Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7482 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Harry Agustaf Asroel
"Otitis media supuratif kronis merupakan penyakit telinga umum di negara-negara berkembang. Komplikasi otitis media supuratif kronis tipe bahaya mempunyai tanda dan gejala klinis yang khas.Tujuan penelitian ini adalah mengetahui profil penderita otitis media supuratif kronis (OMSK) tipe bahaya di RSUP H. Adam Malik. Penelitian deskriptif terhadap 119 penderita dari tahun 2006 - 2010. Sekitar 28,57% penderita dijumpai pada tahun 2010, sekitar 31,93% terjadi pada usia 11 - 20 tahun, sekitar 53,78% laki-laki, dan sekitar 38,66% pada telinga kanan. Sebanyak 68,91% terjadi akibat riwayat otitis media berulang dan 61,34% dengan keluhan utama telinga berair. Gejala dan tanda klinis yang sering terjadi adalah telinga berair (76,47%) dan perforasi membran timpani (74,79%), baik perforasi atik (0,84%), marginal (1,68%), subtotal (23,53%), dan total (48,74%). Gangguan pendengaran terbanyak adalah tuli konduktif (58,82%). Pada foto proyeksi Schuller, 62,18% dijumpai gambaran mastoiditis kronis dengan kolesteatoma. Dari hasil kultur dijumpai 21,01% Pseudomonas aeruginosa. 86,55% terjadi komplikasi mastoiditis.Profil penderita OMSK tipe bahaya di RSUP H. Adam Malik Medan sesuai dengan profil penderita OMSK tipe bahaya pada umumnya.

Chronic suppurative otitis media (CSOM) is a common ear disease in developing countries. The complications of CSOM have a unique set of clinical signs and symptoms. This study aimed to identify the profile of dangerous type CSOM patients at H. Adam Malik General Hospital Medan in 2006-2010. A descriptive study of 119 patients in 2006 _ 2010. From 119 patients, 28.57% were found in 2010, 31.93% were at age between 11 - 20 years old, 53.78% men and 38.66% were at right ear. 68.91% due to a history of recurrent otitis media and 61.34% with a main complaint of draining ears. The most clinical symptoms and signs were aqueous ears (76.47%) and tympanic membrane perforations (74.79%), as attic perforation (0.84%), Profil Penderita Otitis Media Supuratif Kronis Profil of Patient with Chronic Suppurative Otitis Media Harry Agustaf Asroel, Debi Rumondang Siregar, Askaroellah Aboet marginal (1.68%), subtotal (23.53%), and total (48.74%). The most hearing impairments were conductive deafness (58.82%). In Schuller projections, 62.18% were found the imaging of chronic mastoiditis with cholesteatoma. From the culture results, 21.01% were Pseudomonas aeruginosa. 86.55% were mastoiditis complications.The profile of dangerous type CSOM patients at H. Adam Malik General Hospital Medan is similar with the other profile of dangerous type CSOM commonly."
