Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 123209 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Keron A. Petrus
"ABSTRAK
Konflik penguasaan dan pemanfaatan kawasan hutan antara masyarakat yang
bermukim di dalam dan sekitar hutan dengan berbagai pihak yang mempunyai
kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap keberadaan suatu
kawasan hutan masih terus berlangsung sebagai akibat dari implementasi berbagai
kebijakan pengelolaan hutan nasional yang cenderung meminggirkan keberadaan dan
peran masyarakat di dalam dan sekitar hutan.
Dalam tulisan ini konflik dapat diartikan sebagai suatu keadaan/sítuasi yang
dapat ditanggapi sebagai tidak adanya suatu kerja sama antara berbagai pihak untuk
mempertahankan suatu sumber daya tertentu. Pihak-pihak yang dimaksud adalah
masyarakat dan pemerintah (eq. aparat instansi kehutanan), sedangkan sumber daya
yang dimaksud adalab sumber daya hutan Gn. Betung. Ketidaksepakatan di antara
para pihak ini sebagai konsekuensi berbagai kebijakan pengelolaan hutan yang
berimplïkasi path ketidakpastian akses masyarakat ke dalam hutan. Mekanisme
penanggulanganlpenyelesaian konflik dapat ditanggapi sebagal prosedur-prosedur,
langkah-langkah, strategi-strategi yang dilakukanldikembangkan oleh berbagai pihak
yang terlibat konflik atau pihak-pihak atau lembaga/forum lain sebagal upaya
menyelesaikan sebuah konflik.
Secara keseluruhan kasus-kasus yang memicu terjadinya konflik dapat
dikategorikan ke dalam dua kelompok besar, yakni konflik penguasaan dan konflik
pemanfaatan kawasan hutan. Konflik penguasaan terdiri dari penyerobotan lahan,
pergeseran batas kebun/lahan paroh lahan, dan konflik warisan. Konflik
pemanfaatan kawasan hutan terdiri dari pembukaan hutan sekunder (primer),
perawatan bekas kebun/ladang (belukar), berladang, penebangan kayu, pengambilan
basil kebun, pencurian hasil kebun, pemungutan komisi penjualan basil kebun,
perantingan tanaman sonokeling, pencurian bibit/anakan dan konflik pakan temak
(ramban).
Konflik-konflik yang terjadi antar warga masyarakat setempat dengan
pemerintah (aparat instansi kehutanan) lebih disebabkan adanya pelarangan akses
dan tindakan represif aparat terhadap warga, sedangkan konflik antar sesama warga
masyarakat perkampungan Talang Mulya lebih dipicu oleh tindakan pelecehan
terhadap hak-hak penguasaan (lahan) dan pemanfaatan hasil kebun yang dilakukan
oleh warga setempat terhadap warga lain, demikian juga konflik warga masyarakat
perkampungan Talang Mulya dengan warga masyarakat yang berasal dari luar lebih
dipicu oleh tindakan pelecehan hak pemanfaatan hasil kebun milik warga masyarakat
Setempat oleh warga yang berasal dari luar (kampung/desa tetangga).
Kajian ini menunjukkan bahwa jumlah jenis konflik, frekwensi dan intensitas
konflik berbeda dari suatu periode ke periode lain Penode 1940-an s/d 1982, jumlah
jenis konflik, frekwensi dan intensitas konflik masih bertangsung dalam jumlab jenis
konflik, frekwensi dan intensitas yang relatif rendah karena ada beberapa kebijakan
pengelolaan hutan yang ditanggapi sebagai kebijakan yang memberikan akses
kepada masyarakat untuk memanfaatkan kawasan hutan. Penode 1983 s/d Juni 1998
jumlah jenis konflik, frewnesi dan intensitas konflik memngkat tajam sebab adanya
kebijakan-kebijakan pengelolaan hutan yang berimplikasi pada ketidakpastian akses.
Untuk periode JuIl 1998 s/d Mel 2000, jumlah jenis konflik, frekwensi dan intensitas
konflik mulai menurun. Mulai terlihat adanya ketaatan warga masyarakat setempat
terhadap aturan-aturan bersama yang membawa pengaruh pada ketenangan dan
kepastian akses terhadap lahan garapan masing-masing.
