Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 157223 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wanti
"Tingkat kepadatan jentik merupakan indikasi diketahuinya kepadatan nyamuk Aedes sp yang akan menularkan virus dengue sebagai penyebab penyakit demam berdarah dengue (DBD) dan juga sebagai salah satu indikator keberhasilan kegiatan pengendalian vektor. Penelitian ini bertujuan mengetahui karakteristik tempat penampungan air (TPA) dan perbedaan kepadatan jentik House Index, Container Index, Breatau Index (HI, CI, BI) di Kelurahan Alak sebagai daerah endemis dan Kelurahan Belo sebagai daerah bebas DBD di Kota Kupang Tahun 2011. Penelitian observasional analitik ini menggunakan rancangan studi potong lintang. Variabel penelitian adalah jenis, kondisi, letak, bahan TPA dan kepadatan jentik Aedes sp. Data dikumpulkan dengan observasi langsung pada TPA dan rumah terpilih. Data disajikan dalam bentuk tabel kemudian dianalisis dengan uji-t.
Penelitian ini menemukan TPA positif jentik paling banyak adalah TPA untuk kebutuhan sehari-hari, kondisi TPA tidak tertutup rapat, letak TPA di luar rumah, bahan TPA adalah bahan keramik, dan warna TPA adalah warna putih. Hasil penelitian menunjukkan nilai US dari HI 0,887, CI 0,146 dan BI 0,080, yang artinya tidak ada perbedaan kepadatan jentik antara Kelurahan Alak (daerah endemis) dengan Kelurahan Belo (daerah bebas).
Disimpulkan tidak ada perbedaan kepadatan jentik (HI, CI, dan BI) antara daerah endemis dan daerah bebas DBD. Kedua daerah sama-sama memiliki tingkat kepadatan jentik yang tinggi, sehingga disarankan pemberantasan sarang nyamuk tidak hanya diprioritaskan pada daerah endemis DBD tetapi juga daerah daerah bebas DBD.

The larva density is an indication of the density of Aedes sp known to be capable of transmitting the dengue virus as the cause of dengue haemorrhagic fever (DHF) and also as one of the indicators of the success of vector control activities. This study aimed to determine the difference of the water container characteristics and the larvae density (HI, CI, BI) in Alak village as an endemic area and in Belo Village as a free area of dengue in Kupang Municipality. This analytic observational study using cross sectional study design. Observed variables were the type, the condition, the location, the material of water container and also the larvae density. Data collected by direct observation in water container and house. Data presented in tables were analyzed by t-test.
This study found positive larvae at most container is for everyday need, on not sealed condition, in outside the home, and in a ceramic material. The study also found the US value of HI is 0.887, CI is 0.146 and BI is 0.080. It means that larvae density between Alak and Belo Village is not different.
The conclusion is that there is no difference in the larvae density (HI, CI, and BI) between endemic area and free area of DHF. The two regions have the same high level of larvae density, so it is advisable that mosquito eradication is not only priority in endemic areas but also in dengue-free areas.
"
[place of publication not identified]: Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Kupang, Jurusan Kesehatan Lingkungan, 2014
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Wanti
"Tingkat kepadatan jentik merupakan indikasi diketahuinya kepadatan nyamuk Aedes sp yang akan menularkan virus dengue sebagai penyebab penyakit demam berdarah dengue (DBD) dan juga sebagai salah satu indikator keberhasilan kegiatan pengendalian vektor. Penelitian ini bertujuan mengetahui karakteristik tempat penampungan air (TPA) dan perbedaan kepadatan jentik House Index, Container Index, Breatau Index (HI, CI, BI) di Kelurahan Alak sebagai daerah endemis dan Kelurahan Belo sebagai daerah bebas DBD di Kota Kupang Tahun 2011. Penelitian observasional analitik ini menggunakan rancangan studi potong lintang. Variabel penelitian adalah jenis, kondisi, letak, bahan TPA dan kepadatan jentik Aedes sp. Data dikumpulkan dengan observasi langsung pada TPA dan rumah terpilih. Data disajikan dalam bentuk tabel kemudian dianalisis dengan uji-t.
