Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 82875 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sunaryo
"Demam Berdarah Dengue (DBD) perlu mendapat perhatian serius karena masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia dan di beberapa daerah masih sering terjadi kejadian luar biasa. Di Jawa Tengah, kasus DBD cenderung meningkat setiap tahunnya terutama pada tahun 2012. Penelitian ini bertujuan menganalisis parameter entomologi dan menggambarkan jenis tempat penampungan air. Penelitian dilakukan di Kabupaten Grobogan, Purbalingga, Kendal dan Kota Semarang pada bulan Juni _ Oktober 2013 dengan desain potong lintang. Survei jentik dilakukan untuk melihat keberadaan tempat penampungan air pada 100 rumah. Masing-masing kabupaten dipilih tiga lokasi desa endemis DBD.
Hasil survei digunakan untuk menghitung nilai parameter entomologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meningkatnya kasus DBD di empat kabupaten/kota terkait dengan keberadaan vektor A. aegypti. Hal ini dibuktikan dengan masih tingginya persentase jumlah rumah yang ditemukan jentik A. aegypti (House Index > 10%) serta tingginya jumlah kontainer ditemukan jentik A. aegypti pada rumah yang dilakukan survei (Breteau Index). Nilai ovitrap index paling tinggi di Desa Kalikabong Kabupaten Purbalingga seesar 40%. Proporsi controllable site lebih banyak daripada disposable site, berarti rumah tersebut berisiko tinggi sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk.

Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) needs serious attention because it is still a health problem in Indonesia and in recent area DHF caused outbreak. In Central Java, incidence of DHF high every years, especially in 2012. This study aimed to analyze the parameters of entomology and describe types of containers. The study was conducted in Grobogan, Purbalingga, Kendal District and Semarang City in June _ October 2013 with cross-sectional design. Larvae survey had been done in 100 houses in three villages that endemic DHF at every district/city.
The survey results are used to calculate parameter entomology. The results showed that existance of DHF cases in Surveilans Aedes aegypti di Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue Aedes aegypti Surveillance in Endemic Area of Dengue Haemorrhagic Fever four district/city connected with the population of A. aegypti. This matter proved with high percentage of houses that found A. aegypti (House Index > 10%) and the high of container that containing A. aegypti in every houses (Breteau Index). The high of ovitrap index (OI) was 40% in Kalikabong village, Purbalingga district. The proportion of controllable sites more than disposable sites, meaning the house as the high risk of mosquito breeding sites.
"
[place of publication not identified]: Balai Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Banjarnegara, 2014
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Erna Kusumawardani
"Berbeda dengan beberapa negara, laporan kejadian kasus demam
berdarah dengue (DBD) di perdesaan Indonesia belum banyak dilaporkan.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran kejadian DBD di
perdesaan di wilayah perbatasan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Lebak,
Jawa Barat. Penelitian ini menggunakan desain studi kasus seri dengan
sampel seluruh penderita DBD yang tercatat di puskesmas pada periode
bulan Januari 2011 sampai April 2012. Hasil penelitian menemukan 18 ka-
sus DBD dan 4 kasus kematian (case fatality rate, CFR = 22%). Sebagian
besar kasus berjenis kelamin laki-laki (58,3%), berusia ≥ 15 tahun (58,3%),
tidak bekerja/ibu rumah tangga (50%), melakukan mobilitas (66,7%), mem-
punyai pengetahuan yang baik (66,7%), berperilaku kurang baik (83,3%),
dan mempunyai tempat penampungan air (100%). Lima dari 12 kasus DBD
(41,7%) diduga merupakan kasus lokal. Dari empat puskesmas (57,1%)
yang melakukan kegiatan penyelidikan epidemiologi DBD terindikasi bah-
wa kemungkinan besar telah terjadi transmisi DBD di wilayah perdesaan
daerah perbatasan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Lebak.
Dengue hemorrhagic fever (DHF) has long been reported as disease af-
fecting predominantly among urban populations. However, several recent
studies suggest that DHF has spread into rural area. This study aims to des-
cribe disease occurrence of DHF in border rural areas of Bogor ? Lebak.
