Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 145029 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Khairan
"Kebijakan Daerah Operasi Miiiter (DOM) terhadap Aceh mulai tahun 1989 s.d. 1998 sebagal sebuah strategi Pemerintah Republik Indonesia untuk menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM), telah menimbulkan mala petaka yang beraklbat luka dan kedukaan bagi rakyat Aceh. Akibatnya tidak kurang dari 8.344 orang meninggal dunia, 575 orang hilang, 1.465 orang istri menjadi janda, 4.670 orang anak yatim, 298 orang cacat seumur hidup dan 34 orang perempuan diperkosa. Kekerasan seksual merupakan goncangan yang luar biasa yang tetjadi di Aceh sepanjang sejarah petjuangan rakyat Aceh (ketika masih sebagai sebuah bangsa yang berdaulat), belum pernah terjadi dan kenyataan ini terlalu menyakitkan bagi rakyat Aceh. Karena faktor budaya, korban merasa malu dan rendah diri dalam masyarakat. Ada kecenderungan korban merahasiakan kekerasan seksual yang dialaminya. Disisi lain, pada umumnya mereka perempuan yang berpendidikan rendah, cenderung tidak mempunyai ketrampilan khusus dan juga berpenghasilan rendah serta hidup dalam kemiskinan. Ada perempuan korban yang merasa malu melaporkan diri kepada pihak yang berkompeten. Selain rasa malu, para korban juga sulit menjangkau ibu kota kecamatan untuk melapor kejadian yang mereka alami, karena situasi konflik terus berlangsung dan juga Jarak yang harus ditempuh ke
kecamatan relatif jauh. Yang menjadi fokus masalah di sini adalah bagaimana persepsi korban tentang dirinya sendiri, interaksi mereka dengan orang lain, dan cara mereka melihat masa depannya sendiri.
Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif melalui pendekatan kualitatif yang berperspektif perempuan, bertujuan untuk memahami pengalaman korban perempuan dengan meneliti persepsi dirinya sendiri. interaksi dengan orang lain dan cara korban melihat masa depannya sendiri, agar dapat dijadikan landasan dalam membuat program untuk membantu perempuan korban kekerasan seksual. Informan penelitian diperoleh pada dua kecamatan yaitu kecamatan Peureulak dan Julok yang dilakukan pada bulan Pebruari s.d. Maret 2001 dan dilanjutkan pada bulan Juni 2001. Informan penelitian yang dijadikan kelompok kasus sebanyak 7 orang. Penelusurannya dilakukan dengan tehnik Snow Ball, dengan karakteristik
informan perempuan gadis (belum menikah), perempuan berkeluarga (menikah) dan perempuan janda. Kemudian dilengkapi dengan 4 informan lainnya yang dinggap dapat memperjelas informasi yang diperoleh. Metode pengambilan informasi dilakukan dengan pengamatan terlibat terhadap
kelompok kasus dilengkapi dengan wawancara mendalam dengan
menggunakan pedoman wawancara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa seseorang dilabelkan sebagai orang yang menyimpang dari norma yang berlaku tergantung proses terjadinya tindak kekerasan seksual itu sendiri. Reaksi masyarakat terhadap korban dapat berupa positif atau negatif. Secara umum peran keluarga, orang dekat korban dan tokoh agama ikut berpengaruh terhadap korban dalarn mengembalikan cara pandang korban terhadap dirinya sendiri, interaksi dengan orang lain dan cara melihat masa depannya sendiri setelah korban mengalami tindak kekerasan seksual. Pada umumnya korban masih melihat dirinya sendiri sebagai orang yang berguna setelah lingkungan memberikan reaksi simpati terhadap korban. Lalu dari interaksi antara korban dengan lingkungannya, muncul kembali semangat meraih masa depan dengan kemampuan yang dimiliki korban. Hal ini menunjukkan bahwa sosial
