Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 137925 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Frida Oesman
"ABSTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Penelitin : Perubahan glikoprotein
membrari sel sering dihubungkan dengan transformasi
keganasan. Salah satu komponen karbohidrat glikopro
tein membren adalah L?fukosa. . Diketahui bahwa kadar L?
fukosa glikoprotein dalam serum penderita berbagai
keganasan lebih tinçgi dibandinçkan dengan normal.
Jika peningkatan kadar fukosa glikoprotein terjadi
cukup dini, penentuannya mungkin dapat menuniukkan awal
perubahan ke arah keganasan. Untuk nengetahui apakah
peningkatan kadar luko?a serum terjadi pada awal peru?
bahan ke arch keganasan hati, maka diteliti bagaimana
hubungan perubahan kadar fukosa serum dan gambaran
mikroskopis jaringan hati tikus yang diberi aflatoksin
B1 (AFB1) untuk menginduksi kanker. Dalam penelitian
ini digunakan 36 tikus diberikan AFB1. dari 36 tikus
dlberikan pelarut Wb1. Aflatoksin dengan pelarut
dimetilformamida diberikan secara inkubasi lambung 20
ug, sekali 2 hari selama 12 minggu. Pengambilan serum
dari hati tikus dilakukan, setiap 4 minggu mulai minggu
ke?8 sampai minggu ke?40. Penentuan kadar fukosa serum
dilakuken sesuai dengan metode yang dilakukan oleh
Winzler dan sediaan jaringan hati dibuat dengan pewar
naan HE menurut Bhomer.
Hasil dan Kesjmpulan: Hasjl penelitian menunjukkan, bahwa
kenaikan kadar fukosa glikoprotein serum tikus yang
diberi AFB. lebih tinggi secara bermakna dibandingkan
dengan kontrol. Kadar rata?rata fukosa serum tikus
yang diberi AFB1 seluruh pengamatan adalah 13,09 ± 0,99
mgflOO mL dan tikus kontrel cdalah 11,72 ± 0,84 mg/lOO
mL. Disamping itu ternyata ada kecenderungan peningka
tan kadar lukosa serum sejalan dengan waktu, namun
kenaikan peningkatan ini secara statistik belum bermak
na untuk pengukuran pada waktu pengamatan yang sama.
Jaringan hati tikus yang diberi AFB1, memperlihatkan
gambaran, hiperplasia saluran empedu (perubahan awal ke
arah keganasan) mulai pengamatan minggu ke?36. Dari
hasil penelitian ini: dapat disimpulkan, bahwa pemberian
AFBJ menyebabkan peningkatan kadar lukosa serum, namun
pada penelitian ini belum depat dinyatakan perbedaan
yang bermakna pada seat sel menunjukkan perubahan awal
ke arah keganasan.

ABSTRACT
Scope and Method of Study: Cell membrane glycoprotein
changes is often related to malignant transformation.
One of the carbohydrate components of membrane glyco
protein, often observed to be increased in malignan
cies, is L?fucose. If this increase appears early
during the formation of malignancies it could be used
as a marker. The aim of this study was to determine
whether an increase of serum fucose concentration can
be detected during early malignant transformation.
Thirty six rats were administrated aflatoxin B1 in
dimethylformamide by gastric intubation and 36 rats
were used as controls. Aflatoxin was given in 20 ug
dosages every two days for a period of 12 weeks. Serum
and liver samples were collected once every 4 weeks
from week?8 until week?40. Serum fucose concentration
measured by the method introduced by Winzler ana
liver slices were stained with hematoxylin and .eosin
according to Bhomer.
Findings and conclusions: The serum protein?bound fucose
concentration in rats treated with aflatoxin B1, was
significantly higher than in the control group. The
mean concentration in the treated rats was 13.09 ± 0.99
mg/l00 mL and in the control group was 11.72 ± 0.84
mg/l00 mL. There was also a positive correlation
between the increase of serum fucose concentration and
the time of observation, although the increase in both
groups measured concurrently did not show significant
differences. The aflatoxin B1 treated rats show bile
duct hyperplasja (known as one of the earliest apparent
preneoplastic changes) as early as the 36th week. It
can be concluded that the administration of aflatoxin
8 causes increased serum fucose levels, although in
this study at the onset of cell differentiation toward
malignancy, this difference was still not significant."