The study design is case series. The sample of this study was all patients
with confirmed DHF admitted to public health centers between January
2011 and April 2012. The study was conducted in April to May 2012. The
results showed that there were 19 DHF cases and four out of 18 cases died
(case fatality rate, CFR was 22%). Out of 12 eligible respondents, most of
them were male (58,3%), aged ≥ 15 years (58,3%), unemployed/housewife
(50%), conducting mobility (66,7%), having good knowledge (66,7%), be-
have poorly (83,3%), and having water containers (100%). Five of 12 DHF cases (41,7%) were suspected as local cases. Four primary health centers
(57,1%) were able to perform PE DBD (DHF Epidemiological Investigation).
These results indicate that the transmission of DHF in border rural areas of
Bogor ? Lebak, most likely has occurred."
Universitas Indonesia, 2012
03-17-636669299
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Andriyani Pratamawati
"Program pencegahan dan pemberantasan demam berdarah dengue (DBD)
telah berlangsung sekitar 43 tahun dan berhasil menurunkan angka kema-
tian dari 41,3% pada tahun 1968 menjadi 0,87% pada tahun 2010, tetapi
belum berhasil menurunkan angka kesakitan. Bahkan, Indonesia men-
duduki urutan tertinggi kasus DBD di Association of Southeast Asian
Nations (ASEAN) pada tahun 2010. Salah satu faktor belum efektifnya
pencegahan DBD di Indonesia adalah masih lemahnya sistem kewas-
padaan dini. Peran juru pantau jentik (jumantik) sangat penting dalam sis-
tem kewaspadaan dini mewabahnya DBD karena berfungsi untuk meman-
tau keberadaan dan menghambat perkembangan awal dari vektor penular
DBD. Seiring masih tingginya angka kasus DBD di Indonesia, muncul per-
tanyaan bagaimana peran jumantik dalam sistem kewaspadaan dini DBD
selama ini di Indonesia. Artikel ini mencoba menelaah masalah tersebut
berdasarkan tinjauan pustaka. Secara umum, peran jumantik dinilai cukup
berhasil dalam pencegahan DBD, namun terdapat beberapa hal yang per-
lu menjadi bahan evaluasi.
Programs of prevention and eradication of dengue hemorrhagic fever
(DHF) has been around 43 years and managed to reduce mortality from
41,3% in 1968 to 0,87% in 2010, but has not managed to reduce morbidity.
Indonesia even ranked the highest of dengue cases in Association of
Southeast Asian Nations (ASEAN) by the year 2010. One factor that made
has not been effective dengue prevention in Indonesia is the early warning
system is still weak. Jumantik role is very important in the early warning
system outbreaks of dengue hemorrhagic fever because it serves to moni-
tor the presence and inhibit the early development of vector-borne dengue
fever. During the high number of dengue cases in Indonesia, question rous-
es how jumantik role in the dengue hemorrhagic fever early warning sys- tem so far in Indonesia. This article takes a closer look based on a litera-
ture review. In general, the role of jumantik considered quite successful in
preventing dengue hemorrhagic fever early warning system but neverthe-
less there are things that need to be evaluated."
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit, 2012
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ringga Fidayanto
"Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit berbasis vektor yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di negara-negara tropis termasuk Indonesia. Penelitian ini bertujuan memprediksi kejadian DBD berdasarkan faktor iklim yang meliputi curah hujan, kelembaban, suhu udara dan lama penyinaran matahari serta model pengendalian. Desain penelitian adalah studi ekologi time series dengan data sekunder dari dinas kesehatan kota Surabaya meliputi kejadian DBD dan angka bebas jentik (ABJ) serta data iklim curah hujan, kelembaban, suhu udara dan lama penyinaran matahari yang didapatkan dari Badan Meteorologi dan Geofisika Badan (BMKG) stasiun perak Surabaya. Penelitian tersebut menemukan kelembaban berkorelasi dengan angka bebas jentik, tetapi ABJ tidak berkorelasi dengan jumlah kejadian DBD. Model pengendalian DBD dirediksi berdasarkan korelasi faktor iklim dan kejadian DBD, pengendalian sumber penyakit, pengendalian media transmisi dan paparan pada masyarakat. Model pengendalian DBD dapat digunakan untuk tindakan kewaspadaan dini dengan melakukan pengendalian DBD pada periode bulan Januari hingga Juni. Pada bulan tersebut, musim hujan akan berakhir, tetapi menyisakan genangan air sebagai tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti dan peningkatan suhu udara yang meningkatkan penularan DBD.