Dalam upaya penanganan/penyelesaian konflik yang melibatkan warga
masyarakat perkampungan Talang Mulya berkembang beberapa mekanisme
penanganan/penyelesaian antara lain dengan cara membiarkan saja dan mengelak,
cara paksaan, perundingan di antara para pihak yang berkonflik, dim dengan cara
mediasi melalui aparat pemerintahan kampung, instansi kehutanan, Kelompok
Pengelola dan Pelestarian Hutan (KPPH), Gabungan KPHH dan Forum Musyawarah
Kelompok (FMK). Secam keselurtthan dalam upaya penanggulangan/penyelesaian
konflik penguasaan dan pemanfaatan kawasan hutan masyarakat setempat tidak
mengacu pada aturan atau hukum nasional. Karena hukum nasional (terutama di
bidang kehutanan) sudah jelas melarang akses masyarakat untuk memanfaatkan
kawasan hutan Gn. Betting. Masyarakat cenderung meuggunakan aturan (hukum)
yang dibuat dan disepakati sendiri oleh masyarakat.
Hasil kajian ¡ni menunjukkan bahwa melalui organisasi dan pranata
pengelolaan hutan yang dibangun sendiri masyarakat berhasil menyelesaikan dan
sekaligus menekan tezjadinya konflik penguasaan dan pemanfaatan kawasan hutan di
tingkat masyarakat. Fenomena ini mengindikasikan bahwa penanganan konflik
konflik penguasaan cian pemanfaatan kawasan hutan diperlukan adanya kelembagaan
secara organisatoris yang dibangun oleh komunitas hutan yang bersangkutan. Sebab
dalam situasi sosial yang syarat dengan persaingan, tanpa kerjasama di antara semua
pihak pengelolaan huían secam bertanggung jawab mustahil dicapai, karena itu
situasi ¡ni perlu dipulihkan dengan memberi peluang agar dapat berkembangnya
suasana kebersamaan untuk melihat secam kolektif bahwa persoalan huían bukan
hanya menjadi persoalan pemerintah tetapi menjadi persoajan semua pihak
"
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T5460
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prudensius, Maring
"Bentuk-bentuk praktik pemanfaatan lahan kawasan hutan yang dilakukan oleh masyarakat Sumber Agung merupakan keputusan yang dilakukan di tengah pangaruh berbagai faktor yang melingkupinya. Masyarakat Sumber Agung tinggal di pinggir kawasan hutan dan memanfaatkan lahan kawasan hutan. Praktik pemanfaatan lahan hutan yang dilakukan meliputi kegiatan berladang, tumpangsari, kebun monokultur dan kebun campuran. Dalam kenyataan, bentuk-bentuk praktik pemanfaatan lahan kawasan hutan tersebut telah menimbulkan kerusakan hutan karena banyak aspek yang telah memberikan pengaruh terhadap pilihan bentuk-bentuk praktik pemanfaatan lahan kawasan hutan tersebut.
Kajian ini menjelaskan hubungan interaktif antara bentuk-bentuk praktek pemanfaatan lahan kawasan hutan yang dilakukan oleh masyarakat lokal dengan kebutuhan ekonomi rumah tangga, pasar, pengetahuan lokal dan penerapan kebijakan pembangunan. Bentuk-bentuk praktik pemanfaatan lahan kawasan hutan merupakan keputusan yang dilakukan di tengah situasi dan kondisi sosial yang melingkupinya. Untuk menjelaskan proses pengambilan keputusan yang dilakukan dan mengungkap pertimbangan yang mendasarinya maka kajian ini mengacu kepaga kerangka teori pengambilan keputusan. Penelitian lapangan dilakukan sejak bulan Oktober 1998 - Oktober 1999. Penelitian dilakukan di kampung Sumber Agung, sebuah kampung berbatasan dengan kawasan hutan yang dihuni masyarakat yang sumber penghidupannya berasal dari pemanfaatan sumberdaya dan kawasan hutan gunung Betung.