Penelitian ini menemukan TPA positif jentik paling banyak adalah TPA untuk kebutuhan sehari-hari, kondisi TPA tidak tertutup rapat, letak TPA di luar rumah, bahan TPA adalah bahan keramik, dan warna TPA adalah warna putih. Hasil penelitian menunjukkan nilai US dari HI 0,887, CI 0,146 dan BI 0,080, yang artinya tidak ada perbedaan kepadatan jentik antara Kelurahan Alak (daerah endemis) dengan Kelurahan Belo (daerah bebas).
Disimpulkan tidak ada perbedaan kepadatan jentik (HI, CI, dan BI) antara daerah endemis dan daerah bebas DBD. Kedua daerah sama-sama memiliki tingkat kepadatan jentik yang tinggi, sehingga disarankan pemberantasan sarang nyamuk tidak hanya diprioritaskan pada daerah endemis DBD tetapi juga daerah daerah bebas DBD.

The larva density is an indication of the density of Aedes sp known to be capable of transmitting the dengue virus as the cause of dengue haemorrhagic fever (DHF) and also as one of the indicators of the success of vector control activities. This study aimed to determine the difference of the water container characteristics and the larvae density (HI, CI, BI) in Alak village as an endemic area and in Belo Village as a free area of dengue in Kupang Municipality. This analytic observational study using cross sectional study design. Observed variables were the type, the condition, the location, the material of water container and also the larvae density. Data collected by direct observation in water container and house. Data presented in tables were analyzed by t-test.
This study found positive larvae at most container is for everyday need, on not sealed condition, in outside the home, and in a ceramic material. The study also found the US value of HI is 0.887, CI is 0.146 and BI is 0.080. It means that larvae density between Alak and Belo Village is not different.
The conclusion is that there is no difference in the larvae density (HI, CI, and BI) between endemic area and free area of DHF. The two regions have the same high level of larvae density, so it is advisable that mosquito eradication is not only priority in endemic areas but also in dengue-free areas.
"
[place of publication not identified]: Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Kupang, Jurusan Kesehatan Lingkungan, 2014
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ekandra Indra Sadri
"Pada dua tahun terakhir terjadi peningkatan angka insidens dari 42,46 menjadi 58,22 per-10.000 penduduk di Kota Tanjungpinang, dengan rata-rata ABJ di bawah target nasional (73,89% dan 59,89%). Hai ini disebabkan rendahnya curah hujan dan prosentase hari hujan yang kecil (2,60 % tahun 2001), dampaknya masyarakat menampung air memakai TPA. Untuk mengetahui ini dilaksanakan penelitian tentang "Pengaruh Jenis Bahan dan Letak TPA terhadap Kepadatan Jentik Aedes ".
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen lapangan dengan rancangan blok. Populasi adalah semua tempat penampungan air yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat Kelurahan Tanjungpinang Timur, sedangkan sampel adalah 90 TPA yang terbuat dan plastik, seng, semen yang diletakkan di dalam dan di luar rumah penelitian pada 5 rumah permanen, 5 rumah non-permanen, 5 rumah semi-permanen.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh jenis bahan TPA terhadap kepadatan jentik Aedes (p = 0,00), sedangkan letak TPA dan tipe rumah tidak signifikan (p = 0,09 dan p = 0,11).
Jadi dapat disimpulkan bahwa kepadatan jentik Aedes tertinggi ditemukan pada TPA yang terbuat dari semen, sehingga perlu disarankan agar semen menjadi fokus perhatian yang dipertimbangkan dalam perencanaan program DBD, serta penggunaan seng perlu dikaji lebih jauh dari aspek efisiensi dan efektifitas bagi masyarakat Kota Tanjung Pinang.

The Influence of Material Types and the Location of Water Storage Tank Placement (WSTP) to the Density of Aedes Vector in Kelurahan Tanjungpinang TimurIn the last two years, the number of dengue incidences has increased from 42.46 to 58.22 per 10.000, with the average of ABJ was below the national target (73.89 % and 59.89 %)_ This was caused by the lack of rainfall and the small percentage of rainy days (2.6 % in year 2001), which made people to retain the water by using WSTP . This research was carried out to know The Influence of Material Types and Location of WSTP to The Density of Aedes Vector.