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a vector-based diseases are a public health problem in many tropical countries, including Indonesia. This study aims to predict the incidence of dengue by climatic factors (rainfall, humidity, air temperature and solar irradiation time) and Its control model. The study design was ecological time series study, using secondary data for 3 Years i.e. 2009, 2010 and 2011. The data was the incidence of dengue larva free number from Surabaya city health department as well as climate data obtained from the Meteorology and Geophysics Agency, Perak Station Model Pengendalian Demam Berdarah Dengue Control Model of Dengue Hemorrhagic Fever Ringga Fidayanto* Hari Susanto** Agus Yohanan*** Ririh Yudhastuti**** Surabaya. The results showed that the humidity effect on larva-free number (ABJ), but the larvae-free number had no effect on the incidence of DHF, but the larvae-free number no significant effect on the incidence of dengue. Model predictive control of DHF is based on the correlation between climate and dengue incidence, control of diseases, control of transmission. Models can be used to control dengue early warning measures to control dengue in the month of January until June period in which the month before the rainy season ends, but leaves puddles as breeding places of Aedes aegypti as well as rising the temperature increases lead to transmission of dengue fever."
Surabaya: Astra Argo Lestari, 2013
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Resmiati Resmiati
"Pada periode tahun 1989-1995, insiden demam berdarah di Indonesia berada pada kisaran 6 -15 per 100.000 penduduk. Pada tahun 1998, dengan angka
insidens demam berdarah meningkat tajam menjadi 35,19 per 100.000 penduduk dengan angka kematian (CFR) 2 %. Penelitian ini bertujuan mengetahui
pengaruh penyuluhan terhadap perilaku. Penelitian ini dilaksanakan di RW 12, Pondok Kelapa, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur, terhadap 227 res-
pondent. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kuasi eksperimen pra-pasca tes dalam satu kelompok (One group pra test and post test design).
Pengetahuan dan sikap diukur dengan lembar kuesioner serta tindakan diukur dengan lembar observasi yang sebelumnya telah dilakukan uji coba.
Pengukuran dilakukan sebelum dan setelah penyuluhan terhadap 227 responden. Ditemukan penyuluhan tentang DBD berpengaruh secara bermakna ter-
hadap pengetahuan,sikap dan tindakan penduduk (nilai p = 0,000). Setelah penyuluhan, nilai rata-rata pengetahuan meningkat dari (14,4; 30%) menjadi (18,9;
88,1%), nilai sikap meningkat dari (64,6 70,9%) menjadi (69,6; 96,9%), tindakan dari (5,1; 7,5%) menjadi (6,0 ;17,6%).
In the period of 1989-1995, the incidence of dengue hemorrhagic fever in Indonesia was within the interval of 6 -15 per 100.000 population. In 1998, the in-
cidence increased sharply (35,19 per 100.000 population) with case fatality rate of 2%. The purpose of this research is to evaluate the effect of health coun-
seling on the behaviour of housewives. This research was conducted in 227 respondents in RW 12 of Pondok Kelapa in Duren Sawit district, East Jakarta,
to measure respondents? knowledge and practice before and after health counseling. This research used one group quasy experiment design (pre-and-post-
test design). The measuring tool is a list of questions and observation check list that had been tested before. The health counseling on dengue fever signifi-
cantly influences the knowledge and practice of the housewives. This result showed increase of knowledge and practice before and after the counseling. The
average knowledge (14.42; 30%) increased to 18.91;88.1%. The attitude score increased from 64.42;70.9% to 69.58; 96.9%. The practice score increased
from 5.11;7.5% to 5.98;17.6%."