masyarakat Aceh signifikan ikut mempengaruhi persepsi diri korban. Di sisi lain, secara umum perempuan korban kekerasan seksual di Aceh mempunyai mental yang tangguh, hal ini ditandai oleh data lapangan dengan tidak
ditemukan satu orangpun korban yang bunuh diri akibat diperkosa. Ada kecenderungan signifikan hal tersebut berhubungan dengan budaya Aceh yang melarang seseorang bunuh diri karena itu adalah salah satu dosa besar
dalam Agama (Islam). Pembinaan korban relatif sulit dilaksanakan, Jika situasi keamanan masih rawan. Oleh karena itu untuk melakukan pembinaan yang sustainable melalui pemberdayaan, korban memeriukan situasi keamanan
yang kondusif. Memberikan bantuan kepada korban adalah baik. Namun hal tersebut harus dibarengi dengan program konkrit yang dilaksanakan yaitu membuat pusat-pusat rehabilitasi mental pada tiap Puskesmas/Puskesmas
Pembantu oleh psikolog (ahli Jiwa) dan menghidupkan kembali pengajian tradisional secara regular dan konsultasi personal dalam dimensi keagamaan terhadap korban dengan rnemanfaatkan pesantren. Membuat pusat rehabilitasi personsMcommunity dalam rangka kesinambungan (sustainabelity) melalui pelatihan sesuai bakat, minat dan prospek bahan baku yang ada di desa korban (people centered development). Kemudian membantu melakukan
pangsa pasar untuk pemasaran produk secara berkelanjutan. Bagi korban yang tidak mempunyai ketrapilan khusus, dibimbing dengan memberikan modal usaha tradisional (misalnya beternak)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia , 2001
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairan
"Kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM) terhadap Aceh mulai tahun 1989 s.d. 1998 sebagai sebuah strategi Pemerintah Republik Indonesia untuk menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM), telah menimbulkan mala petaka yang berakibat luka dan kedukaan bagi rakyat Aceh. Akibatnya tidak kurang dari 8.344 orang meninggal dunia, 575 orang hilang, 1.465 orang istri menjadi janda, 4.670 orang anak yatim, 298 orang cacat seumur hidup dan 34 orang perempuan diperkosa. Kekerasan seksual merupakan goncangan yang luar blasa yang teijadi di Aceh sepanjang sejarah perjuangan rakyat Aceh (ketika masih sebagai sebuah bangsa yang berdaulat), belum pemah terjadi dan kenyataan ini terlalu menyakitkan bagi rakyat Aceh. Karena faktor budaya, korban merasa malu dan rendah diri dalam masyarakat. Ada kecenderungan korban merahasiakan kekerasan seksual yang dialaminya. Disisi lain, pada umumnya mereka perempuan yang berpendidikan rendah, cenderung tidak mempunyai ketrampilan khusus dan juga berpenghasilan rendah serta hidup dalam kemiskinan. Ada perempuan korban yang merasa malu melaporkan diri kepada pihak yang berkompeten. Selain rasa malu, para korban juga sulit menjangkau ibu kota kecamatan untuk melapor kejadian yang mereka alami, karena situasi konflik terus berlangsung dan juga jarak yang harus ditempuh ke kecamatan relatif jauh. Yang menjadi fokus masalah di sini adalah bagaimana Persepsi korban tentang dirinya sendiri, interaksi mereka dengan orang lain, dan cara mereka melihat masa depannya sendiri.
Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif melalui Pendekatan kualitatif yang perempuan bertujuan untuk memahami pengalaman korban perempuan dengan meneliti persepsi dirinya interaksi dengan orang lain dan cara korban melihat masa depannya Sendiri, agar dapat dijadikan landasan dalam membuat program untuk membantu perempuan korban kekerasan seksual. Informan penelitian diperoleh pada dua kecamatan yaitu kecamatan Peureulak dan Julok yang dilakukan pada bulan Februari s.d. Maret 2001 dan dilanjutkan pada bulan Juni 2001. Informan penelitian yang dijadikan kelompok kasus sebanyak 7 orang. Penelusurannya dilakukan dengan tehnik Snow Ball, dengan karakteristik informan; perempuan gadis (belum menikah), perempuan berkeIuarga (menikah) dan perempuan janda. Kemudian dilengkapi derigan 4 Informan annya yang dinggap dapat memperjelas informasi yang diperoleh. Metode pengambilan informasi dilakukan dengan pengamatan terlibat terhadap kelompok kasus dilengkapi dengan wawancara mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa seseorang dilabelkan sebagai orang yang menyimpang dari norma yang berlaku tergantung proses terjadinya tindak kekerasan seksual itu sendiri. Reaksi masyarakat terhadap korban dapat berupa positif atau negatif. Secara umum peran keluarga, orang dekat korban dan tokoh agama ikut berpengaruh terhadap korban dalam mengembalikan cara pandang korban terhadap dirinya sendiri, interaksi dengan orang lain dan cara melihat masa depannya sendiri setelah korban mengalami tindak kekerasan seksual. Pada umumnya korban masih melihat dirinya sendiri sebagai orang yang berguna setelah Iingkungan memberikan reaksi simpati terhadap korban. Lalu dari interaksi antara korban dengan Iingkungannya, muncul kembali semangat meraih masa depan dengan kemampuan yang dimiliki korban. Hal ini menunjukkan bahwa modal sosial masyarakat Aceh signifikan ikut mempengaruhi persepsi diri korban. Di sisi lain, secara umum perempuan korban kekerasan seksual di Aceh mempunyai mental yang tangguh, hal ini ditandai oleh data lapangan dengan tidak ditemukan satu orangpun korban yang bunuh diri akibat diperkosa. Ada kecenderungan signifikan hal tersebut berhubungan dengan budaya Aceh yang melarang seseorang bunuh diri karena itu adalah salah satu dosa besar dalam Agama (Islam). Pembinaan korban relatif sulit dilaksanakan, jika situasi keamanan masih rawan. Oleh karena itu untuk melakukan pembinaan yang sustainable melalui pernberdayaan, korban memerlukan situasi keamanan yang kondusif. Memberikan bantuan kepada korban adalah baik. Namun hal tersebut harus dibarengi dengan program konkrit yang dilaksanakan yaitu: membuat pusat-pusat rehabilitasi mental pada tiap Puskesmas - Puskesmas Pembantu oleh psikolog (ahil Jiwa) dan menghidupkan kembali pengajian tradisional secara reguler dan konsultasi personal dalam dimensi keagamaan terhadap korban dengan memanfaatkan pesantren. Membuat pusat rehabilitasi Personal/community dalam rangka kesinambungan (sustainabelity) melalui pelatihan sesuai bakat, minat dan prospek bahan baku yang ada di desa korban (people centered development). Kemudian membantu melakukan pangsa pasar untuk pemasanan produk secara berkelanjutan. Bagi korban yang tidak mempunyai keterampilan khusus, dibimbing dengan memberikan modal usaha tradisional (misalnya beternak)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T3648
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Rumah-rumah di Gampong Lubok Sukon di Kecamatan Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar Provinsi Aceh, tcnnasuk salah satu kclompok rumah dengan konsep privasi yang menjadikan nilai ajaran keislaman sebagai acuan kehidupannya sehari-hari. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan pcngaturan tata ruang rumah terkait konsep privasi dengan menggunakan metode naturalistik, karcna karakter objek amatan mcmiliki budaya yang spcsifik. Analisis penelitian dilakukan secara induktif, dcngan menyusun kesimpulan berdasarkan abstraksi temuan-temuan di lapangan. Bahwa masyarakat Gampong Lubo~ Sukon mempunyai pcngaturan tata ruang privasi bagi para penghuninya, baik dalam rangka interaksi sesama penghuni maupun orang luar (tamu). Selain itu juga harus mampu mendukung interaksi penghuni dengan Tuhannya (interaksi transendental). Di dalam pcngaturan rumah tinggal terdapat gradasi tingkat privasi yang ditentukan oleh faktor gender. Konsep ini dilatarbelakangi oleh nilai ajaran Islam dengan budaya, yang terwujud di dalam pola peruangan rumah tinggal karena konsep inferior bagi perempuan dan superior bagi laki-laki, karena aurat perempuan yang lcbih banyak daripada laki-laki)."