The research was an experimental study by using block design. The population was all daily used water storages by the people in Kelurahan Tanjungpinang Timur, while the samples were 90 WSTP which made of plastic, zinc, or cement that were placed inside or outside the house of 5 permanent houses, 5 non permanent houses, and 5 semi permanent houses.
The result of the study showed that there was relationship between WSTP material types and the density of Aedes factor (pi,00), whereas the placement of WSTP and types of houses were not significant (p,09 and p0, l 1).
As the conclusion, the highest density of Aedes vector was found in the WSTP that made of cement Therefore, cement water storage should be the considering focus in DBD program planning, and the use of zinc needs to be studied thoroughly from the aspect of effeciency and efficacy to the people of Kota Tanjungpinang.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T12952
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sunaryo
"Demam Berdarah Dengue (DBD) perlu mendapat perhatian serius karena masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia dan di beberapa daerah masih sering terjadi kejadian luar biasa. Di Jawa Tengah, kasus DBD cenderung meningkat setiap tahunnya terutama pada tahun 2012. Penelitian ini bertujuan menganalisis parameter entomologi dan menggambarkan jenis tempat penampungan air. Penelitian dilakukan di Kabupaten Grobogan, Purbalingga, Kendal dan Kota Semarang pada bulan Juni _ Oktober 2013 dengan desain potong lintang. Survei jentik dilakukan untuk melihat keberadaan tempat penampungan air pada 100 rumah. Masing-masing kabupaten dipilih tiga lokasi desa endemis DBD.
Hasil survei digunakan untuk menghitung nilai parameter entomologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meningkatnya kasus DBD di empat kabupaten/kota terkait dengan keberadaan vektor A. aegypti. Hal ini dibuktikan dengan masih tingginya persentase jumlah rumah yang ditemukan jentik A. aegypti (House Index > 10%) serta tingginya jumlah kontainer ditemukan jentik A. aegypti pada rumah yang dilakukan survei (Breteau Index). Nilai ovitrap index paling tinggi di Desa Kalikabong Kabupaten Purbalingga seesar 40%. Proporsi controllable site lebih banyak daripada disposable site, berarti rumah tersebut berisiko tinggi sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk.

Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) needs serious attention because it is still a health problem in Indonesia and in recent area DHF caused outbreak. In Central Java, incidence of DHF high every years, especially in 2012. This study aimed to analyze the parameters of entomology and describe types of containers. The study was conducted in Grobogan, Purbalingga, Kendal District and Semarang City in June _ October 2013 with cross-sectional design. Larvae survey had been done in 100 houses in three villages that endemic DHF at every district/city.
The survey results are used to calculate parameter entomology. The results showed that existance of DHF cases in Surveilans Aedes aegypti di Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue Aedes aegypti Surveillance in Endemic Area of Dengue Haemorrhagic Fever four district/city connected with the population of A. aegypti. This matter proved with high percentage of houses that found A. aegypti (House Index > 10%) and the high of container that containing A. aegypti in every houses (Breteau Index). The high of ovitrap index (OI) was 40% in Kalikabong village, Purbalingga district. The proportion of controllable sites more than disposable sites, meaning the house as the high risk of mosquito breeding sites.