2009
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Wanti
"Tingkat kepadatan jentik merupakan indikasi diketahuinya kepadatan nyamuk Aedes sp yang akan menularkan virus dengue sebagai penyebab penyakit demam berdarah dengue (DBD) dan juga sebagai salah satu indikator keberhasilan kegiatan pengendalian vektor. Penelitian ini bertujuan mengetahui karakteristik tempat penampungan air (TPA) dan perbedaan kepadatan jentik House Index, Container Index, Breatau Index (HI, CI, BI) di Kelurahan Alak sebagai daerah endemis dan Kelurahan Belo sebagai daerah bebas DBD di Kota Kupang Tahun 2011. Penelitian observasional analitik ini menggunakan rancangan studi potong lintang. Variabel penelitian adalah jenis, kondisi, letak, bahan TPA dan kepadatan jentik Aedes sp. Data dikumpulkan dengan observasi langsung pada TPA dan rumah terpilih. Data disajikan dalam bentuk tabel kemudian dianalisis dengan uji-t.
Penelitian ini menemukan TPA positif jentik paling banyak adalah TPA untuk kebutuhan sehari-hari, kondisi TPA tidak tertutup rapat, letak TPA di luar rumah, bahan TPA adalah bahan keramik, dan warna TPA adalah warna putih. Hasil penelitian menunjukkan nilai US dari HI 0,887, CI 0,146 dan BI 0,080, yang artinya tidak ada perbedaan kepadatan jentik antara Kelurahan Alak (daerah endemis) dengan Kelurahan Belo (daerah bebas).
Disimpulkan tidak ada perbedaan kepadatan jentik (HI, CI, dan BI) antara daerah endemis dan daerah bebas DBD. Kedua daerah sama-sama memiliki tingkat kepadatan jentik yang tinggi, sehingga disarankan pemberantasan sarang nyamuk tidak hanya diprioritaskan pada daerah endemis DBD tetapi juga daerah daerah bebas DBD.

The larva density is an indication of the density of Aedes sp known to be capable of transmitting the dengue virus as the cause of dengue haemorrhagic fever (DHF) and also as one of the indicators of the success of vector control activities. This study aimed to determine the difference of the water container characteristics and the larvae density (HI, CI, BI) in Alak village as an endemic area and in Belo Village as a free area of dengue in Kupang Municipality. This analytic observational study using cross sectional study design. Observed variables were the type, the condition, the location, the material of water container and also the larvae density. Data collected by direct observation in water container and house. Data presented in tables were analyzed by t-test.
This study found positive larvae at most container is for everyday need, on not sealed condition, in outside the home, and in a ceramic material. The study also found the US value of HI is 0.887, CI is 0.146 and BI is 0.080. It means that larvae density between Alak and Belo Village is not different.
The conclusion is that there is no difference in the larvae density (HI, CI, and BI) between endemic area and free area of DHF. The two regions have the same high level of larvae density, so it is advisable that mosquito eradication is not only priority in endemic areas but also in dengue-free areas.
"
[place of publication not identified]: Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Kupang, Jurusan Kesehatan Lingkungan, 2014
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Wanti
"Tingkat kepadatan jentik merupakan indikasi diketahuinya kepadatan nyamuk Aedes sp yang akan menularkan virus dengue sebagai penyebab penyakit demam berdarah dengue (DBD) dan juga sebagai salah satu indikator keberhasilan kegiatan pengendalian vektor. Penelitian ini bertujuan mengetahui karakteristik tempat penampungan air (TPA) dan perbedaan kepadatan jentik House Index, Container Index, Breatau Index (HI, CI, BI) di Kelurahan Alak sebagai daerah endemis dan Kelurahan Belo sebagai daerah bebas DBD di Kota Kupang Tahun 2011. Penelitian observasional analitik ini menggunakan rancangan studi potong lintang. Variabel penelitian adalah jenis, kondisi, letak, bahan TPA dan kepadatan jentik Aedes sp. Data dikumpulkan dengan observasi langsung pada TPA dan rumah terpilih. Data disajikan dalam bentuk tabel kemudian dianalisis dengan uji-t.
Penelitian ini menemukan TPA positif jentik paling banyak adalah TPA untuk kebutuhan sehari-hari, kondisi TPA tidak tertutup rapat, letak TPA di luar rumah, bahan TPA adalah bahan keramik, dan warna TPA adalah warna putih. Hasil penelitian menunjukkan nilai US dari HI 0,887, CI 0,146 dan BI 0,080, yang artinya tidak ada perbedaan kepadatan jentik antara Kelurahan Alak (daerah endemis) dengan Kelurahan Belo (daerah bebas).