1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Ernawati
"Salah satu masalah dalam pengobatan dan pencegahan kanker adalah kenyataan bahwa kanker hampir tidak pernah ditemukan pada keadaan dini. Kebanyakan diagnosis ditegakkan pada saat kanker sudah mencapai stadium yang cukup lanjut, sehingga pengobatan pun menjadi sukar. Dengan demikian peluang kesembuhan menjadi kecil. Hal ini antara lain disebabkan oleh belum ditemukannya senyawa yang secara dini dapat memberi isyarat bahwa seseorang mungkin mulai dijangkiti kanker. Adanya suatu pertanda kanker yang dapat dideteksi kehadirannya sejak dini akan meningkatkan kewaspadaan, baik pada dokter yang memeriksa maupun pada penderita sendiri. Dengan demikian usaha pengobatan yang lebih terarah dapat dilakukan.
Beberapa tahun terakhir ini para ahli telah melakukan banyak penelitian dalam usaha menemukan pertanda kanker. Pertanda kanker adalah senyawa-senyawa yang keberadaannya secara kualitatif atau kuantitatif, dapat menjadi pertanda adanya kanker dalam tubuh seseorang. Beberapa senyawa diperkirakan mempunyai potensi tersebut, salah satu di antaranya adalah asam sialat.
Asam sialat merupakan senyawa karbohidrat yang banyak terdapat pada permukaan sel. Asam sialat tidak terdapat dalam bentuk bebas. Senyawa ini selalu terikat dalam posisi terminal sebagai glikosfingolipid atau glikoprotein. Sampai saat ini fungsi asam sialat yang pasti belum jelas. Namun, senyawa-senyawa glikosfingolipid dan glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel diketahui mempunyai peran penting dalam interaksi antar sel dan interaksi antara sel dengan lingkungan abiotiknya.
Pada transformasi neoplastik terjadi berbagai perubahan pada sel, antara lain yang menyangkut sifat sosial sel. Sehubungan dengan hal itu telah diungkapkan berbagai perubahan yang terjadi pada permukaan sel. Perubahan tersebut ditemukan antara lain pada senyawa-senyawa glikosfingolipid dan glikoprotein yang berada di permukaan sel yang mengalami transformasi neoplastik.
Banyak hasil penelitian mengungkapkan bahwa kadar asam sialat dalam serum penderita kanker umumnya lebih tinggi dari pada normal. Kenaikan tersebut dijumpai pada berbagai jenis kanker, antara lain melanoma ganas, kanker payudara, kanker ovarium, kanker mulut rahim, kanker saluran urogenital, kanker saluran pencernaan, kanker paru, kanker hati, kanker urea dan leukemia.
Dari beberapa penelitian terungkap pula bahwa kenaikan kadar asam sialat serum sejalan dengan tingkat keparahan kanker dan besarnya tumor.
Namun belum lagi diketahui apakah kenaikan kadar asam sialat dalam serum tersebut sudah terjadi sejak dini, yaitu pada stadium ketika neoplasma tersebut masih berukuran kecil dan belum melakukan invasi terhadap jaringan di sekitarnya, kalau dapat bahkan pada keadaan pra kanker. Kadar asam sialat yang tinggi pada serum penderita kanker dapat dimanfaatkan sebagai salah satu petunjuk akan adanya kanker pada seseorang. Akan tetapi kegunaannya akan lebih besar apabila kenaikan kadar tersebut sudah dapat diketahui pada tingkat yang dini. Dengan perkataan lain asam sialat akan menjadi lebih bermanfaat jika dapat berfungsi sebagai pertanda dini kanker. Yang dimaksud dengan pertanda dini kanker adalah pertanda kanker yang sudah muncul dan dapat dideteksi kehadirannya sejak dini. Dengan demikian pertanda dini kanker adalah senyawa-senyawa yang dapat menjadi isyarat bahwa dalam tubuh seseorang sudah mulai terjadi proses perubahan sel ke arah keganasan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T6724
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ani Retno Prijanti
"ABSTRAK
Ruang lingkup dan cara penelitian: Telah dilakukan penelitian induksi kanker hati tikus dengan aflatoksin B1. Penelitian ini ingin melihat apakah asam sialat meningkat lebih dini dari AFP pada induksi kanker hati tersebut. 50 ekor tikus perlakuan diinduksi dengan intubasi lambung 42 x 20 ug aflatoksin B1 Sebagai kontrol, 50 ekor tikus diintubasi dengan sejumlah sama akuades. Pengamatan dilakukan dengan mengambil plasma dan jaringan hati setiap bulan selama 10 bulan pemeliharaan. Pada contoh uji dilakukan pengukuran kadar asam sialat, deteksi AFP plasma dan pengamatan histopatologis jaringan hati. Pengukuran kadar asam sialat dilakukan dengan cara spektrofotometri, sedangkan deteksi AFP dengan cara ELISA. Pengukuran AFP dengan teknik ELISA memerlukan antigen AFP dan antibodi anti AFP tikus, yang ternyata tidak tersedia dipasaran. Antibodi anti AFP dibuat dengan imunisasi kelinci menggunakan protein amnion. Setelah imunisasi ke 3 titer antibodi sebesar 1280, setelah imunisasi ke 5 sebesar 2560. Purifikasi antibodi dilakukan dengan kolom imunoafinitas AminoLink. Purifikasi AFP dari amnion dilakukan dengan kolom afinitas Cibacron Blue. Uji statistik yang dipakai untuk analisis hasil adalah analisis Marian dua arah, dengan batas kemaknaan p<0,05.