902 JPSNT 21(1-2) 2014
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Siwi Suharini
"Penelitian membahas mengenai penerapan program alternative development dalam menangani kultivasi ganja di Mukim Lamteuba, Kecamatan Seulimeum, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Alternaive development adalah suatu proses untuk mencegah dan membasmi kultivasi ilegal tanaman yang mengandung narkotika dan psikotropika melalui upaya pengembangan pedesaan yang dirancang khusus dalam rangka pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan dan upaya-upaya pengembangan berkelanjutan di negara-negara yang berjuang melawan narkotika ilegal. Penelitian menggunakan metode deskriptif analitik dengan pendekatan kualitatif. Program alternative development di Mukim Lamteuba telah dilakukan sejak tahun 2006. Program yang dilakukan adalah alih fungsi lahan ganja dengan tanaman lain yang memiliki ekonomi tinggi seperti nilam, jabon dan kunyit. Sasaran strategis alternative development yaitu Menurunnya Produksi Ganja dan Kawasan Rawan penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba melalui konsep alternative development di Provinsi Aceh dengan upaya pengembangan pedesaan dalam rangka pertumbuhan ekonomi. Program alih fungsi lahan ganja telah berhasil menurunkan jumlah lahan ganja dan mengurangi jumlah petani ganja, dilihat dari eradikasi ganja di Aceh mengalami penurunan yaitu dari 178,4 hektar pada tahun 2010 menjadi 96 hektar pada tahun 2015. Program AD belum mampu meningkatkan ekonomi masyarakat, karena hasil kultivasi ganja mencapai harga tertinggi yaitu Rp. 560.000.000/hektar sedangkan harga tanaman pengganti yang dilakukan dalam program AD sebagai komoditi yaitu hanya Rp. 110.700.000/hektar untuk nilam, Rp. 300.000.000/hektar untuk jabon, dan Rp. 175.000.000/hektar untuk kunyit.

The research discuss about the implementation of the alternative development in countering cannabis cultivation in Mukim Lamteuba, Kecamatan Seulimeum, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Alternative developmentis a process to prevent and eliminate the illicit cultivation of plants containing narcotics and psychotropic substances through specifically designed rural development measures in the context of sustained national growth and sustainable development efforts in countries taking action against drugs, recognizing the particular socio economic characteristics of the target communities and groups, within the framework of a comprehensive and permanent solution to the problem of illicit drugs. The research used analitical descriptive methode and qualitative approach. Indonesia has implemented the alternative development in countering cannabis cultivation in Aceh since 2006. One of the program which is implemented is land conversion of cannabis land with other crops which has high economic value such as nilam, jabon, and turmeric. The strategic target of the alternative development is reducing the production of cannabis and high risks area ensp of ensp illicit drug trafficking and abuse through the alternative development concept in the Province of Aceh with rural development efforts in the context of economic growth. The program has succeeded in reducing the cannabis cultivation and reducing the amount of the cannabis farmers, as shown that the eradication of cannabis land in Aceh decrease from 178,4 hectare in 2010 become 96 hectare in 2015.The AD program is still not able to increase the economy of the community, since cannabis has reached the highest price than the other substitution plants i.e. Rp. 560.000.000 hectare, where the price of other commodity is Rp. 110.700.000 hectare of nilam, Rp. 300.000.000 hectare of jabon, and Rp. 175.000.000 hectare of curcuma. "
