Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 530 dokumen yang sesuai dengan query
cover
New York : Guilford Press, 2006
354.153 JUV
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Kusuma Amanda
"In July 2012, Indonesia enacted landmark legislation to reform the juvenile justice system. The Juvenile Justice Act is a break through which constituted to protect the rights of children in the juvenile justice system. This Act explicitly includes the principle of restorative justice, a principle that guarantees the government?s commitment to use rehabilitative and restorative approaches. The question that arises now is how this law can be satisfied through the implementation of the Act. Specifically, this paper will focus on how the restorative justice principle can be applied to juvenile commit sexual offense. This paper, learning from the United State?s rehabilitation system, will offer some suggestions to form the rehabilitation process for juvenile sex offenders in Indonesia, such as enhancing research about juveniles commit sexual offense; improving the law and regulation; and implementing counseling, supervised group homes, and other support mechanisms.
Pada bulan Juli 2012, Indonesia memberlakukan undang-undang yang penting untuk mereformasi sistem peradilan anak. Undang-Undang Pengadilan Anak merupakan terobosan yang dibentuk untuk melindungi hak-hak anak dalam sistem peradilan anak. Undang-Undang ini secara eksplisit memasukkan prinsip keadilan restoratif, prinsip yang menjamin komitmen pemerintah untuk menggunakan pendekatan rehabilitatif dan restoratif. Pertanyaan yang muncul sekarang adalah bagaimana hukum ini dapat dipenuhi melalui penerapan Undang-Undang. Secara khusus, tulisan ini akan berfokus pada bagaimana prinsip keadilan restoratif dapat diterapkan terhadap remaja yang melakukan pelanggaran seksual.
Tulisan ini, belajar dari sistem rehabilitasi Negara Amerika Serikat, akan menawarkan beberapa saran untuk membentuk proses rehabilitasi bagi pelaku remaja pelanggaran seksual di Indonesia, seperti meningkatkan penelitian mengenai remaja yang melakukan pelanggaran seksual; meningkatkan hukum dan peraturan; melaksanakan konseling, kelompok rumah yang diawasi, dan mekanisme pendukung lainnya."
Depok: Faculty of Law University of Indonesia, 2014
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Eldefonso, Edward
New York: John Wiley , 1983
364.36 ELD l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Juvenile sex offender therapy has changed markedly since it emerged in the 1980s. Toolkit for working with juvenile sex offenders provides therapists with a summary of evidence-based practice with this population, including working with comorbid conditions and developmental disabilities. It provides tools for use in assessment, case formulation, and treatment, and includes forms, checklists, and exercises.
The intended audience is practitioners engaged in the assessment and treatment of juveniles whose sexual interests and/or behaviors are statistically non-normative and/or problematic. Readers will find a chapter on academic assessment and intervention, a domain frequently not covered by texts in this field.
"
London: Academic Press, 2014
e20427787
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Chichester, West Sussex, UK: Wiley-Blackwell, 2013
364.404 5 WIL
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Winda Maharani
"Coping stress merupakan salah satu faktor yang turut mempengaruhi remaja untuk melakukan kekerasan seksual. Beberapa penelitian menemukan bahwa pelaku kekerasan seksual memiliki coping stress yang tidak efektif dalam menghadapi stres yang dialaminya, sehingga
cenderung memilih untuk melakukan kekerasan seksual sebagai salah satu bentuk coping stress. Kemampuan coping stress yang tidak efektif ini dapat memperbesar kemungkinan seseorang melakukan residivisme di masa depan, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan yang mampu
memperbaiki kemampuan coping stress yang dimiliki remaja pelaku kekerasan seksual.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan intervensi berbasis Good Lives Model (GLM) yang menekankan pada kekuatan atau faktor protektif yang dimiliki oleh individu. Intervensi ini akan dilakukan dalam bentuk kelompok yang bertujuan untuk mengubah coping stress remaja pelaku kekerasan seksual yang tidak efektif (emotion-focused dan avoidance-focused) menjadi lebih efektif (task-focused). Hal ini kemudian diharapkan dapat mengurangi kemungkinan remaja pelaku kekerasan seksual akan melakukan re-offending di masa depan.
Desain penelitian ini adalah quasi experimental yang dilakukan pada 6 partisipan remaja laki-laki pelaku kekerasan seksual berusia 17-19 tahun. Intervensi dilakukan sebanyak 5 sesi dalam jangka waktu 1 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh partisipan mengalami perubahan coping stress yang dimilikinya, terutama secara kognitif dalam evaluasi kualitatif. Penelitian ini juga menemukan bahwa intervensi dalam bentuk kelompok memberikan efek keterbukaan dan kebersamaan yang dirasakan oleh seluruh partisipan.