Hasil dan kesimpulan: Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar asam sialat plasma kelompok tikus perlakuan berbeda bermakna dengan kelompok kontrol sejak bulan pertama (p<0,05). Deteksi AFP menunjukkan peningkatan AFP pada kelompok tikus perlakuan dan tidak pada kelompok tikus kontrol sejak bulan pertama (p<0,05). Pengamatan histopatologis menunjukkan adanya perubahan yang dapat menuju kearah keganasan. Dengan demikian hasil pengamatan petanda tumor pada tikus yang diinduksi kanker hati menunjukkan bahwa baik kadar AFP maupun asam sialat meningkat pada waktu dini, satu bulan setelah induksi dengan aflatoksin B1 .

ABSTRACT
Determination of The Earliness of Rat Plasma α-Fetoprotein (AFP) and Sialic Acid Levels as Tumor Markers in the Process of Liver Carcinogenesis Induction By Aflatoxin B1 (AFB1) Scope and method of study: An experimental study of aflatoxin B1 induced liver carcinogenesis has been done. The aim oh this study was to prove the increase of plasma sialic acid level is earlier than the AFP level in liver carcinogenesis. Fifty rats that were treated with daily intubations of 20 gg for a period of 42 days. Fifty control rats were intubated with equal volumes of aquadest. Observation of the plasma and liver tissues were done every month, including measurement of plasma AFP, sialic acid level, and histopatology of the liver tissue. Sialic acid level was done by spectrophotometric technique, and ELISA technique was used for the detection of plasma AFP. The ELISA technique for rat AFP needs rat AFP antigen and antibody anti rat AFP which were not available from chemical suppliers. The antibody anti rat AFP was developed by immunization of rabbits with rat amniotic protein. After the 3rd immunization, rabbit antibody anti rat amniotic titter was 1280, and after the 5th immunization 2560. Antibody purification was done by immunoaffinity chromatography column (AminoLink). Purification of the rat AFP from amniotic fluid was done by affinity chromatography column (Cibacron Blue). The result were analyzed by Analysis of varians, with p<0,05.
Results and conclusions: The results showed that the plasma sialic acid level of rats treated with aflatoxin B1 were significantly different from that of the control rats, p<0,05. Besides, plasma AFP was detected in the treated rats, but not in the control rats, from the first month. The histopathologic observation of the treated rat livers showed that there were changes that could lead to neoplastic livers. Both plasma and sialic acid levels were seen early, starting from the first month after induction of carcinogen by aflatoxin B1.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Martina
"Aflatoksin B1 adalah racun yang potensial bersifat karsinogenik, hepatotoksik, mutagenik, dan imunosupresif, yang merupakan metabolit sekunder dari galur tertentu jamur Aspergillus yang tumbuh pada berbagai bahan makanan dan minuman.
Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi kandungan aflatoksin dalam jus buah kemasan yang beredar di pasaran, yaitu jus buah jeruk, mangga, dan jambu secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT) densitometri.
Kondisi optimum KLT terdiri atas fase diam berupa lempeng KLT silika gel 60 F254, 20 x 10 cm dengan tebal lapisan 0,25 mm (Merck); fase gerak berupa kloroform-etil asetat (7:3); dan metanol sebagai pelarut. Deteksi dan kuantitasi dilakukan dengan Camag TLC scanner III, menggunakan detektor fluoresensi pada panjang gelombang eksitasi maksimum 354 nm dan emisi 400 nm.