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Ditjen Kebudayaan P dan K RI, 1976
992.5 IND m (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1992
745 PER
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Kamariah
"Penyakit kusta di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Di samping besamya masalah di bidang rnedis juga masalah sosial yang ditimbulkan oleh penyakit ini. Menghadapi masalah ini, organisasi kesehatan dunia (WHO) telah menetapkan agar pada tahun 2000 penyakit kusta tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan prevalensi rate kurang dari 1 per 10.000 penduduk. Penurunan prevalensi rate ini dapat dicapai dengan upaya peningkatan proporsi penderita kusta yang herobat taeratur dalaxn periode waktu tertentu. Pencapaian persentase keteraturan berobat atau RPT rate pcnderita kusta di Kabupaten Aceh Besar pada tahun 1998 (PB: 93,7 %; MB: 91,3 %). Angka ini relatif lebih tinggi dad target RPT rate nasional yaitu 90 % balk untuk penderita ripe PB maupun MIB. Beberapa penelitian, Salah satunya di Tangerang menunjukkan bahwa RFT Rate (1993) mencapai 78,4%, yang berbeda dengan angka keteraturan berobat yang diperoleh dari pencatatan dan pelaporan (RPT Rate : 90%). Prevalensi Rate Kabupaten Aceh Besar cendenmg menunm dari tahun ke tahun, tetapi belum mencapai target Prevalensi Rate yang ditargetkan oleh WHO yaitu kurang dari 1 per 10.000 penduduk. Namun hal ini berbeda dengan penemuan penderita baru yang cenderung meningkat. Berdasarkan kenyataan ini maka dilakukan penelitian yang rnengkaji bagaimana gambaran keteratumn berobat yang sebenamya dari penderita kusta di Kabupaten Aceh Besar dan hubungannya. dengan faktor-faktor yang diasumsikan melatar belakangi keteraturan berobat penderlta kusta, yaitu faktor umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, keyakinan, sikap, jarak, ketersediaan obat, peran petugas, dan peran keluarga.Penelitian dilakukan di Kabupaten Aceh Besar dengan desain cross sectional dan menggunakan data primer. Responden berjumlah 134 orang yang merupakan seluruh populasi yang memenuhi kriteria sebagai sampel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi responden yang teratuzr berobat adalah 74,6 % (95 % CI; 67,2 % - 82,0 %)_ Secaxa statistik diperoleh hubungan yang bermakna antara keteraturan berobat dengan faktor pengetahuan (OR: 6,73i6;95 % CI: 2,540 - l7,855), keyakinan (OR: 7,169; 95 % CI: 1,167 - 44,040 ), sikap (OR: 4,481; 95 % CI: 1,458 - 13,773 ), dan peran petugas (OR: 3,325; 95 % CI: 1,195 - 9,248). Dari empat falctor yang berhubungan tersebut, maka faktor pengetahuan merupakan faktor yang paling berhubungan dengan keteraturan berobat. Diperlukan pendidikan kesehatan yang persuasif dengan menggunakan orang yang berpengalaman dalam kesembuhan kusta sebagai pendidik ( Imitation by vicarious learning ).Per1u juga peningkatan kemampuan petugas dalam metode pendidikan dan penyuluhan rnelalui program pendidikan kcsehatan, dan melaksanakan studi eksperimental, untuk melakukan uji cuba beberapa. model yang berkaitan dengan pendidikan kesehatan yang bersifat persuasif, Hasil studi ini dapat digunakan untuk mendukung program intervensi yang akan meningkatkan RFT Rate.

