Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7210 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bambang Sulistyanto
"Cultural heritages are things from the past, which are valued by communities in recent time as part of their nation?s culture. In reality, among the community members there are problems that arise as a result of diverse perceptions, due to the fact that each perception is based on own interests as is the case with the Site of Sangiran. On the one hand, the Government, as part of the present community, has an idealistic orientation towards the Site of Sangiran as a cultural heritage which unquestionably needs to be protected for the purpose of scientific knowledge and national identity. The local people around Sangiran Site, on the other hand, consider it as their ancestors? area which possesses valuable contents and advantages to improve their economic condition. This conflict and the consequences (fossil protection on the one hand and fossil trade on the other) have so far not been resolved. Meanwhile, the destruction of the Site of Sangiran as the World Cultural Heritage No. 593 is still continuing."
Depok: Faculty of Humanities University of Indonesia, 2009
Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Sulistyanto
"Warisan budaya sebagai media yang dianggap memiliki fungsi dalam menjaga proses pertumbuhan kebudayaan bangsa, ternyata makna yang terkandung di dalamnya dapat diwariskan secara berbeda-beda. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan sistem pengetahuan stakeholders (pemangku kepentingan) dalam memaknai warisan budaya Situs Sangiran dan cara-caranya bertindak menggunakan sistem pengetahuan yang mereka miliki. Penelitian mengenai sistem pengetahuan tersebut, dinilai sangat penting, guna memahami perasaan dan pikiran mereka dalam merepresentasikan kebudayaannya terhadap lingkungan sosial, budaya maupun lingkungan alam Situs Sangiran. Pemaknaan pemerintah (pusat) terhadap warisan budaya Sangiran sangat berbeda dengan pemaknaan yang diberikan oleh penduduk, bahkan berbeda pula dengan pemaknaan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Otonom. Dalam konteks demikian inilah, ketiga sistem pengetahuan budaya yang berbeda itu diperbandingkan guna menjelaskan beberapa faktor penyebab terjadinya konflik pemanfaatan warisan budaya Situs Sangiran. Konsekuensi atas kajian di atas, menuntut penelitian ini menemukan model pengelolaan Situs Sangiran beserta pengembangannya ke depan, karena model pengelolaan yang diterapkan sudah tidak sesuai lagi dengan perubahahan sistem kepemerintahan pada masa sekarang. Hasil penelitian ini memperlihatkan, bahwa model pengelolaan yang masih terpengaruh oleh kerangka pikir masa Kolonial dengan ciri kebijakan bersifat satu arah (top 0 down), eksklusif dan legislator, hanya akan menciptakan konflik r!. kepentingan yang berkepanjangan. Dalam era otonomi Daerah seperti sekarang ini, model pengelolaan yang dianggap sesuai untuk diterapkan di Situs Sangiran, adalah model pengelolaan berdasarkan sistem yang mengutamakan konsep milik bersama atau arkeologi untuk masyarakat. Memperhatikan berbagai konflik yang terjadi di Situs Sangiran selama ini, paling tidak ada lima konsep dasar yang harus dipenuhi oleh lembaga arkeologi dalam menata Situs berskala dunia ini. Pertama, lembaga arkeologi harus bersifat reaktif, yaitu peka dalam menangkap berbagai permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat dengan rnemberikan pandangan-pandangan yang bijak dan jalan keluar terbaik (win-win solution). Kedua, akomodatif, artinya lembaga pengelola Sangiran harus mampu menampung berbagai kepentingan yang masing-masing kepentingan memiliki perbedaan sasaran dan tujuan. Ketiga, partisipatif, dalam arti semua kegiatan pengelolaan warisan budaya harus melibatkan berbagai stakeholders. Keempat, lembaga arkeologi pengelola Situs Sangiran harus bersifat transparan, dalam arti semua kebijakan perlu diketahui dan dibicarakan dengan publik. Kelima, integratif, lembaga arkeologi pengelola Situs Sangiran hams mampu mengintegrasikan seluruh kemampuan stakeholders dalam kesatuan visi yang terkoordinasi. Untuk menciptakan model pengelolaan yang reaktif, akomodatif, partisipatif dan transparan, serta integratif, dipandang penting pemerintah (pusat) segera menetapkan Situs Sangiran sebagai kawasan strategis nasional sekaligus membentuk lembaga independen, yaitu Badan Otorita Kawasan Sangiran yang mampu menyatukan berbagai perbedaan persepsi dan berupaya mengakomodir beragarn kepentingan, agar potensi situs dapat dimanfaatkan secara maksimal, baik untuk kepentingan mayarakat lokal, regional, nasional maupun global."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
RB 000 B 33 r
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Sulistyanto
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
D1578
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Sulistyanto
"Warisan budaya sebagai media yang dianggap memiliki fungsi dalam menjaga proses pertumbuhan kbudayaan bangsa, ternyata makna yang terkandung di dalamnya dapat diwariskan secara berbeda-beda. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan sistem pengetahuan srakeholders (pemangku kepentingan) dalam memaknai warisan budaya Situs Sangiran dan cara-caranya bertindak menggunakan sistem pengetahuan yang mereka miliki. Penelitian mengenai sistem pengetahuan tersebut, dinilai sangat penting, guna memahami perasaan dan pikiran mereka dalam merepresentasikan kebudayaannya terhadap Iingkungan sosial, budaya maupun lingkungan alam Situs Sangiran. Pemaknaan pemerintah (pusat) terhadap warisan budaya Sangiran sangat berbeda dengan pemaknaan yang diberikan oleh penduduk, bahkan orbeda pula dengan pemaknaan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Otonom. Dalam konteks demikian inilah, ketiga sistem pengetahuan budaya yang berbeda itu diperbandingkan guna menjelaskan beberapa faktor penyebab terjadinya konflik pemanfaatan warisan budaya Situs Sangiran. Konsekuensi atas kajian di atas, menuntut penelitian ini menemukan model pengelolaan Situs Sangiran beserta pengembangannya ke depan, karena model pengelolaan yang diterapkan sudah tidak sesuai lagi dengan perubahahan sistem kepemerintahan pada masa sekarang.