Hasil pengujian menunjukkan data kurva kalibrasi yang linear antara 20—160 pg dengan koefisien korelasi 0,9977; batas deteksi 10,70 pg; dan batas kuantitasi 35,67 pg. Rata-rata uji perolehan kembali jus buah mangga 95,82% dan jus buah jambu 83,59%. Penerapan metode ini terhadap masing-masing tiga merk sampel jus buah mangga dan jus buah jambu kemasan menunjukkan tidak satupun yang tercemar AFB1."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2006
S32541
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kusmawanto
"ABSTRAK
Pendahuluan: Radikal bebas menjadi masalah serius karena dapat menyebabkan berbagai penyakit lewat mekanisme perusakan DNA, protein, lipid, dan karbohidrat. Cengkeh Syzygium aromaticum dipercaya memiliki efek antioksidan yang kuat. Penelitian ini akan mencari tahu efek antioksidan ekstrak air cengkeh terhadap kerusakan hati dan plasma akibat CCl4 dan perbedaan akibat lama pemberian.Metode: Desain penelitian adalah eksperimental in vivo. Data didapat dengan mengukur konsentrasi senyawa karbonil pada hati dan plasma 24 tikus Wistar yang dibagi ke dalam 6 kelompok, yaitu Kontrol Normal tanpa perlakuan , Kontrol Positif CCl4 diikuti ?-tokoferol , Kontrol Negatif induksi CCl4 , Cengkeh 1 cengkeh selama 1 hari , CCl4 Cengkeh 1 CCl4 diikuti cengkeh selama 1 hari , serta CCl4 Cengkeh 3 CCl4 diikuti cengkeh selama 3 hari . Dosis cengkeh 200 mg/ kgBB.Hasil: Hasil uji hati didapat kadar karbonil Kontrol Negatif lebih rendah dibanding CCl4 Cengkeh 1 p=0.257 tetapi lebih tinggi dibanding CCl4 Cengkeh 3 p=0.91 . CCl4 Cengkeh 1 lebih tinggi dibanding Kontrol Normal p=0.005 dan CCl4 Cengkeh 3 p=0.008 . Hasil uji plasma didapat kadar karbonil Kontrol Negatif lebih rendah dibanding CCl4 Cengkeh 1 p=0,008 tetapi lebih tinggi dibanding CCl4 Cengkeh 3 p=0,085 .Kesimpulan:Cengkeh memiliki efek antioksidan yang mampu mengatasi kerusakan hati dan plasma akibat CCl4 dan waktu 3 hari merupakan waktu yang dibutuhkan untuk menunjukkan efek.

ABSTRACT
Introduction Free radicals is a serious problem because it can cause various diseases through the mechanism of destruction of DNA, proteins, lipids, and carbohydrates. Cloves Syzygium aromaticum is believed to have strong antioxidant effect. The aim of this study was to find out the antioxidant effects of water extracts of cloves to damage the liver and plasm due to CCl4 and difference in duration of administration.Methode The study design was experimental research in vivo. Data obtained from measurement of carbonyl concentration in 24 Wistar rats liver and plasmwhich are divided into 6 groups Normal Control without treatment , Positive Control CCl4 followed by tocopherol , Negative Control induction CCl4 , Cloves 1 clove for 1 day , CCl4 Clove 1 CCl4 followed cloves for 1 day , and CCl4 Clove 3 CCl4 followed cloves for 3 days . Dose of cloves was 200 mg kgBB.Result The results of liver test obtained the carbonyl level in Negative Control is lower than CCl4 Cloves 1 p 0257 but higher than CCl4 Clove 3 p 0.91 .CCl4 Cloves 1 is higher than Normal Control p 0.005 and CCl4 Clove 3 p 0.008 . The test results obtained plasm carbonyl level in Negatif Control is lower than CCl4 Cloves 1 p 0.008 but higher than CCl4 Clove 3 p 0.085 .Conclusion Cloves have antioxidant effects that can overcome the liver and plasm damage caused by CCl4 and it considered that 3 days the time required to show an effect."
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Pardiastuti Bhudjono
"Radioterapi mempunyai peranan yang penting pada penderita penderita Karsinoma Serviks Uteri dan Karsinoma Ovarium serta Karsinoma Endometrium pascabedah. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara ketahanan hidup 5 tahun penderita keganasan ini pada tingkatan penyakit dini yang hanya mendapat radioterapi saja dan yang dilakukan tindakan operasi dengan dilanjutkan radiasi pascabedah.