Leprosy is still a public health problem in Indonesia Besides the medical problems, leprosy disease also gives many social problems. To overcome all those problems ,World Health Organization ( WHO) declared elimination of leprosy by the year 2000,mea.ns leprosy will not be a public health problem anymore when the prevalence rate is less than l per 10.000 population Decreasing prevalence rate could be achieved by increasing the proportion of leprosy patients who could complete the treatment regularly within adequate period of time. The number of patients finished treatment during adequate period of time or RPT rate of leprosy patients in Aceh Besar district in 1998 was relatively high (PB: 93.'7%; MB: 91.3% ). This figure is higher compare to the national target, which is 90 % for both PB and MB types. Several studies, which one of them conducted in Tangerang (1993) showed that RFT Rate was 78,4%, it was different to compliance rate gathered from recording and reporting'(RFl` Rate was 90%). Prevalence Rate in Aceh Besar District tended to decrease from year to year, but it has not reached the Prevalence Rate targeted by WHO, that are less than 1 per 10.000 people. This was different to new cases tinding that tended to increase. Based on this face this study aims to ?rind out the real pictures of the treatment compliance of leprosy patients in Aceh Besar district, and some factors related to the treatment compliance of leprosy patients such as age, sex, education, job, knowledge, confidence, attitude, distance, availability of drugs/MDT, the role of health providers and the role of the patients family. The study was conducted in Aceh Besar district and designed as cross sectional study using primary data. The number of respondents was 134, which was all the population who full [ill the criteria. The study result shows that the proportion of respondent with compliance of treatment was 74.6% (95%CI1 67.2% - 32.0%)_ Statistically the correlation was significant between the compliance of treatment and the knowledge ( OR: 6.736 ; 95%CI 1 2-540 - 17.855 ), the confidence ( OR: 7.169 ; 95%Ci 1 1.167 - 44.040 ), the attitude ( OR 1 4.481 ; 95%CI 1 1.453 - 13-774 ) , and the role of health providers ( OR 1 3.325 ; 95%CI 1 1.195 - 9.243 ). Out of four factors, knowledge is the most factor related to the compliance oftreatment. It is needed to do persuasive health education such as Imitation by Vicarious Leaming using ex leprosy patient. It is also important to improve the capability of health providers in giving health education through formal health school, and conduct an experimental study to try out some models regarding the persuasive health education. The result of the study could be used to support the intervention which could improve RPT Rate."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T3742
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zul Husni
"Penelitian dengan judul tersebut di atas dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana kondisi kesehatan ibu dan anak pada periode konflik, serta bagaimana dampak konflik dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak di Kecamatan Ulee Kareng.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif berdasarkan analisis pada data primer dan sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan dan wawancara mendalam dengan 5 informan yang terdiri dari 2 informan petugas kesehatan dan pejabat pemerintahan, serta 3 informan dari tokoh masyarakat. Teknik pemilihan informan ini dilakukan dengan purposive sampling.
Dari temuan lapangan dan ungkapan-ungkapan 5 orang Informan Penelitian diketahui bahwa, kondisi kesehatan ibu dan anak, arah kebijakan pembangunan kesehatan ibu dan anak, program pelayanan kesehatan ibu dan anak, penyediaan obat dan sarana kesehatan ibu dan anak, peran petugas dalam pelaksanaan program kesehatan ibu dan anak, partisipasi warga masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan ibu dan anak, diperoleh kesimpulan bahwa kondisi kesehatan ibu dan anak di Kecamatan Ulee Kareng, Kota Banda Aceh belurn sepenuhnya mencapai sasaran pelayanan kesehatan. Teknis pelayanan kesehatan pun belum optimal karena terbatasnya tenaga kesehatan dan sarana pelayanan kesehatan di Kecamatan Ulee Kareng. Disamping itu, belum optimalnya kondisi kesehatan ibu dan anak di Kecamatan Ulee Kareng diketahui dari data masalah kesehatan di sebagai berikut :
Pertama, Masih tingginya angka ibu hamil resiko tinggi yang mencapai 73 ibu atau melebihi dari sasaran awal yang ditetapkan sebanyak 36 ibu hamil ; Kedua, Capaian imunisasi balita dan anak usia sekolah rata-rata tidak mencapai 75 persen dari populasi sasaran pelayanan imunisasi ; Ketiga, Hanya ada 3 Puskesmas Pembantu di 9 desa yang ada di wilayah Kecamatan Ulee Kareng, dan hanya ada 2 orang dokter di Kecamatan Ulee Kareng ; Keempat, Jumlah kematian kasar pada tahun 2001 mencapai 0,40 persen dari populasi 14.759 penduduk, dan pada tahun 2001 jumlah kematian kasar mengalami peningkatan hingga mencapai 0,44 persen dari populasi 15.891 penduduk.