Disimpulkan tidak ada perbedaan kepadatan jentik (HI, CI, dan BI) antara daerah endemis dan daerah bebas DBD. Kedua daerah sama-sama memiliki tingkat kepadatan jentik yang tinggi, sehingga disarankan pemberantasan sarang nyamuk tidak hanya diprioritaskan pada daerah endemis DBD tetapi juga daerah daerah bebas DBD.

The larva density is an indication of the density of Aedes sp known to be capable of transmitting the dengue virus as the cause of dengue haemorrhagic fever (DHF) and also as one of the indicators of the success of vector control activities. This study aimed to determine the difference of the water container characteristics and the larvae density (HI, CI, BI) in Alak village as an endemic area and in Belo Village as a free area of dengue in Kupang Municipality. This analytic observational study using cross sectional study design. Observed variables were the type, the condition, the location, the material of water container and also the larvae density. Data collected by direct observation in water container and house. Data presented in tables were analyzed by t-test.
This study found positive larvae at most container is for everyday need, on not sealed condition, in outside the home, and in a ceramic material. The study also found the US value of HI is 0.887, CI is 0.146 and BI is 0.080. It means that larvae density between Alak and Belo Village is not different.
The conclusion is that there is no difference in the larvae density (HI, CI, and BI) between endemic area and free area of DHF. The two regions have the same high level of larvae density, so it is advisable that mosquito eradication is not only priority in endemic areas but also in dengue-free areas.
"
[place of publication not identified]: Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Kupang, Jurusan Kesehatan Lingkungan, 2014
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Alifia Daariy
"Demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat utama di Indonesia. Populasi nyamuk Aedes aegypti dewasa yang padat adalah faktor risiko dari kejadian DBD. Keadaan ini juga bisa dipengaruhi oleh karakteristik individu dan diperparah dengan kondisi lingkungan, perilaku individu dalam memberantas sarang nyamuk serta mencegah gigitan nyamuk. Penelitian kuantitatif dengan desain cross-sectional ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara kepadatan nyamuk Ae. aegypti dewasa di rumah dengan kejadian DBD di Kelurahan Tegal Alur, Kalideres, tahun 2019. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara pada 152 responden dan menangkap nyamuk di 55 rumah terpilih di 4 RW dengan kasus terbanyak. Pengukuran kepadatan dilakukan dengan menghitung sampel nyamuk Ae. aegypti menggunakan rumus angka istirahat per rumah (RR). Hasil studi memperlihatkan bahwa ada hubungan bermakna antara kepadatan nyamuk Ae. aegypti di rumah dengan kejadian DBD. Analisis juga menunjukkan faktor lingkungan yang berhubungan signifikan dengan kejadian DBD adalah penggunaan AC (3,77; 1,67-8,51), sedangkan karakteristik individu yang berhubungan termasuk usia (36,14; 11,84-110,29), jenis kelamin (5,01; 2,24-11,22), dan keberadaan individu (14,04; 5,06-39,01). Faktor perilaku yang memiliki hubungan dengan kejadian DBD ialah penggunaan kawat anti nyamuk (2,74; 1,28-5,87).

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is one of the main public health concerns in Indonesia. Aedes aegypti mosquito abundance is a risk factor for DHF. This condition is also influenced by individual characteristics and worsened by environmental factors, eradication of mosquito nests and prevention of mosquito bites practice. This quantitative study with a cross-sectional design aims to analyze the correlation of adult Ae. aegypti density in houses with DHF in Tegal Alur, Kalideres, 2019. The data were obtained from interviewing 152 study subjects and collecting adult mosquitoes in 55 selected houses in 4 high incidence RW. Adult Ae. aegypti density were determined by resting rate (RR) formula which defined as the number of resting mosquitoes per house.