Medan: Universitas Sumatera Utara, Fakultas Kedokteran, Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher, 2013
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Novia Nilasari
"
ABSTRAK
Telah dilakukan analisis dermatoglifi telapak tangan dan 30 penderita penyakit jantung bawaan (PPJB) dari R.S. Harapan Kita, Jakarta dan 30 orang berjantung normal (OJN) dari mahasiswa Biologi FMIPA U1 untuk mengetahui ada atau tidak adanya perbedaan gambaran dermatoglifi pada kedua kelompok tersebut. Met ode pencetakan dilakukan dengan metode Holt (1968) menggunakan tinta finger print. Hasil penelitian menunjukkan frekuensi pola pada kedua telapak tangan PPJB di 'daerah T 0,00%; k 0.00%; liii 3,33%; liv 28,33%, dan H 5.00%; sedangkan pada OJN T 0,00%; In 0,00%; fill 0,00%; IIV 25,0j3%, dan H 6,67%. Rata-rata jumlah besar sudut atd kedua telapak tangan PPJB 86,37, sedangkan OJN 84,03. Rata-rata jumlah total sulur a-b kedua telapak tangan PPJB 75.93, sedangkan OJN 74.44. Ratarata besar derajat transversalitas kedua telapak tangan PPJB 71,66, sedangkan OJN 69.97. Frekuensi garis lipatan simian PPJB adalah 1,67% dan garis lipatan Sydney 3,33%, sedangkan OJN untuk garis lipatan simian dan Sydney 1,67%. Dari hasil uji Mann-Whitney (a=0,05) terhadap sudut atd kedua telapak tangan, jumlah sulur a-b dan besar derajat transversalitas da pat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara dermatoglifi telapak tangan PPJB dengan OJN.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1998
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Giri Widakdo
"Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menunjukkan 11,6% penduduk
Indonesia berumur 15 tahun ke atas mengalami gangguan mental emosional.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek penyakit kronis terhadap
gangguan mental emosional. Desain penelitian ini adalah potong lintang
mengggunakan data Riskesdas tahun 2007. Sebanyak 660.452 responden
berusia di atas 15 tahun yang tidak mengalami gangguan jiwa dijadikan
sampel. Gangguan mental emosional dinyatakan ada jika responden mem-
punyai paling tidak enam dari 20 gangguan. Penyakit kronis seperti tuber-
culosis (TB) paru, hepatitis, jantung, diabetes, kanker, dan stroke diukur
melalui wawancara yang didasarkan pada diagnosis petugas kesehatan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari sepuluh penderita penyakit kronis,
dua sampai lima penderita akan mengalami gangguan mental emosional.
Analisis regresi logistik multivariat memperlihatkan bahwa risiko gangguan
mental emosional semakin tinggi bersamaan dengan semakin banyak jum-
lah penyakit kronis yang diderita oleh responden. Responden yang
menderita satu penyakit kronis berisiko 2,6 kali lebih besar untuk mengala-
mi gangguan mental emosional, yang menderita dua penyakit kronis
berisiko 4,6 kali, yang menderita tiga penyakit kronis atau lebih berisiko 11
kali. Kementerian Kesehatan disarankan untuk mengembangkan standar
pelayanan penyakit kronis terkait dengan pengurangan dampak pada gangguan
mental emosional dan dibentuknya tim bimbingan teknis pelayanan penyakit
kronis.
Basic Health Research (Riskesdas) year 2007 showed that 11.6 percent of
Indonesia?s population aged 15 years and above suffering from mental emo-
tional disorder. This study aimed to examine the effects of chronic illness to
the mental emotional disorders. A cross-sectional study was performed that
used Riskesdas 2007 data. A total of 660,452 respondents aged 15 years
and over who are mentally health become sample of this study. Mental
Efek Penyakit Kronis terhadap Gangguan Mental
Emosional
Effects of Chronic Illness to the Mental Emotional Disorders
Giri Widakdo* Besral**
*Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta, **Departemen Biostatistika dan Ilmu
Kependudukan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
emotional disorders exist if they have at least six of the 20 disorder. Chronic
diseases such as pulmonary tuberculosis, hepatitis, heart disease, dia-
betes, cancer, and stroke were measured based on diagnosis by health pro-
fesional. The results showed that out of ten respondents with chronic
illness, aproximately two to five will suffering from mental emotional dis-
order. Multivariat logistic regression analysis shows that the risk of developing
mental emotional disorders higher as more number of chronic illnesses suffered
by the respondent. Respondents suffering from one chronic disease were 2.6
times greater risk for emotional mental disorder, suffering from two chronic dis-
ease have risk 4.6 times, which had three or more chronic disease risk have risk
11 times. It is suggested that the Ministry of Health to develop a standard of
care of chronic diseases associated with reducing impact on the mental
emotional disorders and establishment of teams for technical guidance
chronic disease care."