Hasil penelitian ini memperlihatkan, bahwa model pengelolaan yang masih terpengaruh oleh kerangka pikir masa Kolonial dengan ciri kebijakan bersifat satu arah (top down), eksklusif dan legislator, hanya akan meneiptakan konflik kepentingan yang berkepanjangan. Dalam era otonomi Daerah seperti sekarang ini, model pengelolaan yang dianggap sesuai untuk diterapkan di Situs Sangiran, adalah model pengelolaan berdasarkan sistem yang mengutamakan konsep- milik bersama atau arkeologi untuk masyarakat.
Memperhatikan berbagai konflik yang leljadi di Situs Sangiran selama ini, paling tidak ada lima konsep dasar yang harus dipenuhi oleh lembaga arkeologi dalam menata Situs berskala dunia ini. Pertama, lembaga arkeologi harus bersifat reaktih yailu peka dalam menangkap berbagai permasalahan yang terjadi di dalam masyaralcat dengan memberikan pandangan-pandangan yang biiak dan jalan keluar terbaik (win-win solution). Kedua, akomodatif artinya lembaga pengelola Sangiran harus mampu menampung berbagai kepentingan yang masing-masing kepentingan memiliki perbedaan sasaran dan tujuan. Ketiga, partisipatif dalam arti semua kegiatan pengelolaan warisan budaya harus melibatkan berbagai stakeholders. Keempat, Iernbaga arkeologi pengelola Situs Sangiran harus bersifat transparan, dalam arti semua kebijakan perlu diktahui dan dibiearakan dengan publik. Kelima, integralif, lembaga arkeologi pengelola Situs Sangiran harus mampu mengintegrasikan seluruh kemampuan stakeholders dalam kesatuan visi yang terkoordinasi.
Untuk menciptakan model pengelolaan yang reaktif; akomodatif, partisipatif dan transparan, serta integratif; dipandang penting pemerintah (pusat) segera menerapkan Situs Sangiran sebagai kawasan stratogis nasional sekaligus membentuk lembaga independen, yaitu Badan Otorita Kawasan Sangiran yang mampu menyatukan berbagai perbedaan persepsi dan berupaya mengakomodir beragam kepentingan, agar polensi Situs dapat dimanfaatkan secara maksimal, balk untuk kepentingan mayarakat lokal, regional, nasional, maupun global.
Cultural heritage, a medium considered to act as maintenance-key of the cultural growing process of nation, apparently bears significant meaning which can be inherited in various ways. Accordingly, this present research is aimed to disclose the stakeholders? knowledge system in denoting the cultural heritage of Sangiran as well as its application. The essence of the study on such knowledge system is to understand the stakeholders? perceptions and ideas in representing their culture upon the social, cultural and natural environment of Sangiran. The study' detected the denotation of the national govemment on the cultural heritage of Sangiran completely differs from that of the community of Sangiran; moreover, it further differs from that of the autonomy district govemment. Consequently, the three dissimilar system of cultural knowledge are compared to explain several factors causing the conflict of benefiting from cultural heritage of Sangiran. The overall product of this research is to build a more relevant management model of Sangiran including its prospective development; since the present model is no longer appropriate with the converted govemmental system.
This research discovered that the present management model is still affected by the colonialism viewpoint which is characterized by the top-down policy, exclusivism and legislativism; these characteristics have created a prolonged conflict of interests. Therefore, during the present autonomy district governance, the management model which considered will properly function in Sangiran will have to be based on a system that accommodate public concept which is archaeology for the people.
In regard to a number of conflicts that have occurred in Sangiran up until now, there are at least five basic concepts which have to be considered by the archaeological institutions in Indonesia to organize this world-scale site. First, the archaeological institution of Sangiran has to be reactive, which is having the sense in capturing problems occurred in the society and providing wise opinions and win-win solutions. Second, accommodative in terms of capable of accommodating varieties of interests which each of them contains different aim and purpose. Third, participative, meaning stakeholders must be involved in every cultural heritage management. Fourth, the archaeological institution of Sangiran must employ a ?transpr-arent? management to enable the public to know and openly discuss the institution?s policy. Fifth, integrative, the archaeological institution of Sangiran must be capable to integrate the entire capability of stakeholders in one coordinated vision.