Kajian ini mengungkapkan bahwa bentuk-bentuk praktik pemanfaatan lahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat Sumber Agung merupakan keputusan dalam menghadapi berbagai faktor yang saling berkaitan terutama upaya pemenuhan kebutuhan ekonomi rumah tangga, ketersediaan pasar dan kepastian harga, pengalaman dan pengetahuan masyarakat lokal dan penerapan kebijakan pembangunan. Pada setiap praktik pemanfaatan lahan hutan yang dilakukan, pemenuhan kebutuhan ekonomi rumah tangga selalu menjadi pertimbangan masyarakat. Hal ini tercermin dari berbagai pilihan tanaman pada semua bentuk praktik pemanfaatan lahan yang selalu dipertimbangan untuk dapat memenuhi kebutuban pangan dan uang tunai dalam jangka pendek dan sebagai investasi jangka panjang. Pertimbangan ekonomi dalam pilihan tanaman tahunan selalu diintegrasikan dengan ketersediaan pasar dan harga jual. Pengetahuan teknis budidaya tanaman dan kemampuan memahami kesesuaian agroklimat dengan pilihan tanaman selalu dikembangkan dalam proses belajar dari pengalaman di lingkungan sekitarnya. Tidak konsistennya penerapan kebijakan pembangunan, di satu sisi telah memberikan peluang kepada masyarakat untuk mengembangkan praktik pemanfaatan lahan hutan. Tetapi di sisi lain telah menimbulkan suasana yang tidak nyaman bagi masyarakat dan telah mengabaikan kemampuan dan pengalaman masyarakat dalam pengelolaan lahan kawasan hutan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T4694
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eisenstadt, Shmuel Noah
Jakarta: Rajawali , 1986
303.6 EIS r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Fransisca Anggarani Purbaningtyas
"Konflik atas sumber daya hutan terjadi secara meluas di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Berbagai kajian mengungkapkan bahwa konflik yang terjadi di Indonesia ini terjadi karena implementasi kebijakan pemerintah yang membatasi akses warga kampung hutan untuk ikut serta mengelola hutan sekaligus mendapatkan manfaat dari sumber daya tersebut. Konflik yang diuraikan ini sebenarnya hanya merupakan bagian dari konflik secara keseluruhan yang dihadapi warga kampung hutan dalam kehidupan mereka.
Dengan melihat konflik sebagai suatu proses rangkaian kejadian dimana masing-masing pihak yang berkonflik berusaha memenangkan kepentingan masing-masing dengan pilihan Cara masing-masing, kajian ini mengupas pilihan pranata yang diambil oleh warga kampung hutan dalam mekanisme penanganan konflik yang mereka hadapi, termasuk konflik yang berkenaan dengan pengelolaan sumber daya hutan. Pilihan ini diambil berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang dapat dirumuskan seagai kemanan dan kenyamanan pihak yang terlibat dalam menangani konflik dengan tetap memperjuangkan kepentingannya sebagai tujuannya.
Kajian mengenai konflik ini didasarkan pada sejumlah kasus konflik yang ditemukan pada saat penelitian lapangan dan kemudian dituliskan kembali dalam bentuk ilustrasi rangkaian kejadian konflik dengan satu konteks tertentu. Konflik yang disajikan berupa konflik yang berkenaan dengan penguasaan dan pemanfaatan lahan baik di areal warga maupun di kawasan hutan negara, konflik seputar renovasi masjid Al - Iman di Kampung Baru, konflik pengelolaan kawasan hutan berupa peremajaan kopi dan pengarangan dalam kawasan hutan negara dan konflik-konflik pencurian.
Dari kajian ini ditemukan bahwa warga kampung hutan mendasarkan pilihan pranata berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertimbangan yang paling mendasar adalah ketersediaan pranata dalam masyarakat setempat. Dari pranata-pranata tersebut, ada kemungkinan pihak-pihak yang terlibat memilih lebih dari satu pranata dengan pertimbangan keamanan dan kenyamanan posisi mereka dan tercapainya tujuan yang diinginkan. Pada kondisi dimana aturan dan mekanisme penanganan konflik tidak tersedia, warga kampung, dengan dibantu oleh pihak luar ataupun tidak, mampu menciptakan pranata baru melalui musyawarah yang menghasilkan kesepakatan-kesepakatan bersama antara berbagai pihak yang berkepentingan. Kehadiran pihak luar sebagai pihak yang menyadarkan para. pihak yang berkonflik dan menggerakkan para pihak itu untuk bersama-sama menangani konflik, sekaligus menjadi teman belajar bersama untuk menemukan suatu bentuk pranata yang sesuai untuk menangani konflik yang terjadi dapat mempercepat proses pembangunan pranata ini.