The result showed that there is a significant relationship between Ae. aegypti mosquito density with DHF incidence. There are also significant correlation between environmental factor which is air-conditioner use (3,77; 1,67-8,51); individual characteristics including age (36,14; 11,84-110,29), sex (5,01; 2,24-11,22), and
individual whereabouts (14,04; 5,06-39,01); along with behavioral factor which is the use of mosquito nets (2,74; 1,28-5,87).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putrisuvi Nurjannah Zalqis
"Kepadatan nyamuk merupakan salah satu faktor risiko terjadinya Demam Berdarah Dengue (DBD). Hal ini dapat disebabkan oleh kondisi curah hujan tinggi yang terjadi di Kecamatan Kelapa selama Januari-Februari yang menimbulkan banyaknya genangan air di sekitar rumah penduduk sebagai tempat perindukan nyamuk akibat sanitasi yang buruk. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara kepadatan nyamuk Aedes aegypti dengan kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Kelapa Kabupaten Bangka Barat dengan menggunakan studi cross-sectional selama Mei-Juni 2016. Sampel penelitian ini adalah seluruh warga Kecamatan Kelapa yang terpilih secara acak-proporsional berjumlah 230 orang dan 60 rumah yang terpilih sebagai lokasi pengambilan sampel nyamuk dalam rumah secara acak dari 230 responden terpilih.
Hasil analisis menunjukkan bahwa kepadatan nyamuk Aedes aegypti di dalam rumah responden masih tergolong tinggi (51,7%) dan kejadian DBD sebesar 20%. Kepadatan nyamuk menunjukkan hubungan yang tidak signifikan dengan kejadian DBD (p=0,458). Faktor lain yang berhubungan dengan kejadian DBD yaitu keberadaan jentik (p=0,017), usia <15 tahun (p=0,002), kepadatan hunian tinggi (p=0,006), tidak melakukan PSN 3M Plus secara rutin (p=0,024), kebiasaan menggantung baju (p=0,033), dan rumah yang tidak dipasang kawat kasa pada ventilasi (p=0,014).
Penelitian ini menyimpulkan bahwa kepadatan nyamuk Aedes aegypti tidak berhubungan dengan kejadian DBD. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu adanya monitoring lebih lanjut terhadap populasi nyamuk dan kasus DBD, kerja sama sektoral, serta peran serta masyarakat dalam perilaku hidup bersih dan sehat.

The density of mosquitoes is a risk factor for the occurrence of Dengue Hemorrhagic Fever (DHF). It can be caused by conditions of high rainfall that occurred in Kelapa District during January-February which raises the amount of stagnant water around houses as a breeding place due to poor sanitation. This study aimed to analyze the relationship between the density of Aedes aegypti with the incidence of DHF in West Bangka Regency Kelapa District using cross-sectional study during May-June 2016. Samples were all chosen citizens of Kelapa District with proportional random sampling and 60 chosen houses from 230 citizen?s houses as the sampling sites of mosquitoes.
The analysis showed that the density of Aedes aegypti in the house still relatively high (51,7%) and the incidence of dengue by 20%. Mosquito density showed no significant association with the incidence of DHF (p=0,458). Other factors associated with incidence of dengue are the existence of larva (p=0,017), age <15 years (p=0,002), high house density (p=0,006), did not do PSN 3M Plus regularly (p=0,024), the habit of hanging shirt (p=0,033), and the house which not fitted wire netting on ventilation (p=0,014).
This study concluded that the density of Aedes aegypti mosquitoes is not associated with the incidence of dengue. Based on this result, we need further monitoring of mosquitoes populations and dengue cases, sectoral cooperation, and community participation for clean and healthy living behavior.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
S65216
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Erminda
"Latar Belakang: Pengendalian vektor merupakan upaya utama yang dilakukan guna memutus rantai penularan penyakit DBD. Dalam penelitian ini digunakan 2 macam insektisida golongan piretroid sintetik yaitu Alfametrin dan Sipermetrin, dan tujuannya adalah untuk mengetahui efektivitas ke 2 macam insektisida tersebut terhadap larva Ae. aegypti dengan mencari dosis letal melalui bioassay dan mengetahui daya residu ke 2 macam insektisida ini di lapangan.
Metode: Penelitian eksperimental di laboratorium secara bioassay (berdasarkan Lee HL dan WHO) dan uji di lapangan dalam skala kecil. Uji efektivitas alfametrin dan sipermetrin terhadap larva Aedes aegypti dengan konsentrasi yaitu 0,01; 0,02; 0,03; 0,04 dan 0,05 untuk alfametrin sedangkan untuk sipermetrin dengan konsentrasi 0,01 sampai 0,08. Larva Ae. aegypti yang diuji adalah larva instar III akhir dan instar IV awal dari hasil kolonisasi di laboratorium. Pengamatan dilakukan setelah perlakuan 24 jam dan dicatat jumlah larva yang mati.