"
[place of publication not identified]: Balai Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Banjarnegara, 2014
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Lisa Dea Plasenta
"Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit demam akut dengan pendarahan minor atau mayor, trombositopenia, dan kebocoran plasma yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh vektor nyamuk Aedes aegypti. WHO mencatat sejak tahun 1968-2009, Indonesia menjadi negara urutan pertama di Asia Tenggara dengan kasus DBD terbanyak dan urutan kedua di dunia. Di tahun 2015, Kemenkes RI telah mencatat peningkatan jumlah Kabupaten/Kota yang terjangkit DBD di Indonesia. Dari 384 Kabupaten dan Kota meningkat menjadi 446 Kabupaten dan Kota. Salah satu Kabupaten/Kota dengan kasus DBD yang tinggi adalah Kota Tangerang Selatan. Bahkan, pada tahun 2014, Kota Tangerang Selatan menjadi penyumbang kasus DBD terbanyak di Provinsi Banten dengan 768 kasus. Terdapat faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab tingginya kasus DBD, yaitu faktor iklim, kepadatan penduduk, dan populasi nyamuk. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara faktor iklim, kepadatan penduduk, dan Angka Bebas Jentik (ABJ) dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan tahun 2016-2021. Penelitian ini menggunakan desain studi ecological time series dengan metode kuantitatif dan analisis korelasi dan regresi linear ganda. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berasal dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan; Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan; dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Hasil dari penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan antara suhu, kelembaban, dan ABJ dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan tahun 2016-2021 (p = 0,016; r = -0,282) (p = 0,000; r = 0,506) (p = 0,000; r = -0,558), sementara untuk curah hujan dan kepadatan penduduk menunjukkan hasil tidak signifikan dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan tahun 2016-2021 (p = 0,064; r = 0,220) (p = 0,759; r = -0,037). Dari hasil regresi linear ganda, didapatkan hasil bahwa variabel yang masuk model akhir adalah variabel kelembaban dan ABJ dan dapat menjelaskan 39,9% variasi variabel dependen kejadian DBD (R square = 0,399). Variabel yang paling berpengaruh terhadap kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan tahun 2016-2021 adalah variabel kelembaban.

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is an acute febrile disease with minor or major bleeding, thrombocytopenia, and plasma leakage caused by the dengue virus and transmitted by the Aedes aegypti mosquito vector. WHO noted that from 1968-2009, Indonesia became the first country in Southeast Asia with the most dengue cases and the second in the world. In 2015, the Indonesian Ministry of Health has recorded an increase in the number of districts/cities infected with dengue fever in Indonesia. From 384 regencies and cities, it increased to 446 regencies and cities. One of the districts/cities with high dengue cases is South Tangerang City. In 2014, South Tangerang City became the largest contributor to DHF cases in Banten Province with 768 cases. There are factors that can be the cause of high dengue cases, namely climate factors, population density, and mosquito populations. The purpose of this study was to determine the relationship between climatic factors, population density, and larval free rate (LFR) with the incidence of DHF in South Tangerang City in 2016-2021. This research uses an ecological time series design study with quantitative methods and correlation analysis and multiple linear regression. This study uses secondary data from the South Tangerang City Health Office; Central Bureau of Statistics of South Tangerang City; and the Meteorology, Climatology and Geophysics Agency (BMKG). The results of this study are that there is a significant relationship between temperature, humidity, and LFR with the incidence of DHF in South Tangerang City in 2016-2021 (p = 0.016; r = -0.282) (p = 0.000; r = 0.506) (p = 0.000 ; r = -0.558), while rainfall and population density showed insignificant results with the incidence of DHF in South Tangerang City in 2016-2021 (p = 0.064; r = 0.220) (p = 0.759; r = -0.037). From the results of multiple linear regression, it was found that the variables that entered the final model were humidity and LFR variables and could explain 39.9% of the variation in the dependent variable of DHF incidence (R square = 0.399). The most influential variable on the incidence of DHF in South Tangerang City in 2016- 2021 is the humidity variable."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Winasis
"Penyakit demam berdarah dengue DBD masih merupakan masalah kesehatan yang serius di Indonesia karena hampir terjadi setiap tahun DBD juga masih menjadi masalah kesehatan di Kota Tangerang Selatan Incidence rate IR DBD di Kota Tangerang Selatan adalah sebesar 52 per 100 000 penduduk 2011 60 per 100 000 penduduk 2011 dan 54 per 100 000 penduduk 2013 Skripsi ini membahas mengenai gambaran penyakit demam berdarah dengue DBD menurut variabel epidemiologi yaitu variabel orang variabel tempat dan variabel waktu serta hubungannya dengan kepadatan penduduk dan angka bebas jentik di Kota Tangerang Selatan tahun 2011 - 2013 Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan studi ekologi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama 2011 - 2013 penderita DBD terbanyak adalah jenis kelamin laki laki pada golongan umur 15 tahun dan kasus tertinggi terjadi di bulan Desember 2011 dan bulan Juni 2012 dan 2013 Penelitian menunjukkan bahwa tidak cukup bukti untuk membuktikan bahwa antara kepadatan penduduk dan angka bebas jentik berhubungan dengan incidence rate IR DBD di Kota Tangerang Selatan tahun 2011 - 2013.