Berdasarkan hasil dari kajian ini, dapat diambil suatu pemahaman baru mengenai konflik masyarakat kampung hutan. Pada umumnya, konflik yang terjadi pada masyarakat kampung hutan terjadi karena adanya ketidaksepahaman yang dibiarkan berlanjut dan diejawantahkan dalam sikap terbuka atau terselubung dalam berbagai arena social. Oleh karena itu, walaupun konflik yang terjadi tidak serta merta dapat difragmentasi sebagai konflik kehutanan atau non-kehutanan. Dengan melihat konflik masyarakat kampung hutan sebagai suatu kesatuan, dapat dilihat dengan lebih jelas bahwa ternyata, konflik warga kampung hutan dengan pihak Dinas Kehutanan sehubungan dengan pemanfaatan dan penguasaan lahan dalam kawasan hutan negara hanya merupakan satu bagian kecil dari satu konflik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat kampung hutan.
Upaya untuk mencegah dan menangani konflik yang terjadi Dapat dilakukan secara efektif jika masyarakat memiliki pranata yang kuat sebagai tempat mereka berpaling dan bersandar. Keberadaan pranata yang kuat juga dapat menjadi sarana komunikasi antara warga dan pihak lain yang terkait dengan pengelolaan kawasan hutan. Selain itu, peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah juga dapat dijadikan bagian dari pranata ini dengan cara menyederhanakan proses dan bahasa aturan tersebut. Kiranya, inilah cara yang paling efektif yang dapat dilakukan untuk proses sosialisasi peraturan dan kebijakan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13799
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ali Mochthar Ngabalin
"Mengharapkan hadimya seorang Tokoh yang didengar, dihormati, dan disegani, adalah suatu dambaan tersendiri bagi masyarakat di Maluku saat ini. Betapa tidak, negeri yang terkenal, toleran dan konpromis, dalam nuansa heterogenitas masyarakat yang kental tersebut, kini diporak-porandakan oieh konfiik, dan tidak ada seorang pun yang mampu menyelesaikannya. Koniiik yang telah berlangsung lebih dari dua tahun ini, hampir dapat dikata berhasil meluluh-lantakan semua tatanan sosial Iokal yang selama ini terbangun mapan di masyarakat meialui proses-proses kultural. Dengan kata lain, pemirnpin dan kepemimpinan di Maluku dalam skala kecil (in grup), maupun masyarakat secara luas, saat ini dipertanyakan.
Padahal, berbicara mengenai pemuka pendapat di Maluku, tidak kurang banyaknya orang yang memiliki kapasitas dan kapabilitas sebagai pemuka pendapat. Berbagai pengalaman telah membuktikan bahwa Iewat kepemukaannya, para pemuka pendapat memperiihatkan peranannya yang dominan dan signiiikan, di masyafakat. Kepemukaan mereka telah banyak dibuktikan dalam hai penyelesaian konfiik yang terjadi di masyarakat, dimana tidak periu mengikutsertakan pihak Iuar (termasuk TNI dan Polri).
Dalam sejarah perjalanan masyarakat di Maluku, kemampuan pemuka pendapat dalam mengelola konflik terlihat sedemikian rupa, sehingga konflik dengan dampak yang negatif sekalipun, mampu dikelola menjadi kekuatan yang positif. Hasilnya adalah, terbangunnya relasi-relasi sosial, kohesi sosial bahkan integrasi sosial. Kenyataan ini yang melahirkan hubungan-hubungan seperti, Pela dan Gandong.
Ketika konflik terus berlanjut, orang lalu menanyakan dimana peran pemuka pendapat yang selama ini ada ? siapa-siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai pemuka pendapat, dan bagaimana perannya saat ini? Pertanyaan-pertanyaan ini yang mendorong dilakukannya studi ini.