Universitas Muhammadiyah Jakarta, Fakultas Kedokteran dan Kesehatan, 2013
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Helmi
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
617.87 HEL o
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"Latar belakang: Kolesteatoma adalah lesi keratin non-neoplastik yang berhubungan dengan proliferasi sel epitel dengan karakteristik morfologi yang menyimpang. Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) yang disertai dengan adanya kolesteatoma dapat mengganggu keseimbangan antara pembentukan tulang dengan resorpsi tulang. Kolesteatoma dapat menghasilkan sitokin-sitokin seperti interleukin-6 (IL-6) yang berperan dalam proses destruksi tulang pendengaran. Tujuan: Mengetahui distribusi derajat kerusakan tulang pendengaran pada pasien OMSK dengan kolesteatoma, rerata kadar IL-6 pada kolesteatoma, dan adanya hubungan antara kadar IL-6 pada kolesteatoma dengan derajat kerusakan tulang pendengaran pada pasien OMSK dengan kolesteatoma. Metode: Penelitian ini melibatkan 6 pasien dengan OMSK dengan kolesteatoma yang dilakukan operasi mastoidektomi. Satu pasien menderita OMSK dengan kolesteatoma bilateral dan dilakukan operasi mastoidektomi pada kedua telinganya. Derajat kerusakan tulang pendengaran dinilai dengan menggunakan kriteria Saleh dan
Mills, sedangkan kadar IL-6 pada kolesteatoma diukur dengan menggunakan instrumen ELISA. Hasil:
Derajat kerusakan tulang pendengaran tertinggi yang ditemukan adalah derajat 3 (28,57%), sedangkan derajat kerusakan tulang pendengaran yang terbanyak adalah derajat 2 (42,86%). Kadar IL-6 pada kolesteatoma yang tertinggi adalah 2290 pg/mL, sedangkan rerata kadar IL-6 pada kolesteatoma adalah 1778,57±392,616 pg/mL. Kesimpulan: Kadar IL-6 pada kolesteatoma tidak berhubungan dengan derajat kerusakan tulang pendengaran pada pasien OMSK dengan kolesteatoma (p=0,885)."
ORLI 44:2 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
616.9 PEN
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta Yayasan Obor Indonesia 1995,
614.599 3 Hiv t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kandasamy, W.B. Vasantha
Arizona : HEXIS , 2005
614.599 3 KAN i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"Krisis kesehatan di Kabupaten Lebak ditandai dengan timbulnya wabah penyakit Polio pada tahun 2005 telah mengakibatkan AFP (Lumpuh Layu Mendadak) sampai akhir Desember 2005 berjumlah 140 anak dan telah dibuktikan dengan hasil pemeriksaan specimen tinja penderita ditemukan 100 anak tersebut positif terjangkit virus Polio. Penyebaran terjadi selama 23 minggu dan semakin meluas meliputi 17 kecamatan dari 23 kecamatan atau meliputi 61desa dari 300 desa yang ada. Hal tersebut memperlihatkan bahwa penyebaran Polio memiliki pola dan arah tertentu serta ada faktor-faktor penduduk, kesehatan lingkungan dan jarak yang mempengaruhi. Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pola dan kecepatan difusi Polio serta faktor apa yang paling mempengaruhi jumlah penderita Polio. Penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa pola difusi Polio Kabupaten Lebak adalah Difusi Gabungan yang mengandung dua proses difusi ekspansi dan difusi relokasi yang mengarah ke Barat, Barat Daya, Utara, Barat Laut dan Selatan dengan kecepatan 0,65 km per hari dan puncak insidens dengan kecepatan 15 penderita (jiwa) per minggu. Faktor yang paling berpengaruh terhadap difusi polio yang dilihat dari jumlah penderitanya adalah jarak desa sumber infeksi."
Universitas Indonesia, 2006
S33684
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Handrawan Nadesul
Jakarta: Puspa Swara, 1997
616.54 HAN b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>