Coping stress is considered as one of the factor that contributes in juvenile sex offending. Several studies have found that juvenile sex offender have ineffective coping stress in dealing with stress they experienced. They tend to commit sexual violence as a form of coping with stress. One of the approach intervention that quite successful to change coping stress is Good Lives Model (GLM). This approach emphasizes the strengths or protective factors that are owned by individuals. Studies found that sex offender in strength-based intervention have lower rate of re-offending compared to sex offender in general risk-based intervention.
In this study, the GLM approach (Good Lives Model) will be conducted in the form of group intervention aimed to change ineffective juvenile sex offender’s coping stress (emotion focused and avoidance-focused) to be more effective (task-focused). It is then expected to reduce the likelihood of juvenile sex offenders will re-offending in the future.
This study design is quasi-experimental. Participants involves were six male prisoners aged 17-19. Interventions conducted in 5 sessions in a period of 1 month. Results in qualitative evaluation showed that all participants experienced a change in the coping stress, especially cognitively. This study also found that group intervention have therapeutic effect such as openness and togetherness that felt by all participants.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
T44023
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melyana Saputri
"Penelitian ini menganalisis bagaimana pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan pelaku anak dengan autism spectrum disorder (ASD) dalam hukum pidana Indonesia. Anak penyandang ASD yang berhadapan dengan hukum sebagai pelaku anak memerlukan penelitian lebih lanjut dengan melibatkan ahli untuk menentukan pertanggungjawaban pidananya karena pelaku anak dengan ASD tidak memiliki kapasitas mental yang sama dengan anak pada umumnya dikarenakan kondisi ASD yang dimilikinya merupakan sebuah spektrum dengan gejala dan tingkat keparahan yang berbeda-beda pada setiap penyandangnya. Kapasitas mental pelaku anak penyandnag ASD berkaitan dengan kemampuannya mengetahui dan menghendaki perbuatannya untuk menentukan apakah mereka mampu atau tidak mampu bertanggung jawab. Pelaku anak dengan ASD yang memiliki tingkat keparahan ringan dengan gejala ASD yang tidak terlalu berat masih dianggap mampu dan kurang mampu bertanggung jawab, sedangkan pelaku anak dengan ASD yang memiliki tingkat keparahan parah dan gejala yang berat dianggap tidak mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya. Apabila mereka dianggap mampu atau kurang mampu bertanggung jawab, pemidanaan yang diberikan harus disesuaikan dengan kondisi ASD nya, bahkan apabila mereka dianggap tidak mampu bertanggung jawab, mereka tetap membutuhkan rehabilitasi untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana.

This research analyzes how criminal liability and punishment of child offenders with autism spectrum disorder (ASD) in Indonesian criminal law. Children with ASD who are in conflict with the law as child offenders require further research by involving experts to determine their criminal liability because child offenders with ASD do not have the same mental capacity as children in general because their ASD condition is a spectrum with symptoms and severity that vary for each person. The mental capacity of child offenders with ASD relates to their ability to know and will their actions to determine whether they are able or unable to take responsibility. Child offenders with ASD who have mild severity with less severe ASD symptoms are still considered capable and less capable of responsibility, while child offenders with ASD who have severe severity and severe symptoms are considered unable to take responsibility for their actions. If they are considered capable or less capable of being responsible, the punishment given must be adjusted to the condition of their ASD, even if they are considered unable to be responsible, they still need rehabilitation to prevent repetition of criminal acts."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tunggal S
"Kekerasan seksual terhadap anak merupakan peristiwa yang kerap terjadi di Indonesia. Data statistik menunjukkan bahwa angka kekerasan seksual terhadap anak tiap tahun tidak mengalami penurunan yang berarti. Sanksi pidana tidak dapat menjadi satu-satunya alat untuk mengendalikan angka kekerasan seksual terhadap anak. Tindakan kebiri kimia dikeluarkan dengan harapan mampu mengurangi angka kekerasan seksual terhadap anak. Namun, keberadaan sanksi kebiri kimia menimbulkan keberatan dan perbedaan pendapat diberbagai kalangan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tujuan pemidanaan dari keberadaan kebiri kimia dan bentuk sanksi yang tepat bagi penjatuhan kebiri kimia di Indoesia. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan menggunakan studi dokumen berupa data sekunder dengan wawancara sebagai pelengkap. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa tujuan pemidanaan dari kebiri kimia adalah rehabilitasi, dengan catatan bahwa tindakan kebiri kimia tersebut dijatuhkan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang menderita gangguan pedofilia. Karena dijatuhkan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang menderita gangguan pedofilia untuk tujuan rehabilitasi, maka bentuk sanksi yang tepat adalah tindakan. Bentuk sanksi yang tepat atas penjatuhan kebiri kimia adalah tindakan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang menderita gangguan pedofilia.
