerintah Orde Baru dalam kurun waktu 1976-1985."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2001
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>