Menurunnya intensitas pelayanan kesehatan ibu dan anak di Kecamatan Utee Kareng pada pasca konflik tidak hanya disebabkan oleh rendahnya partisipasi masyarakat, keterbatasan pembiayaan, keterbatasan sarana dan prasarana pelayanan, dan keterbatasan tenaga kesehatan, namun disebabkan juga oleh dampak konflik yang terjadi di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Situasi konflik ini diketahui dari ungkapan-ungkapan 5 orang Informan Penetitian mengenai hubungan lembaga masyarakat dengan lembaga pemerintah, situasi kehidupan sosial masyarakat, pandangan dan harapan masyarakat terhadap konflik. Situasi konflik ini tercermin dari adanya perasaan kurang aman di kalangan petugas kesehatan, kurang harmonisnya kerjasama lembaga pemerintah dan lembaga masyarakat, dan besarnya harapan masyarakat agar konflik tidak ada lagi.
Situasi konflik tidak sampai menghambat pelaksanaan kegiatan pelayanan kesehatan ibu dan anak, karena terbukti berbagai program pelayanan kesehatan ibu dan anak tetap terlaksana. Keadaan ini berlangsung karena kesehatan ibu dan anak dipandang sebagai kepentingan dan kebutuhan semua pihak, terutama kebutuhan warga masyarakat Kecamatan Ulee Kareng itu sendiri."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T2517
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ronny Rendra Setyawan
"Hubungan Pusat-Daerah Pada Masa Awal Orde Baru (1967-1978): Studi Kasen Daerah Istimewa Aceh. Sebuah bangsa ada karena adanya kehendak bersama, kesamaan sejarah yang sama, dan tujuan yang sama. Sebuah bangsa menjadi tidak ada adaiah karena adanya ketidakadilan, diskriminasi dan tertutupnya kran-kran kebebasan untuk mengekspresikan diri. Bangsa Indonesia lahir karena adanya cita-cita bersama dari seluruh suku bangsa yang ada untuk membebaskan diri dari belenggu imperialisme dan untuk setara dengan bangsa-bangsa lainnya, McIalui proses yang panjang kemudian terbentuklah negara Republik Indonesia. Proses pengelolaan negara yang terjadi di Indonesia mengalami fluktuasi sepanjang sejarah. Sejak zaman revolusi sampai masa Orde Baru Indonesia sebagai sebuah negara terus mengalami tantangan. Skripsi ini membahas hal tersebut dengan studi kasus di Daerah Istimewa Aceh. Daerah Aceh sejak masa kemerdekaan hingga Orde Baru adalah daerah yang terus menerus mengalami pergolakan. Pada masa kemerdekaan yang diperangi adalah Belanda, sedangkan pada masa-masa setelah itu peperangan yang terjadi adalah antara Aceh melawan Jakarta (daerah pusat). Pada masa Orde Baru Aceh adalah merupakan saiah satu daerah yang kaya akan sumber daya alam, tetapi jika dibandingkan dengan pembangunan yang ada terasa kurang sebanding. Hal ini bukan hanya terjadi di Aceh, tetapi di beberapa daerah lain mengalami hal yang sama. Hal ini terjadi karena pemerintah pusat telah menetapkan sebuah mekanisme tertentu untuk melemahkan daerah, balk secara politik maupun ekonomi. UU No 5 tahun 1974 yang merupakan produk dari Orde Baru ini, menjadi senjata yang sangat ampuh untuk menekan daerah. Sebagai contoh adalah masalah pengangkatan kepala daerah, walupu n di tiap daerah ada kepala daerah, tetapi yang menentukannya tetap pemerintah pusat. Disamping itu pola penyeragaman struktur pemerintahan daerah secara nasional menjadikan daerah ini menjadi teralienasi dari sistem budayanya sendiri. Dalam hal ekonomi pemerintah pusat membuat daerah-daerah menjadi mangalami ketergantungan yang tinggi terhadap pusat. Pemerintah lebih mengedepankan pemberian subsidi kepada daerah-daerah. terrnasuk Aceh. Dalam Realisasi Penerimaan Daerah Otonom Tingkat I, subsidi pemerintah pusat dari tahun ke tahun mengalami kenaikan dan rata-rata posisinya sekitar 60 % dari total penerimaan. Subsidi pemerintah pusat ini merupakan hasil yang diambiI dari daerah. Hal tersebut akhirnya menimbulkan reaksi, khususnya di Aceh. Walaupun reaksinya dalam skala kecil pada waktu itu, tetapi hal ini menunjukkan bahwa pemerintah pusat telah membuat manajemen hubungan pusat-daerah secara kurang baik. Reaksi ini diwujudkan dengan perjuangan bersenjata yang dipimpin oleh Hasan Muhammad Tiro. Pada awainya gerakan ini merupakan gerakan elit dari kalangan intelektual Aceh yang merasa resah melihat kondisi Aceh pada sat itu, yang menurut mereka Aceh diperlakukan secara tidak adil oleh pemerintah pusat. Gerakan ini walaupun pada akhirnya dapat ditumpas oleh pemerintah, tetapi tidak mati, dan pada tahun-tahun berikutnya pendukungnya mulai bertambah banyak."