Dari hasil studi di lapangan, ditemukan seiumlah fakta berkaitan dengan permasalahan sebagaimana diajukan di atas. Pertama, konfiik yang terjadi sejak 19 Januari 1999, adalah konflik yang direncanakan, dengan memanfaatkan sejumlah persoalan sosial seperti, masalah mayoritas- minoritas, masalah kebijakan politik pemerintahan Orde Baru, masalah kesenjangan sosial, ekonomi antara pusat dan daerah, masalah imigran dan penduduk asli, serta masalah politisasi agama. Kedua, Konfiik berhasil membangun fanatisme kelompok yang sempit, dimana setiap orang mengidentifikasi dirinya secara subyektif berbeda dengan orang lain di Iuar kelompoknya. Dengan demikian, kepemukaan seseorang sering mengalami gangguan komunikasi dalam berhadapan dengan kelompok di Iuamya (out group). Ketiga, Masuknya kelompok Iuar dalam jumlah besar dengan kekuatan dan kekuasaan yang besar, adalah faktor kendala tersendiri bagi berperannya seorang-pemuka pendapat secara signiikan di Maluku.
Untuk maksud studi ini, maka tipe penelitian yang digunakan adalah diskriptif kualitatif. Dengan metode ini diharapkan akan dapat dituliskan secara sistimatis semua fenimena konflik yang terjadi di masyarakat pada Iatar alamiahnya, dan bagaimana peran pemuka pendapat dalam upaya penyelesaian konflik tersebut.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T4904
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Blowers, Andrew
Jakarta: UI-Press, 1983
301 BLO it
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yan Dirk Wabiser
"Konflik tanah merupakan gejala universal yang terjadi hampir merata di seluruh Indonesia. Fenomena ini merupakan konsekuensi logis dari pesatnya peningkatan kebutuhan akan lahan dalam pembanguan di Indonesia.
Kasus konflik tanah di Irian Jaya pada umumnya, dan di Sentani khususnya menarik untuk dikaji karena tidak hanya bersifat horizontal, tetapi juga vertikal. Asumsi dasar dari konflik tanah ini adalah bahwa konflik tanah terjadi karena dua pihak atau lebih mempunyai klaim yang sama atas sebidang tanah. Klaim yang sama mencerminkan adanya interpretasi yang berbeda-beda tentang hak kepemilikan tanah, misalnya kasus konflik tanah Kampung Harapan yang melibatkan masyarakat adat sendiri (Ohee-Ongge dan Walli) dan Pemerintah Daerah Irian Jaya. Ketiga pihak yang berkonflik mempunyai klaim yang sama sebagai pemilik tanah yang sah atas tanah Kampung Harapan yang pernah dikuasai oleh pemerintah Belanda, sejak berakhirnya Perang Dunia II (1946).
Manfaat penulisan ini sebagai sumbangan pemikiran bagi pemerintah dan masyarakat adat untuk mengambil langkah-langkah bijaksana, guna meaekan konflik tanah, serta mengatasi masalah tanah sedemikian rupa, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Untuk membahas kasus konflik tanah Kampung Harapan, digunakan dua teori, yaitu Teori Integrasi Kelompok dan Teori Konflik, untuk mengkaji konflik antara masyarakat adat. Karena konflik ini melibatkan pemerintah, maka digunakan perspektif Lewis A.Cosser. Kedua teori ini dianggap relevan, karena integrasi yang kuat dalam suatu masyarakat dapat merupakan sebab terjadinya konflik sosial antara kelompok dalam masyarakat. Namun, dapat pula terjadi bahwa konflik yang terjadi dengan kelompok luar/lain dapat meningkatkan integrasi internal kelompok.