Sexual assault against children is an phenomenon that often occurs in Indonesia. The statistic shows that the number of sexual assault against children doesn't decrease significantly. Punishment can't be the only way to control the number of sexual assault against children. The treatment of chemical castration perfomed in the hope of reducing the number of sexual assault against children. However, the chemical castration itself raises the objections and difference of opinion in various circle. This research aims to determine the sentencing purpose of chemical castration and the proper sanction for imposing chemical castration in Indonesia. This research is a normative study using documentary studies in the form of secondary data with interviews as a complement. The research was found that the purpose of punishment from chemical castration was for rehabilitation, with notes that the chemical castration treatment is dropped for the sexual offender against children with pedophilia. Regarding the research result, the proper sanction is treatment and the right sanction of the treatment for sexual offender against children is for sexual offender against children with pedophilia disorder."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Tirtana
"Tujuan pemidanaan terhadap anak harus disesuaikan dengan keperluan dan kebutuhan anak tersebut demi masa depannya karena anak memiliki ciri-ciri khusus yang melekat pada dirinya yang tidak dapat disamakan dengan pelaku dewasa. Perkembangan mutakhir dalam hukum pidana khususnya yang berkaitan dengan persoalan pidana yang menjadi trend atau kecenderungan internasional adalah berkembangnya konsep untuk mencari alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan dalam bentuknya sebagai sanksi pidana alternatif, khususnya bagi terpidana anak. Hal ini bertolak dari suatu kenyataan bahwa dalam perkembangannya pidana perampasan kemerdekaan semakin tidak disukai baik atas pertimbangan kemanusiaan, pertimbangan filosofi pemidanaan maupun atas pertimbangan ekonomi. Community service order (CSO) atau pidana pelayanan masyarakat merupakan salah satu dari pidana alternatif perampasan kemerdekaan atau penjara bagi anak yang bersifat non-institusional (di luar lembaga) yang direkomendasikan oleh instrumen internasional yaitu United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules). Pidana pelayanan masyarakat telah dimasukkan dalam konsep pembaharuan hukum pidana anak Indonesia yaitu dalam Konsep atau Rancangan KUHP (RKUHP) dan Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (RUU SPP Anak). Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif yang didukung dengan penelitian lapangan dalam bentuk wawancara dengan informan. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa pidana pelayanan masyarakat sangat menunjang tujuan pemidanaan dan pembinaan bagi terpidana anak, baik dilihat dari tujuan pemidanaan secara umum maupun tujuan pemidanaan yang bersifat integratif. Relevansi antara pidana pelayanan masyarakat dengan pembaharuan sistem pemidanaan anak di Indonesia dapat diartikan bahwa pidana pelayanan masyarakat perlu dipahami dalam konteks kebijakan kriminal, dengan demikian pidana pelayanan masyarakat dapat memerankan fungsinya sebagai salah satu kontrol sosial dalam menunjang kebijakan penanggulangan kejahatan yang dilakukan oleh anak di Indonesia. Konsep pengaturan pidana pelayanan masyarakat yang ada dalam Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (RUU SPP Anak) masih perlu disempurnakan lagi karena masih bersifat sangat umum. Pidana pelayanan masyarakat memberikan prospek dan harapan besar untuk dapat diterapkan dalam peradilan pidana anak di Indonesia, mengingat pelbagai keuntungan yang didapat dari pidana pelayanan masyarakat tersebut.

Criminal sentencing of a juvenile offender should be adjusted to the special need and requirement of a juvenile or a minor, because despite being an offender, s/he is still a child, hopefully with a future and hence s/he has a special characteristic that is inherent to him/her that is not found in an adult offender. The recent development in criminal law reveals a growing international trend to seek an alternative to replace the more common method of incarceration, specifically in cases involving juvenile offender. This conviction stemmed from the notion that the concept of imprisonment is getting less popular, whether it is viewed from humane consideration, sentencing philosophy or economic consideration. Community service order (CSO) is one of the alternatives to incarceration to a juvenile offender that is non-institutionalized and it is recommended in an international instrument the United Nation Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules). The concept of community service sentencing for juvenile offender has been entered into the draft reform of the Indonesian Criminal Code (RKUHP) and the draft for the Law for Juvenile Criminal Procedure System (RUU SPP Anak). This study is a judicial normative research supported by a field research in the form of interviews with competent respondents. From the result of the study, the author concludes that community service is highly supportive to the objectives of sentencing and education of a juvenile offender both from the perspective of sentencing in general or sentencing objectives that are integrative in nature. The relevance between community service sentencing and the juvenile criminal system reform may be interpreted that community service sentencing is perceived within the context of a policy on managing criminal offenders; therefore, community service sentencing may play its intended role as a social-control instrument to support the policy of managing criminal acts committed by juveniles in Indonesia. The existing draft on community service sentencing as contained in the draft for the Law for Juvenile Criminal Procedure System (RUU SPP Anak) still needs to be improved since it is still too broad in nature. Community service sentencing has the prospect and possibility to be applied in Indonesia?s juvenile criminal court, considering the huge benefits that may be reaped from such application."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29213
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jarvis, Dwight C.
New York, N.Y.: McGraw-Hill, 1978
365.973 JAR i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>