In order to build a reactive, accommodative, participative, transparent and integrative management model, it is crucial for the national govcmment to soon determine Sangiran as a national strategic zone and establish an independent institution i.e. Sangiran Zone Authority Foundation (Baden Otorita Kawasan Sangiran). This foundation is hoped to be able to integrate various differences of perception and attempt to accommodate a range of interests to enable the maximum benefiting from the potency of Sangiran for local, regional, national and global interests.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
D889
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta : Balai Pelestarian Nilai Budaya, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013
306.3 KAJ
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Salmah Nurhayati
"Situs Sangiran adalah situs prasejarah yang banyak mengandung fosil dan artefak manusia purba yang masih terletak in-situ. Salah satu potensi situs ini adalah banyaknya fosil manusia Homo erectus yang ditemukan, yaitu lebih dari 50% populasi Homo erectus di dunia. Sehingga situs ini mampu memberikan data mengenai kehidupan manusia kala Plestosen. Hal ini menjadikan situs ini sebagai salah satu barometer dunia dalam penelitian evalusi manusia (Widianto, et al., 1998:1). Keberadaan situs yang sedemikian penting kemudian menjadikan Situs Sangiran sebagai satu-satunya situs prasejarah di Indonesia yang terdaftar sebagai Warisan Budaya Dunia (World Heritage List-UNESCO) melalui komite World Heritage yang diadakan di Merida, Mexico pada tanggal 2-7 Desember 1996."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
S11622
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nanda Kesuma Devi
"ABSTRAK
Penelitian ini melihat bagaimana implementasi program pengelolaan yang dilakukan oleh pengelola Museum Manusia Purba Sangiran. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan wawancara mendalam sebagai metode pengumpulan data. Informan penelitian berasal dari pengelola Museum Manusia Purba Sangiran yakni BPSMP Sangiran, Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata Kabupaten Sragen, dan pengunjung Museum Manusia Purba Sangiran. Analisis dilakukan dengan melakukan coding data hasil wawancara yang didapat. Penelitian ini menemukan bahwa pihak pengelola telah melakukan pengelolaan terhadap museum baik itu dari segi konservasi, mendukung kegiatan penelitian dan pendidikan hingga publikasi ke masyarakat umum. Namun dari hasil wawancara dengan pengunjung masih terdapat beberapa kekurangan terutama untuk fasilitas pendukung dari museum.

ABSTRACT
This study observes at how the implementation of management programs undertaken by the managers of the Museum Manusia Purba Sangiran. This research uses qualitative research methods with in depth interviews as a method of data collection. The research informants came from the organizer of Museum Manusia Purba Sangiran i.e. BPSMP Sangiran, Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata Kabupaten Sragen, and visitors of Museum Manuisa Purba Sangiran. The analysis is done by coding the data obtained from the interview. This research found that the managers have been managing the museum both in terms of conservation, supporting research and education activities to publications to the general public and promoting the museum. However, from interviews with visitors there are still some shortcomings, especially for the supporting facilities of the museum. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Oennitya Fita Dewi Aryanti
"Kawasan Sangiran yang letaknya di perbatasan tidak terlepas dari pemasalahan ego sektoral sehingga dilakukan analisis dengan menggunakan 5 elemen IGR Wright. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jalinan kerjasama antar daerah dalam pengembangan pariwisata Kawasan Sangiran dan mengetahui faktor pendorong dan penghambatnya. Metode penelitian menggunakan kualitatif deskriptif. Data yang digunakan adalah primer dan data sekunder. Pengumpulan data menggunakan wawancara dan observasi. Analisis data menggunakan model interaktif. Hasil penelitian menjelaskan bahwa ada pembagian peran antara pihak yang terlibat dalam kerjasama. Interaksi antar pejabat publik sudah baik dalam aspek perilaku, kepercayaan, persepsi dan preferansi. Komunikasi berkelanjutan yang dijalin sudah cukup baik. Pejabat eksekutif dan legislatif turut berperan dalam pelaksanaan kerjasama serta sudah ada kejelasanan peran administrator yang ditunjuk. Sedangkan dalam fokus kebijakan, kapasitas anggaran untuk melaksanakan kerjasama bersumber dari masing-masing pihak dan kebijakan pemerintah pusat ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah. Faktor pendorong kerjasama adalah adanya kesamaan pemikiran, adanya keuntungan ekonomi dan dukungan pemimpin daerah. Faktor penghambat yaitu keterbatasan dana. Saran yang diberikan adalah penambahan peran pemerintah daerah sebagai dinamisator dan pemerintah daerah bersama masyarakat lebih memanfaatkan potensi budaya."
Sragen: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Penelitian dan Pengembangan, 2018
306 SUK 2:1 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Indonesia. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2012
959.801 KEM w
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>