Konflik tanah antara Ohee-Ongge, Wally, dan Pemerintah Daerah Irian Jaya, bersumber pada perbedaan interpretasi tentang Staat van UitbetaaIde Schadevergoeding te Kota Nica, tanggal 25 Januari 1957. dan proses verbal tanggal 27 Februari 1957. Pihak Ohee-Ongge dan Wally berpendapat bahwa perabayaran sebesar f.10.000 (Duizend Gulden) yang dibayar oleh pemerintah Belanda (Nederlands Nieuw Guinea), hanya menyangkut pembayaran tanaman anak negeri, seperti yang tercantum dalam Staat van UitoetaaIde Schadevergoeding te Kota Nica, tanggal 25 Januari 1957. Jadi, tidak termasuk tanahnya, sebagaimana tercantum dalam proses verbal.
Bersamaan dengan itu, Pemda Irian Jaya berpendapat, bahwa pembayaran f.1O.000 sebagai ganti-rugi terhadap tanaman anak negeri beserta tanahnya. Oleh sebab itu, tanah sengketa menjadi tanah negara.
Untuk menyelesaikan kasus ini, digunakan Cara musyawarah dan peradilan formal. Masyarakat adat (Ohee-Ongge) mengambil inisiatif untuk menyelesaikan kasus ini dengan Pemda Irian Jaya, namun tidak berhasil. Oleh karena itu, langkah selanjutnya yang ditempuh adalah melalui peradilan formal. Di Pengadilan Negeri Jayapura dan Pengadilan Tinggi Irian Jaya, gugatan pihak Ohee-Ongge dinyatakan menang, dan pihak Wally dan Pemda Irian Jaya dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Karena adanya fasilitas, maka kasus ini dilanjutkan oleh pihak Wally dan Pemda Irian Jaya, ke Mahkamah Agung (MA), dan kembali kasus ini dimenangkan oleh pihak Wally dan Pemda Irian Jaya. Pada kenyataan ini, pihak Ohee-Ongge tidak tinggal diam, mereka juga mengajukan Peninjauan Kembali (PK) sebagai langkah terakhir dalam menempuh proses peradilan formal ke Mahkamah Agung. Dengan PK ini, pihak Ohee-Ongge kembali dinyatakan menang, dan kepada pihak Pemda Irian Jaya dituntut untuk mengganti/memberikan ganti rugi. Ternyata putusan PK MA tidak digubris sama sekali oleh Pemda Irian Jaya. Sikap Pemda ini diperkuat lagi dengan turunnya Surat Sakti Ketua MA yang membatalkan putusan MA yang memenangkan pihak Ohee-Ongge."
2001
T11421
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cintya Tyas Pawitra
"Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan penjelasan mengenai bentuk konflik dan kecemasan yang terjadi pada tokoh utama dalam novel Taklik: Nona Teh dan Tuan Kopi karya Crowdstroia. Psikoanalisis menjadi pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini karena persoalan yang dianalisis mencakup persoalan mengenai kondisi kejiwaan tokoh. Penelitian dilakukan dengan metode penelitian deskriptif kualitatif dan menghasilkan analisis berupa, penokohan tokoh Varsha yang perfeksionis, altruis, dan penuh kasih sayang. Sementara penokohan tokoh Regen mempunyai karakter yang simpati, protektif, dan teguh pendirian. Selain itu, ditemukan bahwa terdapat konflik internal dan eksternal yang terjadi pada tokoh utama. Penelitian ini juga menunjukkan kecemasan yang terjadi pada tokoh Regen, yaitu kecemasan neurotik, moral, dan realistis. Sementara tokoh Varsha mengalami kecemasan neurotik dan realistis. Relasi yang terbentuk dari konflik dan kecemasan adalah sebuah pertahanan diri.

This study aims to reveal an explanation of conflict and anxiety that occur in the main character in the novel Taklik: Nona Teh dan Tuan Kopi by Crowdstroia. Psychoanalysis approach is used in this study because the issues are regarding the psychological condition of the characters. The research was conducted using a qualitative descriptive method and the analysis resulted in the characterization of Varsha who is perfectionist, altruist, and full of compassion. While the characterization of Regen's character has a sympathetic, protective, and firm character. In addition, it was found that there are internal and external conflicts that occur in the main character. This study also shows the anxiety that occurs in Regen's character, namely neurotic, moral, and realistic anxiety. As long as Varsha's character experiences neurotic and realistic anxiety. Correlation between the existence of conflict and anxiety that occurs is a form of character self-defense."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>