Sebelum digunakan pesawat dengan energi tinggi, radiasi dengan menggunakan pesawat energi rendah mempunyai keterbatasan karena taleransi kulit yang rendah, Pada saat ini dengan penggunaan pesawat berenergi tinggi dapat diberikan dosis radiasi yang jauh lebih tinggi dengan cedera kulit minimal sekalipun untuk tumor tumor yang letaknya dalam. Dengan demikian diharapkan angka kesembuhan lokal yang tinggi, tetapi dengan kemungkinan akan didapatkan efek samping yang lebih tinggi pada organ organ disekitarnya . Organ organ yang patut mendapat perhatian pada radiasi daerah pelvis atau abdomen adalah bull bull, ureter, rektum, kolon sigmoid dan usus halus. Komplikasi pada traktus digestivus berkisar antara rasa tidak enak pada saluran pencernaan, diare dan yang lebih berat dari itu adalah stenosis usus. Pada dosis radiasi yang lebih tinggi dapat terjadi fistulasi yang kadang kadang memerlukan intervensi pembedahan.
Dikenal suatu sindroma dengan gejala gejala nyeri pada perut disertai diare yang disebabkan oleh karena adanya asam empedu yang berlebihan didalam kolon. Sindroma ini didapatkan pada penderita dengan penyakit pada ileum dan disebut sebagai Cholerheic Enteropathy. Seperti diketahui pada keadaan normal asam empedu direabsorpsi oleh ileum.
Gambaran yang sama dengan " Cholerheic Enteropathy " didapatkan pada pereobaan binatang yang mendapat radiasi. Sehingga dipikirkan bahwa gangguan diatas merupakan faktor yang panting atas terjadinya diare pada penderita yang mendapat radiasi daerah pelvis atau abdomen.
Dengan metoda radiasi konvensional yang diberikan 5 kali per minggu, dengan dosis harian 200 cc/hari selama kurang lebih 5 minggu, keluhan diare biasanya mulai timbul pada minggu kedua. Setelah selesai radiasi pada sebagian besar kasus diare akan berhenti atau mereda dalam beberapa minggu.
Dilaporkan oleh Newman bahwa terjadi perubahan defekasi pada 12 dari 17 penderita dengan tumor ganas kandungan yang mendapat terapi radiasi. Sedangkan Van Blankestein mendapatkan penurunan reabsorpsi asam empedu pada semua pasien yang mendapat radiasi daerah abdomen. Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari jawaban salah satu dari berbagai kemungkinan penyebab diare berlandaskan teori diatas, yakni dengan mendapatkan data data mengenai gambaran kadar asam empedu dalam serum penderita kanker ginekologis yang mendapat terapi radiasi pada daerah pelvis atau abdomen, balk kadar asam empedu dalam keadaan puasa maupun sesudah makan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vikie Nouvrisia Anandaputri
"Latar Belakang. Pasien kanker laring dapat mengalami malnutrisi sebelum
menjalani radioterapi yang ditandai dengan penurunan berat badan yang tidak
disengaja akibat penurunan massa bebas lemak. Kasus serial ini bertujuan untuk
mengamati kaitan asupan protein dengan perbaikan fat free mass index (FFMI).
Metode. Empat pasien pada serial kasus ini didiagnosis karsinoma sel skuamosa
laring pascalaringektomi total dan diseksi leher stadium III dan IV dengan status
gizi malnutrisi berat dan sedang, berat badan normal, dan obes I, berusia 51-62
tahun yang dikonsulkan ke dokter Gizi Klinik pada bulan Agustus sampai
November 2019 sejak awal radioterapi. Terapi medik gizi diberikan sesuai dengan
kondisi klinis melalui jalur oral. Pemantauan dilakukan pada minggu pertama
radiasi, selama radiasi, minggu terakhir radiasi, dan pascaradiasi.
Hasil. Kadar albumin serum keempat pasien dalam batas normal dan meningkat
saat akhir radiasi pada tiga orang pasien. Pasien malnutrisi sedang mengalami
penurunan FFMI dengan asupan protein <2 g/kg BB, pasien malnutrisi berat
mengalami peningkatan FFMI dengan asupan protein 1,1-1,4 g/kg BB. FFMI
pasien obes meningkat lalu menurun dengan asupan protein 0,8-1,7 g/kg BB.
FFMI pasien BB normal meningkat dengan asupan protein 2 g/kg BB. Rentang
asupan protein adalah 0,7-1,5 g/kg BB saat awal radiasi, selama radiasi 0,8-2 g/kg
BB, akhir radiasi 1,1-2 g/kg BB.