Hasil : LC50 dan LC90 dari sipermetrin adalah 0,045mg/l dan LC90 adalah 0.124mg/l sedangkan alfametrin adalah 0,001 mg/l dan 0.058mg/l. Pengamatan daya residu sipermetrin di lapangan diperoleh bahwa insektisida ini mampu membunuh larva lebih dari 80% hanya pada hari pertama. Alfametrin mempunyai kemampuan untuk membunuh larva diatas 80% hingga hari ke -15 dan menurun hingga 60% - 80% pada hari ke 16 ? 17. Hal ini membuktikan bahwa alfametrin memiliki tingkat kemampuan yang lebih tinggi dalam membunuh larva.
Kesimpulan :
1. Alfametrin dan sipermetrin mempunyai kemampuan untuk membunuh larva Ae. aegypti, dan daya bunuh alfametrin lebih tinggi daripada sipermetrin.
2. Letal konsentrasi (LC50) dan LC90 alfametrin adalah 0,001mg/l dan 0,058mg/l. Sedangkan LC50 dan LC90 sipermetrin adalah 0,045mg/l dan 0,124mg/l dapat dikatakan daya bunuh alfametrin 2x lebih kuat dibandingkan dengan sipermetrin.
3. Daya residu alfametrin di lapangan dapat bertahan sampai 3 minggu sedangkan daya residu sipermetrin hanya bertahan kurang dari 1 minggu.Latar Belakang: Pengendalian vektor merupakan upaya utama yang dilakukan guna memutus rantai penularan penyakit DBD. Dalam penelitian ini digunakan 2 macam insektisida golongan piretroid sintetik yaitu Alfametrin dan Sipermetrin, dan tujuannya adalah untuk mengetahui efektivitas ke 2 macam insektisida tersebut terhadap larva Ae. aegypti dengan mencari dosis letal melalui bioassay dan mengetahui daya residu ke 2 macam insektisida ini di lapangan.

Vector control is a major effort that is to break the chain of transmission. This study used two classes of synthetic pyrethroid of insecticides, namely Alphamethrin and Cypermethrin. The purpose of this study were to determine the effectiveness of the two classes of these insecticides against Ae. aegypti through bioassay; to know the lethal dose; and to seek the residual power of these 2 classes of insecticides in the field.
Methods: The study used experimental research both in laboratory bioassays (based on Lee HL and WHO) and in the field on a small scale. Alphamethrin against larvae of Aedes aegypti was effective with a concentration of 0.01 to 0.05, while Cypermethrin was effective with a concentration of 0.01 to 0.08. Larva Ae. aegypti that was tested was in final third instars and in early fourth instars. The research used the results of reproduced larva in the laboratory.
Results: The research found that Cypermethrin with a concentration 0.08 mg/l was effective to kill 77% larva Ae. aegypti and Alphamethrin with a concentration 0.05 mg/l was effective to kill 92% larva Ae. aegypti. Based on regression probit, the research also found that LD50 of Cypermethrin was 0.045 mg/l dan LD90 of Cypermethrin was 0.124 mg/l. In addition, LD50 of Alphamethrin was 0.001 mg/l and LD90 of Alphamethrin was 0.045 mg/l. The research also found that Cypermethrin was able to kill over 80% larva only on the first day, but more larva were still alive on the following days. Alphamethrin was able to kill over 80% larvae until on the fifteenth days and the ability to kill the larva was decreasing 60% to 80 % on the sixteenth and seventeenth days.
Conclusion:
1. Alphamethrin and Cypermethrin has the ability to kill the larvae of Ae. aegypti , and the power to kill Alphamethrin higher than Cypermethrin
2. Lethal Dose (LD50) and LD90 Alphamethrin is 0.001 mg / l and 0.058 mg / l. While the LD50 and LD90 Sipermetrin is 0.045 mg / l and 0.124 mg / l can say killing power Alphamethrin 2x stronger than Cypermethrin.
3. Power Alphamethrin residue in the field can last up to 3 weeks while the residual power Cypermethrin lasted less than 1 week
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>