Dengue hemorrhagic fever (DHF) is still a serious health problem in Indonesia because almost happens every year. DHF is also still a health problem in Tangerang Selatan City. Incidence rate (IR) of DHF in Tangerang Selatan city was 52 per 100,000 inhabitants (2011), 60 per 100,000 inhabitants (2011) and 54 per 100,000 inhabitants (2013). This thesis discusses the overview of dengue hemorrhagic fever (DHF) according to the epidemiological variables (person, place, time) variables and its relation to population density and larvae-free numbers in Tangerang Selatan City in 2011-2013. This study is a descriptive research approach to ecological studies.
The results showed that during 2011 - 2013 is the highest DHF male gender, the age group > 15 years and the highest cases occurred in December (2011) and June (2012 and 2013). Research shows that there is sufficient evidence to prove that the population density and larvae-free numbers associated with incidence rate (IR) of DHF in Tangerang Selatan City in 2011-2013."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S57510
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mariana Ivoretty Sandra
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2010
S26813
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sungkar, Saleha
"LATAR BELAKANG
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue. Penyakit ini ditularkan oleh nyamuk "Aedes aegypti sebagai vektor utama dan Ae. albopictus sebagai vektor potensial. DBD pertama kali dilaporkan di Surabaya (Partana dkk., 1970) dan Jakarta (Kilo dkk., 1969) pada tahun 1968. Pada saat itu di Surabaya terdapat 58 kasus anak dan 24 di antaranya meninggal dunia (Case Fatality Rate 41.3%). Sejak saat itu jumlah kasus DBD terus meningkat dan penyebarannya semakin luas. DBD tidak saja menyerang masyarakat kumuh tetapi juga menyerang masyarakat dengan sosial ekonomi tinggi. Pada tahun 1973 DBD mulai menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia; jumlah kasus mencapai 10.189 dengan insidens 8.14% (Suroso, 1983).
Pada tahun 1986 semua kelurahan di DKI Jakarta sudah merupakan daerah endemis kecuali Kepulauan Seribu (Masyhur, 1988). Pada tahun 1987 terjadi kejadian luar biasa di 13 propinsi yaitu pada 44 daerah tingkat II dengan insidens 13.5%. Pada tahun 1988 insidens mencapai 27.09 % dan DBD telah tersebar di seluruh propinsi di Indonesia kecuali Timor Timur (Suroso, 1990). Laporan terakhir menunjukkan bahwa pada tahun 1992, DBD merupakan penyakit yang endemis di 19 propinsi, 122 Dati II, 605 kecamatan dan 1800 desa/kelurahan. Propinsi terakhir yang melaporkan kasus DBD adalah Timor Timur yaitu pada bulan Maret 1993 ditemukan satu kasus DBD di Dili (Soerjosembodo, 1993).
Sampai saat ini vaksin dan obat antivirus DBD belum ditemukan, karena itu satu-satunya cara pemberantasan DBD yang dapat dilakukan adalah pemberantasan vektor untuk memutuskan rantai penularan. Pemberantasan ini dilakukan dengan beberapa cara yaitu pengasapan dengan insektisida malation 4%, abatisasi dengan temefos 1% dan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Pengasapan dalam radius 100 m di areal sekitar rumah penderita DBD telah dilaksanakan sejak tahun 1969. Tindakan ini ternyata tidak cukup untuk mengendalikan DBD di Indonesia. Pada tahun 1980-1988, selain pengasapan juga dilakukan abatisasi masal di berbagai kota endemis. Di Yogyakarta, pada tahun 1981 dilakukan abatisasi masal di wilayah kota oleh 2.370 tenaga sukarela. Abatisasi masal ini berhasil menurunkan populasi vektor sampai mendekati nol dalam 2 minggu setelah tindakan; namun 3 bulan sesudah abatisasi dihentikari, kepadatan vektor berangsur-angsur meningkat kembali mencapai 50% kepadatan sebelum dilakukan abatisasi (Lubis, dkk., 1985; Suroso, 1983). Sementara itu jumlah kasus DBD semakin bertambah, proporsi kasus dewasa meningkat dan penyebarannya semakin luas. Berdasarkan data di atas, disimpulkan bahwa secara keseluruhan DBD masih belum dapat dikendalikan dengan pengasapan dan abatisasi (Suroso, dkk., 1991; Dep Ides, 1992; Piarah, 1993).