Kesimpulan. FFMI cenderung mengalami peningkatan sampai akhir radiasi pada
asupan protein yang mencapai 2 g/kg BB pada pasien BB normal. Perlu penelitian
lebih lanjut mengenai hubungan asupan protein dan FFMI pada pasien KSS laring
yang menjalani radioterapi.

Bacground. Laryngeal cancer patients can experience malnutrition before
undergoing radiotherapy characterized by unintentional weight loss due to a
reduction in fat free mass. Aim of the case series to observe protein intake with fat
free mass index (FFMI) improvement.
Method. Four patients were diagnosed with laryngeal squamous cell carcinoma
post total laryngectomy and neck dissection with nutritional status of severe and
moderate malnutrition, normal weight, and obese grade I, aged 51-62 years who
were consulted to Clinical Nutrition physician in August to November 2019 which
underwent radiotherapy. Medical nutrition therapy is given according to the
clinical condition of each patient through oral. Monitoring was carried out in the
first week, during, the end, and after radiation.
Results. Serum albumin were within normal level and increased at the end of
radiation in 3 patients. FFMI of malnourished patients was decreased with
protein intake <2 g/kg BW. FFMI of severely malnourished patients increases
with protein intake from 1.1 to 1.4 g/kg body weight. FFMI of obese patients
increases then decreases with protein intake from 0.8 to 1.7 g/kg body weight.
FFMI of normoweight patients increases with a protein intake of 2 g/kg BW. The
range of protein intake is 0.7-1.5 g/kg BW at first week, 0.8-2 g/kg BW during,
and 1.1-2 g/kg BW at the end of radiation.
Conclusion. FFMI tends to increase on protein intake 2 g/kg BW in normoweight
patients. Further research is needed regarding the relationship of protein intake
and FFMI in laryngeal patients undergoing radiotherapy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anyelir Nielya Mutiara Putri
"Pendahuluan: Penyakit ginjal diabetikum PGD merupakan komplikasi diabetes dan etiologi utama dari penyakit ginjal kronis PGK . Konsumsi diet yang tinggi akan fruktosa dan kolesterol dapat berujung pada PGD. Obat yang menjadi lini pertamanya adalah penghambat sistem renin-angiotensin-aldosteron RAA , seperti kaptopril. Diperlukan agen yang dapat membantu penanganan PGD dengan menargetkan jalur patofisiologis lainnya. Beberapa studi telah menunjukkan potensi efek renoprotektif dari Acalypha indica AI , sehingga dapat menjadi alternatif penanganan PGD.
Metode: Sebanyak 32 ekor tikus Sprague-Dawley dibagi ke dalam enam kelompok, dengan empat yang mendapatkan diet tinggi fruktosa dan kolesterol DTFK dan dua mendapatkan diet normal selama tujuh minggu. Selama empat minggu berikutnya tiga kelompok DTFK mendapatkan terapi dengan AI 250 mg/kgBB , kaptopril 2,5 mg/kgBB , dan kombinasi keduanya, sementara satu kelompok diet normal diterapi dengan AI. Dilakukan pengukuran kadar ureum dan kreatinin serum dari sampel darah yang diperoleh sebelum minggu ke-7 dan sesudah terapi diberikan minggu ke-11.
Hasil: Pada kelompok normal, pemberian AI dapat menurunkan kadar ureum dan kreatinin serum, meskipun tidak berbeda secara signifikan dengan kontrol normal. Pada kelompok DTFK, monoterapi AI dan kaptopril dapat menurunkan kadar ureum serum jika dibandingkan dengan kontrol negatif, namun tidak berbeda secara signifikan. Sementara itu, kadar keratinin serum kedua kelompok tersebut mengalami penurunan. Terapi kombinasi ditemukan menimbulkan peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum yang berbeda secara signifikan dengan kelompok kaptopril dan kedua kelompok normal. Ini dapat mengindikasikan potensi interaksi antagonistik antara AI dan kaptopril.
Kesimpulan: Pemberian AI secara tunggal cenderung memberikan efek protektif terhadap ginjal, meskipun tidak signifikan secara statistik. Terdapat potensi interaksi antagonistik antara AI dengan kaptopril, yang dapat berdampak negatif bagi ginjal. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengkaji efek renoprotektif dari AI dan potensi interaksi antagonistiknya dengan kaptopril.