2000
S12414
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurdin Abdul Rachman
"ABSTRAK
Politik pada dasarnya merupakan fenomena yang berkaitan erat dengan manusia, di mana manusia merupakan makhluk sosial yang hidup bermasyarakat dan dalam dirinya mempunyai potensi untuk berubah dan berkembang. Perubahan perilaku politik elite agama ternyata tidak spontan, tetapi melalui proses yang memakan waktu panjang. Meskipun banyak variabel yang menyebabkan terjadinya perubahan perilaku politik, namun dalam penelitian ini hanya dipilih beberapa variabel yang dominan yang diperkirakan paling berpengaruh yaitu pembangunan ekonomi, sosialisasi politik dan birokrasi.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui proses terjadinya perubahan tingkah laku politik elite agama di Kabupaten Pidie dan faktor-faktor apa yang paling dominan dalam proses perubahan tingkah laku politik itu. Pola tingkah laku politik berkaitan erat dengan nilai-nilai umum yang dianut masyarakat Pidie yang amat dipengaruhi oleh ajaran Islam. Tetapi nilai-nilai umum tersebut tampaknya telah mengalami perubahan yang kemudian membawa pengaruh terhadap perilaku politik elite tersebut.
Dalam penelitian ini ada tiga hipotesis yang diajukan untuk melihat perilaku politik elite agama. Pertama, semakin meningkat keberhasilan pembangunan ekonomi akan menyebabkan semakin cepat proses perubahan perilaku politik elite agama. Kedua, semakin intensif pelaksanaan sosialisasi politik di kalangan elite agama, maka semakin cepat pula proses perubahan perilaku politik. Ketiga, semakin berperan birokrasi, maka proses perubahan perilaku politik akan semakin cepat terjadi.
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pidie Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Pemilihan Kabupaten Pidie berdasarkan pertimbangan bahwa kabupaten ini secara historis merupakan daerah di mana selalu terjadi konflik politik yang berdimensi sosial, ekonomi dan politik seperti revolusi sosial di tahun 1946, pemberontakan Darul Islam (DI) di tahun 1953 dan juga menjadi pusat pemberontakan separatis Aceh Merdeka pada tahun 1976 sampai sekarang. Di samping itu kabupaten ini merupakan basis kuat Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di mana Golkar baru berhasil meraih kemenangan dalam pemilu 1992.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi mempunyai korelasi dengan perubahan perilaku politik elite agama yaitu meninggalkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) untuk mendukung Golongan Karya (Golkar).
Di samping itu, sosialisasi politik juga mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perilaku politik elite agama. Penerimaan Ideologi Pancasila dan ditinggalkannya ideologi Islam oleh elite agama menunjukkan terjadinya perubahan orientasi politik elite agama yang selanjutnya mendorong terjadinya perubahan perilaku politik elite tersebut dalam bentuk mendukung Golongan Karya.
Selanjutnya hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa birokrasi berperan terhadap perubahan perilaku politik elite agama di Kabupaten Pidie. Tampaknya elite agama telah kehilangan peranan dominannya dalam bidang politik, dan telah menjadi sasaran dari berbagai kepentingan politik khususnya kepentingan politik pemerintah.
"
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>