Untuk mengatasi masalah ini dikembangkan suatu cara pemberantasan yang disebut PSN. Tujuan utama PSN adalah untuk meniadakan tempat perindukan stadium muda. Pemberantasan stadium muda dilakukan dengan menguras Tempat Penampungan Air (TPA) seminggu sekali serta membuang barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan ke tempat sampah yang akan diangkut oleh dinas kebersihan (Suroso T., 1984).
PSN adalah suatu cara pemberantasan yang aman, murah, mudah dan mempunyai angka keberhasilan yang tinggi bila dilakukan secara serentak dan berkesinambungan (Masyhur, 1985; Pranoto, 1992). Namun demikian pelaksanaan PSN mengalami hambatan karena tidak semua masyarakat mau melakukan PSN. Hal ini disebabkan pengetahuan masyarakat Indonesia mengenai DBD dan pencegahannya masih rendah.
"
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wiwit Gemiwati
"Dalam lima tahun terakhir, Pekanbaru merupakan kota endemis demam berdarah dengue (DBD) dengan kejadian kasus setiap bulan dengan angka insiders yang melebihi angka nasional (20 per 100.000 penduduk). Keberadaan tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor demam berdarah diduga dipengaruhi oleh keadaan seperti curah hujan, hari hujan, indeks hujan, kelembaban dan suhu. Dalam studi ini diteliti hubungan iklim sebagai faktor risiko dengan angka bebas jentik (ABJ) dan dengan angka insiden demam berdarah dengue.
Untuk menganalisis faktor-faktor risiko iklim terhadap ABS dan angka insiden demam berdarah dilakukan studi ekologi di Kota Pekanbaru Propinsi Riau. Data lklim (curah hujan, hari hujan, indeks hujan, suhu dan kelembaban) selama 7 tahun terakhir (1995-2001) dikumpulkan dari Badan Meteorologi dan Geofisika Balai Wilayah I Stasiun Meteorologi Pekanbaru, sedangkan ABJ insiden DBD diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru dan Dinar Kesehatan Propinsi Riau. Hubungan iklim dengan angka bebas jentik, angka bebas jentik dan angka insiden dan iklim dengan angka insiden DBD dengue dianalisis menggunakan uji korelasi, regresi linier sederhana dan regresi linier ganda dengan metoda backward untuk mendapatkan prediksi model hubungan. Karena data ABJ tersedia dalam triwulan maka data iklim yang semula tersusun sebagai data bulanan diubah menjadi data triwulan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa ABJ mempunyai hubungan bermakna dengan suhu (p = 0,044) yang berpola positif dengan keeratan sedang (r = 0,383) dan kelembaban (p = 0,017) yang berpola negatif dengan keeratan sedang (r = -0,446). Selanjutnya regresi liner menunjukkan bahwa model hubungan suhu dengan ABJ adalah ABJ = 73,6 + 0,76 x suhu, sedangkan model hubungan kelembaban dengan ABJ adalah ABJ = 124,3 -- 0,36 x kelembaban. Namun, ABJ dengan angka insiden DBD dan iklim dengan angka insiden DBD tidak mempunyai hubungan bermakna. Disimpulkan bahwa sebagian variabel iklim merupakan faktor risiko ABJ tetapi tidak terbukti bahwa ABJ merupakan faktor risiko DBD.
Daftar bacaan : 40 (1986-2002)

The Relationship Between Climate Factors, Free Vectors Number, and Number of Dengue Incidences in Pekanbaru City Since 1995 Until 2001In the last five years Pekanbaru has been an endemic city of dengue hemorigic fever (DHF) where cases are found monthly with the incidence exceeded the national rate ( 20 per 100.000 population). The existence of breeding places of Aedes aegypti, a DHF vector, are believed to be associated with climate such as rainfall, rainy day, temperature and humidity. This study is aimed to explore association between climatic variables as environmental risk factor with Container Index (Cl, as free-larvae percentage) and with DHF incidence.