Introduction Diabetic kidney disease DKD is a complication of diabetes and main etiology of chronic kidney disease CKD . Consumption of diets with high fructose and cholesterol content may lead to the development of DKD. Drugs that inhibit the rennin angiotensine aldosterone RAA system, such as captopril, are the first line treatment for the disease. Studies have shown that Acalypha indica AI has a potential renoprotective effect, thus it may become an alternative treatment for DKD.
Method Thirty two Sprague Dawley rats are divided into six groups, with four groups receiving high fructose and high cholesterol diet HF CD and two groups receiving normal diet for seven weeks. After that, for another four weeks, three groups with HF CD received treatment with AI 250 mg kgBW , captopril 2,5 mg kgBW , and both, while one group with normal diet received treatment with AI. Serum urea and creatinine levels from blood samples collected before week 7 and after the therapy was given week 11 were measured.
Results In the normal group, AI therapy decreases serum urea and creatinine levels, but the difference is not stastically significant. In the HF CD group, AI and captopril monotherapy is shown to decrease serum urea and creatinine levels compared to negative control group, though not statistically significant. Meanwhile, the serum creatinine levels of the two groups decrease. Combination therapy group is found to elevate serum urea and creatinine levels. The elevation of serum urea level is significantly different with captopril group and the two normal groups. This may indicate potential antagonistic interaction between AI and captopril.
Conclusion AI as a monotherapy has a tendency to give protective effect to the kidney, though is not statistically significant. This study has also shown antagonistic interaction between AI and captopril, which may have negative effects toward the kidney. Another study should be conducted to learn more about the renoprotective effect of AI and its potential antagonistic interaction with captopril."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadlika Harinda
"Pasien rawat inap ICU sering ditemui dengan keadaan balans cairan akumuatif positif. Hal ini dapat menjadi penanda biologis sekaligus faktor risiko perburukan gagal fungsi organ dan kematian. Untuk itu, koreksi balans cairan utamanya pada pasien dengan urin output berkurang diperlukan. Furosemid merupakan agen diuretik pilihan. Akan tetapi, furosemid dapat menyebabkan abnormalitas elektrolit. Atas dasar itu, dilakukan studi analisis komparatif antara perubahan kadar elektrolit dan pH serum terhadap penggunaan furosemid pada pasien balans cairan akumulatif positif di ICU. Dengan desain penelitian kohort retrospektif, diperoleh 222 sampel rekam medik RSCM melalui metode consecutive sampling. Data penggunaan furosemid dan perubahan kadar elektrolit dan pH serum dimasukkan dalam tabel kemudian dianalisis menggunakan uji T tidak berpasangan.
Hasil menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna pada perubahan kadar elektrolit dan pH serum dengan penggunaan furosemid pada pasien balans positif di ICU (p>0,05). Furosemid dapat menyebabkan penurunan kadar elektrolit dan fluktuasi pH pada pengukuran 0, 24, 48, dan 72 jam pasca pemberian. Hal ini dapat terjadi akibat adanya mekanisme kompensasi tubuh terhadap retensi Na+-K+-Cl- pada urin yang terjadi sebagai efek kerja dari furosemid. Hal ini kemudian dikompensasi dengan retensi H+ yang menyebabkan fluktuasi pada pH. Meskipun demikian, perubahan-perubahan yang terjadi secara statistik tidak berbeda bermakna.

hospitalized patients are often found with positive accumulative fluid balances. This can be a biological marker as well as a risk factor for worsening organ function failure and death so that correction of fluid balance is necessary. However, as one of preferred diuretic agent, furosemide can cause electrolyte abnormalities. This retrospective cohort study was carried out to analyze difference between serum electrolyte levels and pH changes prior to furosemide usage in patients with positive accumulative fluid balance in intensive care. Data collected from 222 medical records in Cipto Mangunkusumo Hospital obtained by consecutive sampling. The use of furosemide and changes in serum electrolyte levels and pH data were analyzed using independent T-test.
The results show that there are no significance differences between serum electrolyte levels and pH changes prior to furosemide usage (p> 0.05). A decrease in electrolyte levels on 0, 24, 48, and 72 hours after furosemide use measurements can occur due to body's compensation mechanism for urinary Na+-K+-Cl- retention as main effect of furosemide. This plasma electrolyte repletion is compensated by plasma H+ retention and the fluctuation of pH occurred. Even so, changes that occur statistically have no significance.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deni Samsudin Permana
"[AFB1 merupakan mikotoksin yang dihasilkan jamur Aspergillus terutama A. flavus dan A. parasiticus yang hidup di daerah tropis. AFB1 dapat ditemukan pada berbagai produk pertanian dan makanan pokok mamalia seperti kacang tanah, jagung, kedelai, beras, dan gandum sehingga produk ini beresiko tinggi terkontaminasi toksin terutama AFB1 pada masa panen maupun pada masa penyimpanan. Resiko terbesar yang ditimbulkan toksin ini adalah kanker dan kematian. Telah banyak metode atau upaya yang dikembangkan untuk pendeteksian dini terhadap keberadaan jamur atau aflatoksin. Salah satu metode yang sederhana, terjangkau (murah), dan teruji kehandalannya adalah immunoassay dan immunokromatografi. Immunoassay membutuhkan antibodi sebagai pengenal AFB1. Pada penelitian ini antibodi AFB1 diproduksi. Mula-mula hapten AFB1 yang telah berhasil disintesis dikonjugasikan dengan protein (BSA) untuk dijadikan immunogen melalui metode ester aktif. Immunogen lalu disuntikan ke kelinci untuk menghasilkan antibodi poliklonal. Pembentukan antibodi terjadi pada hari ke-15 terhitung dari hari pertama imunisasi. Keberadaan antibodi dipastikan melalui Gel Agarose Precipitation Test (AGPT). Endapan yang terbentuk menunjukan terjadinya ikatan antara antibodi AFB1 dengan antigennya. Antibodi dimurnikan untuk dikonjugasikan dengan nano CdS hasil sintesis. Hasil konjugasi digunakan untuk mengembangkan biosensor berupa immunostrip pendeteksi aflatoksin B1. Metode immunostrip dijadikan alternatif deteksi karena teknik ini lebih praktis, cepat, mudah dilakukan oleh siapa saja.

Aflatoxin B1 (AFB1), is mycotoxin produced by the fungus Aspergillus, especially A. flavus and A. parasiticus lived in the tropics. AFB1 composed by coumarin and two rings of furan. AFB1 can be found in a variety of agricultural products and basic food of mammals such as peanuts, corn, soybeans, rice, and wheat therefore they have high-risk products contaminated by toxin mainly AFB1 on the harvest or during storage. The greatest risk of the toxin is cancer or even death. Many methods have been developed for early detection of the presence of aflatoxins. One method that is simple, affordable (cheap), and proven reliability are immunoassay and immunochromatografi. Immunoassay needs antibody of AFB1 for the sensing antigen. The Immunogen synthesized by conjugating hapten of aflatoxin B1 with bovine serum albumin (BSA) by using the active ester method. The hapten – BSA was then injected into rabbits to produce polyclonal antibodies. The antibodies can be detected at the 15th days after the injection had been conducted. The presence of antibodies is confirmed using Agarose Gel Precipitation Test (AGPT). The precipitation showed the bond between AFB1 antibodies with antigens. The purified antibody then conjugated with nano CdS. The conjugate then applied to develop the biosensor for detection of AFB1 using immunostrip based on immunokromatographic method as an alternative method which can provide ease, rapid, simple method and practicable for everyone., Aflatoxin B1 (AFB1), is mycotoxin produced by the fungus Aspergillus,
especially A. flavus and A. parasiticus lived in the tropics. AFB1 composed by
coumarin and two rings of furan. AFB1 can be found in a variety of agricultural
products and basic food of mammals such as peanuts, corn, soybeans, rice, and
wheat therefore they have high-risk products contaminated by toxin mainly AFB1
on the harvest or during storage. The greatest risk of the toxin is cancer or even
death. Many methods have been developed for early detection of the presence of
aflatoxins. One method that is simple, affordable (cheap), and proven reliability
are immunoassay and immunochromatografi. Immunoassay needs antibody of
AFB1 for the sensing antigen. The Immunogen synthesized by conjugating hapten
of aflatoxin B1 with bovine serum albumin (BSA) by using the active ester
method. The hapten – BSA was then injected into rabbits to produce polyclonal
antibodies. The antibodies can be detected at the 15th days after the injection had
been conducted. The presence of antibodies is confirmed using Agarose Gel
Precipitation Test (AGPT). The precipitation showed the bond between AFB1
antibodies with antigens. The purified antibody then conjugated with nano CdS.
The conjugate then applied to develop the biosensor for detection of AFB1 using
immunostrip based on immunokromatographic method as an alternative method
which can provide ease, rapid, simple method and practicable for everyone]"
2015
T43570
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>