To analyze this association, an ecological study has been carried out in Kota Pekanbaru, the Province of Riau. Climate data (rainfall, rainy day, rain index, relative humidity, and temperature) during the last seven years (1995-2001) were collected from the Regional Division I of Meteorology and Geophysics Station, Pekanbaru, whereas CI and DHF incidence were obtained from Health District and Health Province Office, Pekanbaru. The association of climatic variables with CI, Cl with DHF incidence, and climate with DHF incidence were analyzed using correlation, simple linear regression, and multiple linear regression with backward method to generate prediction models. As the CI data were available in trimontly, the climate data were converted accordingly.
Statistical analyses show that CI has significantly associated with temperature (p = 0,044) positively and moderately ( r = 0,383) and with relative humidity (p = 0,017) negatively and moderately ( r = -0,446). Further, linear regression indicates that the association model of temperature with Cl is CI = 73,6 + 0,76 x temperature, while the association model of relative humidity with CI is CI = 124,3 - 0,36 x RR However, CI with DHF incidence and climate with DHF incidence are not significantly associated. It is concluded that particular climatic variables are risk factors of CI but it cannot be proved that CI is a risk factor for DHF incidence.
References: 40 (1986-2002)
"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T 12730
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilham Qurrota A'yun
"Demam berdarah (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Insidensi lebih dominan di daerah tropis dan subtropis. Terdapat berbagai faktor yang diduga berkontribusi pada penyebaran DBD, seperti kepadatan penduduk, perubahan iklim, dan kondisi lingkungan. Oleh karena itu, penelitian ini untuk menganalisis hubungan antara kepadatan penduduk, iklim, dan larva nyamuk secara bersamaan di Jakarta Utara. Studi ini menggunakan uji cross sectional yang membandingkan insidensi demam berdarah di wilayah Jakarta Utara pada tahun 2019 hingga 2022 dan diuji hubungannya dengan faktor iklim, seperti temperatur udara, curah hujan, kelembaban udara, serta kepadatan penduduk dan angka bebas jentik. Uji dilakukan dengan uji korelasi Pearson dan Spearman. Pengaruh terhadap insidensi demam berdarah, antara lain kelembaban udara pada bulan yang sama (p=0.037, r=0.303 pada Non TL), curah hujan pada satu bulan setelah curah hujan diukur (p=0.038, r=0.303 pada TL-1). temperatur udara pada 2 bulan setelah temperatur udara diukur (p=0.005, r=-0.405). Kepadatan larva pada bulan yang sama (p=0.006, r=-0.547). Kepadatan penduduk pada bulan yang sama (p=0.036, r=0.431). Kelembaban udara, kepadatan larva, dan kepadatan penduduk memiliki pengaruh terhadap insidensi demam berdarah pada bulan yang sama, sedangkan curah hujan pada 1 bulan setelah pengukuran, dan temperatur udara tidak memiliki korelasi signifikan.

Dengue fever (DF) is a disease caused by the dengue virus and transmitted by the Aedes aegypti and Aedes albopictus mosquitoes. The incidence is more dominant in tropical and subtropical areas. Various factors are believed to contribute to the spread of DF, such as population density, climate change, and environmental conditions. Therefore, this study aims to analyze the relationship between population density, climate, and mosquito larvae concurrently in North Jakarta. This study uses a cross-sectional design comparing the incidence of dengue fever in North Jakarta from 2019 to 2022 and examines its relationship with climatic factors such as air temperature, rainfall, humidity, as well as population density and the larval index. The analysis was performed using Pearson and Spearman correlation tests. Factors influencing the incidence of dengue fever include humidity in the same month (p=0.037, r=0.303 for Non TL), rainfall one month after it is measured (p=0.038, r=0.303 for TL-1), air temperature two months after it is measured (p=0.005, r=-0.405), larval density in the same month (p=0.006, r=-0.547), and population density in the same month (p=0.036, r=0.431). Humidity, larval density, and population density have an influence on the incidence of dengue fever in the same month, while rainfall measured one month later and air temperature doesn’t have significant temperature."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>